BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan. maaf adalah kata saduran dari bahasa Arab, al afw. Kata ini dalam al-

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial, remaja akan selalu mengadakan kontak denganorang lain.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam

BAB III METODE PENELITIAN. A. Metode Penelitian. korelasional. Penelitian ini dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia iklan pada era globalisasi ini sudah sangat bervariasi.

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. emosional yang positif karena telah terpenuhinya kondisi-kondisi yang

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bentuk perilaku yang muncul dalam kontak sosial, sehingga perilaku prososial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: B. Definisi Operasional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Cyberbullying. perlakuan kejam yang dilakukan dengan sengaja kepada orang lain dengan

BAB I PENDAHULUAN. Semua ini membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan

BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORITIS. dengan apa yang dirasakan orang lain (Batso dan Coke dalam Eisenbeng & Trayer, 1987

BAB V PENUTUP. Pada bagian ini peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan

AGRESI. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Empati. mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain. Selain

BAB II LANDASAN TEORI PERILAKU ALTRUISTIK. kebaikan orang lain. Akert, dkk (dalam Taufik, 2012) mengatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. bencana gempa bumi dan tsunami dengan intensitas yang cukup tinggi.

EFEKTIVITAS BIBLIOKONSELING UNTUK MENINGKATKAN EMPATI REMAJA DI RUMAH PINTAR BUNGA PADI KECAMATAN BALEREJO, KABUPATEN MADIUN

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan bisnis di suatu negara telah tumbuh. berkembang dengan ditandai oleh masuknya para pelaku bisnis baru dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

GENDER DAN KESEHATAN MENTAL

DIRI PRIBADI. Tentang Diri MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh. mengkomunikasikan tentang Diri Pribadi

2016 ISU FEMINITAS DAN MASKULINITAS DALAM ORIENTASI PERAN GENDER SISWA MINORITAS

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Santrock menyebutkan bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa. perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

BAB III METODE PENELITIAN. objek lainnya (Hatch dalam Sugiono, 2006). Penelitian ini menggunakan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI. A. Empati. pikiran, serta sikap orang lain. Hetherington dan Parke (1986) mengemukakan

I. PENDAHULUAN. Keragaman dimasyarakat memerlukan sosialisasi dan memerlukan interaksi

BAB I PENDAHULUAN. bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicoliana Tabacum, Nicoliana

BAB I PENDAHULUAN. Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kebijaksanaan dan Keadilan. Nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus

yaitu budaya Jawa mempengaruhi bagaimana maskulinitas dimaknai, seperti pendapat Kimmel (2011) bahwa maskulinitas mencakup komponen budaya yang

SELF & GENDER. Diana Septi Purnama.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan perempuan dalam masyarakat, sebagai contoh perempuan tidak lagi

BAB IV KESIMPULAN. Sejarah panjang bangsa Eropa mengenai perburuan penyihir (witch hunt) yang

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Modul ke: Psikologi Komunikasi. Fakultas FIKOM. Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si. Program Studi MARKOM & PERIKLANAN.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. mengidentifikasikan mereka sebagai pria atau wanita. Seorang pakar psikologi

MODUL PERKULIAHAN. Pengertian agresi, teori-teori agresi, pengaruh terhadap agresi, cara mengurangi agresi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbicara terkait kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Konsep Teoritis. identitas ( identity vs identity confusion). Menurut Kroger (dalam Papalia, 2004)

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada era globalisasi ini di dalam dunia kerja setiap pekerja dari berbagai

BAB 4 KESIMPULAN. Representasi maskulinitas..., Nurzakiah Ahmad, FIB UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Segala sesuatu di muka bumi ini diciptakan Allah secara berpasangan.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Prasangka Terhadap Kepemimpinan Perempuan Dalam Politik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Selama masa hidupnya orang lebih banyak berada pada kondisi saling

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Masa remaja adalah suatu tahap antara masa kanak kanak dengan

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

BAB 5 SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

PSIKOLOGI SOSIAL. Dosen : Meistra Budiasa, S.Ikom, MA

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ham p ir 40% tindak

BAB II LANDASAN TEORI. hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku konsumen.

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan suatu periode yang disebut sebagai masa strum and drang,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pemaafan Pada Remaja Akhir. konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti.

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN. A. Orientasi Kancah dan Persiapan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan. harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

12 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan. Para ahli perkembangan mengelompokkan fase-fase

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan yang lainnya. Holobis kuntul baris untuk kepentingan bersama (Soekarno dalam

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latarbelakang. mengalami krisis moral para pelajar. Problematika siswa saat ini mencoreng dunia

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

SUMBER PERBEDAAN INDIVIDUAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk berpikir, kemampuan afektif merupakan respon syaraf simpatetik atau

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mega Sri Purwanida, 2014

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sikap Negatif Terhadap Korban Pemerkosaan 2.1.1. Definisi sikap negatif terhadap korban pemerkosaan Sikap negatif terhadap korban pemerkosaan adalah penilaian individu mengenai pihak yang mengalami pemerkosaan atau pihak yang menjadi korban, yang mempengaruhi respon kurang baik dari individu tersebut terhadap korban pemerkosaan. Ward (1988) menjelaskan bahwa sikap negatif terhadap korban terbentuk oleh dimensi berikut: Blame atau mempersalahkan atau menyatakan/memandang salah.yang dimaksud dengan mempersalahkan dalam hal ini adalah anggapan mengenai pihak mana yang bersalah dalam terjadinya pemerkosaan. Denigration, yaitu pencemaran reputasi atau penilaian negatif yang menjatuhkan diri seseorang. Denigration pada korban pemerkosaan berarti nilai diri korban pemerkosaan dipandang lebih rendah atau berkurang. Credibility atau kredibilitas korban, yaitu kualitas atau kapabilitas diri yang menunjukkan bahwa dirinya dapat dipercaya. Kredibilitas korban pemerkosaan berarti korban memiliki kualitas yang membuat perkataan mereka dapat dipercaya dan tidak mengada-ada. Responsibility atau tanggung jawab mengenai terjadinya pemerkosaan. Tanggung jawab korban maksudnya adalah ada atau tidaknya tindakan yang dilakukan korban yang mungkin dapat menjadi penyebab terjadinya pemerkosaan, atau yang membuat korban dianggap bertanggung jawab dalam pemerkosaan yang terjadi. Deservingness atau kelayakan/kepantasan bagi korban untuk mengalami pemerkosaan. Kelayakan maksudnya adalah hal-hal yang membuat korban dianggap pantas menjadi korban pemerkosaan. Trivialization atau pengecilan/meremehkan terjadinya atau dampak pemerkosaan. Maksudnya adalah bahwa peristiwa pemerkosaan yang 7

8 dialami oleh korban dianggap sepele atau tidak terlalu berdampak buruk karena suatu hal. Dalam beberapa penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan sikap negatif terhadap korban pemerkosaan, dijelaskan bahwa terdapat cukup banyak keadaan dimana korban pemerkosaan menerima respon sosial yang negatif, termasuk dinilai bersalah atau bertanggung jawab atas apa yang menimpa mereka (Audrey, Amanda, & Antoinette, 2011). Sikap terhadap suatu hal dapat berupa sikap positif dan negatif (Hogg& Vaughan, 2008), namun bentuk sikap yang negatif terhadap korban pemerkosaan merupakan isu yang cukup bermasalah karena dapat mengakibatkan stress yang lebih tinggi, penyesuaian yang lebih buruk, dan reviktimasi seksual pada korban. 2.1.2. Faktor yang mempengaruhi sikap negatif terhadap korban pemerkosaan Ward (1995) menyebutkan beberapa hal yang dapat mempengaruhi atribusi dalam terjadinya pemerkosaan, yaitu: 1. Karakter korban dan pelaku. Karakter tertentu yang dimiliki korban dan pelaku dapat menimbulkan ekspektasi mengenai hal yang seharusnya dilakukan dalam terjadinya pemerkosaan. Ketiadaan atau tidak dilakukannya hal tersebut dapat berpengaruh pada atribusi tanggung jawab dalam pemerkosaan. Misalnya, korban yang dikenal atau dianggap sebagai orang baik-baik, akan diharapkan untuk memberikan perlawanan apabila diperkosa, dan karena ada perlawanan tersebut maka pelaku akan dianggap bersalah. Namun apabila tidak terdapat bukti-bukti atau tanda perlawanan, hal tersebut dapat menimbulkan anggapan bahwa pemerkosaan terjadi karena kesalahan korban tersebut dengan tidak memberikan perlawanan. 2. Situasi terjadinya pemerkosaan. Tempat, waktu, dan lingkungan terjadinya pemerkosaan dapat mempengaruhi sikap terhadap korban. Sebagai contoh, pemerkosaan yang terjadi di bar atau klub malam

9 lebih mungkin mengakibatkan korban disalahkan, dibandingkan dengan pemerkosaan yang terjadi di jalan. 3. Perbedaan jenis kelamin. Perempuan biasanya memiliki persepsi yang lebih baik terhadap korban pemerkosaan, dan hal ini mempengaruhi cara pandang mereka terhadap pemerkosaan. 2.2. Peran Gender 2.2.1. Definisi Peran Gender Istilah gender mengacu pada karakteristik individu sebagai laki-laki atau perempuan (Santrock, 2010). Gender merupakan konsep yang berbeda dengan peran gender. Peran gender adalah suatu budaya yang dipelajari mengenai sifat dan prilaku yang tepat bagi suatu jenis kelamin (Oskamp& Schultz, 1993), atau serangkaian ekspektasi mengenai bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berpikir dan berperilaku (Oskamp& Schultz, 1993; Santrock, 2010). Stereotip peran gender memiliki setidaknya empat aspek, yaitu trait kepribadian, peran perilaku, karakter fisik, dan kemampuan kognitif yang diharapkan dari laki-laki dan perempuan (Beall& Sternberg, 1993). Tema yang cukup sering muncul berkaitan dengan peran gender adalah bahwa perempuan cenderung memiliki trait ekspresif, seperti emosional atau lebih menggunakan perasaan dalam tindakannya, dan laki-laki cenderung memiliki trait instrumental, seperti kompetitif dan berorientasi pada tujuan. 2.2.2. Klasifikasi Peran Gender Sandra Bem (1977) mengembangkan alat ukur yang dapat digunakan untuk mengetahui kecenderungan peran gender seseorang. Bem mengklasifikasikan peran gender yang mungkin dimiliki oleh individu menjadi empat, yaitu: Maskulin Maskulin adalah istilah untuk hal yang memiliki sifat kelaki-lakian, atau sifat yang lebih umum terdapat pada laki-laki daripada

10 perempuan. Contohnya adalah berpikiran logis, tegas, dan sebagainya. Feminin Feminin adalah istilah untuk hal yang memiliki sifat keperempuanan, atau sifat yang lebih umum ada pada perempuan daripada laki-laki. Contohnya seperti perasa, penyayang, dan sebagainya. Androgini Androgini adalah keberadaan karakter maskulin dan feminin sama besar atau sama kuat dalam diri satu individu. Undifferentiated Undifferentiated adalah keberadaan karakter maskulin dan feminin yang sama-sama rendah sehingga tidak dapat dilakukan klasifikasi. 2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Maskulinitas dan Femininitas. Secara umum, hal-hal yang mempengaruhi maskulinitas dan femininitas individu adalah: Pembentukan oleh individu. Hal ini terjadi melalui proses pengamatan dan imitasi yang dilakukan sejak kecil, dan terus berkembang seiring dengan pertumbuhan individu. Pengaruh dari lingkungan. Adanya penilaian dari lingkungan sekitar individu mengenai peran gender yang tepat bagi jenis kelamin tertentu dapat membentuk peran gender individu. 2.3. Empati. 2.3.1. Definisi Empati Empati berarti bereaksi terhadap perasaan orang lain dengan respon emosional yang serupa atau mirip dengan perasaan orang tersebut (Santrock, 2010), atau dengan kata lain menempatkan diri di posisi emosional orang lain. Empati didefinisikan dalam dua cara (Hoffman, 2000). Yang pertama adalah empati kognitif, yaitu bahwa empati merupakan kesadaran kognitif akan keadaan internal orang lain, dalam hal ini pikiran, perasaan, persepsi, dan intensi. Yang kedua adalah empati

11 afektif, yaitu bahwa empati merupakan respon afektif yang mewakili kondisi orang lain. Davis (1980) mendefinisikan empati sebagai suatu reaksi individu terhadap pengalaman orang lain yang diobservasi. Davis mengembangkan alat ukur untuk mengukur empat dimensi empati seseorang. Keempat dimensi tersebut yaitu: Perspective taking. Merupakan kecenderungan untuk mengadopsi sudut pandang psikologis seseorang, atau kecenderungan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Fantasy. Merupakan penilaian individu terhadap keadaan tokoh fiksi, atau kecenderungan untuk dapat secara imajinatif memposisikan diri dalam emosi atau aksi tokoh fiktif dalam buku, film, atau suatu penampilan atau drama. Empathic concern. Merupakan penilaian akan empati emosional atau rasa prihatin terhadap orang lain yang sedang dalam kesulitan atau masalah. Personal distress. Merupakan kecemasan atau ketidaknyamanan diri dalam situasi interpersonal, atau dalam memberikan reaksi terhadap permasalahan atau kesulitan orang lain. 2.3.2. Faktor yang mempengaruhi empati. Kecenderungan berempati berbeda-beda pada setiap individu. Davis (1996) menjelaskan bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh hal berikut: 1. Kecenderungan/predisposisi yang diwariskan. Faktor keturunan atau genetik dapat menjadi salah satu hal yang mempengaruhi kemampuan berempati dalam diri seseorang. 2. Pengaruh lingkungan.

12 Lingkungan di sekitar individu mempengaruhi kecenderungan empati individu, terutama lingkungan selama masa anakanak.sebagai pihak yang paling banyak berinteraksi dengan individu pada masa awal pertumbuhan, keluarga memiliki peran yang cukup besar dalam terbentuknya empati.kualitas hubungan antar anggota keluarga, pola asuh, dan kecenderungan empati orangtua adalah beberapa hal yang dapat mempengaruhi kecenderungan empati individu. 2.4. Kerangka berpikir Orang-orang dapat membentuk suatu sikap terhadap pemerkosaan, baik terhadap pelaku maupun korban. Dalam penelitian ini, sikap negatif terhadap korban akan lebih diperhatikan karena sikap negatif terhadap korban dapat berdampak negatif. Sikap negatif terhadap korban pemerkosaan terdiri oleh dimensi blame, denigration, credibility, responsibility, deservingness, dan trivialization, yang dapat dipengaruhi beberapa hal, seperti karakter pelaku dan korban, situasi, dan jenis kelamin (Ward, 1995). Penelitian Ward (1992) menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kecenderungan untuk memiliki sikap yang negatif terhadap korban pemerkosaan dibandingkan dengan perempuan. Dengan kata lain, jenis kelamin laki-laki berhubungan dengan kecenderungan sikap yang negatif yang tinggi sedangkan jenis kelamin perempuan berhubungan dengan kecenderungan sikap negatif yang rendah. Jenis kelamin memiliki keterkaitan dengan peran gender, dimana umumnya orang dengan jenis kelamin laki-laki akan cenderung memiliki karakter maskulin dan perempuan cenderung memiliki karakter feminin, meskipun terkadang terdapat pengecualian. Keterkaitan ini menunjukkan bahwa individu dengan karakter maskulin memiliki kecenderungan sikap yang negatif yang tinggi terhadap korban pemerkosaan, sementara individu dengan karakter feminin memiliki kecenderungan sikap negatif yang rendah. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Vasquez (2013). Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat diasumsikan bahwa individu dengan karakter maskulin yang tinggi akan memperoleh nilai blame, denigration, credibility, responsibility, deservingness,

13 dan trivialization yang tinggi. Sebaliknya, individu dengan karakter feminin yang tinggi akan memperoleh nilai blame, denigration, credibility, responsibility, deservingness, dan trivialization yang rendah. Peran gender seseorang memiliki hubungan dengan kemampuan berempati mereka. Individu dengan karakter maskulin yang lebih tinggi, kecenderungan berempatinya relatif rendah, sementara individu dengan karakter feminin kecenderungan empatinya relatif tinggi (Barnabas, 2012). Tingkat empati rendah dengan karakter feminin rendah akan berhubungan dengan sikap yang lebih negatif, sementara tingkat empati tinggi dengan karakter feminin tinggi akan berhubungan dengan sikap yang lebih positif terhadap korban pemerkosaan. Begitu juga dengan karakter maskulin. Rendahnya tingkat empati individu dengan karakter maskulin yang rendah akan berhubungan dengan sikap yang lebih negatif terhadap korban pemerkosaan. Sebaliknya, apabila tingkat empati individu tinggi diiringi dengan karakter maskulin yang tinggi maka sikap mereka terhadap korban pemerkosaan akan menjadi lebih positif. Maskulinitas Peran Gender Femininitas Sikap Negatif Terhadap Korban Pemerkosaan Empati Gambar 2.1. Kerangka Berpikir

14