TINJAUAN PUSTAKA. adanya penimbunan/akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal dari

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. BAHAN DAN METODE

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

TINJAUAN PUSTAKA. penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pengelolaan lahan gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

POTRET GAMBUT KALIMANTAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Tanah Gambut

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

BAB IV METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Lahan Rawa Pengertian Tanah Gambut

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

SINTESIS RPI 5 : PENGELOLAAN HUTAN RAWA GAMBUT

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi

PENDAHULUAN Latar Belakang

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2 TINJAUAN PUSTAKA. Ruang Lingkup Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN,

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

TINJAUAN PUSTAKA Definisi Tanah Pengertian Gambut

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

ESTIMASI EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI KEBAKARAN LAHAN GAMBUT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pengukuran Biomassa Permukaan dan Ketebalan Gambut di Hutan Gambut DAS Mentaya dan DAS Katingan

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

I. PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari

I. PENDAHULUAN. - Karet (Hevea Brasiliemis) merupakan kebutuhan yang vital bagi kehidupan

I. PENDAHULUAN. Hutan mempunyai banyak manfaat (multiple use) yang merupakan. untuk semua bentuk pemanfaatan (Suparmoko, 1989).

PEMANFAATAN DAN KONSERVASI EKOSISTEM LAHAN RAWA GAMBUT DI KALIMANTAN

Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI SRI NURYANI HIDAYAH UTAMI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. pemanasan global antara lain naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya

Program Studi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT

Topik C6 Penurunan permukaan lahan gambut

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan gambut yang terdapat di daerah tropika diperkirakan mencapai juta hektar atau sekitar 10-12% dari luas

METODOLOGI PENELITIAN

PENGARUH PENURUNAN MUKA AIR TANAH TERHADAP KARAKTERISTIK GAMBUT. Teguh Nugroho dan Budi Mulyanto Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor

Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional BatchII

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

BAB I PENDAHULUAN. di antara dua sungai besar. Ekosistem tersebut mempunyai peran yang besar dan

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hasanah (2007) padi merupakan tanaman yang termasuk genus

Setitik Harapan dari Ajamu

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

T E C H N I C A L R E V I E W

PENGEMBANGAN DAN KONSERVASI LAHAN GAMBUT

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Lahan Gambut Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk oleh adanya penimbunan/akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal dari reruntuhan vegetasi di atasnya dalam kurun waktu lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organic di lantai hutan yang basah/tergenang tersebut (Najiyati et al, 2005). Di Asia Tenggara, lahan gambut terdapat di daerah pantai rendah Kalimantan, Sumatera dan Papua Barat di Indonesia, Penisular Malaysia, Serawak dan Sabah di Malaysia, Brunei, dan sebelah Tenggara Thailand. Sebagain kecil juga terdapat di Delta Mekong Vietnam dan kepulauan sebelah Utara Philipina. Sebagian besar berada pada daerah rendah dan tempat yang masih terpengaruh dengan kondisinya, berada di daratan sampai jarak 100 km sepanjang aliran sungai dan daerah tergenang. Lahan gambut menutupi lebih dari 26 juta hektar (69% dari seluruh lahan gambut tropis) pada ketinggian sekitar 50 m dpl. (Rieley, 2007) Sebagai catatan, hingga kini luas lahan gambut di Indonesia belum dibakukan, karena itu data luasan yang dapat digunakan masih dalam kisaran 13,5-26,5 juta ha (rata-rata 20 juta ha). Dari berbagai laporan (tabel 1), Indonesia merupakan negara yang memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia atau setengah dari luas lahan gambut tropis dunia berada di Indonesia (Najiyati et al, 2005).

Tabel 1. Perkiraan luas dan penyebaran lahan gambut di Indonesia menurut beberapa sumber (Najiyati et al, 2005) Penulis/Sumber Penyebaran Gambut (dalam juta hektar) Total Sumatera Kalimantan Papua Lainnya Driessen (1978) 9,7 6,3 0,1-16,1 Puslit Tanah (1981) 8,9 6,5 10,9 0,2 26,5 Euroconsult (1984) 6,84 4,93 5,46-17,2 Soekardi & Hidayat (1988) 4,5 9,3 4,6 <0,1 18,4 Deptrans (1988) 8,2 6,8 4,6 0,4 20,1 Subagyo et al (1990) 6,4 5,4 3,1-14,9 Deptrans (1990) 6,9 6,4 4,2 0,3 17,8 Nugroho et al (1992) 4,8 6,1 2,5 0,1 13,5* Radjagukguk (1993) 8,25 6,79 4,62 0,4 20,1 Dwiyono & Racman (1996) 7,16 4,34 8,40 0,1 20,0 * tidak termasuk gambut yang berasosiasi dengan tanah salin dan lahan lebak (2,46 juta ha) Menurut Wahyunto et al, (2005) lahan gambut di propinsi NAD seluas 274.051 ha (termasuk tanah mineral bergambut) hanya terdapat di dataran pantai barat yang sempit. Penyebarannya hanya terdapat di di wilayah kabupaten Aceh Selatan 169.000 ha (61,6%) dan kabupaten Aceh Barat 105.000 ha (38,4%). Hutan Rawa Gambut Hutan rawa gambut terbentuk di daerah pesisir sebagai lahan basah pesisir, maupun di darat sebagai lahan basah daratan. Tipe lahan basah ini berkembang terutama di dataran rendah dekat daerah pesisir, di belakang hutan bakau, di sekitar sungai atau danau (Wetland International-Indonesian Programme, 1997 dalam Wahyunto et al, 2005).

Ekosistem hutan rawa gambut ditandai dengan adanya kubah gambut di bagian tengah dan mendatar/rata di bagian pinggir serta digenangi air berwarna coklat kehitaman seperti the atau kopi sehingga sering disebut ekosistem air hitam. Kubah gambut (peat dome) diawali oleh pembentukan gambut topogen di lapisan bawah lalu diikuti oleh pembentukan gambut ombrogen di atasnya. Dalam pembentukan gambut ombrogen, vegetasi bergantian tumbuh mulai dari pionir, sekunder, klimaks, mati dan tertimbun di situ, sehingga lama-kelamaan timbunan bahan organik gambut semakin tebal. Situasi ini mengarahkan keadaan lingkungan ekosistem gambut semakin ekstrim asam, miskin hara dan anaerob. Pada kubah gambut, pasokan hara semata-mata hanya dating dari air hujan, tidak ada lagi pasokan hara dari air tanah maupun sungai. Kondisi tersebut menyebabkan semakin sedikitnya jenis tumbuhan yang mampu beradaptasi dan tumbuh di atasnya (Wibisono et al, 2005). Hutan rawa gambut memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan tipe vegetasi hutan dataran rendah lainnya di daerah tropika. Keanekaragaman jenis tumbuhan hutan rawa gambut setara dengan keanekaragaman jenis tumbuhan hutan kerangas dan hutan subpegunungan daerah tropika tetapi masih lebih tinggi daripada keanekaragaman jenis hutan pegunungan dan bakau (Simbolon dan Mirmanto, 2000). Beberapa hasil penelitian keanekaragaman jenis tumbuhan yang dirangkum oleh Wibisono et al (2005) antara lain: Anderson (1963) mencatat 376 jenis tumbuhan dari hutan rawa gambut di Serawak dan Brunai, sedangkan

Simbolon dan Mirmanto (2000) mencatat 310 jenis tumbuhan dari berbagai hutan rawa gambut di Kalimantan Tengah. Hutan rawa gambut alami di berbagai daerah di Kalimantan mempunyai kerapatan 1300-3200 individu/ha, dengan jumlah jenis antara 65-141 jenis dan total basal area batang pohon dengan diameter lebih dari 5 cm sebesar 23-47 m 2 /ha. (Simbolon dan Mirmanto, 2000). Tabel 2. Perbandingan keanekaragaman spesies pohon diantara lima tipe hutan di Borneo (Page dan Waldes, 2007) Tipe Hutan Jumlah spesies pohon / Ha Referensi Hutan Diptero dataran 270 393 Davies & Becker. 1996; rendah Suzuki et al. 1999 Hutan kerangas 70 171 Davies & Becker. 1996; Suzuki et al. 1999 Hutan rawa gambut 75 120 Anderson. 1963; Siregar & Sambas. 2000; Waldes unpublished Hutan sub-pegunungan 115 Simbolon & Mirmanto. 2000 Hutan pegunungan 46 Simbolon & Mirmanto. 2000 Di Sumatera, lebih dari 300 jenis tumbuhan dijumpai di hutan rawa gambut, namun beberapa jenis tertentu telah jarang di jumpai. Di dalam Taman Nasional Berbak, Jambi, baru tercatat sekitar 160 jenis tumbuhan, akan tetapi jumlah ini diperkirakan masih akan meningkat dengan semakin meningkatnya intensitas eksplorasi jenis tanaman di kawasan ini (Giessen, 1991 dalam Wibisono et al, 2005). Berbagai jenis pohon yang sering dijumpai di lahan gambut diantaranya adalah: jelutung (Dyera lowii), ramin (Gonystylus bancanus), kempas atau bengeris (Kompassia malaccensis), punak (Tetramerista glabra), perepat

(Combretocarpus rotundatus), perupuk (Cococerass boornense), pulai (Alstonia pneumatophora), putat sungai (Baringtonia racemosa), terentang (Campnosperma macrophylla), nyatoh (Palaquium rostratum), bitangur (Colophyllum sclerophyllum), belangeran (Shorea belangeran), meranti (Shorea spp) dan rengas manuk (Melanorrhoea walichii). Dari berbagi jenis-jenis tumbuhan tersebut di atas, ramin (Gonystylus bancanus), jelutung (Dyera lowii) dan meranti (Shorea spp) memiliki nilai komersial tinggi, namun akibat kegiatan penebangan yang tidak terkendali belakangan ini, keberadaan jenis-jenis tersebut kini terancam punah (Wibisono et al, 2005). Tanah Gambut Tanah gambut selalu terbentuk di tempat yang kondisinya jenuh air atau tergenang, misalnya cekungan-cekungan di daerah perlembahan, rawa bekas danau, atau di daerah depresi/basin di dataran pantai diantara dua sungai besar. Pada cekungan-cekungan tersebut terdapat bahan organik dalam jumlah banyak yang dihasilkan oleh tumbuhan alami yang telah beradaptasi dengan lingkungan jenuh air (Wahyunto et al, 2005). Pembentukan gambut di beberapa daerah pantai Indonesia diperkirakan dimulai sejak zaman glasial akhir, sekitar 3.000-5.000 tahun yang lalu. Untuk gambut pedalaman bahkan lebih lama lagi, yaitu sekitar 10.000 tahun yang lalu (Brady, 1997). Seperti gambut tropis lainnya, gambut di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu vegetasi tropis yang kaya akan kandungan Lignin dan Nitrogen.

Karena lambatnya proses dekomposisi, di ekosistem rawa gambut masih dapat dijumpai batang, cabang dan akar besar (Murdiyarso et al, 2004). Secara fisik, lahan gambut merupakan tanah organosol atau tanah histosol yang umumnya selalu jenuh air atau terendam sepanjang tahun kecuali di drainase. Beberapa ahli mendefinisikan gambut dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa definisi yang sering digunakan sebagai acuan antara lain (Najiyati et al, 2005) : - Gambut adalah tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari 65 % (berat Kering) dan ketebalan gambut lebih dari 0,5 m (Driessen and Dudal. 1989) - Gambut adalah tanah yang tersusun dari bahan organik dengan ketebalan lebih dari 40 cm atau 60 cm, tergantung dari berat jenis (BD) dan tingkat dekomposisi bahan organiknya (Soil Taxonomy). Dalam key to soil taxonomiy (Soil Survey Staff, 1998 dalam Wahyunto et al, 2005) tingkat kematangan atau pelapukan tanah gambut dibedakan berdasarkan tingkat dekomposisi dari bahan (serat) tumbuhan asalnya. Tingkat kematangan terdiri atas 3 kategori yaitu fibrik, hemik dan saprik. Untuk keperluan pengamatan tingkat kematangan, serat didefinisikan sebagai potongan-potongan dari jaringan tumbuhan yang sudah mulai melapuk tetapi masih memperlihatkan adanya struktur sel dari tumbuhan asalnya, dengan ukuran dameter kurang dari atau sama dengan 2 cm. Dengan ukuran kurang dari 2 cm serat akan mudah diremas dan diceraiberaikan dengan jari. Potongan-potongan kayu yang berdiameter >2 cm dan belum melapuk, sehingga sulit diceraiberaikan dengan

jari, seperti potongan cabang kayu besar, batang kayu dan tunggul tidak digolongkan sebagai serat tetapi digolongkan sebagai fragmen kasar. Akar pohon yang masih hidup juga tidak digolongkan sebagai serat. Terdapat tiga macam bahan organik tanah yang dikenal berdasarkan tingkat dekomposisi bahan tanaman aslinya yaitu fibrik, hemik dan saprik (Andriesse, 1998; Wahyunto et al, 2003 dalam Adinugroho, 2005), Fibrik : Bahan gambut ini mempunyai tingkat dekomposisi rendah, pada umumnya memiliki bulk density <0,1 g/cm 3, kandungan serat 3/4 volumenya, dan kadar air saat jenuh berkisar 850% hingga 3000% dari berat kering oven bahan, warnanya coklat kekuningan, coklat tua atau coklat kemerah-merahan. Hemik : Bahan gambut ini mempunyai tingkat dekomposisi sedang, bulk density antara 0,13-0,29 g/cm 3 dan kandungan seratnya normal antara <3/4-1/4 dari volumenya, kadar air maksimum pada saat jenuh berkisar antara 250-450%, warnanya coklat keabu-abuan tua sampai coklat kemerah-merahan tua. Saprik : Bahan gambut ini mempunyai tingkat kematangan yang paling tinggi, buldensity 0,2 g/cm 3 dan rata-rata kandungan seratnya <1/4 dari volumenya, kadar air maksimum pada saat jenuh normalnya <450%, warnanya kelabu sangat tua sampai hitam. Berat jenis (bobot isi atau bulk density-bd) gambut tropis umumnya rendah (0,1-0,3 g/cm3) dan sangat dipengaruhi oleh tahapan dalam proses dekomposisi dan kandungan mineral, serta porositas yang tinggi (70-95%).

Lahan gambut tropis juga dicirikan oleh rendahnya kandungan hara dan tingginya kemasaman. Pada umumnya lahan gambut tropis memiliki ph antara 3-4,5 (Murdiyarso et al, 2004). Selain itu, gambut memiliki daya dukung atau daya tumpu yang rendah karena mempunyai ruang pori besar sehingga kerapatan tanahnya rendah dan bobotnya ringan. Ruang pori total untuk bahan fibrik/hemik adalah 86-91 % (volume) dan untuk bahan hemik/saprik 88-92 %, atau rata-rata sekitar 90 % volume. Sebagai akibatnya, pohon yang tumbuh di atasnya menjadi mudah rebah. (Driessen and Dudal, 1989) Gambut juga memiliki daya hantar hidrolik (penyaluran air) secara horisontal (mendatar) yang cepat sehingga memacu percepatan pencucian unsurunsur hara ke saluran drainase. Sebaliknya gambut memiliki daya hidrolik vertikal (ke atas) yang sangat lambat. Akibatnya lapisan atas gambut sering mengalami kekeringan, meskipun lahan bawahnya basah. Hal ini menyulitkan pasokan air ke lapisan perakaran. Selain itu gambut juga mumpunyai sifat kering tak balik, artinya gambut yang sudah mengalami kekeringan yang ekstrim, akan sulit menyerap air kembali (Najiyati et al, 2005). Setelah dilakukan drainase atau reklamasi, gambut berangsur-angsur akan kempes dan mengalami subsidence/ambelas yaitu penurunan permukaan tanah. Kondisi ini disebabkan oleh proses pematangan gambut dan berkurangnya kandungan air. Lama dan kecepatan penurunan tersebut tergantung pada kedalaman gambut. Semakin tebal gambut, penurunan tersebut semakin cepat dan berlangsungnya semakin lama. Rata-rata kecepatan penurunan adalah 0,3-0,8

cm/bulan, dan terjadi setelah 3-7 tahun setelah drainase atau pengolahan tanah (Najiyati et al, 2005). Gambut dan Karbon Perubahan iklim merupakan fenomena global yang ditandai dengan berubahnya suhu dan distribusi curah hujan. Kontributor terbesar bagi terjadinya perubahan tersebut adalah gas-gas di atmosfer yang sering di sebut gas rumah kaca (GRK) seperti karbondioksida (CO2), methana (CH4) dan nitorus oksida (N2O) yang konsentrasinya terus mengalami peningkatan (Mudiarso dan Suryadinata, 2004 dalam Najiyati et al, 2005). Gas-gas tersebut memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang bersifat panas sehingga suhu bumi akan semakain panas jika jumlah gas-gas tersebut meningkat di atmosfer (Najiyati et al, 2005). Ganggua n terhadap ekosistem lahan basah akan mempengaruhi cadangan dan siklus Karbon di alam. Gangguan tersebut dapat berupa konversi lahan setelah hutan gambut mengalami deforestasi, kebakaran dan drainase yang meluas (Murdiyarso et al, 2004). Tingginya peningkatan konsentrasi CO2 disebabkan oleh aktivitas manusia terutama perubahan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil untuk transportasi, pembangkit tenaga listrik dan aktivitas industri. Secara akumulatif, penggunaan bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan dari hutan ke sistem lainnya memberikan sumbangan sekitar setengah dari emisi CO2 ke atmosfir yang disebabkan oleh manusia, tetapi dampak yang terjadi saat ini

mempunyai rasio 3:1. Pada aktivitas pembakaran bahan bakar fosil berarti karbon yang telah diikat oleh tanaman beberapa waktu yang lalu dikembalikan ke atmosfir. Dalam kegiatan konversi hutan dan perubahan penggunaan lahan berarti karbon yang telah disimpan dalam bentuk biomasa atau dalam tanah gambut dilepaskan ke atmosfir melalui pembakaran (tebas dan bakar) atau dekomposisi bahan organik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Cadangan karbon dari suatu bentang lahan juga dapat dipindahkan melalui penebangan kayu, hanya saja kecepatannya dalam melepaskan C ke atmosfir tergantung pada penggunaan kayu tersebut. Diperkirakan bahwa antara tahun 1990-1999, perubahan penggunaan lahan memberikan sumbangan sekitar 1.7 Gt tahun -1 dari total emisis CO2 (Watson et al., 2000 dalam Lusiana et al, 2005). Gambar 1. Ilustrasi skema emisi CO2 dari proses drainase rawa gambut (Hooijer et al, 2006)

Secara global lahan gambut menyimpan sekitar 329-525 giga ton (Gt) karbon atau 15-35% dari total karbon terestris. Sekitar 86% (455 Gt) dari Karbon di lahan gambut tersebut tersimpan di daerah temperate (Kanada dan Rusia) sedangkan sisanya sekitar 14% (70 Gt) terdapat di daerah tropis. (Murdiyarso et al, 2004). Cadangan karbon yang besar ini pulalah yang menyebabkan tinggginya jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer ketika lahan gambut di Indonesia terbakar pada tahun 1997, yang berkisar antara 0,81-2,57 Gt (Page, 2002). Sementara itu, pendugaan emisi yang dilakukan di lahan gambut di sekitar Taman Nasional Berbak, Sumatera menunjukan angka sebesar 7 juta ton karbon (Murdiyarso et al., 2004). Dengan demikian, gambut memiliki peran yang cukup besar sebagai penjaga iklim global. Apabila gambut tersebut terbakar atau mengalami kerusakan, materi ini akan mengeluarkan gas terutama CO2, N2O dan CH4 ke udara dan siap menjadi perubah iklim dunia (Najiyati et al, 2005). Cadangan Karbon di Lahan Gambut Propinsi NAD Lahan gambut di Propinsi NAD mencakup areal seluas 274.051 ha. Penyebarannya hanya di dataran pantai barat yang sempit, yaitu di wilayah Aceh Selatan seluas 169 ribu ha (61,6 % dari total luas gambut di propinsi ini) dan di kabupaten Aceh Barat seluas 105 ribu ha (38,4 %). Penyebaran lahan gambut ditemukan pada landform kubah gambut dan landform marin yang terdapat di sepanjang pantai barat (Wahyunto et al, 2005).

Tabel 3. Luas dan penyebaran lahan gambut di Propinsi NAD pada tahun 1990 (Wahyunto et al, 2005). No Gambut Luas Gambut (ha) Total Ketebalan Jenis Gambut Aceh Selatan Aceh Barat Kektar % 1 Dangkal - Hemists/mineral - 2.219 2.219 0.04 2 3 4 5 6 Sedang Dalam % - 100 100 - Hemists/mineral 21.287 6.566 27.853 - Saprists/Hemists 101.993 39.111 141.104 - Saprists/Mineral - 6.601 6.601 64.08 Subtotal 123.400 52.219 175.558 % 70.3 29.7 100.0 - Hemists/Saprists 11.946 24.651 36.597 35.11 - Saprists/Hemists 33.408 26.269 59.677 Subtotal 45.358 50.920 96.274 % 47.1 52.9 100.0 Jumlah 168.634 105.417 274.051 100.0 % 61.58 38.42 100.0 Luas lahan gambut berdasarkan ketebalannya untuk masing-masing kabupaten adalah sebagai berikut (Wahyunto et al, 2005) : - Gambut sedang, terdapat di kabupaten : Aceh Selatan 96.900 ha (67,0%) dan Aceh Barat 47.852 ha (33,0%) - Gambut dalam, terdapat di kabupaten : Aceh Selatan 40.150 ha (56,4%) dan Aceh Barat 31.107 (43,6%) - Gambut sangat dangkal, terdapat di kabupaten : Aceh Barat 21.867 ha (57,1%) dan Aceh Selatan 16.403 ha (42,9%) Gambut dangkal, terdapat di kabupaten : Aceh Selatan 15.181 ha (76,8%) dan Aceh Barat 4.591 ha (23.2%)

Tabel 4. Luas dan penyebaran lahan gambut di Propinsi NAD pada tahun 2002 (Wahyunto et al, 2005). No Gambut Luas Gambut (ha) Total 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Ketebalan Jenis Gambut Aceh Selatan Aceh Barat Kektar % Sangat Dangkal Dangkal Sedang Dalam - Hemists/mineral - Saprists/Hemists - Saprists/Mineral - 16.403-2.219 17.928 1.720 2.219 34.331 1.720 13,97 Subtotal 16.403 21.867 38.270 % 42,9 57,1 100.0 - Hemists/mineral 1.792-1.792 - Saprists/Hemists 13.389 853 14.242 - Saprists/Mineral - 3.738 3.738 7,22 Subtotal 15.181 4.591 19.772 % 76,8 23,2 100,0 - Hemists/Saprists 1.755 10.228 11.983 - Hemists/mineral 19.495 6.566 26.061 - Saprists/Hemists 75.650 29.915 105.565 - Saprists/Mineral - 1.143 1.143 52,82 Subtotal 96.900 47.852 144.752 % 67,0 33,0 100 - Hemists/Saprists 10.192 14.423 24.614 - Saprists/Hemists 29.959 16.684 46.643 26,0 Subtotal 40.150 31.107 71.257 % 56,4 43,6 100,0 Jumlah 168.634 105.417 274.051 100,0 % 61,58 38,42 100,0 Di daerah ini hanya terdapat di dua kabupaten yang memiliki lahan gambut yang teridentifikasi pada skala tinjau, yakni kabupaten Aceh Selatan dan kabupaten Aceh Barat. Kandungan karbon tertinggi di wilayah kabupaten Aceh Selatan, yakni 322,5 juta ton pada tahun 1990 dan 281 juta ton pada tahun 2002. di kabupaten Aceh Barat kandungan karbon sebesar 239 juta ton pada tahun 1990 dan 178 juta ton pada tahun 2002. perubahan kandungan karbon tertinggi terjadi

di kabupaten Aceh Barat yaitu sebesar 61 juta ton, sedangkan di Aceh Selatan sebesar 41 juta ton (Wahyunto et al, 2005). Tabel 5. Kandungan karbon pada kondisi tahun 1990 dan 2002 serta perubahannya pada setiap kabupaten di Propinsi NAD (Wahyunto et al, 2005). No 1 Kedala man gambut Sangat dangkal Kandungan Karbon (Juta ton C) Total (Juta ton C) Aceh Selatan Aceh Barat 1990 2002 Peru bahan 1990 2002 Peru bahan 1990 2002 Peru bahan * 448 4,88 * 6,51 6,51 * 11,39 11,39 (1,06) (1,42) (2,48) 2 * 11,59 11,59 1,02 3,98 2,96 1,02 15,57 14,55 Dangkal (2,53) (0,18) (0,87) (0,18) (3,39) 3 178,14 136,90-41,24 78,79 69,71-9,08 256,93 206,61-50,32 Sedang (31,73) (29,84) (14,03) (15,19) (45,76) (45,03) 4 144,36 127,90-16,46 159,16 97,39-61,76 303,52 225,29-78,23 Dalam (25,71) (27,87) (28,35) (21,23) (54,06) (49,1) Jumlah 322,51 281,27-41,23 238,96 177,59-61,37 561,47 458,86-102,6 Keterangan : - angka dalam ( ) adalah presentase dari kandungan karbon total propinsi - kandungan karbon dari tanah gambut yang hilang selama 12 tahun (periode 1990-2002) * tidak memiliki gambut dengan ketebalan sesuai klasifikasi di atas Perubahan kandungan karbon terbesar terjadi pada tanah gambut dengan kedalaman/ketebalan dalam di Aceh Barat, sedangkan di Aceh Selatan pada tanah gambut dengan kedalaman sedang. Hal ini menunjukka n bahwa perubahan tersebut terjadi pada lahan-lahan pertanian tanaman pangan (sawah, palawija) di Aceh Selatan dan tanaman perkebunan/tahunan di Aceh Barat (Wahyunto et al, 2005).