PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI STASIUN TETAP DENGAN STASIUN BERGERAK

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF DAN RADIUS DAERAH BISU

Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, LAPAN RINGKASAN

PENGARUH PERUBAHAN fmin TERHADAP BESARNYA FREKUENSI KERJA TERENDAH SIRKIT KOMUNIKASI RADIO HF

TELAAH PROPAGASI GELOMBANG RADIO DENGAN FREKUENSI 10,2 MHz DAN 15,8 MHz PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO BANDUNG WATUKOSEK DAN BANDUNG PONTIANAK

MANAJEMEN FREKUENSI DAN EVALUASI KANAL HF SEBAGAI LANGKAH ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN KONDISI LAPISAN IONOSFER

KAJIAN AWAL EFISIENSI WAKTU SISTEM AUTOMATIC LINK ESTABLISHMENT (ALE) BERBASIS MANAJEMEN FREKUENSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEMUNCULAN LAPISAN E SEBAGAI SUMBER GANGGUAN TERHADAP KOMUNIKASI RADIO HF

KAJIAN HASIL UJI PREDIKSI FREKUENSI HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI RADIO DI LINGKUNGAN KOHANUDNAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN ALE (AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT) NASIONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODE PEMBACAAN DATA IONOSFER HASIL PENGAMATAN MENGGUNAKAN IONOSONDA FMCW

FREKUENSI KOMUNIKASI RADIO HF DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

KOMUNIKASI RADIO HIGH FREQUENCY JARAK DEKAT

PENENTUAN RENTANG FREKUENSI KERJA SIRKUIT KOMUNIKASI RADIO HF BERDASARKAN DATA JARINGAN AUTOMATIC LINK ESTBALISHMENT (ALE) NASIONAL

BAB II GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK. walaupun tidak ada medium dan terdiri dari medan listrik dan medan magnetik

Jiyo Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT

PENENTUAN FREKUENSI MAKSIMUM KOMUNIKASI RADIO DAN SUDUT ELEVASI ANTENA

KAJIAN STUDI KASUS PERISTIWA PENINGKATAN ABSORPSI LAPISAN D PADA TANGGAL 7 MARET 2012 TERHADAP FREKUENSI KERJA JARINGAN KOMUNIKASI ALE

KOMUNIKASI DATA MENGGUNAKAN RADIO HF MODA OLIVIA PADA SAAT TERJADI SPREAD-F

FREKUENSI KOMUNIKASI RADIO HF Di LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

PENGAMATAN KUAT SINYAL RADIO MENGGUNAKAN S METER LITE

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menerapkan metode deskripsi analitik dan menganalisis data

PEMANFAATAN PREDIKSI FREKUENSI KOMUNIKASI RADIO HF UNTUK MANAJEMEN FREKUENSI

BAB II PROPAGASI GELOMBANG MENENGAH

Jiyo Peneliti Fisika Magnetosferik dan Ionosferik, Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT

PERAN LAPISAN E IONOSFER DALAM KOMUNIKASI RADIO HF

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPISAN E SPORADIS DI ATAS TANJUNGSARI

Analisis Pengaruh Lapisan Ionosfer Terhadap Komunikasi Radio Hf

KAJIAN AWAL ABSORPSI IONOSFER DENGAN MENGGUNAKAN DATA FMIN (FREKUENSI MINIMUM) DI TANJUNGSARI

UNTUK PENGAMATAN PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF SECARA

DAMPAK PERUBAHAN INDEKS IONOSFER TERHADAP PERUBAHAN MAXIMUM USABLE FREQUENCY (IMPACT OF IONOSPHERIC INDEX CHANGES ON MAXIMUM USABLE FREQUENCY)

SISTEM PENGOLAH PREDIKSI PARAMETER KOMUNIKASI RADIO

PREDIKSI SUDUT ELEVASI DAN ALOKASI FREKUENSI UNTUK PERANCANGAN SISTEM KOMUNIKASI RADIO HF PADA DAERAH LINTANG RENDAH

BAB II TEORI DASAR. Propagasi gelombang adalah suatu proses perambatan gelombang. elektromagnetik dengan media ruang hampa. Antenna pemancar memang

VARIASI KUAT SIGNAL HF AKIBAT PENGARUH IONOSFER

BAB IV KOMUNIKASI RADIO DALAM SISTEM TRANSMISI DATA DENGAN MENGGUNAKAN KABEL PILOT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

VARIASI KETINGGIAN LAPISAN F IONOSFER PADA SAAT KEJADIAN SPREAD F

BAB IV ANALISIS KUAT MEDAN PADA PENERIMAAN RADIO AM

DASAR TEKNIK TELEKOMUNIKASI

PROGRAM APLIKASI MixW UNTUK KOMUNIKASI DATA MENGGUNAKAN RADIO HF

Radio dan Medan Elektromagnetik

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

LAPISAN E IONOSFER INDONESIA

ALOKASI FREKUENSI RADIO (RADIO FREQUENCY) DAN MEKANISME PERAMBATAN GELOMBANGNYA. Sinyal RF ( + informasi)

ANALISIS AKURASI PEMETAAN FREKUENSI KRITIS LAPISAN IONOSFER REGIONAL MENGGUNAKAN METODE MULTIQUADRIC

POTENSI PEMANFAATAN SISTEM APRS UNTUK SARANA PENYEBARAN INFORMASI KONDISI CUACA ANTARIKSA

Prosiding Seminar Nasional Sains Antariksa Homepage: http//

PENENTUAN INDEKS IONOSFER T REGIONAL (DETERMINATION OF REGIONAL IONOSPHERE INDEX T )

NEAR REAL TIME SEBAGAI BAGIAN DARI SISTEM PEMANTAU CUACA ANTARIKSA

STUDI PUSTAKA PERUBAHAN KERAPATAN ELEKTRON LAPISAN D IONOSFER MENGGUNAKAN PENGAMATAN AMPLITUDO SINYAL VLF

OPTIMALISASI PENGAMATAN DATA UJI KOMUNIKASI RADIO DENGAN MEMANFAATKAN PERANGKAT LUNAK PrintKey 2000

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Telekomunikasi: penyampaian informasi atau hubungan antara satu titik dengan titik yang lainnya yang berjarak jauh. Pengantar Telekomunikasi

UJI COBA PAKET PROGRAM HamPAL UNTUK PENGIRIMAN DATA MENGGUNAKAN RADIO KOMUNIKASI HF

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

DIRGANTARA VOL. 10 NO. 3 SEPTEMBER 2009 ISSN PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI STASIUN TETAP DENGAN STASIUN BERGERAK Jiyo

LAPISAN E SPORADIS IONOSFER GLOBAL DARI TEKNIK GPS-RO

Telekomunikasi Radio. Syah Alam, M.T Teknik Elektro STTI Jakarta

TEKNIK TELEKOMUNIKASI DASAR. Kuliah 9 Komunikasi Radio

Optimasi Prediksi High Frekuensi Untuk Komunikasi Jarak Jauh Guna Pemantauan Laut Wilayah Indonesia

ANALISIS COVERAGE AREA WIRELESS LOCAL AREA NETWORK (WLAN) b DENGAN MENGGUNAKAN SIMULATOR RADIO MOBILE

BAB I PENDAHULUAN. Kelancaran berkomunikasi radio sangat ditentukan oleh keadaan lapisan E

STUD! PENGARUH SPREAD F TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI RADIO

PEMANCAR&PENERIMA RADIO

RESPON IONOSFER TERHADAP GERHANA MATAHARI 26 JANUARI 2009 DARI PENGAMATAN IONOSONDA

BAB II LANDASAN TEORI

Dasar- dasar Penyiaran

KOMUNIKASI RADIO HF UNTUK DINAS BERGERAK

Varuliantor Dear Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, Pusat Sains Antariksa, Lapan ABSTRACT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dosen Pembimbing: Dr. Ir Achmad Affandi, DEA

Dasar- dasar Penyiaran

ANALISIS KOMPATIBILITAS INDEKS IONOSFER REGIONAL [COMPATIBILITY ANALYSIS OF REGIONAL IONOSPHERIC INDEX]

Propagasi gelombang radio atau gelombang elektromagnetik dipengaruhi oleh banyak faktor dalam bentuk yang sangat kompleks kondisi yang sangat

ANALISIS KEJADIAN SPREAD F IONOSFER PADA GEMPA SOLOK 6 MARET 2007

KOMUNIKASI DATA ST014 Komunikasi data nirkabel dan topologi jaringan

Pemodelan Markov untuk kanal HF Availability pada Link Malang-Surabaya

Manajemen Frekuensi Data Pengukuran Stasiun Automatic Link Establishment (ALE) Riau

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II PEMODELAN PROPAGASI. Kondisi komunikasi seluler sulit diprediksi, karena bergerak dari satu sel

BAB I PENDAHULUAN. ke lokasi B data bisa dikirim dan diterima melalui media wireless, atau dari suatu

Diterima 6 September 2012; Disetujui 15 November 2012 ABSTRACT

KARAKTERISASI KANAL PROPAGASI VHF BERGERAK DI ATAS PERMUKAAN LAUT

PERBANDINGAN ANTARA MODEL TEC REGIONAL INDONESIA NEAR-REAL TIME DAN MODEL TEC GIM (GLOBAL IONOSPHERIC MAP) BERDASARKAN VARIASI HARIAN (DIURNAL)

IMPLEMENTASI PROGRAM APLIKASI UNDUH FILE DATA REAL TIME INDEKS T GLOBAL UNTUK MENDUKUNG KEGIATAN PENELITIAN

Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Fisika Jurusan Fisika. diajukan oleh SUMI DANIATI

Sub-Sistem Penerima Pada Sistem Pengukuran Kanal HF Pada Lintasan Merauke-Surabaya

Makalah Peserta Pemakalah

ANALISIS KARAKTERISTIK FREKUENSI KRITIS (fof2), KETINGGIAN SEMU (h F) DAN SPREAD F LAPISAN IONOSFER PADA KEJADIAN GEMPA PARIAMAN 30 SEPTEMBER 2009

KEGIATAN BELAJAR 2. FREKUENSI GELOMBANG RADIO PADA APLIKASI SISTEM TELEKOMUNIKASI

EFEK SINTILASI IONOSFER TERHADAP GANGGUAN KOMUNIKASI SATELIT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Sub Sistem Pemancar Pada Sistem Pengukuran Kanal HF Pada Lintasan Merauke-Surabaya

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK FREKUENSI TINGGI DAN GELOMBANG MIKRO

Transkripsi:

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 3 September 2009:64-71 PROPAGASI GELOMBANG RADIO HF PADA SIRKIT KOMUNIKASI STASIUN TETAP DENGAN STASIUN BERGERAK Jiyo Peneliti Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi, LAPAN RINGKASAN Pada makalah ini dibahas tentang perambatan gelombang radio pada frekuensi 7,2 MHz dan 10,2 MHz yang dihasilkan dalam kegiatan uji komunikasi dengan stasiun bergerak (mobile). Uji pertama dilakukan pada tanggal 28-31 Mei 2007 dalam perjalanan Bandung-Liwa pergi pulang. Uji kedua dilakukan pada tanggal 26-29 November 2007 dalam perjalanan Bandung-Banyuwangi pergi pulang. Data pendukung untuk analisis digunakan data ionosfer hasil pengamatan dari Stasiun Pengamat Dirgantara Tanjungsari dan data jarak rambat terjauh gelombang permukaan yang ditentukan menggunakan paket program prediksi GWPS. Dari analisis diperoleh kesimpulan bahwa pada siang hari frekuensi 7,2 MHz bisa menjangkau jarak sampai dengan 500 km dan untuk frekuensi 10,2 MHz dapat menjangkau lokasi sampai dengan jarak 760 km atau lebih. Kemudian, untuk jarak kurang dari 75 km, frekuensi 7,2 MHz bisa merambat sebagai groundwave maupun skywave dan bergantung pada jenis permukaan yang dilaluinya. Sedangkan untuk jarak yang lebih jauh dari 75 km, gelombang ini merambat sebagai skywave dan bergantung kepada lapisan ionosfer. Selanjutnya, untuk jarak kurang dari 65 km, frekuensi 10,2 MHz bisa merambat sebagai groundwave maupun skywave. Sedangkan untuk jarak yang lebih jauh dari 65 km, gelombang ini merambat sebagai skywave. Terakhir, frekuensi 10,2 MHz berpeluang lebih besar mempunyai daerah bisu dibandingkan frekuensi 7,2 MHz. Radius daerah bisu untuk frekuensi ini bisa mencapai 500 km. 1 PENDAHULUAN Penjalaran atau propagasi gelombang radio adalah perjalanan gelombang radio dari stasiun pemancar menuju stasiun penerima. Pemahaman tentang penjalaran gelombang radio sangat penting, baik bagi perencana frekuensi maupun operator komunikasi radio. Dengan memahami kemungkinan penjalaran gelombang radio yang digunakan, maka dapat diperkirakan waktu penggunaan dan jarak jangkauan yang optimal dari suatu frekuensi yang telah dialokasikan. Dengan demikian penggunaan kanal frekuensi menjadi lebih efektif sehingga dapat mengurangi kemungkinan pelanggaran. Dengan pemahaman ini maka kemungkinan interferensi antar stasiun radio juga bisa dicegah dan diperkecil. Sampai saat ini makalah yang membahas tentang penjalaran gelombang radio HF masih dalam teoritis dan analisis (misalnya Suhartini, 2007; Jiyo, 2009). Sedangkan pembahasan menggunakan data uji di lapangan masih sangat sedikit. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dikaji tentang penjalaran gelombang radio pada frekuensi 7,2 MHz dan 10,2 MHz menggunakan stasiun radio bergerak. Pengamatan telah dilaksanakan pada bulan Mei dan November tahun 2007. Dengan pembahasan ini, maka akan diperoleh informasi tentang mekanisme penjalaran gelombang dan jarak jangkauan. 2 PENJALARAN GELOMBANG RADIO Penjalaran gelombang radio pada pita (band) 3 30 MHz (High Frequency, HF) terdiri dari tiga cara yaitu penjalaran secara langsung (line of sight), penjalaran di permukaan bumi (gelombang permukaan, ground wave) dan penjalaran di angkasa (gelombang angkasa, sky wave). Penjalaran line of sight terjadi jika pemancar (Tx) dan penerima (Rx) saling melihat, yang artinya, tidak ada objek yang menghalangi penjalaran gelombang dari Tx menuju Rx. Persyaratan ini terpenuhi jika jarak 64

Propagasi Gelombang Radio HF pada Sirkit Komunikasi Stasiun.. (Jiyo) antara Tx dan Rx cukup dekat. Selanjutnya, gelombang permukaan terjadi ketika penjalaran gelombang radio dari Tx menuju Rx mengalami proses pemantulan oleh objek-objek di permukaan bumi seperti gedung, gunung, pepohonan, dan lain-lain. Sedangkan gelombang angkasa terjadi jika gelombang radio merambat di angkasa dan mengalami pemantulan dan pembiasan oleh lapisan atmosfer atau ionosfer. Jarak jangkauan gelombang radio yang menjalar secara langsung tidak sejauh jarak jangkauan dua jenis perambatan yang lainnya. Namun gelombang ini mempunyai kuat sinyal yang lebih baik dibandingkan yang lainnya. Jarak jangkau gelombang permukaan bergantung kepada konduktivitas, permeabilitas, dan topografi permukaan yang dilewatinya. Untuk permukaan datar yang kering jarak jangkau gelombang permukaan hanya beberapa puluh kilometer saja. Sedangkan untuk permukaan berupa lautan jarak jangkau gelombang permukaan dapat mencapai ratusan kilometer. Selanjutnya, jarak jangkau gelombang angkasa bisa mencapai ribuan kilometer karena dipantulkan oleh lapisan ionosfer pada ketinggian 80 km hingga 600 km. Karena dipantulkan lapisan ionosfer, maka perambatan gelombang angkasa sangat bergantung kepada perubahan lapisan tersebut. 3 METODOLOGI Untuk mendapatkan informasi tentang kemungkinan mekanisme penjalaran gelombang radio pada frekuensi 7,200 MHz, dan 10,200 MHz, maka dilakukan pengamatan dengan stasiun radio komunikasi bergerak. Stasiun pemancar ada di kantor LAPAN Bandung (6,89ºLS; 107,59ºBT) dan stasiun penerima bergerak di beberapa lokasi seperti pada Tabel 3-1. Komunikasi menggunakan mode BPSK31 yakni komunikasi dengan data berupa teks/ huruf dengan panjang tertentu, yang terkirim secara otomatis setiap 15 menit menggunakan piranti lunak MixW. Pada saat Rx menerima teks yang dikirim dari Tx, maka kuat sinyal dapat dilihat dari panel radio penerima dan kemudian dicatat. Informasi lain yang diperoleh adalah jumlah huruf yang terkirim dan waterfall (Fedoseev dan Nichitailov, 2007) sebagai tanda kuat dan lemahnya sinyal yang diterima. Jika waterfall berwarna merah berarti sinyal yang diterima kuat dan jumlah huruf yang diterima juga mendekati 100% atau penerimaan sempurna. Jika waterfall berwarna biru, maka sinyal yang diterima lemah dan penerimaan tidak sempurna. Semua kondisi tersebut dicatat dalam lembar laporan pengamatan. Kuat sinyal, jumlah huruf yang diterima, dan warna waterfall digunakan untuk menentukan kondisi propagasi. Jika sinyal penerimaan kuat, jumlah huruf yang diterima mendekati 100%, dan warna waterfall cenderung merah, maka dinyatakan terjadi komunikasi. Jika terjadi sebaliknya, maka komunikasi dinyatakan gagal. Derau dari lingkungan seringkali mengganggu penerimaan. Oleh karenanya, persyaratan untuk terjadinya komunikasi adalah kuat sinyal, jumlah huruf, dan waterfall secara bersama-sama. Meskipun kuat sinyal cukup besar akan tetapi jika jumlah huruf dan waterfall sangat kecil, maka komunikasi dianggap gagal. Sebagai perangkat analisis lainnya adalah data frekuensi kritis dan ketinggian lapisan ionosfer hasil pengamatan Stasiun Pengamat Dirgantara (SPD) Tanjungsari. Dengan data frekuensi minimum (fmin), frekuensi maksimum/kritis (fof2) dan ketinggian lapisan ionosfer (h F) serta jarak (d) dari Bandung ke setiap posisi stasiun bergerak maka dapat ditentukan frekuensi tertinggi (Maximum Oblique Frequency, MOF) dari gelombang radio yang dipantulkan lapisan ionosfer pada saat itu. Perumusannya adalah seperti persamaan (3-1) (Jiyo, 2009). fc 2 2 1 d d 2R B sin h 1 cos R 4 B 2R B 2R B d h 1 cos R B 2R B MOF (3-1) 65

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 3 September 2009:64-71 Tabel 3-1: JADWAL PERJALANAN PENGAMATAN PROPAGASI GELOMBANG RADIO MENGGUNAKAN STASIUN PENERIMA BERGERAK Perjalanan Rx Frekuensi (MHz) Tanggal Mode Bandung-Liwa 7,2 28-31 Mei 2007 BPSK31 Bandung-Banyuwangi 7,2 10,2 27-28 November 2007 BPSK31 Dengan f c adalah frekuensi yang dalam hal ini diambil nilai fof2 dalam satuan MHz, R B adalah jejari bumi dan diambil untuk nilainya di daerah ekuator (6378,388 km), h adalah ketinggian lapisan dan diambil nilainya sama dengan h F dalam satuan km, d adalah jarak antara Tx dan Rx dalam satuan kilometer. Untuk menentukan LOF, maka digunakan rumus (3-1) ini dengan f c = fmin. Informasi ini digunakan untuk memastikan perambatan gelombang angkasa. Jika frekuensi kerja lebih tinggi dari MOF, maka tidak mungkin terjadi pemantulan oleh lapisan ionosfer sehingga apabila komunikasi masih bisa terjadi maka perambatannya adalah ground wave atau line of sight. Kemudian data pembanding lainnya adalah prakiraan jarak jangkau ground wave (jarak rambat terjauh, jrj) yang dihitung menggunakan piranti lunak GWPS (Ground Wave Prediction System). Dengan masukan jenis permukaan antara Tx dan Rx, maka dapat dihitung perkiraan jangkauan ground wave (IPS, 2000). Jika pada radius lebih jauh dari jrj gelombang radio masih dapat diterima, maka perambatan yang terjadi adalah skywave. 4. PENGAMATAN DAN DATA Pengamatan menggunakan perangkat komunikasi radio bergerak dilakukan sebanyak dua sesi yaitu tanggal 28-31 Mei 2007 dan tanggal 26 29 November 2007. Pengamatan sesi I dilakukan dalam perjalanan Bandung- Liwa pergi pulang dan hasilnya seperti pada Gambar 4-1(a) dan 4-1(b). Sedangkan simulasi LOF dan MOF menggunakan data fmin, fof2, dan h F hasil pengamatan dengan ionosonda tipe IPS71 dari SPD Tanjungsari pada saat yang sama hasilnya seperti pada Gambar 4-1(c). Hasil pengamatan sesi kedua dan simulasinya seperti pada Gambar 4-2. 66 Data jarak menunjukkan jarak antara stasiun pemancar di Bandung dengan stasiun penerima yang bergerak ke arah Liwa dan ke arah Banyuwangi. Untuk masing-masing titik penerimaan diperoleh kuat sinyal dalam db sesuai dengan bar pada panel radio Icom IC- 706. Data yang digunakan adalah data dengan waterfall cukup kuat dan jumlah huruf yang diterima lebih dari 90%. Daya pancar rata-rata dari stasiun Bandung adalah 60 watt. Pengamatan dengan ionosonda IPS71 menghasilkan data berupa ionogram yang selanjutnya dibaca (scaling) dengan perangkat lunak EIU71 (Kel Aerospace, 1999) diperoleh mekanisme penjal frekuensi minimum dan frekuensi kritis lapisan F serta ketinggiannya. Kemudian perhitungan menggunakan rumus (3-1) dihasilkan LOF dan MOF dalam satuan MHz. Perhitungan jarak rambat terjauh gelombang permukaan dengan frekuensi 7,200 MHz dan 10,200 MHz dihitung menggunakan paket program GWPS. Jarak rambat terjauh gelombang permukaan bergantung terhadap topografi, permitivitas, dan konduktivitas dari permukaan yang dilewatinya. Jarak rambat terjauh yang diperoleh dari program GWPS untuk bulan Mei dan November seperti pada Tabel 4-1 dan 4-2. Tabel 4-1 merupakan jarak rambat terjauh untuk frekuensi 7,2 MHz dan Tabel 4-2 untuk frekuensi 7,2 MHz dan 10,2 MHz. Dalam simulasi GWPS diasumsikan topografi permukaannya berupa dataran, bukan pegunungan. Untuk dataran yang berupa tanah kering (dry ground) dengan permitivitas 3 dan konduktivitas 0,0001 S/m, jarak rambat terjauhnya seperti pada kolom 2 dan 3. Untuk dataran dengan jenis tanah basah (wet ground) dengan permitivitas 30 dan konduktivitas 0,01 S/m, jarak rambat terjauhnya pada kolom 4 dan 5. Sedangkan untuk dataran berupa perairan (fresh water) dengan permitivitas 80 dan konduktivitas 0,003 S/m, jarak rambat terjauhnya ada pada kolom 6 dan 7.

Propagasi Gelombang Radio HF pada Sirkit Komunikasi Stasiun.. (Jiyo) Jarak (Km) 500 400 300 200 100 0 12 (a) 7 8 9 1011121314151617 7 8 9 1011121314151617 7 8 9 1011121314151617 7 8 9 1011121314151617 28 Mei 07 29 Mei 07 30 Mei 07 31 Mei 07 (b) MHz Kuat Sinyal (db) 17 15 13 11 9 7 5 3 1 10 8 6 4 2 7 8 9 1011121314151617 7 8 9 1011121314151617 7 8 9 1011121314151617 7 8 9 1011121314151617 28 Mei 07 29 Mei 07 30 Mei 07 31 Mei 07 (c) 7 8 9 1011121314151617 7 8 9 1011121314151617 7 8 9 1011121314151617 7 8 9 1011121314151617 28 Mei 07 29 Mei 07 30 Mei 07 31 Mei 07 Gambar 4-1: Jarak Rx terhadap Tx di Bandung (a), kuat sinyal yang diterima Rx (b), keduanya hasil pengamatan tanggal 28-31 Mei 2007, dan frekuensi terendah (LOF) dan frekuensi tertinggi (MOF) untuk setiap jarak komunikasi pada (a) hasil simulasi berdasarkan fmin, fof2, dan h F hasil pengamatan di SPD Tanjungsasri LOF MOF 800 (a) Jarak (Km) 600 400 200 K. Sinyal (db) MHz 10 8 6 4 2 0 17 15 13 11 9 7 5 3 1 0 7 8 9 1011121314151617 7 8 9 1011121314151617 7 8 9 1011121314151617 7 8 9 101112131415161718 26 Nov 07 27 Nov 07 28 Nov 07 29 Nov 07 (b) 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 26 Nov 07 7,200 MHz 10,200 MHz 27 Nov 07 28 Nov 07 29 Nov 07 (c) 7 8 9 1011121314151617 7 8 9 1011121314151617 7 8 9 1011121314151617 7 8 9 101112131415161718 26 Nov 07 LOF 27 Nov 07 28 Nov 07 29 Nov 07 Gambar 4-2: Jarak Rx terhadap Tx di Bandung (a), kuat sinyal yang diterima Rx (b), keduanya hasil pengamatan tanggal 26-29 November 2007, dan frekuensi terendah (LOF) dan frekuensi tertinggi (MOF) untuk setiap jarak komunikasi pada (a) hasil simulasi berdasarkan fmin, fof2, dan h F hasil pengamatan di SPD Tanjungsasri MOF 67

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 3 September 2009:64-71 Tabel 4-1: JARAK RAMBAT TERJAUH (KM) GELOMBANG PERMUKAAN DENGAN FREKUENSI 7,2 MHZ YANG DIPANCARKAN DARI BANDUNG UNTUK BULAN MEI DIHITUNG MENGGUNAKAN PAKET PROGRAM GWPS WIB Tanah Kering Tanah Basah Perairan 07.00 08.00 09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 16 22 25 25 25 24 24 24 24 20 15 35 48 53 53 53 52 52 52 52 44 33 51 68 75 75 75 74 73 73 73 63 48 Tabel 4-2: JARAK RAMBAT TERJAUH (KM) GELOMBANG PERMUKAAN YANG DIPANCARKAN DARI BANDUNG UNTUK BULAN NOVEMBER DIHITUNG MENGGUNAKAN PAKET PROGRAM GWPS WIB 07.00 08.00 09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 Tanah Kering Tanah Basah Perairan 7,2 MHz 10,2 MHz 7,2 MHz 10,2 MHz 7,2 MHz 10,2 MHz 15 18 34 34 50 51 22 22 48 40 68 60 25 24 53 44 75 65 25 24 53 44 75 65 25 24 53 44 75 65 24 23 52 42 74 62 24 21 51 40 72 59 24 21 51 40 72 59 24 21 51 40 72 59 19 18 43 34 62 51 14 14 31 27 45 42 5 PEMBAHASAN 68 Pembahasan akan dipilah menjadi dua bagian yaitu untuk uji komunikasi dalam perjalanan Bandung-Liwa pada tanggal 28 31 Mei 2007 dan yang kedua pada perjalanan Bandung-Banyuwangi pada tanggal 26 29 November 2007. Pengujian pertama hanya digunakan frekuensi 7,2 MHz, sedangkan pada pengujian kedua ditambahkan frekuensi 10,2 MHz. 5.1 Komunikasi Stasiun Radio Bergerak Bandung-Liwa Posisi stasiun bergerak pada pukul 10.00 WIB tanggal 28 Mei 2007 adalah 60 km dari stasiun tetap di LAPAN Bandung (Gambar 4-1(a)). Kemudian pada pukul 11.00 WIB pada hari yang sama stasiun radio bergerak mencapai posisi 92 km dari stasiun tetap. Dari Tabel 4-1 diperoleh nilai tertinggi jarak rambat terjauh gelombang radio dengan frekuensi 7,2 MHz pada pukul 10.00 WIB dan pukul 11.00 WIB adalah 75 km dari stasiun tetap. Angka ini diambil dengan asumsi permukaan antara stasiun tetap dengan stasiun bergerak berupa perairan. Untuk jenis permukaan kering dan basah nilai jrj lebih rendah dari 75 km. Jadi, jangkauan rambat gelombang permukaan dengan frekuensi 7,2 MHz tidak lebih dari 75 km. Dengan demikian komunikasi yang terjadi pada pukul 10.00 WIB masih memungkinkan dengan perambatan groundwave. Sedangkan komunikasi pada pukul 11.00 WIB dan sesudahnya dapat dipastikan bukan perambatan groundwave. Dan yang paling mungkin adalah

Propagasi Gelombang Radio HF pada Sirkit Komunikasi Stasiun.. (Jiyo) perambatan skywave karena jarak stasiun bergerak terhadap stasiun tetap lebih dari 75 km. Hal yang sama untuk komunikasi radio yang terjadi pada tanggal 29 sampai dengan 31 Mei 2007. Komunikasi terakhir yang terjadi pada tanggal 31 Mei 2007 pukul 14.00 WIB posisi stasiun bergerak adalah 81 km dari stasiun tetap. Grafik pada Gambar 4-1(b) menunjukkan kuat sinyal komunikasi radio yang terjadi antara stasiun tetap di Bandung dan stasiun bergerak. Nilai kuat sinyal berkisar antara 5 db hingga 9 db. Komunikasi yang terjadi karena lapisan ionosfer pada saat bersamaan mendukung proses pemantulan gelombang radio dengan frekuensi 7,2 MHz ini. Hal ini bisa dilihat dari grafik pada Gambar 4-1(c). Dari grafik ini dapat dilihat bahwa frekuensi 7,2 MHz berada di antara frekuensi minimum (LOF) dan frekuensi maksimum (MOF). Dengan demikian, maka komunikasi radio antara stasiun tetap di Bandung dengan stasiun bergerak pada frekuensi 7,2 MHz mulai pukul 11.00 WIB tanggal 28 Mei 2007 hingga pukul 14.00 WIB tanggal 31 Mei 2007 adalah perambatan gelombang skywave. Sedangkan komunikasi radio yang terjadi pada tanggal 28 Mei 2007 sebelum pukul 11.00 WIB kemungkinan masih merupakan campuran antara perambatan groundwave dan skywave. Selain itu, dapat disimpulkan pula bahwa frekuensi 7,2 MHz dapat menjangkau jarak puluhan kilometer hingga 433 km. 5.2 Komunikasi Stasiun Radio Bergerak Bandung-Banyuwangi Pada kegiatan kedua, uji komunikasi dimulai pada pukul 13.00 WIB dengan posisi stasiun bergerak berada pada jarak 111 km dari stasiun tetap di Bandung (gambar 4-2(a)). Posisi ini berada di luar jarak rambat terjauh groundwave, baik untuk frekuensi 7,2 MHz maupun untuk frekuensi 10,2 MHz. Berdasarkan Tabel 4-2 jarak rambat terjauh untuk frekuensi 7,2 MHz adalah 75 km dan untuk frekuensi 10,2 MHz adalah 65 km. Seperti halnya pada uji pertama, asumsi yang digunakan untuk kondisi permukaan adalah perairan. Untuk kondisi permukaan yang sebenarnya adalah campuran antara permukaan tanah kering sampai dengan tanah basah. Untuk permukaan kering dan basah jarak rambat terjauh kurang dari 75 km, bahkan kurang dari 65 km. Hal ini menunjukkan bahwa perambatan gelombang radio yang terjadi pada komunikasi pertama dan selanjutnya adalah bukan groundwave. Grafik pada Gambar 4-2(b) menunjukkan kuat sinyal untuk frekuensi 7,2 MHz (lingkaran kosong) berkisar antara 6 db hingga 8,5 db. Untuk tanggal 28 November 2007 komunikasi radio pada frekuensi 7,2 MHz hanya dilakukan di titik terjauh yaitu Banyuwangi (jarak 760 km) pada pukul 12.00 WIB dan beberapa saat sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk memperbanyak data uji pada frekuensi 10,2 MHz. Kemudian pada perjalanan tanggal 29 November 2007 komunikasi pada frekuensi 7,2 MHz dilakukan kembali. Beberapa saat sebelum memasuki kota Banyuwangi komunikasi pada frekuensi ini sulit dilakukan. Baru pukul 12.00 WIB (jarak 760 km) tersebut komunikasi radio bisa dilakukan dengan kualitas penerimaan kurang bagus. Hal ini terjadi kemungkinan dikarenakan jarak 760 km terlalu jauh untuk frekuensi 7,2 MHz dengan sekali pantulan sehingga diperlukan pemantulan dua kali yang menyebabkan sinyal yang diterima menjadi lemah. Pelemahan yang terjadi pada pemantulan dua kali disebabkan oleh jarak tempuhnya (path) lebih panjang. Bisa juga terjadi dua kali pantulan namun dibutuhkan daya pancar yang lebih tinggi. Seperti halnya hasil pengujian pertama, komunikasi yang terjadi dengan frekuensi ini adalah perambatan skywave. Hal ini dapat didukung oleh data pada grafik (c) dari Gambar 4-2. Pada saat pengujian, frekuensi 7,2 MHz relatif selalu berada di antara LOF dan MOF. Ini berarti selama pengujian kedua, frekuensi 7,2 MHz dapat dipantulkan oleh lapisan ionosfer. Pada tanggal 27 November 2007 mulai pukul 09.00 WIB (jarak 365 km) komunikasi 69

Berita Dirgantara Vol. 10 No. 3 September 2009:64-71 pada frekuensi 10,2 MHz mulai dilakukan namun hingga pukul 13.00 WIB (jarak 533 km) belum berhasil. Pukul 14.00 WIB (jarak 543 km) komunikasi pada frekuensi ini bisa berlangsung. Komunikasi ini berlangsung hingga pukul 17.00 WIB (jarak 624 km). Hal demikian disebabkan pada saat sebelum pukul 14.00 WIB belum memungkinkan pemantulan oleh lapisan ionosfer. Data pada Gambar 4-2(c) memperkuat hal ini. Pada selang waktu tersebut frekuensi 10,2 MHz berada sedikit lebih tinggi dari MOF. Setelah itu nilai MOF naik melebihi 10,2 MHz sehingga komunikasi pada pukul 14.00 WIB dan sesudahnya dapat berlangsung. Kemudian tanggal 28 November 2007 pukul 08.00 WIB komunikasi belum bisa berlangsung dan baru pukul 09.00 WIB komunikasi dapat berlangsung dengan kuat sinyal hanya 2 db. Hal ini besar kemungkinan disebabkan oleh nilai MOF yang sedikit di bawah 10,2 MHz sehingga lapisan ionosfer tidak dapat memantulkan gelombang tersebut. Setelah itu komunikasi radio dapat berlangsung dengan kuat sinyal penerimaan sampai dengan 5,5 db. Pada selang waktu pukul 11.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB frekuensi 10,2 MHz berada di antara LOF dan MOF sehingga terjadi pemantulan oleh lapisan ionosfer. Selanjutnya, pada tanggal 29 November 2007 pukul 08.00 WIB dan pukul 09.00 WIB komunikasi belum dapat berlangsung karena nilai LOF dan MOF di bawah 10,2 MHz. Setelah itu tidak dilakukan uji komunikasi pada frekuensi ini hingga pukul 15.00 WIB. Dari Gambar 4-2(c) terlihat bahwa nilai MOF di bawah 10,2 MHz hingga pukul 13.00 WIB. Pada selang waktu tersebut lapisan ionosfer belum dapat memantulkan gelombang radio dengan frekuensi 10,2 MHz. Pukul 15.00 WIB dimulai lagi uji komunikasi pada frekuensi ini hingga pukul 18.00 WIB dan komunikasi dapat berlangsung dengan baik. Ini sesuai dengan grafik pada Gambar 4-2(c). Pada penutupan hari ke-4 pengujian, lapisan ionosfer dapat memantulkan frekuensi ini karena MOF sedikit di atas 10,2 MHz. Dengan demikian, untuk komunikasi siang hari dan sampai dengan jarak sekitar 540 km frekuensi 7,2 MHz masih bisa diterima dengan baik, namun sampai dengan jarak sekitar 760 km penerimaan kurang jelas. Sedangkan untuk frekuensi 10,2 MHz komunikasi baru bisa berlangsung setelah jarak sekitar 500 km. Pada siang hari ada kemungkinan frekuensi 10,2 MHz ini tidak dapat menjangkau jarak kurang dari 560 km karena tidak mampu dipantulkan oleh lapisan ionosfer. Ini berarti frekuensi 10,2 MHz berpotensi lebih besar untuk memiliki daerah bisu dibandingkan frekuensi 7,2 MHz. 6 KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan, maka dapat disimpulkan frekuensi 7,2 MHz bisa menjangkau jarak sampai dengan 500 km pada siang hari. Sedangkan untuk frekuensi 10,2 MHz dapat menjangkau lokasi sampai dengan jarak 760 km atau lebih. Selanjutnya, untuk jarak kurang dari 75 km, frekuensi 7,2 MHz bisa merambat sebagai groundwave maupun skywave dan bergantung kepada jenis permukaan yang dilaluinya. Sedangkan untuk jarak yang lebih jauh dari 75 km, gelombang ini merambat sebagai skywave dan bergantung kepada lapisan ionosfer. Kemudian, untuk jarak kurang dari 65 km, frekuensi 10,2 MHz bisa merambat sebagai groundwave maupun skywave. Sedangkan untuk jarak yang lebih jauh dari 65 km, gelombang ini merambat sebagai skywave. Kesimpulan terakhir adalah bahwa frekuensi 10,2 MHz berpeluang lebih besar mempunyai daerah bisu dibandingkan frekuensi 7,2 MHz. Radius daerah bisu untuk frekuensi ini bisa mencapai 500 km. DAFTAR RUJUKAN Jiyo, 2009. Frekuensi Maksimum Komunikasi Radio HF dan Sudut Elevasinya Serta Kaitannya dengan Lapisan Ionosfer, (dalam persiapan penerbitan di Berita Dirgantara LAPAN). 70

Propagasi Gelombang Radio HF pada Sirkit Komunikasi Stasiun.. (Jiyo) Suhartini, S., 2007. Lapisan Ionosfer dan Perambatan Gelombang Radio HF, Publikasi Ilmiah LAPAN: Lapisan Ionosfer, Manajemen Frekuensi, dan Komunikasi Radio, halaman 37-54. Fedoseev, N., dan Nechitailov, D., 2007, MixW Version 2.18, (http://www.mixw.net). ---, 2000, GWPS Version 2.2 : A Program to Calculate HF Ground Wave Signal Ranges, IPS Radio and Space Service. ---, 1999, IPS-71 Enhanced Ionogram Utilities, Version 1.G, Kel Aerospace Pty Ltd 71