BAB II KERUSAKAN DAN REHABILITASI JALAN

dokumen-dokumen yang mirip
DR. EVA RITA UNIVERSITAS BUNG HATTA

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan jumlah penduduk dan kemajuan teknologi pada zaman sekarang,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang terletak pada lapis paling atas dari bahan jalan dan terbuat dari bahan khusus

1. Kontruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. golongan, yaitu : struktur perkerasan lentur (Flexible Pavement) dan struktur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

Parameter perhitungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Permukaan tanah pada umumnya tidak mampu menahan beban kendaraan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melebihi daya dukung tanah yang diijinkan (Sukirman, 1992).

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN FLEXIBLE PAVEMENT DAN RIGID PAVEMENT. Oleh : Dwi Sri Wiyanti

LAPISAN STRUKTUR PERKERASAN JALAN

A. LAPISAN PERKERASAN LENTUR

konfigurasi sumbu, bidang kontak antara roda perkerasan. Dengan demikian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari bahan khusus yang mempunyai kualitas yang lebih baik dan dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP DASAR STABILISASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GAMBAR KONSTRUKSI JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan yang berarti. Agar perkerasan jalan yang sesuai dengan mutu yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pekerasan Jalan

BAB I PENDAHULUAN. terjamin kekuatan dan ketebalannya sehingga tidak akan mengalami distress yaitu

I. PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Ketersediaan jalan adalah

KONSTRUKSI JALAN ANGKUT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

gambar 3.1. teriihat bahwa beban kendaraan dilimpahkan ke perkerasan jalan

Berdasarkan bahan pengikatnya konstmksi perkerasanjalan dapat dibedakan atas:

BAB I PENDAHULUAN. Dalam campuran beraspal, aspal berperan sebagai pengikat atau lem antar partikel

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hobbs (1995), ukuran dasar yang sering digunakan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. SEJARAH PERKERASAN JALAN.

Perbandingan Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Bina Marga 2011 Dengan Metode Jabatan Kerja Raya Malaysia 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Jurnal J-ENSITEC, 01 (2014)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

BAB I PENDAHULUAN. agregat, dan agregat berperan sebagai tulangan. Sifat-sifat mekanis aspal dalam

BAB I PENDAHULUAN. satu atau beberapa lapis perkerasan dari bahan-bahan yang diproses, dimana

ANALISA KERUSAKAN PERKERASAN JALAN DITINJAU DARI DAYA DUKUNG TANAH DAN VOLUME LALU LINTAS

BAB I PENDAHULUAN. Campuran beraspal adalah suatu kombinasi campuran antara agregat dan aspal.

BAB I PENDAHULUAN. Kelebihan dari konstruksi perkerasan kaku adalah sifat kekakuannya yang. sementara kelemahan dalam menahan beban

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI KORELASI DAYA DUKUNG TANAH DENGAN INDEK TEBAL PERKERASAN JALAN MENGGUNAKAN METODE BINA MARGA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

sampai ke tanah dasar, sehingga beban pada tanah dasar tidak melebihi daya

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikenal dengan istilah lateks. Di dalam lateks terkandung 25-40% bahan karet

Lapisan-Lapisan Perkerasan Pada umumnya, perkerasan jalan terdiri dari beberapa jenis lapisan perkerasan yang tersusun dari bawah ke atas,seba

BAB I PENDAHULUAN. Perkerasan jalan adalah suatu konstruksi yang terdiri dari lapisan yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODE PELAKSANAAN LAPIS PONDASI ATAS (BASE COUSE) PADA RUAS JALAN WAILAN-G. LOKON KOTA TOMOHON

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkerasan kaku (rigid pavement) atau perkerasan beton semen adalah perkerasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Provinsi Banten ini nantinya akan berubah status dari Jalan Kolektor

BAB III LANDASAN TEORI. Dimensi, berat kendaraan, dan beban yang dimuat akan menimbulkan. dalam konfigurasi beban sumbu seperti gambar 3.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III LANDASAN TEORI. Pada metode Bina Marga (BM) ini jenis kerusakan yang perlu diperhatikan

ANALISIS KORELASI ANTARA MARSHALL STABILITY DAN ITS (Indirect Tensile Strength) PADA CAMPURAN PANAS BETON ASPAL. Tugas Akhir

Bab V Analisa Data. Analisis Kumulatif ESAL

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada perkerasan Jalan Raya, dibagi atas tiga jenis perkerasan, yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. bergradasi baik yang dicampur dengan penetration grade aspal. Kekuatan yang

ANALISIS PERBANDINGAN PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN KAKU DENGAN METODE BINA MARGA 2013 DAN AASHTO 1993 (STUDI KASUS JALAN TOL SOLO NGAWI STA

BAB I PENDAHULUAN Perkembangan Teknologi Jalan Raya

BAB I PENDAHULUAN. kendaraan, terutama pada saat melakukan pengereman dan berhenti. Kendaraan

AB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perbandingan Kekerasan Kaku I Gusti Agung Ayu Istri Lestari 128

BAB III METODA PERENCANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN LENTUR RUAS JALAN PARINGIN- MUARA PITAP KABUPATEN BALANGAN. Yasruddin¹)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menghasilkan suatu perkerasan yang tidak stabil.

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan hal tersebut mengakibatkan peningkatan mobilitas penduduk

BAB I PENDAHULUAN. dalam aktivitas perekonomian di bidang transportasi. Sebab dapat menjamin

1. PENDAHULUAN. Jalan memiliki syarat umum yaitu dari segi konstruksi harus kuat, awet dan kedap. Supardi 1)

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perkerasan Jalan

BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Umum 2.2 Dasar Teori Oglesby, C.H Hicks, R.G

PENGARUH KELEBIHAN BEBAN TERHADAP UMUR RENCANA JALAN BAB I PENDAHULUAN

DIVISI 4 PELEBARAN PERKERASAN DAN BAHU JALAN SEKSI 4.1 PELEBARAN PERKERASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Digunakan untuk kendaraan bermotor. Digunakan untuk publik. Dibiayai oleh badan publik

Transkripsi:

BAB II KERUSAKAN DAN REHABILITASI JALAN II. 1. Konstruksi Perkerasan Jalan Perkerasan jalan adalah suatu konstruksi yang terdiri dari lapisan yang diletakkan diatas lapisan tanah dasar yang berfungsi untuk memikul beban lalu lintas. Struktur perkerasan harus mampu mereduksi tegangan yang terjadi pada tanah dasar dengan cara menyebarkannya pada lapisan perkerasan tanpa menimbulkan lendutan pada lapis perkerasan yang dapat merusak struktur perkerasan itu sendiri. Berdasarkan jenis bahan pengikatnya, struktur perkerasan jalan dapat dibedakan atas 3 jenis, meliputi[14]: a. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Struktur perkerasan jenis ini bekerja dengan cara memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. b. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement), yaitu struktur perkerasan yang menggunakan semen sebagai bahan pengikat. Struktur perkerasan ini bekerja sebagai pelat beton dengan atau tanpa tulangan yang diletakkan diatas tanah dasar dengan atau tanpa lapis pondasi. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton. c. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement), yaitu merupakan kombinasi anatar perkerasan lentur dan perkerasan kaku. Dapat berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau sebaliknya.

II. 2. Konstruksi Perkerasan Lentur Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan lapisan yang diletakkan di atas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan lapisan tersebut berfungsi untuk menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya ke lapisan yang ada di bawahnya, sehingga beban yang diterima oleh tanah dasar lebih kecil dari beban yang terima oleh lapisan permukaan dan lebih kecil dari daya dukung tanah dasar[14]. Konstruksi perkerasan lentur seperti yang tergambar pada Gambar 2. 1 terdiri dari : 1. Lapisan permukaan ( Surface course ) 2. Lapisan pondasi atas ( Base course ) 3. Lapisan pondasi bawah ( Subbase course ) 4. Lapisan tanah dasar ( Subgrade ) Gambar 2. 1. Lapis Perkerasan Lentur[10]

A. Lapis Permukaan ( Surface Course ) Lapisan permukaan ini terletak di bagian paling atas dari lapisan perkerasan, berfungsi sebagai : 1. Lapis perkerasan penahan beban roda, lapisan mempunyai stabilitas tinggi Untuk menahan beban roda selama masa pelayanan. 2. Lapis aus ( Wearing course ), yaitu lapisan yang menerima gesekan akibat rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus. 3. Lapis yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat dipikul oleh lapisan lain yang mempunyai daya dukung yang lebih jelek. 4. Lapis kedap air, sehingga air hujan yang jatuh di atasnya tidak meresap ke lapisan di bawahnya dan melemahkan lapisan tersebut. Agar dapat memenuhi fungsi tersebut, maka pada umumnya lapisan permukaan dibuat dengan menggunakan bahan pengikat aspal sehingga menghasilkan lapisan yang kedap air dengan dengan stabilitas yang tinggi dan daya tahan yang lebih lama. Beberapa jenis bahan yang tersedia untuk lapisan ini dapat berupa LASTON, Asbuton, Hot Rolled Asphalt, Aspal Macadam, dan sebagainya. B. Lapisan Pondasi Atas ( Base Course ) Yaitu lapisan yang terletak antara lapis permukaan dan lapis pondasi bawah, yang mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan menyebarkan beban ke lapisan di bawahnya. 2. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah. 3. Bantalan terhadap lapisan permukaan.

Material yang akan digunakan untuk lapis pondasi atas adalah material yang cukup kuat. Untuk lapis pondasi atas tanpa bahan pengikat umumnya menggunakan material dengan CBR > 50 % dan Indeks Plastisitas < 4 % [14]. Beberapa jenis pondasi material pondasi atas yang sering digunakan di Indonesia antara lain agregat bergradasi baik (batu pecah kelas A, B dan C), pondasi Macadam, stabilisasi tanah dengan semen, kapur atau aspal. C. Lapisan Pondasi Bawah ( Subbase Course ) Yaitu lapisan yang terletak antara lapis pondasi atas dan lapis tanah dasar, lapisan pondasi bawah ini berfungsi sebagai : 1. Bagian konstruksi perkerasan untuk menyebarkan beban roda ke tanah dasar. 2. Efisiensi penggunaan material, karena material pondasi bawah relatif lebih murah dibandingkan dengan lapisan yang ada di atasnya. 3. Mengurangi tebal lapisan di atasnya yang lebih mahal. 4. Lapisan peresapan, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi. 5. Lapisan pertama, agar pekerjaan dapat berjalan lancar. Hal ini sehubungan dengan kondisi lapangan yang memaksa harus menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca atau lemahnya daya dukung tanah dasar menahan roda roda alat berat selama konstruksi perkerasan berlangsung. 6. Lapisan untuk mencegah partikel partikel halus dari tanah dasar naik ke lapis pondasi atas. Jenis lapisan pondasi bawah yang sering digunakan di Indonesia antara lain agregat bergradasi baik serta stabilisasi tanah dengan semen dan kapur.

D. Lapisan Tanah Dasar ( Subgrade ) Yaitu lapisan tanah setebal 50 100 cm yang terletak di bawah lapis pondasi bawah. Lapisan tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan jika tanah aslinya baik, atau tanah yang didatangkan dari tempat lain dan dipadatkan atau tanah yang distabilisasi dengan kapur atau bahan lainnya. II. 3. Penyebab Kerusakan Jalan Perkerasan jalan sering mengalami kerusakan atau kegagalan sebelum mencapai umur rencana. Kegagalan pada perkerasan dapat dilihat dari segi kondisi kerusakan struktural dan kerusakan fungsional[22]. Kerusakan struktural adalah kerusakan yang mencakup kegagalan perkerasan dari satu atau lebih komponen perkerasan yang mengakibatkan perkerasan tidak dapat lagi memikul beban lalu lintas. Kerusakan struktural dapat disebabkan oleh kondisi lapisan tanah dasar yang tidak stabil, beban lalu lintas, kelelahan permukaan, dan pengaruh kondisi lingkungan disekitarnya. Sementara kerusakan fungsional adalah suatu kondisi kerusakan dimana kenyamanan dan keamanan dari pengguna jalan terganggu dan biaya operasi kendaraan meningkat. Kerusakan fungsional ini dapat berdiri sendiri dan dapat pula diiukuti dengan kerusakan struktural. Selama ini, kelebihan muatan kendaran dituding sebagai penyebab utama kerusakan jalan. Namun kelebihan muatan bukanlah satu-satunya penyebab kerusakan jalan, masih ada faktor-faktor lainnya yang juga dapat memicu timbulnya kerusakan jalan, seperti adanya genangan air, bencana alam atau faktor teknis lain di lapangan. Dari data penelitian transportasi Departemen Perhubungan [Suara Merdeka, 26 Februari 2008], 40% penyebab kerusakan jalan adalah karena air, 30% akibat

kelebihan muatan dan sisanya adalah akibat bencana alam. Bencana alam yang dimaksud disini dapat berrupa terjadinya tanah longsor, banjir dan sebagainya. Disamping itu, faktor teknis di lapangan seperti kesalahan perencanaan maupun pelaksanaan juga dapat menyebabkan jalan mengalami kerusakan dini[2]. II. 3. 1. Faktor Kelebihan Muatan Prinsip dasar perencanaan perkerasan jalan adalah untuk mengakomodasi beban lalu lintas sesuai standar dengan meningkatkan kemampuan tanah dasar melalui lapis-lapis konstruksi perkerasan[2]. Perencanaan konstruksi jalan dibuat berdasarkan prakiraan terhadap beban lalu lintas yang akan melewatinya dengan mengkonversikannya menjadi beban sumbu standar untuk memudahkan perhitungan. Beban sumbu standar merupakan beban dimana setiap satu kali lintasan sumbu standar akan memberikan daya rusak (damage factor) terhadap perkerasan sebesar satu[12]. Muatan standar truk untuk perencanaan perkerasan yang dimaksud adalah sebesar 8,16 ton (dibulatkan menjadi 8,2 ton), muatan ini mengacu kepada ketentuan yang dikeluarkan AASHTO[1] yang menetapkan beban sumbu standar (standard axle load) sebesar 18.000 lbs atau setara dengan 8,16 ton, dengan asumsi dimana setiap lintasan truk as tunggal dengan beban sumbu sebesar 8,16 ton akan memberikan faktor perusak terhadap perkerasan sama dengan satu. Sementara untuk semua kendaraan lain dengan beban sumbu yang berbeda, diekivalenkan terhadap beban sumbu standar dengan menggunakan angka ekivalen sumbu (E). Dinas Bina Marga memberikan rumus untuk menentukan angka ekivalen beban sumbu sebagai berikut[14]:

[Pers. 2. 1] [Pers. 2. 2] Dengan asumsi tidak ada kendaraan yang kelebihan muatan (muatan sumbu terberat melebihi beban sumbu standar), maka umur rencana jalan dapat ditentukan dengan memperkirakan lamanya periode yang diperlukan sampai tercapainya jumlah lintasan beban standar yang direncanakan. Permasalahan terjadi ketika pada tahap perencanaan, beban yang diperhitungkan merupakan beban standar, namun kenyataan yang terjadi di lapangan banyak dijumpai truk-truk dengan muatan sumbu terberat melebihi beban sumbu standar (kelebihan muatan). Dalam hal ini, akibat adanya faktor pangkat empat yang digunakan untuk menghitung angka ekivalen beban standar, maka untuk setiap penambahan beban tiap roda kendaraan akan mengakibatkan penambahan daya rusak kendaraan (damage factor) terhadap perkerasan sebesar pangkat empat dari rasio antara beban nyata yang bekerja dengan beban standar. Sehingga penambahan beban pada truk yang kelebihan muatan akan memberikan peningkatan yang sangat signifikan pada angka ekivalen kendaraan. Sementara langkah yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kelebihan muatan tersebut adalah dengan menerapkan batasan berat yang diizinkan untuk setiap jenis kendaraan yang akan melintas di jalan raya. Namun permasalahan yang terjadi selanjutnya adalah terjadinya pemisahan wewenang antara instansi terkait yang bertanggung jawab melakukan perencanaan perkerasan jalan dengan instansi yang

bertanggung jawab melakukan kontrol terhadap muatan kendaraan yang akan melintasi jalan raya. Disatu sisi, perencanaan perkerasan dilakukan tanpa memperhitungkan adanya beban berlebih, sementara disisi lain dinas perhubungan memberlakukan batasan Jenis Berat yang diizinkan (JBI) untuk truk tunggal sebesar 15 ton, truk ganda 21 ton dan truk tiga sumbu 29 ton. Berat yang jauh lebih besar dari beban standar yang direncanakan sebesar 8 ton untuk truk tunggal, 15 ton untuk truk ganda dan 20 ton untuk truk tiga sumbu. Hal ini juga masih belum sepenuhnya diikuti karena masih adanya toleransi yang mengizinkan kendaraan untuk tetap melintas dengan kelebihan beban. Bahkan pada saat awal diberlakukannya, toleransi yang diberikan mencapai 90% dari JBI baru kemudian berangsur-angsur diturunkan sampai menjadi 50% yang mulai diterapkan sejak 1 Februari 2008 oleh DLLAJ delapan propinsi se-sumatera dan jawa[26]. Hal ini juga tidak sepenuhnya menjamin tidak adanya lagi truk yang melewati batasan toleransi yang diberikan karena masih adanya anggapan bahwa tujuan adanya jembatan timbang adalah untuk memperoleh retribusi atau pendapatan denda pelanggaran, sementara tujuannya sebagai alat untuk mengontrol kelebihan muatan kendaraan menjadi kabur. Sehingga sampai saat ini masih banyak dijumpai truk-truk yang kelebihan muatan. Penelitian yang dilakukan oleh Zarkasi[26] di jalur Pantura menemukan bahwa kurang lebih 51% turk as tunggal melebihi beban 8,2 ton dan 42% truk as ganda melebihi beban 15 ton. Sehingga dapat dipahami kenapa kondisi perkerasan jalan pada umumnya cepat rusak (mengalami kerusakan dini).

Tabel 2. 1. Nilai VDF Dan ADT Jalur Pantura[24] II. 3. 2. Faktor Desain Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, prinsip dasar perencanaan perkerasan jalan adalah untuk mengakomodasi beban lalu lintas sesuai standar yang ditetapkan untuk perencanaan tebal perkerasan. Saat ini hampir seluruh ruas jalan di propinsi Sumatera Utara didesain dengan menggunakan MST (Muatan Sumbu Terberat) 8 ton [Dinas Bina Marga PropSU]. Dengan MST 8 ton, maka beban muatan sumbu terberat kendaraan sesuai standar yang direncanakan adalah sebesar 8 ton

untuk truk sumbu tunggal, 15 ton untuk truk sumbu tandem dan 20 ton untuk truk sumbu tripel. Namun kenyataan di lapangan, muatan maksimum beban kendaraan yang ditetapkan oleh Dinas Perhubungan masih jauh melebihi estimasi beban yang digunakan dalam perencanaan perkerasan sehingga membuat perencanaan perkerasan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Dalam hal ini kerusakan terjadi akibat adanya perbedaan pandangan antara Dinas Bina Marga sebagai instansi yang bertanggung jawab terhadap perencanaan perkerasan jalan dengan Dinas Perhubungan sebagai instansi yang bertanggung jawab terhadap kontrol beban muatan kendaraan. Dimana sebagai akibatnya, perencanaan perkerasan yang dilakukan dengan mengacu pada MST 8 ton cenderung menjadi under design akibat ketetapan Jenis Berat yang diizinkan (JBI) yang dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan, terlebih lagi dengan adanya toleransi yang mengizinkan truk berjalan dengan beban maksimum 50 60% diatas JBI[6]. II. 3. 3. Faktor Pelaksanaan Yang Tidak Tepat Penyebab dari kegagalan pelaksanaan konstruksi jalan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor ketidak-sengajaan dan faktor kesengajaan[harian Medan Bisnis, 2 April 2009]. Faktor ketidak-sengajaan meliputi kegagalan konstruksi jalan akibat terbatasnya wawasan yang dimiliki oleh para perencana dan pelaksana serta terbatasnya pengetahuan dasar tentang teknik perkerasan jalan yang dimiliki oleh para kontraktor. Disamping itu, kurangnya peranan laboratorium didalam perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan jalan. Banyak pelaksanaan pekerjaan yang belum memenuhi spesifikasi sehingga banyak pekerjaan yang diselesaikan dengan mutu yang tidak memenuhi standar sudah rusak sebelum umur rencananya tercapai.

Sementara faktor kesengajaan yang menyebabkan kegagalan konstruksi jalan lebih diakibatkan oleh kecurangan-kecurangan yang dilakukan kontraktor untuk mengejar keuntungan pribadi semata, dalam hal ini dilakukan dengan merubah komposisi campuran material perkerasan, pemakaian material perkerasan tidak memenuhi syarat, mengurangi tebal perkeraan serta pekerjaan pemadatan lapis perkerasan yang tidak memenuhi standar dengan tujuan untuk agar proses pelaksanaan menjadi lebih singkat dan biaya produksi menjadi lebih kecil. Sehubungan dengan hal-hal tersebtu diatas maka faktor pengawasan pekerjaan dilapangan harus diperketat sehingga penyimpangan-penyimpangan dilapangan terhadap pelaksanaan pekerjaaa, penggunaan kualitas material yang tidak sesuai dapat direduksi seminimal mungkin. II. 3. 4. Faktor Terlewatinya Umur Rencana Kerusakan jalan akibat terlewatinya umur rencana lebih disebabkan oleh keterbatasan dana yang tersedia untuk memperbaiki kerusakan jalan. Sehingga jalan yang seharusnya sudah perlu direkonstruksi namun akibat keterbatasan dana terpaksa ditangani dengan pemeliharaan berkala atau pemeliharaan rutin untuk memperpanjang masa layan jalan tersebut. Hal ini untuk jangka pendek dianggap mampu mengatasi permasalahan yang terjadi, namun karena langkah penanganan yang tidak sesuai dengan kerusakan yang terjadi, kerusakan perkerasan dapat dengan segera muncul kembali. II. 4. Konsep Pemeliharaan Jalan Pemeliharaan jalan adalah penanganan kerusakan jalan yang meliputi perawatan, rehabilitasi, penunjangan dan peningkatan[8]. Pemilihan jenis penanganan

yang dilakukan untuk memperbaiki kerusakan jalan sangat bergantung kepada kondisi dari ruas jalan A. Perawatan Jalan / Pemeliharaan Rutin Pemeliharaan rutin adalah penanganan yang diberikan hanya terhadap lapis permukaan yang sifatnya untuk meningkatkan kualitas berkendara (riding quality), tanpa meningkatkan kekuatan struktural, dan dilakukan sepanjang tahun. Sementara pemeliharaan berkala adalah penanganan yang dilakukan terhadap jalan pada waktu-waktu tertentu (tidak sepanjang tahun) dan sifatnya meningkatkan kemampuan struktural[8]. Pekerjaan pemeliharaan rutin mencakup usaha-usaha memelihara atau merawat serta memperbaiki kerusakan-kerusakan terhadap seluruh ruas jalan yang ada dalam kondisi bagus, agar jalan dapat berfungsi seperti yang diharapkan. Pemeliharaan rutin dilaksanakan secara terencana sesuai dengan kebutuhan. Kegiatan ini mencakup penanganan permukaan aspal dan drainase. Pemeliharaan rutin mencakup pekerjaan-pekerjaan perbaikan kecil dan pekerjaan-pekerjaan rutin yang umumnya dilaksanakan dalam jangka waktu yang teratur dalam satu tahun, seperti penambalan permukaan dan pemotongan rumput serta pekerjaan-pekerjaan perbaikan untuk menjaga agar jalan tetap pada kondisi yang baik. Pemeliharaan rutin biasanya dilaksanakan pada semua ruas dan segmen yang dalam keadaan baik atau sedang. Pekerjaan pemeliharaan merupakan faktor yang penting untuk menjaga agar tingkat pelayanan jalan dapat dipertahankan sesuai umur rencananya. Pekerjaan pemeliharaan yang dilakukan secara konsisten terus menerus sesuai

dengan masa pelyanan jalan akan dapat mengurangi kebutuhan untuk dilaksanakannya pekerjaan berat. Pekerjaan pemeliharaan merupakan prioritas utama dalam perawatan jalan. B. Pekerjaan Rehabilitasi / Pemeliharaan Berkala Pemeliharaan berkala merupakan pemeliharaan yang dilakukan terhadap jalan pada waktu waktu tertentu (tidak menerus sepanjang tahun) dan sifatnya meningkatkan kemampuan struktural. Pemeliharaan berkala merupakan kegiatan pemeliharaan jalan yang terencana secara berkala, mencakup penanganan khusus pada jalan terhadap setiap kerusakan dan bersifat setempat pada ruas jalan dengan kemampuan pelayanan yang baik. Pemeliharaan berkala merupakan pekerjaan yang mempunyai frekuensi yang terencana lebih dari satu tahun pada suatu lokasi jalan. Untuk jalan-jalan kabupaten, pekerjaan ini terdiri dari pemberian lapis ulang pada jalan-jalan dengan lapis permukaan dari aspal dan pemeberian lapis ulang kerikil pada jalan kerikil, termasuk menyiapkan permukaan jalan. C. Pekerjaan Penunjangan Pekerjaan penunjangan merupakan kegiatan pemeliharaan jalan yang bersifat sementara (jangka pendek) terhadap ruas-ruas jalan yang dalam kondisi pelayanan tidak baik atau kritis, sebelum program peningkatan jalan dapat dilakukan. Pekerjaan penunjangan umumnya dilakukan ketika dana yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan peningkatan / rehabilitasi belum tersedia.

D. Pekerjaaan Peningkatan Pekerjaan peningkatan adalah penanganan jalan yang bertujuan untuk memperbaiki pelayanan jalan yang berupa peningkatan struktural dan atau geometriknya agar mencapai tingkat pelayanan yang direncanakan. Pekerjaan peningkatan mencakup kegiatan pemeliharaan jalan untuk memperbaiki kondisi jalan dengan kemampuan tidak bagus atau kritis menjadi jalan dengan kondisi baik. berikut. Secara garis besar, konsep pemeliharaan jalan dapat dilihat pada Gambar 2. 2 KONSEP PEMELIHARAAN JALAN PERAWATAN REHABILITASI PENUNJANGAN PENINGKATAN JALAN JALAN JALAN JALAN 1. Perawatan Rutin 1. Overlay 1. Pelaburan 1. Overlay 2. Patching 2. Patching 2. Patching 2. Rekonstruksi Gambar 2. 2. Konsep Pemeliharaan Jalan Sebelum dapat melakukan pekerjaan pemeliharaan jalan dengan baik sesuai dengan yang dibutuhkan, maka diperlukan hal-hal sebagai berikut[8]: 1. Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan

Menurut UU No. 13 tahun 1980 tentang klasifikasi jalan, menurut fungsinya jalan dapat dibedakan atas: a. Jalan Utama / Arteri, yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. b. Jalan Kolektor / Sekunder, yaitu jalan yang melayani angkutan pengumpulan atau pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi. c. Jalan Lokal / Penghubung, yaitu jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. 2. Identifikasi Permasalahan Jalan Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi permasalahan kerusakan jalan untuk lebih memantapkan jenis penanganan yang dilakukan pada masing-masing ruas jalan. Kegiatan ini dilakukan dengan cara melaksanakan survai mendetail terhadap kondisi perkerasan jalan serta diskusi dengan pihak-pihak berwenang setempat untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. 3. Penghitungan Lalu Lintas Kegiatan ini dilakukan untuk mengevaluasi apakah jalan yang akan dipelihara masih mampu melayani volume lalu lintas yang melewatinya. Bila setelah dievaluasi ternyata volume lalu lilntas pada jam sibuk lebih besar dari pada kapasitas jalan, maka dapat dipastikan pada jalan tersebut

timbul kemacetan sehingga langkah peningkatan perlu dilakukan untuk mengantisipasinya. 4. Kecepatan Perjalanan Kemacetan yang terjadi pada suatu ruas jalan dapat diukur dengan mengetahui kecepatan kendaraan atau waktu perjalanan. Makin lama kendaraan tiba di tujuan berarti makin lambat kecepatan lalu lintas. Jika kecepatan kendaraan kurang dari 50 % kecepatan rencana ruas jalan maka dapat dikatakan pada jalan tersebut mulai timbul kemacetan, sehingga perlu dilakukan peningkatan kapasitas jalan. 5. Penilaian Kondisi Perkerasan Yang termasuk kedalam penilaian kinerja perkerasan jalan adalah[14]: a. Keamanan, yang ditentukan oleh besarnya gesekan akibat adanya kontak antara ban dan permukaan jalan. Besarnya gaya gesek yang terjadi dipengaruhi oleh bentuk dan kondisi ban, tekstur permukaan jalan, kondisi cuaca, dan sebagainya. b. Wujud struktur perkerasan, terlihat dari kondisi fisik perkerasan seperti adanya retak-retak, amblas, gelombang dan sebagainya. c. Fungsi pelayanan, yaitu pelayanan yang diberikan oleh jalan terhadap pengguna jalan. Kenyamanan pengemudi sangat tergantung dari fungsi pelayanan dan wujud perkerasan. Parameter fungsi pelayanan yang diberikan antara lain adalah Indeks Permukaan (IP) atau Present Serviceability Index (PSI) dan Indeks Kondisi Jalan (Road Condition Index = RCI )

Tabel 2. 2. Kondisi Permukaan secara Visual dan Nilai RCI, IRI IRI Nilai RCI Kondisi Permukaan Jalan Secara Visual 8-10 Sangat rata dan teratur 4 7-8 Sangat baik dan umumnya rata 6-7 Baik 6 5-6 Cukup, tidak ada lubang, tetapi permukaan jalan tidak rata 8 4-5 Jelek, kadang kadang ada lubang, permukaan jalan tidak rata 12 3-4 Rusak, bergelombang, banyak lubang 16 2-3 Rusak berat, banyak lubang dan seluruh daerah perkerasan hancur >16 < 2 Tidak dapat dilalui, kecuali dengan Jeep 4WD II. 5. Pemilihan Langkah Pemeliharaan Pemilihan jenis penanganan yang dilakukan untuk memperbaiki kerusakan jalan sangat bergantung kepada kondisi dari ruas jalan. Pada dasarnya penetapan kondisi jalan minimal adalah sedang, berada pada level IRI antara 4,5 m/km sampai dengan 8 m/km, tergantung dari fungsi jalannya[16]. Jika IRI masih dibawah 4,5 m/km, artinya jalan masih dalam kondisi tahap pemeliharaan rutin, kegiatan pemeliharaan yang dilakukan merupakan tindakan pencegahan untuk mencegah infiltrasi air kedalam struktur perkerasan serta untuk mencegah kerusakan perkerasan akibat pengaruh cuaca dan lingkungan, kegiatan pemeliharaan yang dilakukan dapat berupa penambalan lubang, penutupan retak dan kegiatan perawatan lainnya yang bertujuan untuk menjaga kondisi pelayanan perkerasan jalan. Jika IRI antara 4,5 sampai 8 m/km, yang dikategorikan dalam kondisi sedang, berarti jalan sudah perlu dilakukan pemeliharaan berkala dengan pelapisan ulang. Jika IRI berkisar antara 8 sampai 12 m/km, artinya jalan sudah perlu

dipertimbangkan untuk mendapat peningkatan, sedangkan jika IRI lebih besar dari 12 m/km, maka jalan sudah dalam kondisi kritis atau habis umur rencananya, untuk itu jalan tersebut perlu direkonstruksi dengan menambah lapisan agregat base kelas A baru kemudian ditutup dengan lapisan aus untuk mengembalikan tingkat pelayanannya. Secara umum hubungan antara kondisi, umur dan jenis penanganan jalan dapat dilihat pada Gambar 2. 3 dan Tabel 2. 3 berikut. Gambar 2. 3. Hubungan Antara Kondisi, Umur dan Jenis Penanganan Jalan[16] Tabel 2. 3. Kondisi Jalan Dan Langkah Penanganannya RCI IRI Jenis Penanganan > 7 < 4,5 Perawatan Rutin 7 5 4,5 8 Perawatan Berkala 5 3,5 8 12 Peningkatan < 3,5 > 12 Rekonstruksi

II. 6. Stabilisasi Pada Perkerasan Jalan Stabilisasi dalam perkerasan jalan adalah suatu proses yang dilakukan sedemikian rupa untuk meningkatkan daya dukung beban dan stabilitas material yang distabilisasi [11]. Stabilisasi dilakukan dengan mencampur sejumlah bahan pengikat maupun material baru dengan gradasi tertentu untuk meningkatkan kualitas material yang distabilisasi. Terdapat banyak jenis bahan pengikat (binder) yang dapat digunakan dalam stabilisasi. Pemilihan bahan pengikat dipengaruhi oleh nilai Indeks Plastisitas (IP) material, gradasi dan ukuran butiran material serta ketersediaan peralatan dan bahan untuk melakukan stabilisasi. Sebagai contoh, semen sangat baik digunakan pada material dengan Indeks Plastisitas lebih kecil atau sama dengan 10[5]. AUSTROADS [5] memberikan panduan untuk memilih bahan pengikat dalam stabilisasi berdasarkan nilai Indeks Plastisitas dan ukuran partikal material, seperti terlihat pada Tabel 2. 3. Dalam perkembangannya penggunaan stabilisasi dalam rehabilitasi perkerasan jalan saat ini juga sering dikombinasikan dengan teknik daur ulang material perkerasan[18][19]. Penggunaan stabilisasi dalam daur ulang perkerasan dilakukan untuk peningkatan kualitas material perkerasan yang didaur ulang. Penggunaan stabilisasi dalam daur ulang perkerasan jalan semakin didukung dengan perkembangan teknologi peralatan untuk pengerjaan stabilisasi, sehingga semakin memudahkan proses pengerjaan stabilisasi dengan berbagai jenis material, aditif (binder) dan ketebalan lapisan stabilisasi.

Stabilisasi dalam daur ulang perkerasan dilakukan dengan untuk mendaur struktur perkerasan eksisting yang terdiri dari lapis permukaan dan lapis pondasi maupun lapis tanah dasar perkerasan menjadi lapis pondasi yang distabilisasi. Berdasarkan jenis aditif yang digunakan, stabilisasi pada material perkerasan terdiri dari [4]. - Stabilisasi mekanis - Stabilisasi kimia - Stabilisasi bitumen Tabel 2. 4. Panduan Pemilihan Bahan Pengikat Berbagai Indeks Plastisitas Dan Ukuran Butiran Material[5]

II. 6. 1. Stabilisasi Mekanis Stabilisasi jenis ini dilakukan dengan penambahan material dengan gradasi tertentu pada material yang akan distabilisasi untuk memperbaiki gradasi material tersebut sehingga akan meningkatkan daya ikat (interlocking) antar partikel material ketika dipadatkan. Material yang ditambahkan dapat berupa batu pecah, abu batu, maupun berbagai jenis filler dengan gradasi yang diperlukan untuk memperbaiki gradasi material yang akan distabilisasi.

Jenis stabilisasi ini merupakan jenis stabilisasi yang paling umum digunakan dalam perkerasan jalan, lapisan stabilisasi yang dihasilkan dalam perencanaan tebal perkerasan diasumsikan sebagai unbound material. II. 6. 2. Stabilisasi Kimiawi Stabilisasi jenis ini menggunakan aditif berupa bahan kimia yang dapat terdiri dari semen Portland, kapur, abu terbang (fly ash) dan beberapa jenis aditif lainnya berupa senyawa kimia dalam bentuk polymer yang dikembangkan untuk digunakan dalam proses stabilisasi. Khusus untuk stabilisasi dengan bahan pengikat semen (cemented material), dikenal 2 jenis tingkatan stabilisasi yang dibuat berdasarkan kriteria kekuatan struktural (structural performance) yang dihasilkan material yang distabilisasi, yaitu mofidied material dan bound material[5]. Modified material merupakan stabilisasi yang diproleh dengan penambahan jumlah semen yang relatif sedikit terhadap material jalan yang hanya cukup untuk memperbaiki kekurangan sifat material yang distabilisasi tanpa menyebabkan perubahan kekakuan material[16]. Penambahan semen yang dilakukan umumnya dilakukan untuk menurunkan nilai Indeks Plastisitas material yang tinggi, mengurangi sensitifitas material berbutir halus terhadap pengaruh air serta untuk menyediakan alas (working platform) untuk pengerjaan pemadatan lapisan diatasnya. Dalam perencanaan tebal perkerasan, stabilisasi jenis ini digolongkan kedalam unbound material karena kekakuannya yang tidak berubah. Namun ada kalanya seiring berjalannya waktu, material yang distabilisasi memperoleh peningkatan kekuatan (seperti pada stabilisasi dengan menggunakan slow setting binder) sehingga dalam

perencanaan jangka panjang, stabilisasi jenis ini dapat diasumsikan sebagai bound material dengan modulus <1000 Mpa. Bound material merupakan stabilisasi yang diperoleh melalui penambahan semen dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan kekakuan dan kemampuan memikul tegangan tarik akibat beban lalu lintas[19]. Penggunaan stabilisasi jenis ini akan menghasilkan pengurangan tebal perkerasan apabila dibandingkan dengan perkerasan yang menggunakan lapis pondasi yang tidak distabilisasi. Hal ini karena kekakuannya yang cukup tinggi sehingga dengan tebal lapisan yang cukup tipis sudah mampu memikul beban yang direncanakan padanya. Namun disisi lain, karena kekakuannya yang tinggi tersebut lapisan stabilisasi ini menjadi lebih rentan terhadap retak fatigue akibat pengulangan beban. Untuk mengatasi hal ini, maka diperlukan tebal minimum untuk lapisan stabilisasi sebesar minimal 250 mm[5], sebagai contoh, analisa yang dilakukan dengan menggunakan program Circly[22], dimana analisa yang dilakukan untuk perkerasan dengan stabilisasi bound material dengan modulus E=3500 MPa diatas tanah dasar dengan CBR=5%, lalu lintas rencana = 1x10 5 ESAs, menunjukkan bahwa tebal lapis stabilisasi yang diperlukan untuk mencegah terjadinya alur pada tanah dasar cukup sebesar 55 mm. Namun untuk mencegah terjadinya retak fatigue pada lapis stabilisasi akibat pengulangan beban, perhitungan yang dilakukan menunjukkan bahwa diperlukan lapisan setebal 290 mm. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa kegagalan yang terjadi pada lapis stabilisasi jenis bound material lebih diakibatkan oleh terjadinya retak fatigue akibat pengulangan beban. Untuk itu disarankan penggunaan tebal minimum lapis sebesar minimal 250 mm untuk mencegah terjadinya retak fatigue akibat tebal lapisan yang terlalu tipis. Dari pengalaman praktis, diperoleh besaran penambahan semen sebesar 1 sampai 2% dari berat untuk memperoleh karakteristik stabilisasi jenis modified

material, penambahan semen sebesar 2 sampai 3% untuk mendapatkan karakteristik stabilisasi lightly bound dan penambahan semen lebih besar dari 4% untuk mendapatkan karakteristik stabilisasi jenis heavily bound [11][19]. Secara garis besar, tipikal propertis material dan penambahan jumlah semen yang dibutuhkan untuk setiap jenis stabilisasi cemented material dapat dilihat pada Tabel 2. 5 dan Gambar 2. 4. berikut. Tabel 2. 5. Tipikal Propertis Cemented Material [5] Type material Tebal lapisan (mm) Kekuatan (MPA) Modulus (MPA) Modifield Sembarang UCS<1.0 <1.000 Lightly bound <250 UCS 1-4 1.500-3.000 Heavily bound >250 UCS>4.0 5000

Gambar 2. 4. Kekuatan Modified Dan Bound Material Untuk Berbagai Kandungan Semen[19]. II. 6. 3. Stabilisasi Bitumen Material yang distabilisasi dengan bitumen akan menghasilkan suatu lapisan Yang lebih fleksibel sehingga lebih tahan terhadap retak fatigue bila dibandingkan dengan material yang distabilisasi dengan semen (cemented material). Material yang distabilisasi dengan bitumen juga lebih tahan terhadap retak susut sehingga dapat segera dibuka untuk lalu lintas setelah konstruksinya selesai [4]. Jenis pengikat yang sering digunakan dalam stabilisasi ini dapat berupa emulsi aspal dan busa aspal. Emulsi aspal dihasilkan dari proses pengemulsian aspal keras dalam air yang mengandung bahan pengemulsi (emulsifier). Aspal emulsi dibedakan atas ion yang terkandung di dalamnya, yang terdiri dari [24] : - Aspal emulsi anionic, yaitu aspal emulsi yang mengandung ion negatif - Aspal emulsi kationik, yaitu aspal yang mengandung ion positif - Aspal mulsi non ionic, yaitu aspal emulsi yang tidak mengandung ion Sementara busa aspal dihasilkan ketika sejumlah air dingin dan udara disemprotkan pada aspal panas sehingga menyebabkan timbulnya busa pada aspal. Busa aspal pada umumnya terdiri dari 97 % aspal, 2.5 % air, dan 0.5 % zat aditif. Sifat busa aspal dipengaruhi oleh dua faktor utama, meliputi [24] : - Rasio ekspansi, yaitu perbandingan volume maksimum buat aspal dalam kondisi berbusa dengan volume aspal sebelum menjadi berbusa - Waktu paruh (half life), yaitu waktu yang dibutuhkan busa aspal untuk menurunkan volumenya dari volume maksimum yang dapat dicapai menjadi separuh dari volume tersebut

Alasan utama penggunaan aspal emulsi maupun busa aspal aditif stabilisasi adalah untuk memudahkan mencampur aspal dengan material yang dingin dan lembab[4], seperti kondisi yang terjadi pada material daur ulang perkerasan jalan dimana material yang digunakan dalam keadaan dingin dan lembab. Disamping jenis stabilisasi yang telah diuraikan diatas, juga dikenal jenis stabilisasi yang menggunakan campuran bahan pengikat, seperti stabilisasi dengan campuran semen-aspal emulsi, semen-busa aspal, semen-kapur dan sebagainya. Tujuan penggunaan campuran bahan pengikat ini adalah untuk memperbaiki kekurangan yang dimiliki oleh satu jenis bahan pengikat dengan menggunakan kelebihan dari bahan pengikat lainnya, seperti untuk meningkatkan kuat ikat awal (early strength) maupun untuk menambah waktu kerja (working period) sehingga memudahkan untuk proses pelaksanaannya. Sebagai contoh, pada penambahan sedikit semen yang digunakan pada stabilisasi dengan busa aspal maupun emulsi aspal. Penambahan semen pada stabilisasi jenis ini bertujuan untuk meningkatkan kuat awal (early strength) dari stabilisasi tersebut, sementara busa aspal maupun emulsi aspal berfungsi untuk meningkatkan daya tahan lapis stabilisasi terhadap timbulnya retak fatigue[24].