ALTERNATIF KEBIJAKAN PENINGKATAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR SRI YUNIATI PUTRI KOES HARDINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR Dengan Ini Saya Menyatakan Bahwa Tugas Akhir Alternatif Kebijakan Peningkatan Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Kota dan Kabupaten Bogor Adalah Karya Saya Sendiri dan Belum Diajukan dalam Bentuk Apapun Kepada Perguruan Tinggi Manapun. Semua Informasi Yang Berasal atau Disebutkan dalam Teks Dicantumkan Dalam Daftar Pustaka Dibagian Akhir Tugas Akhir Ini. Bogor, April 2008 Sri Yuniati Putri Koes Hardini A153050025
ABSTRACT SRI YUNIATI PUTRI KOES HARDINI. The policy alternatives to upgrade the education of elementary school teachers, in city and regency of Bogor. Supervised by FREDIAN TONNY NASDIAN and HENY K. DARYANTO. Elementary school teacher education in the era of autonomy is undergoing tremendous change, because of the recent implementation of the Law for Teachers and Lecturers which has required teachers to have a minimum education level of S1 or Sarjana degree. This significant changing has been responded by local government in various ways, depending on politcal, economic and social conditions of the region. The city of Bogor has six subdistricts, and including 68 villages. Since 1996 government of Bogor municipality has paid serious attention to in-service teacher education by providing scholarships, especially for elementary shool teachers. The condition of local government budget for Bogor municipality is inadequate to cover the needs for educating all in-service teachers through scolarship scheme, because the large number of under-qualified teachers with only high school level of education (2,810 teachers or 79.33%). Other reasons relate to the priority of development priority of the municipality of Bogor which is not yet for the in-service teacher eduction. Instead, the development priority of Bogor municipality focuses on ensuring participation in compulsory education and free primary education for all citizens. Different from the conditions of the city of Bogor, the regency of Bogor is 28 times larger in size, and the area covers 40 subdistricts, including 426 villages. It is the regency with the highest level of regional income in the West Java province. The regency of Bogor has 9,488 teachers with education level lower than S1, or 82.58%. Until the end of the year of 2006, the government of Bogor regency never allocated scholarships for elementary school teachers. But in 2007, scholarships were given to 1,060 teachers to upgrade their education from high school level to S1 level. The development priority of Bogor Regency is not for the education of in-service teachers, but for achieving compulsory education, renovating school buildings and other infrastucture, and also to improve the level of human development index (HDI). Results of the research from the two areas indicate that respondents choose the alternatives to upgrade the education of elementary school teachers through distance education, although Bogor is a small town and there is no geographic barrier in the area for teachers to further their education. Bogor regency has two alternatives and choose both of these alternatives through distance learning system and studying in local private university to upgrade the elementary school teachers. There is disparity caused by private universities around Bogor regency areas (Sukabumi, Cianjur, and Depok), which offer facilities, such as easy to pass the examination and to graduate. Budget is one of the important factors influencing the policy to upgrade the education of in-service elementary school teachers, and education development priority in both areas is not yet for upgrading the qualifications of teachers.
RINGKASAN SRI YUNIATI PUTRI KOES HARDINI. Alternatif Kebijakan Peningkatan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, di Kota dan Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh FREDIAN TONNY NASDIAN dan HENY K. DARYANTO. Pendidikan guru SD di era otonomi sedang mengalami perubahan yang besar, karena munculnya UU Guru dan Dosen yang menghendaki seluruh guru memiliki pendidikan minimal S1. Perubahan yang sangat besar ini ditanggapi oleh pemerintah daerah dengan berbeda-beda, sesuai dengan kondisi daerah tersebut yang juga berbeda. Kota dan Kabupaten Bogor menanggapi munculnya UU Guru dan Dosen yang mengharuskan pendidikan minimal guru adalah S1 dengan berbeda pula, hal ini disebabkan oleh keadaan wilayah, ekonomi dan sosial, serta politik yang berbeda. Kota Bogor memiliki 6 Kecamatan dan 68 Kelurahan. Pemerintah Kota Bogor sudah sejak tahun 1996 memperhatikan pendidikan guru SD, dengan memberi bea siswa meskipun tidak besar jumlahnya. Namun demikian banyak juga guru-guru yang membiayai pendidikan mereka secara swadana. Keadaan APBD dan besarnya jumlah guru yang belum S1 (2.810 orang) tidak memungkinkan pemerintah Kota Bogor untuk memberi bea siswa untuk seluruh guru yang ada. Alasan lain adalah prioritas pembangunan pendidikan di Kota Bogor belum mengutamakan peningkatan pendidikan guru SD, namun masih terfokus pada penuntasan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) dan pelaksanaan sekolah dasar gratis. Kabupaten Bogor memiliki kondisi wilayah yang sangat berbeda dengan Kota Bogor, selain wilayahnya 28 kali lebih besar dari Kota Bogor, terdapat 40 Kecamatan dan 426 Desa/Kelurahan, Kabupaten Bogor memiliki PAD yang terbesar di Jawa Barat. Jumlah guru yang belum S1 di Kabupaten Bogor juga sangat banyak (9.488 orang) atau setara dengan 82,58 persen. Sejak dari sebelum otonomi daerah, sampai tahun 2006 Kabupaten Bogor hampir tidak pernah memberikan bea siswa kepada guru yang ada diwilayahnya untuk meningkatkan pendidikannya sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Bantuan dalam jumlah cukup banyak (1.060 orang guru) diberikan pada tahun 2007, untuk meningkatkan pendidikannya menjadi S1, meskipun guru yang meningkatkan pendidikannya secara mandiri cukup banyak. Prioritas pembangunan pendidikan Kabupaten Bogor selain mengentaskan Wajar Dikdas, adalah perbaikan sarana dan infrastruktur sekolah yang banyak mengalami kerusakan parah dan meningkatkan nilai IPM. Hasil kajian di kedua wilayah ternyata menunjukkan bahwa meskipun Kota Bogor merupakan kota kecil yang tidak terkendala oleh kondisi geografis bagi guru-gurunya untuk meningkatkan pendidikannya, namun ternyata responden di Kota Bogor memilih sistem pendidikan jarak jauh (PJJ) sebagai alternatif yang paling sesuai untuk meningkatkan pendidikan guru SD. Sedangkan Kabupaten Bogor dengan wilayah yang sangat luas ternyata tidak hanya memilih PJJ, namun juga memilih perguruan tinggi swasta (PTS) setempat yang menjadi alternatif paling sesuai bagi peningkatan pendidikan guru SD. Perbedaan ini disebabkan
oleh adanya tawaran PTS yang terletak di wilayah terdekat dengan Kabupaten Bogor, yaitu Depok, Sukabumi dan Cianjur dengan menawarkan banyak kemudahan antara lain mudah lulus. Faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan peningkatan pendidikan guru SD di kedua wilayah ternyata sama, yaitu faktor keterbatasan dana dan prioritas pembangunan pendidikan yang ternyata belum begitu memperhatikan nasib pendidikan guru SD yang belum S1. Faktor dana dapat diatasi dengan digulirkannya dana dekonsentrasi yang dahulu berasal dari bea siswa PMPTK. Sejak tahun 2007 bea siswa PMPTK disalurkan melalui dana dekonsentrasi yang dikelola oleh provinsi untuk meningkatkan pendidikan guru SD di kabupaten/kota yang ada di wilayahnya. Kuota guru yang diberi bea siswa berdasarkan peta penyebaran guru yang ada di Depdiknas. Yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya adalah adanya aturan yang jelas tentang pengelolaan dana dekonsentrasi sehingga tidak bertentangan dengan azas otonomi daerah.
Hak Cipta milik IPB Tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ALTERNATIF KEBIJAKAN PENINGKATAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR DI KOTA DAN KABUPATEN BOGOR SRI YUNIATI PUTRI KOES HARDINI Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Dosen Penguji Luar Komisi :
Judul Tugas Akhir Nama NIM : Alternatif Kebijakan PeningkatanPendidikan Guru Sekolah Dasar di Kota dan Kabupaten Bogor : Sri Yuniati Putri Koes Hardini : A153044015 Disetujui Komisi Pembimbing Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS K e t u a Dr. Heny K Daryanto, M.Ec Anggota Diketahui Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Yusman Syaukat, M. Ec Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M. S Tanggal Ujian : 8 April 2008 Tanggal Lulus :
PRAKATA Tugas akhir ini ditulis sebagai syarat untuk penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi Manajemen Pendidikan IPB, dan juga sebagai salah satu kontribusi yang dapat penulis sampaikan untuk Universitas Terbuka, dimana penulis mengabdikan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil untuk pengembangan pendidikan terutama pendidikan jarak jauh (PJJ) di era Otonomi. Kajian yang berjudul Alternatif Kebijakan Peningkatan Pendidikan Guru SD di Kota dan Kabupaten Bogor ini, dapat penulis selesaikan selama satu tahun dengan mengambil lokasi di Kota dan Kabupaten Bogor, serta beberapa Kota dan Kabupaten di sekitarnya sebagai data pendukung pelaksanaan PJJ di lapangan. Tugas akhir ini ini mengkaji permasalahan pendidikan yang dilaksanakan untuk meningkatkan pendidikan guru SD agar sesuai dengan yang dikehendaki oleh Undang-undang Guru dan Dosen yaitu dengan pendidikan minimal S1. Hasil kajian ini penulis harapkan dapat dijadikan masukan baik bagi Dinas Pendidikan Kota atau Kabupaten serta Perguruan Tinggi yang terkait dengan pendidikan guru, dan terutama bagi penyelenggara PJJ untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat yang membutuhkan layanan pendidikan tanpa diskriminasi. Semoga kajian ini dapat bermanfaat bagi pendidikan terutama PJJ yang harus berjalan beriringan dengan pendidikan tatap muka. Bogor, April 2008 SRI YUNIATI PUTRI KOES HARDINI