Penentuan Parameter Fisis Hilal Sebagai Usulan Kriteria Visibilitas di Wilayah Tropis

dokumen-dokumen yang mirip
PENENTUAN PARAMETER FISIS HILAL SEBAGAI USULAN KRITERIA VISIBILITAS DI WILAYAH TROPIS

KONSEP BEST TIME DALAM OBSERVASI HILAL MENURUT MODEL VISIBILITAS KASTNER

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

USULAN KRITERIA VISIBILITAS HILAL DI INDONESIA DENGAN MODEL KASTNER CRITERIA OF HILAL VISIBILITY IN INDONESIA BY USING KASTNER MODEL

Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

HASIL OBSERVASI BULAN SABIT JANUARI 2007 JANUARI 2008 RUKYATUL HILAL INDONESIA

VISIBILITAS HILAL DALAM MODUS PENGAMATAN BERBANTUAN ALAT OPTIK DENGAN MODEL KASTNER YANG DIMODIFIKASI

BAB III METODE PENELITIAN

ANALISIS VISIBILITAS HILAL PENENTU AWAL RAMADHAN DAN SYAWAL 1433 H DENGAN MODEL FUNGSI VISIBILITAS KASTNER

Ketajaman Mata Dalam Kriteria Visibilitas Hilal

Variasi Lokal Dalam Visibilitas Hilaal: Observasi Hilaal di Indonesia Pada

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PENENTUAN AWAL BULAN QOMARIAH DI INDONESIA BERDASARKAN DATA PENGAMATAN HILAL BMKG

ANALISIS PEMIKIRAN KRITERIA IMKAN AR-RUKYAH. MOHD. ZAMBRI ZAINUDDIN dan APLIKASI di INDONESIA

BAB III METODE PENELITIAN

Hisab dan Rukyat Setara: Astronomi Menguak Isyarat Lengkap dalam Al-Quran tentang Penentuan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah

Abdul Rachman dan Thomas Djamaluddin Peneliti Matahari dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Proposal Ringkas Penyatuan Kalender Islam Global

IMKAN RUKYAT: PARAMETER PENAMPAKAN SABIT HILAL DAN RAGAM KRITERIANYA (MENUJU PENYATUAN KALENDER ISLAM DI INDONESIA)

KRITERIA VISIBILITAS HILAL RUKYATUL HILAL INDONESIA (RHI) (KONSEP, KRITERIA, DAN IMPLEMENTASI)

1 ZULHIJJAH 1430 HIJRIYYAH DI INDONESIA Dipublikasikan Pada Tanggal 11 November 2009

ASTRONOMI MEMBERI SOLUSI PENYATUAN UMMAT

KAJIAN ALGORITMA MEEUS DALAM MENENTUKAN AWAL BULAN HIJRIYAH MENURUT TIGA KRITERIA HISAB (WUJUDUL HILAL, MABIMS DAN LAPAN)

BAB II TEORI VISIBILITAS HILAL

Abdul Rachman dan Thomas Djamaluddin Peneliti Matahari dan Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

BAB IV ANALISIS SISTEM HISAB AWAL BULAN QAMARIAH DR. ING. KHAFID DALAM PROGRAM MAWAAQIT. A. Analisis terhadap Metode Hisab Awal Bulan Qamariah dalam

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan metode yang berbeda dalam menetapkan awal bulan hijriyah.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III PEMIKIRAN MUH. MA RUFIN SUDIBYO TENTANG KRITERIA VISIBILITAS HILAL RHI

Tugas Penulisan Karya Tulis Ilmiah (Materi : Batasan dan Ragam KTI)

2015 PENGARUH FASE AKTIF DAN TENANG MATAHARI TERHADAP KECERAHAN LANGIT MALAM TERKAIT VISIBILITAS OBJEK LANGIT

LAMPIRAN FOTO 1. : Wakil Ketua Majelis Tarjih Tajdid PP. Muhammadiyah

BAB IV KELAYAKAN PANTAI PANCUR ALAS PURWO BANYUWANGI SEBAGAI TEMPAT RUKYAH DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH

Imkan Rukyat: Parameter Penampakan Sabit Hilal dan Ragam Kriterianya (MENUJU PENYATUAN KALENDER ISLAM DI INDONESIA)

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PENENTUAN KETINGGIAN HILAL PERSPEKTIF ALMANAK NAUTIKA DAN EPHEMERIS

BAB 1V ANALISIS PENGARUH ATMOSFER TERHADAP VISIBILITAS HILAL DAN KLIMATOLOGI OBSERVATORIUM BOSSCHA DAN AS-SALAM

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN ARAH KIBLAT DENGAN MENGGUNAKAN AZIMUT PLANET. A. Algoritma Penentuan Arah Kiblat dengan Metode Azimut Planet

BAB IV ANALISIS KELAYAKAN BUKIT WONOCOLO BOJONEGORO SEBAGAI TEMPAT RUKYAT DALAM PENENTUAN AWAL BULAN KAMARIAH

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1) Dalam Ilmu Syari ah

Awal Ramadan dan Awal Syawal 1433 H

Macam-macam Waktu. Universal Time dan Dynamical Time

SOAL SELEKSI PESERTA OLIMPIADE SAINS NASIONAL BIDANG ASTRONOMI

OBSERVASI HILĀL DI INDONESIA DAN SIGNIFIKANSINYA DALAM PEMBENTUKAN KRITERIA VISIBILITAS HILĀL

MODEL SPASIAL WAKTU NAUTICAL

IMPLEMENTASI KALENDER HIJRIYAH GLOBAL TUNGGAL

BAB IV ANALISIS KONSEP MUH. MA RUFIN SUDIBYO TENTANG KRITERIA VISIBILITAS HILAL RHI. A. Kriteria Visibilitas Hilal RHI Perspetif Astronomi

INFORMASI ASTRONOMIS HILAL DAN MATAHARI SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 8 DAN 9 SEPTEMBER 2010 PENENTU AWAL BULAN SYAWWAL 1431 H

HISAB RUKYAT DALAM ASTRONOMI MODERN. T. Djamaluddin 1

Hisab dan rukyat - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklop...

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 2 JUNI 2011 M PENENTU AWAL BULAN RAJAB 1432 H

TATA KOORDINAT BENDA LANGIT. Kelompok 6 : 1. Siti Nur Khotimah ( ) 2. Winda Yulia Sari ( ) 3. Yoga Pratama ( )

Mengkaji Konsep Kalender Islam Internasional Gagasan Mohammad Ilyas

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

BAB III METODE PENELITIAN

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

BAB IV ANALISIS PERHITUNGAN TIM HISAB DAN RUKYAT HILAL SERTA PERHITUNGAN FALAKIYAH PROVINSI JAWA TENGAH

Temperatur dan Kelembaban Relatif Udara Outdoor

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Perkembangan pembangunan dan laju pertumbuhan penduduk

BAB IV ANALISIS KELAYAKAN PANTAI KARTINI JEPARA SEBAGAI TEMPAT RUKYAT AL-HILAL A. Faktor yang Melatarbelakangi Penggunaan Pantai Kartini Jepara

PERHITUNGAN AWAL WAKTU SHALAT DATA EPHEMERIS HISAB RUKYAT Sriyatin Shadiq Al Falaky

Waktu Shubuh: Tinjauan Pengamatan Astronomi

BAB II TINJAUAN UMUM IMKAN AR- RUKYAH DAN VISIBILITAS HILAL

I. INFORMASI METEOROLOGI

BAB IV ANALISIS UJI KELAYAKAN TEMPAT RUKYAT AL-HILAL DI PANTAI ALAM INDAH TEGAL. A. Analisis Dasar Pertimbangan Pantai Alam Indah Tegal Dijadikan

I. INFORMASI METEOROLOGI

BAB I PENDAHULUAN. Lapisan udara yang melindungi bumi disebut atmosfer 1. Atmosfer juga

BAB I PENDAHULUAN. hal yang penting dalam ketepatan penentuannya. Hal ini dikarenakan pada

Penentuan Awal Bulan Qomariah

BAB IV UJI AKURASI AWAL WAKTU SHALAT SHUBUH DENGAN SKY QUALITY METER. 4.1 Hisab Awal Waktu Shalat Shubuh dengan Sky Quality Meter : Analisis

ANALISIS FOTOMETRI KONTRAS VISIBILITAS HILAL TERHADAP CAHAYA SYAFAQ SINOPSIS TESIS

MODEL MATERI PENGETAHUAN SUDUT DALAM PERKULIAHAN IPBA BAGI MAHASISWA FISIKA DAN APLIKASINYA DALAM MEMAHAMI JARAK ANTARBENDA-LANGIT (CELESTIAL BODIES)

PENGERTIAN DAN PERBANDINGAN MADZHAB TENTANG HISAB RUKYAT DAN MATHLA'

Penentuan Awal Bulan Qamariyah & Prediksi Hisab Ramadhan - Syawal 1431 H

Menghitung Konjungsi: Tanpa Komputer? Tidak Masalah!

I. INFORMASI METEOROLOGI

BAB II RUKYAT AL-HILAL AWAL BULAN KAMARIAH. Rukyat al-hilal terdiri atas dua kata bahasa Arab, yakni rukyat dan

SOAL SELEKSI OLIMPIADE SAINS TINGKAT KABUPATEN/KOTA 2014 CALON TIM OLIMPIADE ASTRONOMI INDONESIA 2015

Gerhana Bulan Total 31 Januari 2018

Mam MAKALAH ISLAM. Pusat Observatorium Bulan (POB) Tgk. Chiek Kuta Karang Aceh

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

: Jarak titik pusat benda langit, sampai dengan Equator langit, di ukur sepanjang lingkaran waktu, dinamakan Deklinasi. Jika benda langit itu

BAB III METODE PENELITIAN

KAJIAN FIQIH SAINS TERHADAP KECERLANGAN HILAL SEBAGAI PRASYARAT TERLIHAT HILAL KRITERIA DANJON DAN KRITERIA DJAMALUDDIN

AS Astronomi Bola. Suhardja D. Wiramihardja Endang Soegiartini Yayan Sugianto Program Studi Astronomi FMIPA Institut Teknologi Bandung

PREDIKSI KEMUNGKINAN TERJADI PERBEDAAN PENETAPAN AWAL RAMADHAN 1433 H DI INDONESIA. Oleh : Drs. H. Muhammad, MH. (Ketua PA Klungkung)

BAB III METODE PENELITIAN

Daftar Pustaka. Abdul Baqi, Muhammad Fuad, 1981, al-mu jam al-mufahras: Li al-faadi-l-qur anil-karim, Beirut: Daar al-fikr.

JAWABAN DAN PEMBAHASAN

Muchtar Salimi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS MATERI IPBA DALAM KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)

I. INFORMASI METEOROLOGI

BAB IV ANALISIS EFEK POLUSI CAHAYA TERHADAP PELAKSANAAN RUKYAT

BAB III PENGAMATAN FOTOMETRI CCD

Telaah Indikator Arah Kiblat melalui bayang bayang oleh Matahari pada saat di dekat zenith Ka bah

Menghitung Konjungsi: Tanpa Komputer? Tidak Masalah!

FOTOMETRI OBJEK LANGIT

BAB IV ANALISIS PEDOMAN WAKTU SHALAT SEPANJANG MASA KARYA SAĀDOE DDIN DJAMBEK. A. Analisis Metode Hisab Awal Waktu Salat Saādoe ddin Djambek dalam

INFORMASI HILAL SAAT MATAHARI TERBENAM TANGGAL 23 JANUARI 2012 M PENENTU AWAL BULAN RABI UL AWAL 1433 H

Transkripsi:

Penentuan Parameter Fisis Hilal Sebagai Usulan Kriteria Visibilitas di Wilayah Tropis Judhistira Aria Utama 1,* dan Hilmansyah 1 1 Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia * Email: j.aria.utama@upi.edu Abstrak. Hingga saat ini umat Islam Indonesia belum menyepakati suatu kriteria tunggal bagi visibilitas hilal yang memiliki landasan ilmiah kokoh. Dalam naskah ini dibahas tentang penentuan ketinggian optimal hilal yang dapat diamati dengan mata telanjang maupun bantuan alat optik semisal binokuler ataupun teleskop untuk memberikan landasan teori bagi salah satu kriteria yang dianut Kementerian Agama RI selama ini. Penelitian dilakukan dengan memanfaatkan data kesaksian mengamati hilal yang telah dihimpun oleh Kementerian Agama RI (1962 2011), lembaga Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) selama kurun waktu 2007 2009, dan data global yang dibatasi untuk wilayah tropis (lintang geografis ± 23,5 0 ). Pembahasan tidak semata berdasarkan konfigurasi geometri ketiga benda langit terkait (Matahari Bumi Bulan), namun turut mempertimbangkan faktor kecerahan langit senja mengikuti model Kastner. Selain ketinggian optimal, juga berhasil diturunkan parameter fisis lainnya meliputi beda tinggi, jarak sudut/elongasi, umur Bulan pascakonjungsi, beda azimut, lag time, dan tebal tengah sabit Bulan. Hasil yang diperoleh dapat menjadi pijakan awal bagi sebuah kriteria visibilitas hilal di wilayah tropis, termasuk Indonesia. Parameter fisis hilal yang diturunkan di atas bersifat dinamis, artinya masih dapat berubah disesuaikan dengan jumlah data pengamatan yang tersedia dan valid secara keilmuan. Kata kunci: Kecerahan Langit Senja, Kriteria Visibilitas Hilal, Model Kastner, Parameter Fisis Hilal PENDAHULUAN Upaya memprediksi kenampakan hilal (sabit Bulan yang terbentuk pascakonjungsi) telah dilakukan oleh para pengamat langit sejak era Babilonia hingga zaman modern. Prediksi kenampakan ini melibatkan berbagai disiplin ilmu, tidak saja astronomi posisi, melainkan juga optika, meteorologi, dan fisiologi [1]. Bila optika berkaitan dengan proses perambatan cahaya dari sumber di luar atmosfer hingga tiba di detektor di permukaan Bumi, meteorologi berperan dalam menyediakan informasi dinamika atmosfer lokal yang direpresentasikan ke dalam parameter temperatur, kelembaban, dan tekanan udara serta kandungan aerosol yang berkenaan dengan kadar transparansi atmosfer setempat. Sementara itu fisiologi berhubungan dengan bagaimana detektor, dalam hal ini mata manusia, merespon informasi berupa foton yang tiba dari sumber. Pada saat ini dapat dijumpai beragam kriteria visibilitas atau kenampakan hilal, namun tidak ada kriteria yang berlaku universal untuk seluruh lintang geografis [1]. Secara umum terdapat kesamaan ide dalam seluruh kriteria yang memprediksi kenampakan hilal, yaitu diperlukannya kontras minimum untuk memungkinkan hilal dapat diamati [1]. Kontras didefinisikan sebagai rasio antara iluminansi (illuminance) hilal terhadap kecerahan (brightness) langit senja. Dalam penelitian ini, kecerahan langit senja diperoleh menggunakan formula aproksimasi Kastner [2] atas grafik distribusi kecerahan langit senja faktual (sebagai fungsi sudut depresi Matahari, jarak zenit objek, dan azimut relatif antara objek dan Matahari) yang diperoleh Barteneva & Boyarova [3].

Uji kehandalan model kecerahan langit senja Kastner atas data laporan hasil pengamatan hilal dan Bulan sabit tua dapat dijumpai dalam Utama [4] dan Utama & Efendi [5]. Berangkat dari uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh besaran-besaran fisis hilal yang dapat diamati pascakonjungsi untuk wilayah tropis dengan beragam modus pengamatan (mata telanjang dan berbantuan binokuler/teleskop). METODE Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari laporan keberhasilan mengamati hilal di seluruh wilayah Indonesia dalam kurun waktu 1962 2011 yang dikompilasi oleh Kementerian Agama (KEMENAG) RI, basis data Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) selama periode 2007 2009 yang dibatasi hanya untuk kasus dengan lag time 60 menit, dan data global yang dikompilasi Odeh [6] yang telah mengalami penyeleksian terbatas untuk wilayah tropis (lintang geografis ± 23,5 0 ). Berkenaan dengan data KEMENAG yang memberikan parameter fisis (tinggi hilal, elongasi, dan umur Bulan) saat diamati yang relatif lebih rendah daripada nilai-nilai yang dianut secara internasional, Djamaluddin [7] melakukan seleksi untuk hanya menyertakan data yang dapat dipercaya keabsahannya dari sisi keilmuan di samping sisi syar i (para pengamat telah disumpah di hadapan petugas Pengadilan Tinggi Agama setempat). Seluruh data dari ketiga sumber selanjutnya diseleksi menggunakan model distribusi langit senja Kastner, sehingga hanya laporan yang memiliki kontras positif yang akan digunakan untuk memperoleh kriteria visibilitas hilal di wilayah tropis. Nilai-nilai parameter fisis hilal (ketinggian a, beda tinggi Bulan Matahari ARCV, jarak sudut/elongasi ARCL, umur Bulan pascakonjungsi, beda azimut DAZ, lag time yaitu beda waktu terbenam Matahari dan Bulan, dan tebal tengah sabit Bulan w) yang digunakan sebagai kriteria diperoleh dari nilai rata-rata seluruh kasus pada saat kontras maksimum dicapai. Dalam model Kastner, kontras maksimum ditandai dengan puncak kurva visibilitas hilal untuk masing-masing modus pengamatan. Bila dalam suatu kasus pengamatan hilal digunakan dua atau tiga modus berbeda yang semuanya memberikan laporan positif atas kenampakan hilal, pengujian kontras hanya dilakukan untuk modus yang paling sederhana dengan panduan berikut ini: pengamatan mata telanjang lebih sederhana dibandingkan pengamatan berbantuan binokuler maupun teleskop dan pengamatan menggunakan binokuler lebih sederhana dibandingkan pengamatan dengan teleskop. HASIL DAN DISKUSI Setelah melalui seleksi kontras, diperoleh 46 buah data dengan rincian 35 data untuk modus mata telanjang (4 data KEMENAG, 15 data RHI, dan 16 data Odeh), 8 data dengan modus pengamatan berbantuan binokuler (6 data Odeh dan 2 data RHI), serta 3 buah data untuk pengamatan yang menggunakan alat bantu teleskop yang seluruhnya berasal dari data Odeh. Karena tidak diketahuinya ukuran binokuler maupun teleskop yang digunakan dalam pengamatan, dalam perhitungan visibilitas hilal untuk masing-masing kasus menggunakan model Kastner diasumsikan penggunakan binokuler dan teleskop yang masing-masing menghasilkan perbesaran sudut 10x dan 50x. Kontras maksimum yang digunakan untuk memperoleh parameter-parameter fisis hilal untuk ketiga modus pengamatan yang berbeda ditunjukkan dalam gambar 1 berikut ini.

dari nilai optimal tersebut memungkinkan diperlukannya alat bantu untuk tetap dapat mengesani sosok hilal. Bagaimana penjelasan untuk nilai ketinggian hilal dari horison yang justru lebih kecil daripada nilai untuk modus pengamatan menggunakan alat bantu? Hal ini dapat dipahami sebagai berikut. Kecerahan langit senja diyakini berhubungan dengan lintang geografis, ketinggian lokasi dari permukaan laut, musim, dan kandungan aerosol di atmosfer [8]. Menggunakan model Kastner dapat ditunjukkan profil distribusi kecerahan langit senja di horison seperti dalam gambar 2. GAMBAR 1. Kurva visibilitas hilal untuk kasus pengamatan mata telanjang (atas, data 17 Oktober 2001), berbantuan binokuler (tengah, data 13 Mei 2002), dan menggunakan teleskop (bawah, data 2 Mei 2003). Penggunaan alat bantu pengamatan membantu meningkatkan kontras pada saat Matahari terbenam dibandingkan modus mata telanjang. Nilai rata-rata ketujuh buah parameter fisis hilal berdasarkan data terseleksi pada saat fungsi visibilitas mencapai maksimum untuk masingmasing kasus hilal dengan beragam modus pengamatan ditampilkan dalam tabel 1. Berdasarkan tabel 1, parameter fisis hilal untuk modus pengamatan mata telanjang secara konsisten bernilai lebih besar daripada nilai-nilai untuk pengamatan dengan bantuan binokuler maupun teleskop kecuali untuk parameter ketinggian hilal dari horison. Nilai nilai parameter ARCV, ARCL, DAZ, umur, lag time, dan w untuk modus pengamatan mata telanjang pada saat kontras maksimum dapat dipandang sebagai nilai-nilai optimal yang dapat dicapai sejauh dipenuhinya syarat perlu berikut ini: (1) kondisi atmosfer yang bersih dan (2) tidak ada kendala cuaca maupun gangguan pandangan objek-objek terestrial di arah hilal berada. Dengan demikian, untuk nilai-nilai yang kurang GAMBAR 2. Profil distribusi kecerahan langit senja di horison untuk berbagai nilai sudut depresi Matahari. Semakin jauh dari posisi terbenamnya Matahari (azimut relatif= 0 derajat), kecerahan langit senja berkurang sebelum akhirnya mencapai harga yang konstan di azimut relatif tertentu. Pada saat Matahari tepat terbenam (lengkungan atas Matahari berada di horison), tidak serta-merta kondisi di horison menjadi gelap gulita. Hamburan sinar Matahari oleh partikel-partikel di atmosfer membuat kondisi langit senja di dekat horison masih cukup terang untuk dapat mengesani suatu objek redup. Untuk hilal yang berada di ketinggian tertentu dari horison, pengamatan yang dilakukan dengan mata telanjang tidak akan berhasil mengesaninya selama kecerahan langit senja masih lebih dominan daripada iluminansi hilal. Karena pengamatan menggunakan alat bantu dapat mereduksi kecerahan langit senja dengan signifikan, maka terdapat kesempatan untuk dapat mengesani hilal bersangkutan di ketinggian tersebut ketika iluminansinya telah menjadi lebih dominan atas kecerahan langit

senja. Dengan kata lain, hilal dapat diamati saat masih berada di posisi yang relatif lebih tinggi daripada bila pengamatan dilakukan menggunakan modus mata telanjang. Karena dapat diamati lebih awal, ketinggian optimal hilal dengan modus pengamatan menggunakan alat bantu relatif lebih tinggi dibandingkan ketinggian yang dimilikinya dalam modus pengamatan mata telanjang. TABEL 1. Rata-rata nilai parameter fisis hilal pada saat kontras mencapai nilai maksimumnya Parameter Fisis Mata Telanjang Binokuler/Teleskop Ketinggian (a, derajat) 1,92 2,29 Beda tinggi (ARCV, derajat) 11,45 9,99 Elongasi (ARCL, derajat) 12,57 10,20 Beda azimut (DAZ, derajat) 4,96 2,20 Umur pascakonjungsi ( jam) 24,07 20,84 Lag (menit) 48 41 Tebal tengah sabit (w, menit busur) 0,40 0,25 Dalam penelitian ini, rata-rata nilai parameter fisis hilal saat kontras mencapai nilai maksimum diusulkan sebagai batas bawah bagi kriteria kenampakan hilal di wilayah tropis. Ketinggian hilal dalam modus pengamatan mata telanjang sebesar ~ 2 derajat yang diperoleh di atas dapat menjelaskan kriteria ketinggian hilal 2 derajat yang digunakan oleh Kementerian Agama RI selama ini. Model Kastner dapat menjadi landasan teori bagi kriteria tersebut. Nilai ketinggian hilal 2 derajat sebagai nilai optimum juga diperoleh Sultan [9] menggunakan rasio kontras terhadap ambang kontras Blackwell untuk situasi geometri yang sempurna (DAZ = 0 derajat). Parameter ARCV terlihat memerlukan nilai yang tinggi, yaitu ~ 11,5 derajat. Nilai ini lebih besar daripada yang diadopsi oleh Djamaluddin [10] menggunakan hasil Ilyas [11], Caldwel & Laney [12], dan Sudibyo et al. [13], yaitu ARCV > 4 derajat yang digunakan bersama-sama dengan ARCL > 6,4 derajat. Hasil penelitian ini dekat dengan perolehan Sopwan & Raharto [14], yang melalui studi teoretik hilal metonik mendapati rentang ARCV untuk kasus hilal yang mudah diamati dengan mata telanjang sebesar 10 11 derajat. Rata-rata parameter ARCL yang diperoleh dalam penelitian ini ~ 12,6 derajat, lebih besar daripada yang diusulkan Fatoohi et al. [15], yaitu sebesar 7,5 derajat, namun relatif dekat dengan nilai yang diperoleh Ilyas [16] sebesar ~ 10 derajat. Sopwan & Raharto [14] memberikan variasi ARCL untuk kasus hilal yang dapat diamati dengan modus pengamatan mata telanjang. Untuk hilal dekat ekuinoks (titik musim semi/bulan Maret atau musim gugur/bulan September) diperoleh variasi ARCL 13,5 15,5 derajat, hilal dekat solstis (titik musim panas/bulan Juni atau musim dingin/ bulan Desember) 12,5 13,5 derajat, dan hilal dekat aphelion (jarak terjauh Bumi ke Matahari) serta perihelion (jarak terdekat Bumi ke Matahari) sekitar 11,5 12,5 derajat. Sementara untuk kasus hilal yang hanya dapat diamati dengan bantuan alat optik, mereka mendapati variasi ARCL terjadi dalam rentang yang lebih sempit, yaitu 6,4 7 derajat, lebih kecil dibandingkan nilai yang diperoleh dalam penelitian ini (~ 10 derajat). Parameter DAZ dapat dihubungkan dengan parameter lainnya, yaitu ARCV. Baik kriteria Maunder maupun Indian Ephemeris [6] memberikan hasil interpolasi ARCV masingmasing sebesar 10,5 derajat dan 10 derajat untuk DAZ sama dengan 5 derajat. Hasil yang ditunjukkan dalam tabel 1 cukup dekat dengan nilai-nilai di atas, yaitu ARCV sebesar 11,5 derajat untuk DAZ ~ 5 derajat. Berdasarkan profil kecerahan langit senja dalam gambar 2, dengan bertambah besarnya DAZ, nilai ARCV yang diperlukan sebagai syarat dapat diamatinya hilal akan cenderung konstan. Kriteria Babilonia yang dikenal sebagai kriteria kenampakan hilal tertua menggunakan parameter umur Bulan pascakonjungsi dan lag

time. Menurut kriteria ini, agar hilal dapat diamati, maka umur Bulan harus > 24 jam pascakonjungsi dan lag time > 48 menit. Nilai rata-rata kedua parameter di atas yang diperoleh dalam penelitian ini bersesuaian dengan nilainilai minimal tersebut, yaitu umur Bulan ~ 24,1 jam dan lag time sebesar 48 menit. Bagaimanapun, agar dapat memberikan prediksi yang memuaskan, parameter umur Bulan dan lag time harus diterapkan bersamaan. Dengan alasan bahwa penggunakan binokuler dan teleskop dapat membantu pengamat menjadi lebih jeli sekaligus mereduksi kecerahan langit senja, dapat dipahami bila umur Bulan yang dapat diamati relatif lebih muda (~ 21 jam) dan lag time yang diperlukan lebih singkat (~ 41 menit). Sudibyo et al. [13] mendapati bahwa pada modus pengamatan berbantuan alat, secara teoretik hilal dapat diamati tepat saat Matahari terbenam bila lag time bernilai 40 menit. Hasil tersebut bersesuaian dengan nilai rata-rata lag time yang diperoleh dalam penelitian ini, yaitu 41 menit. Bruin [17], Yallop [18], dan Odeh [6] menggunakan parameter lebar tengah sabit Bulan, w, sebagai parameter terbaik untuk mendeskripsikan iluminansi hilal bersama-sama dengan ARCV. Nilai parameter w dan ARCV hasil interpolasi yang diperoleh Odeh adalah w = 0,3 menit busur untuk ARCV 11 derajat. Bandingkan dengan ARCV ~ 10 derajat untuk w = 0,25 menit busur dalam tabel 1. Kendati Odeh menggunakan kondisi tanpa atmosfer (mengabaikan efek refraksi yang membuat objek langit terlihat lebih tinggi daripada seharusnya), nilai ARCV yang diperolehnya masih lebih besar daripada nilai rata-rata dalam penelitian ini. Sementara untuk modus pengamatan mata telanjang, menurut Odeh, ARCV bernilai ~ 4 derajat untuk w = 0,4 menit busur. Bandingkan dengan ARCV ~ 11,5 derajat untuk w = 0,4 menit busur dari penelitian ini. KESIMPULAN Telah diperoleh rata-rata nilai parameter fisis hilal pada saat kontras maksimum dicapai dalam modus pengamatan mata telanjang dan berbantuan alat guna diusulkan sebagai batas bawah kriteria visibilitas hilal yang berlaku di wilayah tropis. Hasil yang diperoleh telah pula dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian lainnya, yang menunjukkan adanya konsistensi maupun ketidaksamaan. Mengingat keterbatasan data yang digunakan, hasil ini merupakan usulan sementara yang bersifat dinamis, dalam arti dapat terus diperbaiki dengan semakin bertambahnya jumlah data pengamatan yang tersedia. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada RHI atas publikasi basis data pengamatan mereka, juga kepada Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI atas dukungannya yang telah memungkinkan penulis menghadiri pertemuan ilmiah ini. REFERENSI 1. Hoffman, R.E. 2003. Observing the New Moon. Mon. Not. R. Astron. Soc., 340: 1039 1051. 2. Kastner, S.O. 1976. Calculation of the Twilight Visibility Function of Near-Sun Object. The Journal of The Royal Astronomical Society of Canada, 70 (4): 153 168. 3. Barteneva, O.D. & Boyarova, A.N. 1960. Dalam Kastner, S.O. 1976. 4. Utama, J.A. 2012. Analisis Visibilitas Hilal Penentu Awal Ramadhan dan Syawal 1433 H dengan Model Fungsi Visibilitas Kastner, dalam Sarwi, M., Khanafiyah, S., Hindarto, N., et al. Eds. Prosiding Seminar Nasional Fisika III, Semarang: Jurusan Fisika, pp. FT101-1 FT101-6. 5. Utama, J.A. & Efendi, R. 2012. Reliability Test of Kastner Visibility Function Prediction on Lunar Crescent Observational Data in Indonesia. Makalah disajikan dalam 4 th South East Asian Astronomy Network (SEAAN) Meeting, Institut Teknologi Bandung, 10 11 Oktober. 6. Odeh, M.S. 2006. New Criterion for Lunar Crescent Visibility. Experimental Astronomy. 18: 39 64. 7. Djamaluddin, T. 2000. Visibilitas Hilal di Indonesia. Warta LAPAN. Volume 2, No. 4. 8. Mikhail, J.S. et al. 1995. Improving the Crescent Visibility Limits Due to Factors

Causing Decrease in the Sky Twilight Brightness. Earth, Moon and Planets. 70: 109 121. 9. Sultan, A.H. 2006. Best Time for the First Visibility of the Lunar Crescent. The Observatory. 126 (1191): 115 118. 10. Djamaluddin, T. 2011. Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Ummat. Booklet Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 11. Ilyas, M. 1988. Limiting Altitude Separation in the New Moon s First Visibility Criterion. Astronomy and Astrophysics. 206: 133 135. 12. Caldwel, J.A.R. & Laney, C.D. 2001. First Visibility of the Lunar Crescent. African Skies. No.5: 15 25. 13. Sudibyo, M.M., Arkanudin, M., & Riyadi, A.R.S. 2009. Observasi Hilaal 1427 1430 H (2007 2009 M) dan Implikasinya untuk Kriteria Visibilitas di Indonesia. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Mencari Solusi Kriteria Visibilitas Hilal dan Penyatuan Kalender Islam dalam Perspektif Sains dan Syariah, Observatorium Bosscha, 19 Desember. 14. Sopwan, N., & Raharto, M. 2012. Hilal Metonik: Usulan Kriteria Visibilitas Hilal, dalam Sarwi, M., Khanafiyah, S., Hindarto, N., et al. Eds. Prosiding Seminar Nasional Fisika III, Semarang: Jurusan Fisika, pp. FT105-1 FT105-7. 15. Fatoohi, L.J., Stephenson, F.R., & Al- Dargazelli, S.S. 1998. The Danjon Limit of First Visibility of the Lunar Crescent. The Observatory. 118: 65 72. 16. Ilyas, M. 1983b. Danjon Limit of Lunar Visibility: a re-examination. The Journal of The Royal Astronomical Society of Canada. 77. 17. Bruin, F. 1977. Dalam Yallop, B.D. 1998. 18. Yallop, B.D. 1998. A Method of Predicting the First Sighting of the New Crescent Moon. Technical Note. No. 69. HM Nautical Almanac Office, Royal Greenwich Observatory, Cambridge, UK. NAO.