II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh kekuatan

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

Makalah Rakernas

Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

PERKEMBANGAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA DAN PERKARA PIDANA DI INDONESIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

PENGATURAN HAK MENGAJUKAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB 1 PENDAHULUAN. ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis diatas maka dapat ditarik kesimpulan

HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA. OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK

ALUR PERADILAN PIDANA

BAB II UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (PK)/HERZIENING DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

GARIS-GARIS BESAR PERKULIAHAN (GBPP)

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

Ajie Ramdan Pusat Studi Kebijakan Kriminal Fakultas Hukum UNPAD Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat. disimpulkan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB III PENUTUP. maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB III PENUTUP. penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul Sebuah sistem peradilan yang pada hakekatnya merupakan sistem

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

A. Latar Belakang Masalah

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB I PENDAHULUAN. landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERSIDANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia


LATAR BELAKANG MASALAH

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

DAFTAR PUSTAKA. Adami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung, Alumni,

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository

BAB I PENDAHULUAN. tidak mendapat kepastian hukum setelah melalui proses persidangan di

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi serta tugas dan wewenang Kejaksaan, maka dapat disimpulkan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

AKIBAT HUKUM PENGHENTIAN PENYIDIKAN PERKARA PIDAN DAN PERMASALAHANNYA DALAM PRAKTIK

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-XIII/2015 Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Hukuman Mati

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002 TENTANG GRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.155, 2009 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074)

HUKUM ACARA PIDANA HENDAK HIJRAH Oleh Adnan Paslyadja

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

Sub Bagian Hukum dan Humas BPK RI Perwakilan Provinsi Bali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Lahirnya Putusan Peninjauan Kembali Herziening atau peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh kekuatan hukum tetap, (Yudowidagdo, 1987: 234). Sebelum berlakunya KUHAP, belum ada undang-undang yang mengatur pelaksanaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 21 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 (yang sekarang diganti dengan Undang-undang No. 48 Tahun 2009 padal Pasal 24) tentang Kekuasaan Kehakiman hanya menyebutkan kemungkinan peninjauan kembali itu, tetapi pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan undang-undang. Semula dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1969 tanggal 19 Juli 1969 yang memungkinkan diajukannya permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tetapi dengan Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut Nomor 18 Tahun 1969 tanggal 23 Oktober 1969, menunda berlakunya Peraturan Mahkamah Agung tersebut dengan alasan masih diperlukan peraturan lebih lanjut misalnya mengenai biaya perkara yang memerlukan persetujuan Menteri Keuangan. Kemudian dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1971 tanggal 30 November

18 1971, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969 dan surat edaran tersebut dicabut, dan menentukan bahwa permohonan peninjauan kembali mengenai perkara perdata dapat diajukan request civiel, dengan bercermin kepada Reglement op de Burgerlijke rechrsordering, sedangkan mengenai perkara pidana tidak dapat diajukan karena belum ada undang-undangnnya. (Hamzah, 2008: 304). Ada pakar yang mengatakan bahwa peninjauan kembali ini selalu berdampingan dengan kasasi demi kepentingan hukum, peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa hanya ditujukan bagi tertuduh maupun jaksa. Begitu juga dengan pendapat yang mengatakan bahwa terhadap suatu perbuatan tercela atau atas sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan hukum merupakan tugas Mahkamah Agung meluruskannya. (Marpaung, 2000: 12). B. Dasar Hukum Peninjauan Kembali Dasar peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap yang tercantum dalam ketentuan Pasal 21 UU Nomor 14 tahun 1970 (yang sekarang diganti dengan Undang-undang No. 48 Tahun 2009 pada Pasal 24) tentang Kekuasaan Kehakiman menetapkan bahwa: Apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan dengan Undang-Undang terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam rangka perkara perdata dan pidana oleh pihak yang berkepentingan. (Yudowidagdo, 1987: 234).

19 Barangkali karena terjadinya kasus Karta dan Sengkon yang sangat menghebohkan, maka Mahkamah Agung setelah meniadakan rapat kerja dengan DPR tanggal 19 November 1980, memberanikan diri mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali Putusan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap, mengatur kemungkinan mengajukan permohonan peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap baik perkara perdata maupun pidana. Mengenai perkara pidana, diatur dalam Pasal 9, yang mengatakan bahwa Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang mengandung pemidanaan, dengan alasan: 1. Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, tetapi satu sama lain bertentangan; 2. Apabila terdapat sesuatu keadaan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan ini diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatan yang akan dijatuhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan. Jika dibandingkan antara Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali Putusan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum

20 yang Tetap dengan ketentuan pada Pasal 263 ayat (2) KUHAP, maka terlihat keduanya hampir sama. Ketentuan dalam KUHAP itu mengatakan: Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar: a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana lebih ringan; b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Setelah diberlakukannya KUHAP, maka dasar pengajuan peninjauan kembali diatur dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP. Namun demikian, pasal-pasal didalam KUHAP tentang pengajuan peninjauan kembali ini penuh dengan kontroversi, salah satunya adalah peninjauan kembali yang di ajukan oleh jaksa. Berdasarkan Pasal 263 ayat (1) menyebutkan bahwa upaya pengajuan peninjauan kembali merupakan hak daripada terpidana ataupun ahli warisnya yang diajukan kepada Mahkamah Agung.

21 C. Pengertian Jaksa Ketentuan Pasal 1 angka 6 sub a dan b KUHAP, dicantumkan adanya Jaksa atau Penuntut Umum yang berbunyi sebagai berikut: a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberikan wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Sementara itu, Jaksa Agung dan Kejaksaan tidak tercantum dalam Undang- Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Hal itu disebabkan karena telah disebutkan Mahkamah Agung dalam Pasal 24 UUD 1945. Sebagaimana diketahui, sebelum kemerdekaan dikenal Procureur General (seperti Jaksa Agung sekarang) selalu menempel pada Hooggerechtshof. Juga dengan aturan peralihan UUD menjamin eksistensi Kejaksaan itu. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa aturan peralihan itu telah dipertegas dengan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 dan mulai berlakunya pada tanggal 17 Agustus 1945. Bersamaan dengan pembentukan Kabinet Presidensial I pada tanggal 19 Agustus 1945 telah diangkat pula Jaksa Agung yang pertama. (Hamzah, 2008: 73). Fungsi dan wewenang Jaksa Agung dan Kejaksaan diatur dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1947 yang kemudian dicabut dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1948 yang tidak pernah diberlakukan itu. Baru dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan, wewenang Jaksa Agung dan kejaksaan telah diatur dengan tegas. Undang-undang

22 ini dicabut dan diganti dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan. Sekarang diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor. 16 Tahun 2004. (Hamzah, 2008: 73). D. Pengajuan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Diberlakukannya KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) yang menampung lembaga peninjauan kembali dan sekaligus mencabut PERMA No. 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali Putusan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap, maka kasus demi kasus yang dimintakan peninjauan kembali dan diselesaikan oleh Mahkamah Agung telah memperlihatkan suatu benang merah dalam kaitannya dengan pencari keadilan. Benang merah yang dapat dilihat dari sisi kepentingan pencari keadilan. Disamping terpidana yang merasa tidak berdosa melakukan tindak pidana yang selanjutnya berhak mengajukan permohonan peninjauan kembali, tercuat adanya keinginan pihak lain diluar terdakwa untuk melakukan hal yang sama. Pihak tersebut adalah jaksa, korban, keluarga korban dan pihak ketiga yang berkepentingan yang merasa bahwa putusan pengadilan terhadap terdakwa adalah suatu putusan pengadilan yang salah. (Soeparman: 5). Pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa, korban, keluarga korban, pihak ketiga yang berkepentingan masih menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi dasar hukum bagi mereka yang mengajukan upaya hukum tersebut, mengingat bahwa hak untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali berdasarkan Undang- Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, hanya dimiliki oleh terpidana atau ahli warisnya. Salah satu contoh kasus yang banyak menarik perhatian publik ialah kasus Djoko Tjandra.

23 Praktik pengajuan peninjauan kembali kemudian melangkah jauh, seakan meninggalkan tujuan yang hakiki, itulah yang terjadi dalam praktik yaitu pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan bebas. Praktik penerapan ketentuan tentang peninjauan kembali perlu dikaji secara mendalam dari sudut ilmu hukum pidana dengan pertimbangan 2 faktor, yakni: 1. Dilihat dari sudut pengaturan hukum acara pidana yang ada terutama KUHAP yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tidak memberikan kesempatan mengajukan peninjauan kembali bagi jaksa penuntut umum atau pihak korban dirasakan tidak memuaskan. 2. Munculnya kasus-kasus peninjauan kembali yang secara jurisprudensial secara tidak langsung telah membuka pintu bagi pihak kejaksaan mengajukan peninjauan kembali atas berbagai kasus yang diputuskan secara bebas atau bahkan setiap putusan yang oleh kejaksaan atau pihak korban dirasakan tidak memuaskan (Soeparman: 7).

24 DAFTAR PUSTAKA Hamzah Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. 2008. Marpaung Leden. Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. 2000. Soeparman Parman. Pengaturan Hak Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan. Bandung: PT. Refika Aditama. Yudowidagdo Hendrastanto, dkk. Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: PT. Bina Aksara. 1987. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-undang No. 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali Putusan yang telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap