BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Yetty Wadissa, 2014

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Azza Nuzullah Putri, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mengajarkan sains, guru harus memahami tentang sains. pengetahuan dan suatu proses. Batang tubuh adalah produk dari pemecahan

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut kita untuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Nia Azizah Indriyani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewi Murni Setiawati, 2013

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja

BAB I PENDAHULUAN. menjadi bisa bersikap tertentu. Dalam hal ini, belajar merupakan sebuah upaya

I. PENDAHULUAN. interaksi antara guru dan siswa (Johnson dan Smith di dalam Lie, 2004: 5).

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya sekedar penguasaan. kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

I. PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen penting dalam membentuk manusia yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Nuri Annisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Maimunah, 2014

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

Skripsi. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata I Program Studi Pendidikan Biologi.

BAB I PENDAHULUAN. Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (selanjutnya disebut IPA) diartikan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman pada kegiatan proses pembelajaran IPA. khususnya pada pelajaran Fisika di kelas VIII disalah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

IDENTIFIKASI KEMAMPUAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN BIOLOGI DITINJAU DARI ASPEK-ASPEK LITERASI SAINS

DAFTAR ISI PERNYATAAN... ABSTRAK... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

BAB I PENDAHULUA N A.

Capaian Aspek Hakikat Sains Guru Biologi SMA dan Penerapannya Dalam LKS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usep Soepudin, 2014

PENGARUH METODE INKUIRI TERBIMBING PADA PENGUASAAN KONSEP SISWA SMA DALAM PRAKTIKUM ANIMALIA

BAB I PENDAHULUAN. dan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA),

1. PENDAHULUAN. Sains merupakan ilmu yang berkaitan dengan cara mencari tahu dan proses

I. PENDAHULUAN. Seorang guru memiliki peran utama dalam keberhasilan peserta didik

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang berkaitan dengan cara

BAB I PENDAHULUAN. sering dimunculkan dengan istilah literasi sains (scientific literacy). Literasi

BAB I PENDAHULUAN. mengajar. Winkel (dalam Darsono dkk., 2000) mengungkapkan pengertian

BAB I PENDAHULUAN. bidang sains berada pada posisi ke-35 dari 49 negera peserta. dalam bidang sains berada pada urutan ke-53 dari 57 negara peserta.

BAB III PEMBAHASAN. pembelajaran yang semakin luas membawa banyak perubahan dalam dunia

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi. Sebagaimana dikemukakan oleh Sukmadinata (2004: 29-30) bahwa

PENINGKATAN KECAKAPAN AKADEMIK SISWA SMA DALAM PEMBELAJARAN FISIKA MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

BAB I PENDAHULUAN. mempersiapkan peserta didik mengikuti pendidikan menengah. Salah satu bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan fisika sebagai bagian dari pendidikan formal dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Inelda Yulita, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan masalah yang harus diselesaikan

BAB I PENDAHULUAN. Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini menjadi

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (Sains) merupakan ilmu yang berhubungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dengan tujuan pendidikan nasional dan tuntutan masyarakat. Kualitas pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Skor Maksimal Internasional

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sains pada hakekatnya dapat dipandang sebagai produk dan sebagai

2015 PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP PADA TEMA LIMBAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan pondasi awal dalam

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN DOMAIN KOMPETENSI DAN PENGETAHUAN SAINS SISWA SMP PADA TEMA PENCEMARAN LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Bab I ketentuan umum pada pasal 1 dalam UU ini dinyatakan bahwa :

2015 PENGEMBANGAN ASESMEN AUTENTIK UNTUK MENILAI KETERAMPILAN PROSES SAINS TERINTEGRASI PADA PEMBELAJARAN SISTEM EKSKRESI

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu upaya untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. knowledge, dan science and interaction with technology and society. Oleh

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran biologi di SMA menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak

I. PENDAHULUAN. penguasaan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip

BAB I PENDAHULUAN. proses penemuan (Depdiknas, 2003(a)). Oleh karena itu, tuntutan untuk terus. melakukan aktivitas ilmiah (Hidayat, 2013).

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya manusia yang bermutu. lagi dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global

I. PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu yang berkaitan dengan cara

BAB 1 PENDAHULUAN. semua potensi, kecakapan, serta karakteristik sumber daya manusia kearah yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryosubroto, 2009:2).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menunjukkan bahwa ilmu

PEMBELAJARAN INKUIRI BERBANTUAN MULTIMEDIA UNTUK MENINGKATKAN KERJA ILMIAH MAHASISWA NON EKSAKTA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pemahaman terhadap informasi yang diterimanya dan pengalaman yang

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi tantangan-tantangan global. Keterampilan berpikir kritis

2015 PENERAPAN MODEL INQUIRY PADA PEMBELAJARAN IPA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA SD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2016 PENGEMBANGAN MODEL DIKLAT INKUIRI BERJENJANG UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGI INKUIRI GURU IPA SMP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Gina Gusliana, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. Literasi sains didefinisikan oleh The National Science Education Standards

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adelia Alfama Zamista, 2015

MODEL PEMBELAJARAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT (STM)

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 40 Undang-Undang RI No 20 Tahun 2013 Pendidik dan Kependidikan berkewajiban :

I. PENDAHULUAN. Pengetahuan IPA yang sering disebut sebagai produk dari sains, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu pengetahuan yang

BAB I PENDAHULUAN. fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

2014 IDENTIFIKASI KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN SIKAP ILMIAH YANG MUNCUL MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS PRAKTIKUM PADA MATERI NUTRISI KELAS XI

BAB I PENDAHULUAN. bahwa pengetahuan sebagai kerangka fakta-fakta yang harus dihafal.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Proses pembelajaran pada dasarnya merupakan transformasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi

Peningkatan Hasil Belajar Siswa Pada Pembelajaran Ipa Materi Pokok Sifat -Sifat Cahaya Melalui Pendekatan Keterampilan Proses Sains)

BAB I PENDAHULUAN. (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis,

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat menuntut harus memiliki sumber daya manusia yang cerdas serta terampil. Dapat diperoleh dan dikembangkan melalui pendidikan IPA (sains) yang berperan dalam mempersiapkan siswa untuk mampu berfikir kritis, kreatif, dan logis. Pendidikan sains diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa dalam mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam secara ilmiah (BSNP, 2006). Tujuan pendidikan IPA ini sejalan dengan konsep hakikat sains menurut Sterling et al., (2010), yang menyatakan siswa dituntut untuk mencapai aspek-aspek hakikat sains yang meliputi pengetahuan yang merupakan bukti ilmiah, bersifat tidak mutlak, menggunakan imajinasi dan kreativitas dengan cara proses penemuan (inkuiri) oleh siswa. Hakikat sains penting agar siswa dapat memiliki kesadaran tentang literasi sains yang diwujudkan melalui pemahaman hakikat sains, sebab inti dari literasi sains adalah hakikat sains (Lederman et al., 2006). Untuk mengajarkan sains khususnya biologi guru harus memahami hakikat sains (The Nature of Science/ NOS). Menurut Lederman et al., (Wenning, 2006a) mendefinisikan hakikat sains (The Nature of Science) sebagai karakteristik pengetahuan ilmiah yang berurusan dengan sifat empirisnya, sifat kreatif dan imajinatifnya, karakteristik teorinya, hakikat sosial budayanya dan sifat tentatifnya. Lederman (Wenning & Rebecca, 2006) menyebutkan bahwa secara khusus hakikat sains (NOS) mengacu pada epistemologi dan sosiologi sains, yaitu sebagai cara untuk mengetahui, atau suatu nilai-nilai yang melekat pada sains dan

2 pengembangannya. Lebih lanjut Wenning (2006a) mendefinisikan hakikat sains (The Nature of Science/ NOS) sebagai pemahaman tentang isi dan sejarah sains dilengkapi dengan pengetahuan ilmiah, keterampilan proses intelektual, kaidah-kaidah bukti ilmiah, postulat sains, watak ilmiah, dan miskonsepsi mengenai sains. Sesuai dengan hasil field study (Waelissa, 2012) guru belum dapat melaksanakan pembelajaran biologi yang membuat siswa aktif dalam menemukan pengetahuan dengan menjelajah alam sekitar. Umumnya pembelajaran masih didominasi oleh penggunaan metode ceramah, aktivitas siswa hanya mendengarkan penjelasan guru dan mencatat hal-hal yang dianggap penting. Hal ini mungkin disebabkan karena lemahnya guru dalam memahami hakikat sains sehingga pembelajaran biologi umumnya masih berpusat pada guru (teacher centered). Padahal Biologi sebagai salah satu bidang sains menyediakan berbagai pengalaman belajar untuk memahami konsep dan proses sains tersebut (Depdiknas, 2006). Hal yang sama juga diungkapkan Khishfe dan Khalick (2002) bahwa guru masih lemah dalam memahami hakikat sains. Guru tidak percaya bahwa penyelidikan ilmiah melekat pada tahap-tahap pengetahuan sebagai metode ilmiah dan teori adalah hukum-hukum yang belum matang. Guru tidak melakukan dan mendukung pembelajaran di kelas dengan hakikat sains, akibatnya mereka salah dalam mengasumsikan tentang inkuiri yang memandu pemahaman terhadap hakikat sains. Dampak negatif dari lemahnya guru dalam memahami hakikat sains adalah guru tidak mengerti cara mengajarkan sains dan pada akhirnya, siswa tidak mengerti pula tentang sains. Ilmu yang diajarkan kurang dihubungkan dengan kejadian yang terjadi sehari-hari, sehingga siswa banyak yang tidak melihat hubungan antara yang dipelajari di kelas dengan yang mereka ketahui di kehidupan sehari-hari (Bell, 2009). Dengan demikian literasi hakikat sains sangat penting bagi guru biologi terutama terkait dengan keterlibatannya dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Kurikulum 2013 yang menekankan pada pendekatan ilmiah

3 (scientific) menuntut guru harus memahami hakikat sains bukan hanya sebagai tubuh pengetahuan (body knowledge) tetapi juga memahami metode atau proses memperoleh pengetahuan dan menerapkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilan dalam situasi nyata. Sementara itu, lemahnya kemampuan siswa Indonesia dalam bidang sains terbukti dari hasil penelitian tentang assesmen hasil belajar sains pada level internasional yang diselenggarakan oleh OECD. Siswa hanya mampu mengingat pengetahuan ilmiah berdasarkan fakta sederhana dan menggunakan pengetahuan ilmiah untuk menarik atau mengevaluasi suatu kesimpulan. Siswa diduga belum mampu menggunakan konsep ilmiah untuk melakukan prediksi dan menjelaskan konsep sains, belum mampu mengenali pertanyaan yang dapat dijawab dengan penyelidikan ilmiah, belum mampu memilih informasi yang relevan dari sekian banyak data dan argumen yang digunakan untuk menarik kesimpulan dari suatu fenomena sains (Rustaman, 2009). Rendahnya kemampuan siswa Indonesia dalam bidang sains tidak terlepas dari kemampuan guru melaksanakan suatu percobaan yang bersifat menguji dan bahkan menemukan suatu konsep biologi. Biologi sebagai salah satu pembelajaran sains memiliki empat tujuan yaitu mengajarkan fakta-fakta Biologi, mengembangkan kemampuan, mengajarkan keterampilan dan mendorong sikap yang nyata (Rustaman, 2003). Untuk mencapai tujuan tersebut maka para guru Biologi perlu memiliki pemahaman tentang hakekat sains serta kemampuan untuk mengemukakan pembelajaran biologi berbasis inkuiri. Seperti yang disarankan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (2006) yaitu pembelajaran sains sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek kecakapan hidup. Selain itu The National Science Teacher Association (NSTA & AETS, 2003) mendefinisikan penyelidikan ilmiah sebagai cara yang

4 ampuh untuk memahami isi sains, siswa belajar bagaimana bertanya dan menggunakan bukti untuk menjawab pertanyaan tersebut. Guru sains yang profesional memiliki pengetahuan, memahami hakikat sains, memahami pengetahuan ilmiah, memahami materi sains secara mendalam dan fleksibel, dan menguasai cara mengajar dalam pembelajaran. Semua itu tercapai apabila guru memahami hakikat sains. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh NSTA (2003) bahwa memahami hakikat sains dan melakukan inkuiri merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki guru sains dan sebagai standar penting dalam pembekalan guru sains (NSTA & AETS, 2003). Sementara itu, miskonsepsi mengenai sains yang dinyatakan oleh MacComas (1998) perlu dipahami guru dan menjadi fokus program pendidikan guru. Menurut MacComas (1998) miskonsepsi mengenai sains merupakan beberapa pandangan yang belum benar mengenai sains, salah satunya adalah peran kreativitas dalam sains yakni metode ilmiah. Miskonsepsi mengenai sains ini dikenal sebagai mitos sains. Tim dosen Fakultas MIPA jurusan Pendidikan Biologi UPI memiliki program pendampingan guru-guru biologi SMA di kabupaten Bandung yang tergabung dalam MGMP Biologi. Program pendampingan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam berinkuiri. Selama pendampingan guru-guru dibekali dengan literasi hakikat sains. Untuk itu penting diteliti bagaimanakah literasi hakikat sains guru biologi SMA di kabupaten Bandung yang tidak mengikuti pendampingan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, adapun yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah literasi hakikat sains guru Biologi SMA kabupaten Bandung?

5 C. Pertanyaan Penelitian Agar penelitian lebih terarah maka rumusan masalah tersebut di atas dijabarkan kedalam pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimanakah tingkat literasi hakikat sains guru Biologi SMA di kabupaten Bandung? 2. Kendala (kesulitan) apa saja yang dihadapi guru Biologi SMA di kabupaten Bandung dalam memahami tiap aspek hakikat sains? D. Batasan Masalah Agar penelitian ini terarah, ruang lingkup penelitian dibatasi pada hal-hal sebagai berikut. 1. Subyek penelitian yang dianalisis adalah guru-guru Biologi SMA yang tergabung dalam MGMP Biologi di kabupaten Bandung dan tidak mengikuti pendampingan. 2. Literasi hakikat sains dalam penelitian ini berdasarkan pada aspek hakikat sains (nature of Science/ NOS) menurut Wenning (2006a) yang meliputi: pengetahuan ilmiah (scientific knowledge), keterampilan proses intelektual (intellectual process skills), kaidahkaidah bukti ilmiah (rules of scientific evidence), postulat sains (postulates of science), watak ilmiah (scientific disposition), dan miskonsepsi mengenai sains (major misconceptions about science) E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai literasi hakikat sains guru-guru Biologi SMA yang tergabung dalam MGMP Biologi di kabupaten Bandung, dan mendeskripsikan kendala (kesulitan) yang dihadapi guru-guru Biologi dalam memahami tiap aspek hakikat sains.

6 F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Manfaat bagi guru a. Mendalami tingkat literasi hakikat sains masing-masing b. Menambah wawasan bagi guru terhadap hakikat sains melalui soalsoal hakikat sains yang diberikan 2. Manfaat bagi peneliti Proses dan hasil dari penelitian ini dapat menjadi dasar untuk merancang pelatihan yang fokus pada mengaktifkan kegiatan siswa dan pengembangan profesi guru biologi. 3. Manfaat bagi peneliti lain Proses dan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian, rujukan, atau pembanding bagi penelitian yang sedang atau akan dilakukan, sehingga akan memperkaya dan melengkapi hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan dalam kajian sejenis.