BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (1995), skizofrenia adalah sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia adalah gangguan yang benar-benar membingungkan dan

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi yang

PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN KOMUNITAS DI KELUARGA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. sendiri. Kehidupan yang sulit dan komplek mengakibatkan bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Departemen Kesehatan (1988, dalam Effendy 1998)

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) :

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. jiwa.gangguan jiwa adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya emosi,

BAB I PENDAHULUAN. yang menyeluruh dalam menjalankan fungsi-fungsinya, karena keluarga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang B. Tujuan C. Manfaat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pengamatan terhadap suatu objek tertentu (Wahid, dkk, 2006).

Klasifikasi Gangguan Jiwa menurut PPDGJ III Demensia Delirium

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

PERAN DUKUNGAN KELUARGA PADA PENANGANAN PENDERITA SKIZOFRENIA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB II TUNJAUAN TEORI. orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins, 1993)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda beda pada masing

BAB I PENDAHULUAN. yang sering juga disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan manic depresif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, yang. pelayanan kesehatan dasar. Kegiatan kegiatan yang ada dalam

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF FIHRIN PUTRA AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. penyimpangan dari fungsi psikologis seperti pembicaraan yang kacau, delusi,

GANGGUAN PSIKOTIK TERBAGI. Pembimbing: Dr. M. Surya Husada Sp.KJ. disusun oleh: Ade Kurniadi ( )

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive),

Mampu mengenal dan mengetahui tanda, gejala dan pemeriksaan status mental yang menunjang dalam mendiagnosa pasien dengan gangguan skizofrenia.

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari panca indera tanpa adanya

EPIDEMIOLOGI MANIFESTASI KLINIS

PERSOALAN DEPRESI PADA REMAJA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesalahpahaman, dan penghukuman, bukan simpati atau perhatian.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Pada hakikatnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Proses Adaptasi Psikologi Ibu Dalam Masa Nifas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan perilaku yang disarankan (Smet, 1994). Kepatuhan dapat dibedakan dua yaitu : 1) Kepatuhan penuh (total compliance)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius. Kesehatan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. yaitu gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa) (Yosep, hubungan interpersonal serta gangguan fungsi dan peran sosial.

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam

Asuhan Kebidanan Komunitas I. Mata Kuliah DODIET ADITYA SETYAWAN NIP

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh masyarakat untuk mendapatkan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas hidup seseorang tidak dapat didefinisikan secara pasti, hanya orang tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. kelompok atau masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh terpenuhinya kebutuhan dasar

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?

BAB I PENDAHULUAN. lain, kesulitan karena persepsinya terhadap dirinya sendiri (Djamaludin,

PERAN KELUARGA INTI DALAM MENUMBUHKAN MOTIVASI BELAJAR REMAJA

/BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994 dalam Suryani,

Klasifikasi Gangguan Jiwa menurut PPDGJ III. Dr. Tribowo Tuahta Ginting S, SpKJ SMF Psikiatri RSUP Persahabatan

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan merupakan episode dramatis terhadap kondisi biologis seorang

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA TN. S DENGAN GANGGUAN MENARIK DIRI DI RUANG ABIMANYU RSJD SURAKARTA

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN JIWA. PADA Sdr.W DENGAN HARGA DIRI RENDAH. DI RUANG X ( KRESNO ) RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO SEMARANG. 1. Inisial : Sdr.

Bab 5. Ringkasan. Dalam bab pertama yang berisi latar belakang penulisan skripsi ini, saya menjabarkan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. perpecahan antara pemikiran, emosi dan perilaku. Stuart, (2013) mengatakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. fungsional berupa gangguan mental berulang yang ditandai dengan gejala-gejala

BAB I PENDAHULUAN. dalam dirinya dan lingkungan luar baik keluarga, kelompok maupun. komunitas, dalam berhubungan dengan lingkungan manusia harus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang

BAB I PENDAHULUAN. berat sebesar 4,6 permil, artinya ada empat sampai lima penduduk dari 1000

BAB I PENDAHULUAN. TBC, AIDS, leukemia, dan sebagainya (Fitria, 2010). ketakutan, ansietas, kesedihan yang menyeluruh (Potter & Perry, 2005).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN TEORI. pengecapan maupun perabaan (Yosep, 2011). Menurut Stuart (2007)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. D DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI DI RUANG MAESPATI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II KONSEP DASAR. serta mengevaluasinya secara akurat (Nasution, 2003). dasarnya mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik.

BAB II TINJAUAN TEORI. (DepKes, 2000 dalam Direja, 2011). Adapun kerusakan interaksi sosial

Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia

BAB I PENDAHULUAN. usia tua di Indonesia akan mencapai 23,9 juta atau 9,77% dan usia harapan

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah orang dengan gangguan skizofrenia dewasa ini semakin. terutama di negara-negara yang sedang berkembang seperti indonesia dan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

KONSEP KEPERAWATAN KELUARGA DEFINISI KELUARGA

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Skizofrenia 2.1.1. Pengertian Skizofrenia Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III (1995), skizofrenia adalah sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tidak selalu bersifat kronis) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya. Pasien dengan skizofrenia umumnya ditandai dengan penyimpangan yang fundamental dan karakteristik pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar atau tumpul. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. Skizofrenia adalah gangguan yang benar-benar membingungkan dan menyimpan banyak tanda tanya (teka-teki). Kadangkala skizofrenia dapat berpikir dan berkomunikasi dengan jelas, memiliki pandangan yang tepat dan berfungsi secara baik dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada saat yang lain, pemikiran dan katakata terbalik, mereka kehilangan sentuhan dan mereka tidak mampu memelihara diri mereka sendiri (Nolen, 2004). Dalam kasus berat, pasien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menuju kearah kronisitas, tetapi sekali-kali bisa timbul serangan. Jarang bisa terjadi

pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak cacat (Kaplan, 2002). Menurut Tubagus, skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yang berarti jiwa yang retak (skizos artinya retak dan freenas artinya jiwa). Jiwa manusia terdiri dari 3 unsur yaitu perasaan, kemauan dan perilaku. Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai autra fungsi individu, termasuk berpikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi dan perilaku dengan sikap yang dapat diterima secara sosial (Isaac Ann, 2005). Pedoman diagnostik dari skizofrenia adalah harus adanya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas): a. Thought echo dimana isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau thought incertion or withdrawl dimana isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya; dan thought broadcasting dimana isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya. b. Delusion of control dimana waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; delusion of influence dimana waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau delusion of passivity dimana waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap

suatu kekuatan dari luar; dan delusion perception dimana pengalaman indrawi yang tak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat. c. Halusinasi dimana suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien; mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri; atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh. d. Waham-waham menetap lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu atau kemampuan di atas manusia biasa. Selain ciri di atas, ada ciri lain sebagai pedoman diagnosis skizofrenia, yaitu paling sedikit ada dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas, yaitu: a. Halusinasi yang menetap dari panca indra apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, atau disertai oleh ide-ide berlebihan yang menetap atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus-menerus. b. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang relevan atau neologisme. c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah, posisi tubuh tertentu atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.

Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi semua harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika (PPDGJ-III, 1995). 2.1.2. Penyebab Skizofrenia Penyebab pasti skizofrenia sampai saat ini belum diketahui. Ada beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya skizofrenia. Bukti kuat dari penelitian pada kembar identik menyimpulkan bahwa faktor genetik memberikan kontribusi yang besar pada etiologi skizofrenia. Walaupun demikian sampai saat ini belum diketahui secara pasti gen yang terlibat pada skizofrenia dan juga belum diketahui bentuk kontribusinya. Telah bertahun-tahun dilakukan penelitian tentang etiologi gangguan skizofrenia, namun sampai saat ini belum ditemukan etiologi pasti gangguan ini (Durand, 2007). 2.1.3. Tipe-Tipe Skizofrenia A. Skizofrenia Paranoid Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III (1995), pedoman diagnosis skizofrenia paranoid dipenuhi oleh diagnosis umum skizofrenia, sebagai tambahannya adalah : a. Halusinasi dan/atau waham harus menonjol; suara-suara halusinasi yang megancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi peluit atau bunyi tawa; halusinasi pembauan atau

pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada, tetapi jarang menonjol; waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan, dipengaruhi dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam adalah yang paling khas. b. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relative tidak nyata atau tidak menonjol. Selain itu, ada diagnosis banding seperti epilepsi dan psikosis yang diinduksi oleh obat-obatan, keadaan paranoid involusional dan paranoia. B. Skizofrenia Hebefrenik Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III (1995), pedoman diagnosis skizofrenia hebefrenik dipenuhi oleh diagnosis umum skizofrenia. Diagnosis hebefrenia untuk pertama sekali hanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai umur 15-25 tahun). Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas pemalu dan senang menyendiri, namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosa. Untuk menentukan diagnosa hebefrenia yang meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan: a. Perilaku yang tidak bertanggung jwab dan tidak dapat diramalkan, serta mannerisme, ada kecenderungan untuk selalu menyendiri, dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan.

b. Afek pasien dangkal dan tidak wajar, sering disertai oleh cekikikan atau perasaan puas diri, senyum sendiri, atau oleh sikap tinggi hati, tertawa menyeringai, mannerisme, mengibuli serta bersenda gurau, keluhan hipokondriakal dan ungkapan kata yang diulang-ulang. Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol. Dorongan kehendak dan yang bertujuan hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan dan tanpa maksud. Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema absrak lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien. C. Skizofrenia Katatonik Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III (1995), pedoman diagnosis sizofrenia katatonik memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia. Satu atau lebih dari perilaku berikut ini mendominasi gambaran klinisnya, yaitu : a. Stupor atau mutisme (tidak berbicara) b. Gaduh gelisah c. Menampilkan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar d. Negativisme e. Rigiditas f. Fleksibilitas cerea

g. Gejala-gejala lain seoerti command automatism. Pada pasien yang tidak komunikastif dengan manifestasi perilaku dari gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang gejala-gejala lain. Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnosis untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alcohol atau obatobatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif. D. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiatedi) Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III (1995), pedoman diagnosis skizofrenia ini memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau katatonik. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca-skizofrenia. E. Depresi Pasca-Skizofrenia Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III (1995), diagnosis yang harus ditegakkan hanya: a. Pasien telah menderita skizofrenia selama 12 tahun terakhir ini b. Beberapa gejala skizofrenia masih ada c. Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresif dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu.

d. Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis menjadi episode depresif, bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtype skizofrenia yang sesuai. F. Skizofrenia Residual Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III (1995), untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua: a. Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol. b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia c. Setidaknya sudah melampaui kurun waktu satu tahun, dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang dan telah timbul sindrom negative dari skizofrenia d. Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak lainnya. G. Skizofrenia Simpleks Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa ke III (1995), diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari: a. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan

b. Disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mecolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup dan penarikan diri secara sosial. c. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtype skizofrenia lainnya. Selain skizofrenia-skizofrenia tersebut di atas, ada skizofrenia lain, yaitu skizofrenia YTT dan skizofrenia lainnya. 2.1.4. Pencegahan Kekambuhan Skizofrenia Empat faktor penyebab pasien kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit, menurut Sullinger (1988) : 1. Pasien : Sudah umum diketahui bahwa pasien yang gagal memakan obat secara teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 25% sampai 50% pasien yang pulang dari rumah sakit tidak memakan obat secara teratur. 2. Dokter (pemberi resep) : Makan obat yang teratur dapat mengurangi kambuh, namun pemakaian obat neuroleptic yang lama dapat menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia yang dapat mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol. 3. Penanggung jawab pasien: Setelah pasien pulang ke rumah maka perawat puskesmas tetap bertanggung jawab atas program adaptasi pasien di rumah. 4. Keluarga : Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak

menekan dan menyalahkan), hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi keluarga yang rendah. Selain itu pasien juga mudah dipengaruhi oleh stress yang menyenangkan (naik pangkat, menikah) maupun yang menyedihkan (kematian/kecelakaan). Dengan terapi keluarga pasien dan keluarga dapat mengatasi dan mengurangi stress. Cara terapi bisanya: Mengumpulkan semua anggota keluarga dan memberi kesempatan menyampaikan perasaan-perasaannya. Memberi kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan baru kepda pasien ganguan jiwa, memfasilitasi untuk hijrah menemukan situasi dan pengalaman baru. Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh pasien dan keluarganya yaitu : 1. Menjadi ragu-ragu dan serba takut (nervous) 2. Tidak nafsu makan 3. Sukar konsentrasi 4. Sulit tidur 5. Depresi 6. Tidak ada minat 7. Menarik diri Setelah pasien pulang ke rumah, sebaiknya pasien melakukan perawatan lanjutan pada puskesmas di wilayahnya yang mempunyai program kesehatan jiwa. Perawat komuniti yang menangani pasien dapat menganggap rumah pasien sebagai

ruangan perawatan. Perawat, pasien dan keluarga besar sama untuk membantu proses adaptasi pasien di dalam keluarga dan masyarakat. Perawat dapat membuat kontrak dengan keluarga tentang jadwal kunjungan rumah dan after care di puskesmas. Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan pasien dan merupakan perawat utama bagi pasien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan pasien di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat sia-sia jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan pasien harus dirawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal asuhan di RS akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat pasien di rumah sehingga kemungkinan dapat dicegah. Pentingnya peran serta keluarga dalam pasien gangguan jiwa dapat dipandang dari berbagai segi. Pertama, keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan institusi pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku. Individu menguji coba perilakunya di dalam keluarga, dan umpan balik keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua ini merupakan persiapan individu untuk berperan di masyarakat. Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem maka gangguan yang terjadi pada salah satu anggota merupakan dapat memengaruhi seluruh sistem, sebaliknya disfungsi keluarga merupakan salah satu penyebab gangguan pada anggota. Bila ayah sakit maka akan memengaruhi perilaku anak, dan istrinya, termasuk keluarga lainnya. Salah satu faktor penyebab kambuh gangguan jiwa adalah; keluarga yang tidak tahu

cara menangani perilaku pasien di rumah (Northouse, 1998). Pasien dengan diagnosa skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit karena perlakuan yang salah selama di rumah atau di masyarakat. 2.2. Perilaku Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup berperilaku karena mereka semua mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai kegiatan yang sangat luas sepanjang kegiatan yang dilakukannya, yaitu antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan seterusnya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati dari luar (Notoatmodjo, 1993). 2.2.1. Determinan Perilaku Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun

respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni: 1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. 2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang. 2.2.2. Bentuk Perilaku Ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu ke dalam tiga domain yaitu kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotor (pshycomotor) (Notoatmodjo, 2007). Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni: 1. Pengetahuan (knowledge) 2. Sikap (attitude) 3. Praktek atau tindakan (practice). 2.2.3. Faktor yang Memengaruhi Perilaku Menurut Lawrence Green yang dikutip Notoatmodjo (2005), ada 3 faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan : 1. Faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu factor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan sebagainya.

2. Faktor pemungkin (enabling factors), yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang menfasilitasi perilaku atau tindakan seperti sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit, tempat pembuangan sampah, makanan bergizi, dan sebagainya. 3. Faktor penguat (reinforcing factors), yaitu faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Faktor penguat mencakup : dukungan social dari tenaga kesehatan, tokoh masyarakat, tokoh agama dan keluarga. 2.3. Keluarga 2.3.1. Konsep Keluarga Menurut Notoatmodjo (2007), keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Menurut Bailon (1989), keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah tangga, berinterkasi satu sama lain dan di dalam perannya masingmasing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah : a. Unit terkecil masyarakat b. Terdiri atas dua orang atau lebih c. Adanya ikatan perkawinan atau pertalian darah d. Hidup dalam satu rumah tangga

e. Dibawah asuhan seorang kepala rumah tangga f. Berinteraksi diantara sesame anggota keluarga g. Setiap anggota memiliki perannya masing-masing h. Menciptakan, mempertahankan suatu kebudayaan (Effendy, 1998). 2.3.2. Struktur Keluarga Struktur keluarga terdiri atas bermacam-macam, diantaranya adalah : a. Patrilinear adalah keluarga sedarah yang terdiri atas sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ayah. b. Matrilinear adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ibu. c. Matrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah istri. d. Patrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah suami. e. Keluarga kawinan adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga, dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian keluarga karena adanya hubungan dengan suami atau istri. 2.3.3. Ciri-Ciri Struktur Keluarga Menurut Carter (1988), ciri-ciri struktur keluarga adalah : a. Terorganisasi; saling berhubungan, saling ketergantungan antara anggota keluarga.

b. Ada keterbatasan; setiap anggota memiliki kebebasan tetpai mereka juga mempunyai keterbatasan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya masingmasing. c. Ada perbedaan dan kekhususan; setiap anggota keluarga mempunyai peranan dan fungsinya masing-masing. 2.3.4. Tipe/Bentuk Keluarga Tipe dan bentuk keluarga terdiri atas : a. Keluarga inti (Nuclear Family) adalah keluarga yang terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak. b. Keluarga besar (Exstended Family) adalah keluarga inti ditambah dengan sanak saudara, misalnya nenek, kakek, keponakan, saudara sepupu, paman, bibi dan sebagainya. c. Keluarga berantai (Serial Family) adalah keluarga yang terdiri atas wanita dan pria yang menikah lebih dari satu kali dan merupakan satu keluarga inti. d. Keluarga duda atau janda (Single Family) adalah keluarga yang terjadi karena perceraian atau kematian. e. Keluarga berkomposisi (Composite) adalah keluarga yang perkawinannya berpoligami dan hidup secara bersama-sama. f. Keluarga Kabitas (Cahabitation) adalah dua orang menjadi satu tanpa pernikahan tetapi membentuk suatu keluarga.

Keluarga di Indonesia umumnya menganut tipe keluarga besar, karena masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa hidup dalam suatu komuniti dengan adat istiadat yang sangat kuat (Effendy, 1998). 2.3.5. Pemegang Kekuasaan dalam Keluarga Adapun pemegang kekuasaan dalam keluarga, yaitu : a. Patriakal; yang dominan dan memegang kekuasaan dalam keluarga adalah dari pihak ayah. b. Matriakal; yang dominan dan memegang kekuasaan dalam keluarga adalah dari pihak ibu. c. Equalitarian; yang memegang kekuasaan dalam keluarga adalah ayah dan ibu. 2.3.6. Peranan Keluarga Peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat di dalam keluarga adalah sebagai berikut : a. Peranan ayah; ayah sebagai suami dari istri dan anak-anak, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.

b. Peranan ibu; sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. c. Peranan anak; anak-anak melaksanakan peranan psiko-sosial sesuai dengan tingkatan perkembangannya baik fisik, mental, sosial dan spiritual (Effendy, 1998). 2.3.7. Fungsi Keluarga Ada beberapa fungsi yang dapat dijalankan keluarga sebagai berikut : 1. Fungsi Biologis a. Untuk meneruskan keturunan b. Memelihara dan membesarkan anak c. Memenuhi kebutuhan gizi keluarga d. Memelihara dan merawat anggota keluarga. 2. Fungsi Psikologis a. Memberikan kasih sayang dan rasa aman b. Memberikan perhatian diantara anggota keluarga c. Membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga d. Memberikan identitas keluarga 3. Fungsi Sosialisasi a. Membina sosialisasi pada anak

b. Membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak c. Menentukan nilai-nilai budaya keluarga. 4. Fungsi Ekonomi a. Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga b. Pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga c. Menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga di masa yang akan datang misalnya pendidikan anak-anak, jaminan hari tua dan sebagainya. 5. Fungsi Pendidikan a. Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya b. Mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi perannya sebagai orang dewasa c. Mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangannya. Ahli lain juga mengelompokkan fungsi pokok keluarga menjadi 3, yaitu : a. Asih adalah memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan kepada anggota keluarga sehingga memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang sesuai usia dan kebutuhannya.

b. Asuh adalah menuju kebutuhan pemeliharaan dan perawatan anak agar kesehatannya selalu terpelihara, sehingga diharapkan menjadikan mereka anak-anak yang sehat baik fisik, mental, sosial dan spiritual. c. Asah adalah memenuhi kebutuhan pendidikan bagi anak, sehingga siap menjadi manusia dewasa yang mandiri dalam mempersiapkan masa depannya. 2.3.8. Tugas-Tugas Keluarga Pada dasarnya tugas pokok keluarga ada delapan, yaitu : 1. Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya. 2. Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga. 3. Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya masing-masing. 4. Sosialisasi antar anggota keluarga. 5. Pengaturan jumlah anggota rumah tangga. 6. Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga. 7. Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas. 8. Membangkitkan dorongan dan semangat para anggota keluarga (Effendy, 1997). 2.3.9. Prinsip-Prinsip Perawatan Keluarga Ada beberapa prinsip penting yang perlu diperhatikan dalam memberikan asuhan keperawatan kesehatan keluarga adalah : a. Keluarga sebagai unit atau satu kesatuan dalam pelayanan kesehatan.

b. Dalam memberikan asuhan perawatan kesehatan keluarga, sehat sebagai tujuan utama. c. Asuhan keperawatan yang diberikan sebagai sarana dalam mencapai peningkatan kesehatan keluarga. d. Dalam memberikan asuhan perawatan kesehatan keluarga, perawat melibatkan peran serta aktif seluruh keluarga dalam merumuskan masalah dan kebutuhan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatannya. e. Lebih mengutamakan kegiatan-kegiatan yang bersifat promotif dan preventif dan tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. f. Dalam memberikan asuhan perawatan kesehatan keluarga memanfaatkan sumber daya keluarga semaksimal mungkin untuk kepentingan kesehatan keluarga. g. Sasaran asuhan perawatan kesehatan keluarga adalah keluarga secara keseluruhan. h. Pendekatan yang dipergunakan dalam memberikan asuhan perawatan kesehatan keluarga adalah pendekatan pemecahan masalah dengan menggunakan proses keperawatan. i. Kegiatan utama dalam memberikan asuhan perawatan kesehatan keluarga adalah penyuluhan kesehatan dan asuhan perawatan kesehatan dasar/perawatan di rumah. j. Diutamakan terhadap keluarga yang termasuk resiko tinggi.

2.4. Dukungan Sosial Keluarga 2.4.1. Pengertian Dukungan Sosial Keluarga Menurut Sarwono dalam Yusuf (2007), dukungan adalah suatu upaya yang diberikan kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut dalam melaksanakan kegiatan. Sistem dukungan untuk mempromosikan perubahan perilaku ada 3, yaitu : (1) dukungn material adalah menyediakan fasilitas latihan, (2) dukungan informasi adalah untuk memberiakan contoh nyata keberhasilan seseorang dalam melaksanakan diet dan latihan, dan (3) dukungan emosional atau semangat adalah member pujian atas keberhasilan proses latihan. Menurut Friedman (1998), dukungan sosial keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga memenadang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Friedman (1998), menyatakan bahwa fungsi dasar keluarga antara lain adalah fungsi efektif, yaitu fungsi internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan psikososial, saling mengasuh memberikan kasih sayang serta menerima dan mendukung. Menurut Friedman (2003) dukungan sosial keluarga adalah bagian integral dari dukungan sosial. Dampak positif dari dukungan sosial keluarga adalah meningkatkan penyesuaian diri seseorang terhadap kejadian-kejadian dalam kehidupan. Studi tentang dukungan sosial keluarga telah mengkonseptualisasi dukungan sosial sebagai koping keluarga. Menurut Sheridan dan Radmacher (1992), Sarafino (1998) serta Taylor (1999), keluarga memiliki dukungan, yaitu : (1) dukungan

emosional, (2) dukungan penghargaan, (3) dukungan instrumental, dan (4) dukungan informatif. 2.4.2. Dimensi Dukungan Sosial Keluarga House (dalam Smet, 1994) membedakan empat jenis atau dimensi dukungan sosial, antara lain : a. Dukungan Emosional Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Bentuk dukungan ini membuat individu memiliki perasaan nyaman, yakin, diperlukan dan dicintai oleh sumber dukungan sosial, sehingga dapat menghadapi masalah dengan lebih baik. b. Dukungan Penghargaan Dukungan penghargaan terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan) positif untuk orang itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu dengan orangorang lain, contohnya dengan membandingkannya dengan orang lain yang lebih buruk keadaannya. c. Dukungan Instrumental Dukungan instrumental mencakup bantuan langsung, seperti kalau orang memberi pinjaman uang kepada orang itu. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi beban individu karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi.

d. Dukungan Informatif Dukungan informatif mencakup memberikan nasehat, petunjuk-petunjuk, saransaran atau umpan balik. Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah. 2.4.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Sosial Keluarga Sarafino (1990) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi apakah seseorang akan menerima Dukungan sosial keluarga atau tidak. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah : a. Faktor dari penerima dukungan (recipient) Seseorang tidak akan menerima dukungan sosial dari orang lain jika ia tidak suka bersosial, tidak suka menolong orang lain, dan tidak ingin orang lain tahu bahwa ia membutuhkan bantuan. Beberapa orang terkadang tidak cukup asertif untuk memahami bahwa ia sebenarnya membutuhkan bantuan dari orang lain, atau merasa bahwa ia seharusnya mandiri dan tidak mengganggu orang lain, atau merasa tidak nyaman saat orang lain menolongnya, atau tidak tahu kepada siapa dia harus meminta pertolongan. b. Faktor dari pemberi dukungan (providers) Seseorang terkadang tidak memberikan dukungan sosial kepada orang lain ketika ia sendiri tidak memiliki sumberdaya untuk menolong orang lain, atau tengah menghadapi stres, harus menolong dirinya sendiri, atau kurang sensitif terhadap sekitarnya sehingga tidak menyadari bahwa orang lain membutuhkan dukungan darinya.

Menurut Friedman (1998), faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan sosial keluarga lainnya adalah kelas sosial ekonomi orang tua. Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat pendapatan atau pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan orang tua. Dalam keluarga kelas menengah, suatu hubungan lebih demokratis dan adil mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang ada lebih otoritas atau otokrasi. Selain itu orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai tingkat dukungan, efeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi dari pada orang tua dengan kelas sosial bawah. 2.5. Teori S-O-R Dalam penelitian ini juga digunakan adalah model S-O-R (Stimulus, Organisme, Respon). Objek materialnya adalah manusia yang jiwanya meliputi komponen-komponen : sikap, opini, perilaku, kognisi, afeksi dan konasi. Organisme menghasilkan perilaku tertentu jika ada kondisi stimulus tertentu pula, efek yang ditimbulkan adalah reaksi khusus terhadap stimulus khusus, sehingga seseorang dapat mengharapkan dan memperkirakan kesesuaian antara pesan dan reaksi komunikan (Mar at, 1981). Model ini menunjukkan bahwa komunikasi merupakan proses aksi-reaksi. Artinya model ini mengasumsi bahwa kata-kata verbal, isyarat non verbal, simbolsimbol tertentu akan merangsang orang lain memberikan respon dengan cara tertentu. Pola S-O-R ini dapat berlangsung secara positif atau negatif;misal jika orang tersenyum akan dibalas tersenyum ini merupakan reaksi positif, namun jika

tersenyum dibalas dengan palingan muka maka ini merupakan reaksi negatif. Seperti halnya, peran keluarga yang positif akan menghadirkan perilaku positif terhadap pencegahan kekambuhan skizofrenia (Mar at, 1981). 2.6. Landasan Teori Menurut Lawrence Green yang dikutip Notoatmodjo (2005), ada 3 faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan : 1. Faktor pemudah (predisposing factors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi dan sebagainya. 2. Faktor pemungkin (enabling factors), yaitu faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan seperti sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit, tempat pembuangan sampah, makanan bergizi, dan sebagainya. 3. Faktor penguat (reinforcing factors), yaitu faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Faktor penguat mencakup : dukungan sosial dari tenaga kesehatan, tokoh masyarakat, tokoh agama dan keluarga. Caplan (1964) dalam Friedman (1998) menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa fungsi dukungan yaitu:

a. Dukungan informasional Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar) informasi tentang dunia. Menjelaskan tentang pemberian saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi. b. Dukungan penilaian Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator indentitas anggota keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan, perhatian c. Dukungan instrumental Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya: kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat, terhindarnya penderita dari kelelahan. d. Dukungan emosional Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan.

Penderita skizofrenia tidak mungkin mampu mengatasi masalah kejiwaanya sendiri. Individu tersebut membutuhkan peran orang lain di sekitarnya, khususnya keluarganya. Peran keluarga dalam pencegahan kekambuhan penderita skizofrenia sangat penting, karena keluargalah orang yang paling dekat dengan penderita skizofrenia. Pencegahan kekambuhan atau mempertahankan penderita skizofrenia di lingkungan keluarga dapat terlaksana dengan persiapan pulang yang adekuat serta mobilisasi fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat khususnya peran serta keluarga (Sarafino, 2006). 2.7. Kerangka Konsep Penelitian ini : Kerangka konsep dalam peneltian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1. berikut Variabel Independen Variabel Dependen Dukungan Sosial Keluarga : a. Dukungan emosional b. Dukungan Instrumental c. Dukungan Informatif d. Dukungan Penilaian Pencegahan Kekambuhan Pasien Skizofrenia Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan Gambar 2.1 di atas, diketahui variabel independen dalam penelitian ini yaitu dukungan sosial keluarga dalam mimum obat (dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informatif dan dukungan penilaian). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pencegahan kekambuhan pasien skizofrenia.