BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Praktek bullying sudah merambah ke dalam dunia pendidikan, hal ini sangat memprihatinkan bagi pendidik, orang tua dan masyarakat. Komnas Perlindungan Anak (PA) setiap tahun mendata kasus bullying di lingkungan sekolah, kasus bullying yang terjadi pada tahun 2011 terdapat 139 kasus dan pada tahun 2012 terdapat 36 kasus (Kompas, 2013). Contoh kasus bullying terjadi di SMA Don Bosco, Jakarta Selatan. Sebagaimana dinyatakan oleh Sumandoyo (2012) bahwa peserta didik kelas satu SMA Don Bosco yang bernama Ary, menjadi salah satu korban penganiayaan oleh seniornya. Ary mengalami luka dibagian tengkuk akibat luka sundutan rokok dan mengalami luka lebam. Alasan tersangka penganiayaan, disampaikan oleh Leribun (2012) bahwa, Menurut keterangan para tersangka kepada kepolisian, mereka melakukan penganiayaan karena status mereka sebagai senior. Para tersangka juga merasa tindakannya terhadap beberapa juniornya tersebut masih wajar. Peristiwa yang dialami oleh Ary dan beberapa temannya tersebut adalah bentuk dari senioritas. Senioritas di sekolah berhubungan erat dengan bullying. Sebagian besar pelaku bullying merupakan seorang atau kelompok yang memiliki status tinggi dan mungkin pernah menjadi korban bullying sebelumnya. Istilah bullying belum banyak dikenal oleh masyarakat, terlebih karena belum ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia. Pengertian bullying menurut Astuti (2008: 2), Bullying adalah bagian dari tindakan agresi yang dilakukan berulangkali oleh seseorang/ anak yang lebih kuat terhadap anak yang lebih lemah secara psikis dan fisik. Sejalan dengan pendapat tersebut, Rudi (2010: 4) menjelaskan bahwa bullying adalah perilaku agresif dan negatif seseorang atau sekelompok orang secara berulang kali yang menyalahgunakan ketidakseimbangan kekuatan dengan tujuan untuk menyakiti targetnya 1
2 (korban) secara mental atau secara fisik. Pendapat tersebut menegaskan bahwa bullying adalah bagian dari tindakan agresi seseorang atau kelompok, dilakukan secara berulang kali, dan ada ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban. Dimana korban adalah orang yang lebih lemah dari pelaku. Korban umumnya adalah anak yang lemah, pemalu, pendiam, dan special (cacat, tertutup, pandai, cantik, atau punya ciri tubuh tertentu) yang dapat menjadi bahan ejekan. Menurut Rigby (2003: 10) anak-anak yang sering menjadi target atau korban bullying di sekolah biasanya secara psikologis introvert, memiliki harga diri yang rendah, dan kurang memiliki keterampilan sosial khususnya dalam hal asertivitas. Kasus bullying di sekolah SMA Don Bosco adalah sebagian kecil praktek bullying yang terungkap. Bullying kemungkinan besar akan luput dari pandangan orang tua, guru, atau orang dewasa lainnya. Bullying di sekolah memang sulit untuk dideteksi, karena sembunyi-sembunyi dan dilakukan di tempat yang jauh dari pengawasan guru. Mereka mungkin tidak akan memahami seberapa parah dampak bullying pada sang anak, dan sebagian besar dari korban memang tidak mau melapor karena mereka menganggap hal itu adalah resiko yang harus ditanggung dan diatasi sendiri. Itulah yang menyebabkan akumulasi kekerasan dan bullying di sekolah semakin tinggi. Berdasarkan penelitian oleh Őzkan & Cifci (2009: 33) menemukan adanya hubungan antara perilaku bullying dan rendahnya kemampuan empati. Sejalan dengan penelitian tersebut, Slee & Rigby (2003: 3) juga menemukan anak-anak yang melakukan bullying secara berulang di sekolah, cenderung memiliki empati yang rendah terhadap orang lain. Sesuai dengan hasil penelitian tersebut, ada hubungan antara empati yang rendah dengan kecenderungan perilaku bullying. Rendahnya empati membuat seseorang kurang mampu merespon tekanan dan ketidaknyamanan yang dialami oleh orang lain, karena mereka tidak mampu memahami pengalaman emosi yang dialami oleh orang lain khususnya rasa sakit yang dirasakan oleh korban bullying.
3 Definisi empati menurut Batson (dalam Taufik, 2012: 192) adalah sebagai respon emosional sesuai dengan kondisi yang dilihat pada orang lain. Ketika seseorang melihat orang lain dalam kondisi tertekan, bentuk feeling yang ditunjukkan diantaranya: simpati, perasaan iba, dan kelembutan. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Sari, dkk (2010: 6) yang mengartikan empati sebagai kemampuan individu untuk menempatkan diri dalam memahami kondisi atau keadaan pikiran, sifat serta perasaan orang lain, mampu merasakan dan memahami keadaan emosional orang lain sehingga timbul perasaan toleransi, menghargai perasaan orang lain, mengendalikan diri, ramah dan humanis. Lebih lanjut, Goleman (2002: 136) menjelaskan bahwa kemampuan berempati adalah untuk mengetahui perasaan orang lain, kunci untuk memahami perasaan orang lain diantaranya mampu membaca pesan non-verbal seperti nada bicara, gerak-gerik, dan ekspresi wajah. Kemampuan berempati kepada orang lain memiliki peranan penting dalam interaksi sosial. Őzkan & Cifci mengungkapkan bahwa empati merupakan modal utama dalam melakukan perilaku prososial dan empati juga dapat mengurangi perilaku bullying (dalam Wahyuni dan Adiyanti, 2009: 110). Bullying dapat berdampak negatif bagi semua pihak yang terlibat didalamnya, namun pihak yang akan memiliki dampak lebih serius diantara pihak yang lain adalah korban. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Astuti (2008: 10): Bagi korban, pengalaman bullying menyebabkan dirinya mengalami kesakitan baik fisik maupun psikologis, penghargaan diri (selfesteem) yang merosot, malu, trauma, tak mampu menyerang balik, merasa sendiri, serba salah dan takut sekolah (school phobia). Dalam kondisi selanjutnya ditemukan bahwa korban kemudian mengasingkan diri dari sekolah atau menderita ketakutan sosial (social phobia), bahkan cenderung ingin bunuh diri. Korban bullying yang nekad, melakukan bunuh diri karena dia merasa tertekan. Kematian dan bunuh diri hanyalah sedikit contoh akibat bullying. Lebih banyak lagi anak-anak dan remaja korban bullying yang terus hidup dan
4 tidak nekad mengakhiri hidupnya, namun tumbuh menjadi orang-orang berkepribadian rapuh, mudah sedih, tidak percaya diri, atau sebaliknya, pemarah dan agresif, melakukan balas dendam ke orang lain. Jika perilaku bullying dibiarkan, pelaku bullying akan merasa bahwa tidak ada resiko apapun bagi mereka bila melakukan kekerasan, agresi maupun mengancam anak lain. Ketika dewasa pelaku bullying akan memiliki potensi besar untuk menjadi pelaku kriminal dan akan membawa masalah dalam pergaulan sosial. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Coloroso (2006: 72) bahwa mereka akan terperangkap dalam peran pelaku bullying, tidak dapat mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap untuk memandang dari prespektif lain, tidak memiliki empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan datang. Berdasarkan uraian tersebut menegaskan bahwa bullying merupakan ancaman serius dan pasti menjadi problem psiko-sosial bagi peserta didik yang mengalaminya. Sehingga harus ada upaya-upaya meningkatkan empati pada peserta didik untuk mengantisipasi terjadi dan berulangnya peristiwa bullying dalam skala yang lebih besar. Upaya tersebut dapat dilaksanakan melalui pendidikan di sekolah. Pendidikan adalah upaya untuk membantu peserta didik agar dapat mengembangkan diri pada dimensi intelektual, moral dan psikologis mereka. Apalagi di lingkungan sekolah yang pada hakekatnya adalah tempat tumbuh kembang anak untuk menjadi pribadi pembelajar bukan tempat untuk melakukan kekerasan. Sekolah seharusnya menjadi tempat tanpa adanya kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi, memberikan ruang partisipasi kepada anak, serta kesempatan tumbuh kembang secara optimal sesuai potensi dan diorientasikan demi kepentingan mereka. Di sekolah, peserta didik memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dalam lingkungan yang aman dan bebas dari rasa takut. Hal ini tercantum dalam Undang-undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 Pasal 54 yang
5 menyebutkan bahwa Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya. Namun pada umumnya, peserta didik, orang tua, guru maupun masyarakat menganggap fenomena bullying di sekolah adalah hal biasa dan baru merespon jika telah membuat korban terluka akibat dari bullying fisik hingga membutuhkan bantuan medis. Sementara bullying verbal dan psikologis masih belum ditanggapi dengan baik. Hal ini karena kurang pahamnya akan dampak dari bullying terhadap perkembangan dan prestasi peserta didik. Maka perlu adanya sosialisai tentang bahaya bullying di sekolah sebagai tindakan preventif. Sosialisasi tentang bullying kepada peserta didik dapat melalui pemberian layanan informasi. Layanan informasi menurut Prayitno, dkk (1997: 36) yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi yang dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dan pengambilan keputusan untuk kepentingan peserta didik. Layanan informasi dapat menunjang fungsi pemahaman fungsi-fungsi bimbingan dan konseling lainnya yang berkaitan dengan permasalahan individu, untuk memperlancar dan mempermudah penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitar. Layanan informasi tentang bahaya bullying yang diberikan kepada peserta didik akan memberikan pemahaman kepada mereka bahwa bullying dapat berdampak buruk bagi dirinya dan orang lain. Setelah memiliki pemahaman yang benar tentang bahaya bullying, diharapkan kemampuan empati peserta didik semakin meningkat dan terhindar dari perilaku bullying. Sesuai dengan hasil penelitian Gini, et al. (dalam Rachmah, 2007) yang menyatakan bahwa empati dapat pula menjadi salah satu alternatif cara untuk mengurangi perilaku bullying di sekolah dengan jalan meningkatkan empati peserta didik. Batson (dalam Taufik, 2012: 192) menyatakan bahwa perasaan
6 (feeling) empati kepada seseorang dapat meningkatkan motivasi untuk menolong. Hal itu menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki kemampuan empati tinggi akan mencegah dirinya berperilaku bullying dan mempunyai motivasi untuk menolong orang lain. Berdasarkan fenomena tersebut maka penulis tertarik mengadakan penelitian dengan judul: Keefektifan Layanan Informasi tentang Bahaya Bullying untuk Meningkatkan Empati pada Peserta Didik Kelas VII SMP Negeri 2 Gemolong Tahun Pelajaran 2013/ 2014. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Apakah layanan informasi tentang bahaya bullying efektif untuk meningkatkan empati pada peserta didik kelas VII SMP Negeri 2 Gemolong Tahun Pelajaran 2013/ 2014?. C. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai yaitu: Menguji keefektifan layanan informasi tentang bahaya bullying untuk meningkatkan empati pada peserta didik kelas VII di SMP Negeri 2 Gemolong Tahun Pelajaran 2013/ 2014. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam memperkaya wawasan konsep penerapan
7 layanan informasi tentang bahaya bullying untuk meningkatkan empati peserta didik. 2. Manfaat Praktis a. Memberi masukan kepada guru BK dalam melaksanakan layanan Informasi tentang bahaya bullying untuk meningkatkan empati pada peserta didik. b. Membangkitkan semangat warga sekolah untuk mencegah praktek bullying di sekolah. c. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan kepada kepala sekolah untuk memberikan fasilitas dalam upaya meningkatkan empati pada peserta didik.