RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 11/PUU-XV/2017 Pembatasan Waktu Pengajuan Sengketa Pemilukada I. PEMOHON 1. Heru Widodo, S.H., M.Hum. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Andi Syafrani, S.H., MCCL. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon II); 3. Supriyadi Adi, S.H. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon III); 4. Budi Setyanto, S.H. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon IV); 5. Misbahuddin Gasma, S.H., M.H. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon V); 6. Unoto Dwi Yulianto, S.H. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon VI); 7. Dhimas Pradana, S.H. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon VII); 8. Vivi Ayunita, S.H. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon VIII); 9. Arsi Divinubun, S.H., M.H. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon IX); 10. Aan Sukirman, S.H. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon X); 11. Samsudin, S.H. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon XI); 12. Guntur Fattahilah, S.H. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon XII); 13. Eka Saputra, S.H., M.H. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon XIII); 14. Fablio Rojev Andrea, S.H. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon XIV); 15. Ai Latifah Fardhiyah, S.H. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon XV); 16. Ir. Vidi Galenso Syarief, S.H., M.H. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon XVI); 17. Edi Halomoan Gurning, S.H. (selanjutnya disebut sebagai Pemohon XVII). Selanjutnya secara bersama-sama disebut sebagai para Pemohon. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 157 ayat (5) dan Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 10/2016). 1
III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon tidak menjelaskan dasar hukum kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa perkara a quo. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga Negara. ; 2. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji. c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya Undang- Undang yang dimohonkan untuk diuji. e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.; 3. Pemohon prinsipal adalah perseorangan Warga Negara Indonesia yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya norma Pasal 157 ayat (5), kerugian yang dimaksud mempunyai hubungan sebab akibat (causal verband), yaitu bahwa hak Para Pemohon untuk mengajukan gugatan sengketa hasil pemilukada serentak dapat dipastikan atau setidaktidaknya menurut nalar akan terkendala dengan semakin sempitnya waktu untuk mempersiapkan permohonan dan bukti-bukti, sehingga secara logika atau setidak-tidaknya potensial merugikan para Pemohon berupa 2
terhambatnya melaksanakan pekerjaan berperkara di Mahkamah sehingga bertentangan dengn Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; 4. Bahwa ketentuan Pasal 158 ayat (1) dan (2) yang memberikan batasan berkaitan dengan pengajuan permohonan sengketa hasil pemilihan telah menghalangi upaya pencapaian keadilan dan penegakkan hukum guna mewujudkan Pemilukada yang demokratis serta memenuhi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Pengujian Materiil UU 10/2016: 1. Pasal 157 ayat (5): Peserta Pemilihan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota. 2. Pasal 158 ayat (1): Peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan: a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi; b. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi; c. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi; d. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi. 3
3. Pasal 158 ayat (2): Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara dengan ketentuan: a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota; b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan apabila terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota; c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) jiwa sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota; d. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota. B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 1. Pasal 1 ayat (3): Negara Indonesia adalah Negara Hukum. 2. Pasal 24 ayat (1): Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 3. Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. 4. Pasal 28J ayat (2): Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang 4
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa alasan permohonan diajukannya pengujian pasal yang mengatur tentang hari dalam penyelesaian perselisihan hasil dan/ atau sengketa sejak tahapan sengketa proses sampai sengketa hasil, satu dan lain hal berkaitan erat dengan telah diajukannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XIII/2015 tertanggal 11 November 2015, yang pada pokoknya menyatakan kata hari dalam Pasal 157 ayat (8) UU 8/2015 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai hari kerja yang kemudian frasa hari kerja tersebut diadopsi oleh UU 10/2016; 2. Bahwa meskipun kata hari telah dimaknai sebagai hari kerja dalam Putusan Mahkamah Konstitusi a quo, namun menurut hemat para Pemohon, khusus untuk berlakunya Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 akibat dari frasa 3 hari kerja terhitung sejak menimbulkan ketidakpastian hukum dan bersifat diskriminatif karena menimbulkan multi tafsir dalam memaknai bunyi pasal a quo; 3. Bahwa ketentuan batas pengajuan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 semakin dipersempit, yang semula 3 x 24 jam kemudian berubah menjadi 3 hari kerja sejak diumumkan penetapan perolehan suara, yang berarti para Pemohon hanya diberi kesempatan 2 hari kerja efektif (16 jam efektif) untuk mengajukan permohonan; 4. Bahwa mengenai batas waktu pengajuan permohonan sengketa Pemilukada Tahun 2015 mengacu pada ketentuan Pasal 157 ayat (5) UU 8/2015 yang mengatur batas waktu 3 x 24 jam masih banyak permohonan yang melewati batas waktu, apabila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 bisa sangat dipastikan akan semakin banyak pengajuan permohonan yang melewati batas waktu karena ketentuan Pasal 157 ayat (5) UU 10/2016 semakin mempersempit batas waktu pengajuan permohonan; 5
5. Bahwa ketentuan Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 memberikan batasan terkait dengan pengajuan permohonan sengketa hasil pemilihan telah menghalangi upaya pencapaian keadilan dan penegakkan hukum guna mewujudkan Pemilukada yang demokratis serta memenuhi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Selain itu, penentuan prosentaseprosentase sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 tidak memiliki kejelasan rasio logisnya, sehingga bertentangan dengan UUD 1945 yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (4), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; 6. Bahwa pembatasan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 tidak menjamin pengakuan serta penghormatan hak dan kebebasan untuk memenuhi tuntutan yang adil dalam suatu masyarakat demokratis, serta justru berpotensi menimbulkan pergolakan keamanan dan ketertiban umum disebabkan frustasi sosial masyarakat pada akar rumput, oleh karena terhambatnya sarana mencapai keadilan melalui penegakkan hukum terhadap pelanggaran yang menciderai demokrasi dalam penyelenggaraan Pemilukada, dengan demikian pembatasan dalam pasal a quo tidak dapat dibenarkan karena tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J UUD 1945. VII. Permohonan Pemeriksaan dan Putusan dengan Prioritas Bahwa berkaitan dengan jadwal tahapan pelaksanaan Pemilukada sebagaimana ditetapkan oleh KPU akan segera dilaksanakan pada 15 Februari 2017 dan dimulainya pendaftaran permohonan sengketa hasil pemilihan tanggal 22-24 Februari 2017 untuk perselisihan hasil pemilihan Bupati/Walikota, dan tanggal 27 Februari s/d 1 Maret 2017 untuk perselisihan hasil pemilihan Bupati/Walikota, para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memprioritaskan pemeriksaan perkara ini dan menjatuhkan putusan sebelum dimulainya tahapan pemungutan dan perhitungan suara Pemilukada serentak tahun 2017, yaitu sebelum tanggal 15 Februari 2017. 6
VIII. PETITUM Dalam Pokok Perkara 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon tersebut untuk seluruhnya; 2. Menyatakan kata hari kerja dalam pasal 157 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Noomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945, sepanjang tidak dimaknai sebagai 3 x 24 jam dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 3. Menyatakan Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Noomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). 7