BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kematangan Sosial Emosional Anak. (1) Perkembangan, proses pencapai kemasakan/usia masak, (2) proses

dokumen-dokumen yang mirip
1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini, di Indonesia pilihan jalur untuk menempuh pendidikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja adalah individu yang unik. Remaja bukan lagi anak-anak, namun

BAB I PENDAHULUAN. dalam Friz Oktaliza, 2015). Menurut WHO (World Health Organization), remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun, menurut

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan lingkungan yang lebih luas yaitu masyarakat. Dalam melakukan proses

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa mengalami perkembangan dalam masa hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. Akhir masa kanak-kanak (late childhood) berlangsung dari usia enam

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB I PENDAHULUAN. untuk berkembang. Pada masa ini anak mempunyai rasa ingin tahu yang besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Imay Ifdlal fahmy, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1980). bukan pula orang dewasa yang telah matang.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB I PENDAHULUAN. Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa: kualitas peserta didik, maka harus ditingkatkan untuk menjembatani

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan berdasarkan nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

TINJAUAN TENTANG SOSIALISASI ANAK DENGAN TEMAN SEBAYA DALAM PERKEMBANGAN SOSIALNYA DI TAMAN KANAK-KANAK PERTIWI 1 KANTOR GUBERNUR PADANG ARTIKEL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. atau usia dini dimana pada masa ini adalah masa penentuan. karakter usia dini yang salah satunya adalah masa berkelompok anakanak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Evinaria Esahastuti, 2014 Studi Pembelajaran Seni Dihomeschoolingtaman Sekar Bandung

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih jauh mengenai teori-teori yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. anugerah manusia sebagai mahluk sosial, baik secara internal ( sosial untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. dikatakan bahwa usia-usia awal merupakan tahapan penting karena di masa inilah banyak aspek

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB II LANDASAN TEORI. Sibling rivalry adalah suatu persaingan diantara anak-anak dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

PELATIHAN BASIC HYPNOPARENTING BAGI AWAM

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pada anak-anak sedini mungkin agar tidak menghambat tugas-tugas perkembangan anak

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum

BAB I PENDAHULUAN. Kesadaran dunia pendidikan di Indonesia untuk memberikan layanan

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. mengharapkan pengaruh orangtua dalam setiap pengambilan keputusan

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang ada di dalamnya tentu perlu membekali diri agar benar-benar siap

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KOHESIVITAS PEER GROUP PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. layanan pendidikan diperoleh setiap individu pada lembaga pendidikan secara

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. banyak anak yang menjadi korban perlakuan salah. United Nations Children s

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 2014 TENTANG SEKOLAHRUMAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB 1 PENDAHULUAN. kodrati memiliki harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahun-tahun pertama kehidupan anak atau yang sering dikenal dengan

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

KEMAMPUAN BERSOSIALISASI PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DITINJAU DARI JENIS PENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perkembangan yang sangat pesat. Masa ini biasa disebut dengan masa the golden

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibandingkan pertengahan masa kanak-kanak bagi remaja itu sendiri maupun

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kepribadiannya. Sebagai bentuk pengembangan diri

2 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5410); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya adalah Taman Kanak-Kanak (TK). Undang-undang tentang. sistem Pendidikan Nasional Pasal 28 Ayat (3) menyebutkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengajaran di perguruan tinggi maupun akademi. Tidak hanya sekedar gelar,

BAB 1 PENDAHULUAN. dinamis dalam diri (inner drive) yang mendorong seseorang. arti tidak memerlukan rangsangan (stimulus) dari luar dirinya,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kematangan Sosial Emosional Anak 1. Pengertian Kematangan Sosial Emosional Anak Chaplin (2011), mengartikan kematangan (maturation) sebagai: (1) Perkembangan, proses pencapai kemasakan/usia masak, (2) proses perkembangan, yang dianggap berasal dari keturunan, atau merupakan tingkah laku khusus spesies (jenis, rumpun). Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bermasyarakat (sozialized) memerlukan tiga proses. Masing-masing proses terpisah dan sangat berbeda satu sama lain, tetapi saling berkaitan, sehingga kegagalan dalam satu proses akan menurunkan kadar sosialisasi individu (Hurlock, 1978: 250-251). Kematangan sosial merupakan kemampuan individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, serta kemampuan dalam mengerjakan atau menguasai tugas-tugas perkembangannya dengan baik. Orang akan disebut matang apabila telah memiliki sebagian besar dan ciri-ciri kematangan. (Hurlock, 1980: 155) Emosi adalah perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang sedang berada dalam sutau keadaan atau suatu interaksi yang dianggap penting olehnya, terutama well-being dirinya (Campos, 2004; Saarni dkk., 14

15 2006 dalam Santrock 2007: 6-7). Emosi diwakili oleh perilaku yang mengekspresikan kenyamanan atau ketidaknyamanan terhadap keadaan atau interaksi yang sedang dialami. Emosi, sering diartikan sebagai sangat dramatis seperti perasaan amarah yang luar biasa atau perasaan senang yang menggebu-gebu. Emosi, bisa juga merupakan sesuatu yang samar-samar, seperti perasaan tidak nyaman ketika berada pada situasi yang baru. Para psikolog mengklasifikasikan rentang emosi dengan berbagai klasifikasi, tetapi biasanya semua klasifikasi ini melihat emosi sebagai sesuatu yang positif atau negatif. Contoh emosi positif adlah antusiasme, rasa senang, dan cinta. Contoh emosi negatif adalah cemas, marah, rasa bersalah dan rasa sedih (Santrock, 2007: 7). Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kematangan sosial emosional adalah kemampuan individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan mampu mengelola emosinya dengan baik ketika ia berada pada suatu lingkungan tertentu, serta kemampuan dalam mengerjakan atau menguasai tugas-tugas perkembangan kanak-kanak usia akhir khususnya dalam perkembangan sosial emosional dengan baik. 2. Karakteristik Sosial Emosional Kanak-kanak Usia Akhir Karakteristik sosial emosional kanak-kanak usia akhir adalah sebagai berikut: (Soetjiningsih, 2012: 266)

16 a. Dapat mengadakan ikatan dengan orang dewasa yang lain dan anak sebaya, serta lingkungan sosialnya makin meluas. b. Egosentrisme sudah agak berkurang, tetapi melihat kenyataan masih berdasarkan informasi yang terbatas. c. Mempunyai keinginan kuat menjadi anggota kelompok, dan mulai sekitar 10 tahun sudah dengan aturan dan perjanjian. d. Konformisme, tetapi karena sifat-sifat pribadi dan faktor situasional. e. Emosi relatif lebih tenang dan bentuk ungkapannya berbeda dengan masa anak awal. f. Bermain masih penting, tetapi waktunya sudah berkurang. Anak sudah mulai sadar akan kesesuaian jenis permainan dengan kelompok seksnya. Untuk anak yang lebih besar mulai bermain, seperi basket, sepakbola, dan lain-lain. 3. Tugas Perkembangan Kanak-kanak Usia Akhir Tugas perkembangan anak dalam aspek sosial emosionalnya menurut Collins antara lain (Nurhayanti, 2008: 51): 1. Mencapai bentuk relasi yang tepat dengan keluarga, teman dan lingkungan. 2. Mempertahankan harga diri yang sudah dicapai. 3. Mampu mengkrompomikan antara tuntutan individualitasnya dengan tuntutan konformitas. 4. Mencapai identitas diri yang memadai atau adekuat.

17 Sementara itu, Hurlock (1980: 154-161) menjelaskan tugas-tugas perkembangan dalam aspek sosial emosional pada kanak-kanak usia akhir antara lain: 1. Memasuki usia geng, yaitu usia yang pada saat itu kesadaran sosial berkembang pesat. Ciri-ciri anak geng yaitu: a) Geng anak-anak merupakan kelompok bermain. b) Untuk menjadi anggota geng, anak harus diajak. c) Anggota geng terdiri dari jenis kelamin yang sama. d) Pada mulanya geng terdiri dari tiga atau empat anggota, tetapi jumlah ini meningkat dengan bertambah besarnya anak. e) Kegiatan geng yang populer meliputi permainan dan olahraga. 2. Bermain. Selama bermain, anak mengembangkan berbagai keterampilan sosial sehingga memungkinkannya untuk menikmati keanggotaan kelompok dalam masyarakat anak-anak. Dalam usia kanak-kanak akhir, anak laki-laki maupun perempuan sadar akan kesesuaian jenis permainan dengan kelompok seksnya. 3. Periode meningginya emosi. Hal ini bisa disebabkan karena keadaan fisik atau lingkungan. Misalnya, kalau anak sakit atau lelah, ia cenderung cepat marah, rewel, dan umumnya sulit dihadapi. 4. Permulaan katarsis emosional atau cara meredakan emosi yang tidak tersalurkan. Karena keadaan emosi yang tidak tersalurkan tidak menyenangkan bagi anak, seringkali anak dengan cara coba-coba

18 meredakan keadaan ini dengan sibuk bermain, tertawa terbahakbahak atau menangis. B. Homeschooling 1. Pengertian Homeschooling Homeschooling atau sekolah rumah adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga di mana proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif. Tujuannya agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal. Kegiatan mengajar dapat dilakukan di rumah atau di suatu tempat pada komunitas tertentu (Saputra, 2007: 44-45). Homeschooling juga dapat diartikan sebagai alternative pendidikan lain dari organisasi sekolah. Anak belajar di bawah pengawasan orang tuanya. Anak dan orang tuanya yang akan menentukan isi atau materi pelajaran mereka. Mereka pun memiliki kontrol penuh akan misi pelajarannya (Saputra, 2007: 45). Homeschooling bukanlah memindahkan sekolah ke rumah. Kegiatan belajar mengajar agak berbeda dengan di sekolah. Orang tua pun agak tidak perlu selalu menjadi guru tetapi orang tua lebih berperan sebagai fasilitator. Tujuan pendidikan untuk anak adalah agar membuat anak cinta belajar bukan demi menciptakan anak jenius yang menguasai semua bahan yang diajarkan (Saputra, 2007: 46)

19 Belajar di rumah atau homeschooling di sini adalah sistem belajar sendiri. Prosesnya, si anak dituntut membaca dari buku teks yang tersedia layaknya di sekolah umum. Dalam proses belajarnya, ada latihan yang harus dikerjakan, ada tes massal yang harus diselesaikan kalau mau naik kelas serta berbagai kegiatan lainnya yang pada intinya sama dengan kegiatan di sekolah (Saputra, 2007: 46). Saputra (2007, 48-49) mengutip dari Jalaluddin Rahmat bahwa rumah atau keluarga merupakan madrasah utama yang dapat melahirkan anak-anak didik unggulan, manusia yang teguh dalam beragama, dan manusia yang teduh batinnya. Rumah juga menjadi tempat bagi anak untuk membekali diri dalam mengarungi jalan kemanusiaan dan menjadi tempat berlangsungnya dialektika yang mengajarkan nilai-nilai keluhuran budi. Jika setiap orang tua atau keluarga bias memahami kesejatian filosofis, moral dan religiusitas keluarga (rumah) sebagai homeschool, barangkali tak perlu ditakutkan badai besar seperti narkotika atau seks bebas karena masing-masing emelem dalam keluarga merasa dituntut menjadikan rumah sebagai surga yang mendamaikan dan menyalehkan perkembangan kepribadian anak. Di Indonesia, homeschooling sudah diatur dalam UU Sisdiknas, dan dikategorikan dalam jenis pendidikan informal dan nonformal. Peserta dapat mengikuti ujian kesetaraan lewat ujian paket A, B, atau C, namun belum banyak anak yang bersekolah di rumah. Belum ada data pasti, tetapi kecenderungannya meningkat. Beda dengan di AS atau

20 Negara-negara maju lainnya. Menurut data dari National Household Education Surveys Program (NHES) seperti dikutip dari National Centre for Education Statistics, di AS ada sekitar 1,1 juta anak belajar di rumah pada tahun 2003. Empat tahun sebelumnya yaitu tahun 1999 baru sekitar 850 ribu anak (sekitar 1,7 persen dari populasi usia sekolah) yang bersekolah di rumah. Berarti terjadi peningkatan sekitar 0,5 persen (Saputra, 2007: 48). 2. Jenis-jenis Homeschooling Pada perkembangannya, para pegiat homeschooling terus berusaha menyempurnakan konsep ini, yakni dengan merespons perkembangan di masyarakat. Saat ini, setidaknya ada tiga jenis homeschooling yang berkembang di masyarakat (Kembara, 2007: 30-33). a. Homeschooling Tunggal Homeschooling tunggal biasanya hanya melibatkan orang tua dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan lainnya. Orang tua harus benar-benar mengambil peran sebagai pembimbing, teman belajar, sekaligus penilai. Homeschooling tunggal memiliki fleksibilitas tinggi. Tempat, bentuk, dan waktu belajar bisa disepakati oleh pengajar dan peserta didik. Kelemahan homeschooling tunggal murni adalah tidak adanya mitra (partner) untuk saling mendukung, berbagi atau membandingkan keberhasilan dalam proses belajar. Jika tidak di mix

21 dengan tipe homeschooling lainnya, anak pun cenderung kurang bersosialisasi dan berekspresi sebagai syarat pendewasaan. b. Homeschooling Majemuk Tipe homeschooling kedua ini satu tingkat di atas homeschooling tunggal dalam hal pelibatan individu lain. Majemuk berarti lebih dari satu, dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu, sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orang tua masing-masing. Karena melibatkan anak-anak lain, tentu saja proses belajar menjadi dinamis. Insting sosial pada diri anak pun bisa tumpah seperti seharusnya. Dalam kelompok ini, semangat berkompetisi pun akan muncul. Masing-masing anak akan memacu diri untuk berprestasi lebih baik daripada yang lain. Namun, terlibatnya beberapa individu dalam kelompok homeschooling ini praktis memunculkan berbagai konsekuensi. Salah satunya kebutuhan untuk berkompromi dengan peserta lain dalam hal jadwal, suasana, fasilitas, dan pilihan kegiatan. Untuk peserta didik, kekhasan homeschooling majemuk adalah keharusan mereka untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan belajar dan karakter-karakter teman belajar mereka. Di samping itu, para orang tua masing-masing peserta tetap harus menyelenggarakan sendiri penilaian terhadap hasil pendidikan anakanak mereka dan mengusahakan sendiri penyetaraannya.

22 c. Komunitas Homeschooling Tipe homeschooling ketiga ini merupakan gabungan beberapa homeschooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok (olahraga, musik/seni, dan bahasa), sarana/prasarana dan jadwal pembelajaran. Komitmen penyelenggaraan pembelajaran antara orang tua dan komunitasnya kurang lebih 50:50. Hal yang khas dari komunitas homeschooling adalah ruang gerak sosialisasi peserta didik lebih luas, tetapi dapat dikendalikan. Dukungan lebih besar karena masing-masing bertanggung jawab untuk saling mengajar sesuai dengan keahlian masing-masing. Tipe homechooling ini sesuai untuk peserta didik dengan usia sepuluh tahun ke bawah. 3. Kelebihan dan Kekurangan Homeschooling Semua sistem pendidikan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Satu sistem sesuai untuk kondisi tertentu dan sistem yang lain lebih sesuai untuk kondisi yang berbeda. Saat ini, pendidikan melalui sekolah menjadi pilihan hampir seluruh masyarakat. Tetapi sekolah bukanlah satu-satunya cara bagi anak untuk memperoleh pendidikannya. Homeschooling yang menjadi alternatif pendidikan yang rasional bagi orang tua, memiliki kelebihan dan kekurangan inheren di dalam sistemnya (Saputra, 2007: 68-69).

23 a. Kelebihan Homeschooling 1) Sesuai kebutuhan anak dan kondisi keluarga. 2) Lebih memberikan peluang untuk kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan dalam model sekolah umum. 3) Memaksimalkan potensi anak sejak usia dini, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan di sekolah. 4) Lebih siap untuk terjun di dunia nyata karena proses pembelajarannya berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya. 5) Kesesuaian pertumbuhan nilai-nilai anak dengan keluarga. Relatif terlindung dari paparan nilai dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, narkotika, konsumerisme, pornografi, mencontek, dan lain-lain). 6) Kemampuan bergaul dengan orang tua dan yang berbeda umur. 7) Biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan keadaan orang tua. b. Kekurangan Homeschooling 1) Butuh komitmen dan keterlibatan tinggi dari orang tua. 2) Sosialisasi seumur relatif rendah. Anak relatif tidak terekspos dengan pergaulan yang heterogen secara sosial. 3) Ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim, organisasi dan kepemimpinan.

24 4) Perlindungan orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi sosial dan masalah kompleks yang tidak terprediksi. 4. Kurikulum yang Diterapkan Lembaga Homeschooling Saat ini Departemen Pendidikan Nasional sedang giat melakukan sosialisasi sekaligus pelaksanaan homeschooling di mana layanan pendidikan ini dilakukan oleh orang tua atau keluarga sebagai pendidik utamanya. Dengan adanya peraturan pemerintah yang memfasilitasi sekolah rumah menjadi salah satu program pendidikan kesetaraan maka homeschooling setara dengan pendidikan formal di sekolah umum. Metode pembelajarannya dilakukan dengan menekankan anak sebagai subyek dari kurikulum. Anak bebas menentukan hal yang disukai dan yang akan diperdalam olehnya. Metode pendidikan seperti ini dapat mengembangkan potensi anak secara lebih efektif dan efisien. Berbeda dengan system pengajaran yang konvensional, metode pembelajaran ini menyediakan situasi dan kondisi yang nyaman bagi anak dan mengikuti kemauan anak untuk belajar. Kurikulum yang digunakan dapat dipersamakan dengan sekolahsekolah umum sehingga jika sewaktu-waktu sang anak akan memasuki dunia pendidikan formal, maka hal tersebut dapat diproses. System pendidikan seperti ini membutuhkan dukungan kuat dari orang tua dan tenaga pengajar (Saputra, 2007: 50-51).

25 C. Kerangka Teoritik Anak Selama masa prasekolah, keluarga merupakan agen sosialisasi yang terpenting. Ketika anak-anak memasuki sekolah, guru memulai memasukkan pengaruh terhadap sosialisasi mereka, meskipun teman sebaya biasanya lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh guru atau orang tua. Pengaruh yang kuat dari kelompok teman sebaya pada masa kanak-kanak akhir sebagian berasal dari keinginan anak untuk dapat diterima oleh kelompok dan sebagian lagi dari kenyataan bahwa anak menggunakan waktu lebih banyak dengan teman sebaya. Begitu pun dalam hal emosi, orang tua dan guru juga berpengaruh terhadap bagaimana anak dapat memahami emosi yang kompleks, seperti halnya rasa malu dan kebanggaan, atau rasa takut, marah dan sedih. Proses Sosialisasi Anak Perkembangan Sosial emosional Anak Pengaruh Keluarga dan Guru Karakteristik Sosial Anak Gambaran emosi anak Kemampuan anak memahami emosi kompleks Kematangan Sosial emosion Anak Homeschoolin