RENCANA STRATEGIS

dokumen-dokumen yang mirip
TROPICAL FOREST CONSERVATION ACTION FOR SUMATRA (PROGRAM TFCA-SUMATERA)

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

UNDANGAN UNTUK MENYAMPAIKAN PROPOSAL HIBAH KHUSUS PROGRAM FASILITASI MITRA TFCA- SUMATERA

KERANGKA KERJA (SCOPE OF WORK) DAN UNDANGAN PENYAMPAIAN PROPOSAL PROGRAM KONSERVASI SPESIES KARISMATIK SUMATRA

KERANGKA ACUAN PELAKSANAAN EVALUASI AKHIR PROGRAM MITRA TFCA- SUMATERA PADA SIKLUS HIBAH 1

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013

UNDANGAN PENYAMPAIAN PROPOSAL PROGRAM KONSERVASI SPESIES KARISMATIK SUMATRA

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

Siklus Hibah 4 TROPICAL FOREST CONSERVATION ACTION FOR SUMATERA (PROGRAM TFCA- SUMATERA) UNDANGAN UNTUK MENYAMPAIKAN PROPOSAL

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar

Pengumuman Pembukaan Siklus Hibah ke 5

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

REVITALISASI KEHUTANAN

KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB)

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

Pembangunan Kehutanan

KERANGKA ACUAN EVALUASI PERTENGAHAN PROGRAM MITRA TFCA- SUMATERA UNTUK SIKLUS HIBAH 2

DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN EKOSISTEM

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pariwisata merupakan salah satu sumber devisa negara selain dari sektor

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

Pemetaan Keanekaragaman Hayati Dan Stok Karbon di Tingkat Pulau & Kawasan Ekosistem Terpadu RIMBA

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

VIII. PENUTUP. 8.1 Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

Royal Golden Eagle (RGE) Kerangka Kerja Keberlanjutan Industri Kehutanan, Serat Kayu, Pulp & Kertas

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Gambaran Umum Mengenai Pasar Modal Indonesia. Bursa Efek merupakan lembaga yang menyelenggarakan kegiatan

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA KONFERENSI INTERNASIONAL EKOSISTEM MANGROVE BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

Disampaikan Pada Acara :

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

PENDAHULUAN Latar Belakang

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

VISI HIJAU UNTUK SUMATRA

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Om Swastiastu

PENDAHULUAN Latar Belakang

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

I. PENDAHULUAN. dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Lindung dan Hutan Produksi dengan pengertian sebagai berikut : a) Hutan

I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

Siaran Pers Tegaskan komitmen, perberat hukuman dan lindungi harimau sumatera

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

-2- saling melengkapi dan saling mendukung, sedangkan peran KLHS pada perencanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup bersifat menguatkan. K

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

Transkripsi:

TROPICAL FOREST CONSERVATION ACTION FOR SUMATERA RENCANA STRATEGIS 2010-2015 A. LATAR BELAKANG Pulau Sumatera merupakan salah kawasan prioritas konservasi keanekaragaman hayati Paparan Sunda dan salah satu dari 34 wilayah di dunia yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati dengan endemisme luar biasa namun juga mendapat tekanan yang besar sehingga menyebabkan kehilangan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi pula. Sejarah pembentukan dan sejarah perkembangan geologinya, menjadikan Sumatera memiliki keragaman topografi yang tinggi, dengan berbagai tipe ekosistem yang menjadi habitat beragam flora dan fauna yang khas di Sumatera seperti Harimau, Gajah, Orangutan, Badak Sumatera, Mentok Rimba, Bunga Raflesia, dan lain-lain. Tingkat keanekaragaman taksa flora dan fauna juga relatif tinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Akan tetapi lebih dari 260 spesies yang ada di Sumatera masuk ke dalam kategori terancam punah. Upaya perlindungan atau penyelamatan keanekaragaman hayati di Indonesia, termasuk di Sumatera, bukanlah hal yang baru. Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan dana dan tenaga yang tidak sedikit untuk pengelolaan kawasan konservasi, termasuk dana yang berasal dari bantuan internasional, baik melalui kerjasama bilateral maupun multi-lateral serta dari lembaga-lembaga organisasi nonpemerintah baik nasional maupun internasional. Hingga saat ini, Pemerintah Indonesia telah menetapkan 134 unit kawasan konservasi di Pulau Sumatera, dengan total luas keseluruhan 5.742.196,17 ha dengan bagian terbesar berupa 11 unit Taman Nasional seluas 3.882.218,48 ha. Namun demikian, fakta lapangan menunjukkan bahwa antara tahun 1985 hingga 2007, kerusakan hutan di Sumatera sangat tinggi yang ditunjukkan dengan penurunan tutupan hutan seluas 12 juta ha atau penurunan luas hutan sebesar 48% dalam 22 tahun akibat alih fungsi hutan, pembalakan liar dan kebakaran. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan (2008), pada periode 2003-2006 kerusakan hutan dan deforestasi di dalam kawasan hutan Pulau Sumatera adalah yang terbesar dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya, yaitu seluas 268.000 ha per tahun. Pulau Sumatera menyumbang sebesar 22,8% terhadap deforestasi total di Indonesia (1,17 juta ha per tahun). Hutan primer Sumatera yang masih tersisa hanya sekitar 29%, padahal Sumatera membutuhkan tutupan hutan sekurang-kurangnya 40% untuk tetap dapat menyangga kehidupan dan melindungi pusat konsentrasi keanekaragaman hayati penting Pulau Sumatera. Sebagian besar hutan primer yang tersisa terletak di dalam kawasan konservasi dan/atau kawasan lindung yang berada di dataran tinggi dan relatif lebih rendah keanekaragaman hayatinya dibanding dataran rendah.

Analisis kesenjangan keterwakilan ekologis di dalam kawasan konservasi memperlihatkan bahwa banyak ekosistem penting Sumatera berada di luar kawasan konservasi, terutama di daerah-daerah dataran rendah (Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010). Sebagian besar ekosistem penting yang masuk di dalam jaringan kawasan konservasi berada di dataran tinggi. Oleh sebab itu menyelamatkan hutan yang tersisa di Sumatera baik yang berada di kawasan konservasi maupun yang berada di luarnya, menjadi sangat penting untuk diprioritaskan saat ini. Penyelamatan tersebut dapat dalam bentuk perluasan atau penetapan kawasan konservasi baru maupun pengelolaan hutan secara lestari sehingga mampu berfungsi untuk perlindungan keanekaragaman hayati beserta jasa yang ditimbulkannya. Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia, Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) dan Conservation International Foundation (CI) telah menyepakati suatu perjanjian dalam kerangka pengalihan utang Pemerintah Indonesia kepada Pemerintah Amerika Serikat yang dimanfaatkan untuk memfasilitasi pembiayaan konservasi, perlindungan, restorasi (pemulihan) dan pemanfaatan sumberdaya hutan tropis secara lestari di Pulau Sumatera, yang selanjutnya disebut Program TFCA-Sumatera (Tropical Forest Conservation Action-Sumatra). Program TFCA-Sumatera berorientasi pada pengelolaan ekosistem prioritas di tingkat bentang alam. Dalam hal ini, kawasan prioritas tersebut akan menjadi basis konservasi keanekaragaman hayati dalam skala bentang alam yang didukung oleh pengelolaan seluruh elemen sumberdaya alam di sekitarnya secara berkelanjutan, baik dalam lingkup kehutanan, pertanian, pesisir dan pantai, pembangunan infrastruktur dan perekonomian. Pendekatan ini menekankan model kolaborasi antar pelaku pembangunan di berbagai sektor, guna mendorong dan mewujudkan konservasi hutan yang pada gilirannya berdampak pada pembangunan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Berdasarkan masalah yang ada dan bentuk intervensi program TFCA-Sumatera yang potensial seperti disebut di atas, diharapkan dapat mewujudkan kondisi dimana Pulau Sumatera menjadi wilayah yang mampu mewadahi kelestarian hutan hujan tropis dan keanekaragaman hayati di dalamnya, serta menyangga tata kehidupan yang mapan dalam menghadapi dinamika sosial budaya dan pembangunan ekonomi wilayah yang dapat diselenggarakan secara bertanggung gugat. Intervensi ini diharapkan dapat memberikan tambahan manfaat yang nyata bagi mitigasi terhadap perubahan iklim global, serta mendukung komitmen Presiden RI untuk mengurangi emisi karbon secara nasional sekurang-kurangnya sebesar 26% dengan sumbangan dari sektor kehutanan sebesar sekurangkurangnya 14% pada tahun 2020. Intervensi strategis program TFCA-Sumatera mengutamakan kegiatan praktis di lapangan yang dapat didukung oleh kegiatan pengumpulan data yang tepat untuk pemantauan dan evaluasi. Kegiatan ini diharapkan dapat mendorong tata kelola yang baik khususnya di bidang konservasi, pembuatan kebijakan dan penguatan kelembagaan, adopsi pengelolaan sumberdaya alam dengan praktek-praktek terbaik, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan ekonomi lokal pada hamparan bentang alam yang kaya akan keanekaragaman hayati.

B. VISI Kelestarian keanekaragaman hayati hutan tropis untuk menopang terciptanya pembangunan berkelanjutan di pulau Sumatera. C. TUJUAN Program TFCA-Sumatera utamanya akan mendanai lembaga lokal di Sumatera (Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM, lembaga masyarakat (Kelompok Swadaya Masyarakat/KSM) dan perguruan tinggi) yang melakukan kegiatan dengan tujuan untuk mencapai hasil sebagai berikut sebelum tahun 2015: 1. Meningkatnya keefektifan pengelolaan hutan Sumatera yang berkelanjutan minimum 1 juta ha pada tahun 2015, yang memadukan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat lokal; 2. Meningkatnya peran serta masyarakat dalam konservasi jenis satwa liar kunci Sumatera seperti Gajah, Orangutan, Harimau dan Badak, termasuk menjalin dan atau memelihara keterhubungan antar habitat kritis untuk menjamin terjaganya tingkat populasi minimum yang dapat berkembangbiak secara normal; dan 3. Berdayanya masyarakat untuk mendukung turunnya laju deforestasi dan kerusakan ekosistem sebesar minimum 26%, di bentang alam yang diprioritaskan. D. PENDEKATAN Pendekatan yang harus diadopsi para pihak dalam mengusulkan kegiatan untuk mendapatkan pendanaan program TFCA-Sumatera perlu dilakukan melalui pendekatan pengelolaan yang terpadu (antar komponen) dan kolaboratif (antar lembaga). Pengelolaan kolaboratif dan multipihak merupakan pendekatan kunci program TFCA-Sumatera yang diharapkan mampu meningkatkan sinergi para aktor dan keberhasilan upaya pelestarian keanekaragaman hayati pada skala bentang alam serta dapat digunakan dalam menyusun strategi dan cara kerja kegiatan konservasi. Pengelolaan kolaboratif harus disusun oleh para aktor pembangunan yang memiliki kepentingan dan tanggung jawab terhadap sumberdaya alam hayati di dalam bentang alam yang akan dikelola, baik penentu kebijakan (pemerintah) maupun pengelola kawasan hutan (pemerintah maupun swasta), pelaku pembangunan di tingkat tapak, Lembaga Swadaya Masyarakat /LSM, Kelompok Swadaya masyarakat/ksm, Perguruan Tinggi dan aktor-aktor pendukung lain yang relevan. Keterlibatan masyarakat, terutama masyarakat lokal dan masyarakat adat harus diperhatikan demi keberlanjutan kegiatan konservasi dengan menghormati hak-hak dan perbaikan kehidupan masyarakat adat tersebut. Konservasi sumberdaya alam yang melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah harus menjadi prioritas dalam upaya konservasi ini. Program TFCA-Sumatera harus dilaksanakan berdasarkan pendekatan pengelolaan lansekap terpadu sebagai instrumen untuk memperbaiki kegagalan upaya masa lampau yang umumnya terfokus pada lokasi spesifik atau permasalahan tertentu. Prinsip-prinsip yang perlu dilaksanakan dalam pelaksanaan program TFCA-Sumatera antara lain: kesinambungan bentang alam, populasi jenis flora dan fauna

minimal yang mampu berkembang-biak secara normal, praktek pengelolaan yang terbaik, prinsip kesetaraan/keadilan lintas generasi, prinsip kehati-hatian, dan prinsip tata kelola yang baik. Dengan prinsip-prinsip tersebut para pihak diharapkan mampu menguraikan akar masalah yang dihadapi dalam pengelolaan keanekaragaman hayati pada skala bentang alam yang menjadi prioritas program TFCA- Sumatera, serta mengusulkan cara mengatasi masalah dengan memahami akar masalah tersebut, baik melalui pendekatan kebijakan, kelembagaan dan rencana pengelolaan kolaboratif yang disepakati. Berdasarkan rencana kolaboratif tersebut dapat dirumuskan peran masing-masing pihak pada tingkat implementasi pengelolaan, termasuk sumberdaya yang diperlukan. Berbagai aktivitas/program yang merupakan bagian dari rencana kolaboratif dapat diusulkan untuk dibiayai program TFCA-Sumatera sepanjang sesuai dengan strategi dan kebijakan program TFCA-Sumatera. E. PRIORITAS 1. Prioritas Bentang Alam Fokus Program TFCA-Sumatera adalah pada hamparan bentang alam yang kaya akan keanekaragaman hayati, mencakup ekosistem penting di dalam dan sekitar kawasan konservasi, serta wilayah koridor dan keterhubungan habitat dan kawasan agroekosistem di sekitarnya yang dikelola oleh masyarakat lokal. Untuk lima tahun pertama, TFCA-Sumatera memprioritaskan lima bentang alam, yaitu bentang alam Ekosistem Leuser, Kawasan Hutan Batang Toru, Taman Nasional Batang Gadis, Taman Nasional Kerinci Seblat dan bentang alam Semenanjung Kampar, Kerumutan dan Senepis. Pemilihan prioritas ini didasarkan pada tingginya tekanan yang mengancam keberadaan ekosistem hutan di tingkat bentang alam tersebut. Untuk bentang alam lain yang masuk di dalam 13 lokasi geografis potensial 1 ) TFCA-Sumatera, kegiatan mendesak akan diprioritaskan sesuai dengan tingkat pentingnya kegiatan tersebut di dalam kerangka konservasi hutan di tingkat bentang alam. 2. Prasyarat untuk Mencapai Pengelolaan Konservasi Hutan Berkelanjutan Pelaksanaan kegiatan konservasi harus memadukan beberapa kegiatan, seperti kegiatan yang mengarah pada penetapan kawasan lindung, perlindungan dan restorasi kawasan hutan, serta pengelolaan sumberdaya alam berbasiskan kaidah ilmiah. Kegiatan tersebut di atas harus dilakukan secara terpadu untuk menghasilkan dampak yang nyata di tingkat bentang alam sehingga perlu didukung oleh peningkatan kapasitas individu dan lembaga, perbaikan kesejahteraan masyarakat serta perubahan kebijakan yang lebih mendukung kegiatan konservasi. Selain itu kondisi pemungkin pengelolaan sumberdaya alam hayati lestari, terutama penggunaan lahan berkelanjutan (sustainable land use) dan rencana pengelolaan keanekaragaman hayati daerah harus dapat diwujudkan atau diperbaiki di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota. 1 ) 1) Bentang alam Kerumutan-Semenanjung Kampar-Senepis; 2) Kawasan Hutan Batang Toru dan Taman Nasional Batang Gadis; 3) Ekosistem Kerinci Seblat; 4) Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser; 5) Kawasan Hutan Bukit Barisan Selatan; 6) Sembilang-Berbak; 7) Taman Nasional Siberut dan Kepulauan Mentawai; 8) Ekosistem Tesso Nilo; 9) Taman Nasional Bukit Tiga Puluh; 10) Taman Nasional Way Kambas; 11) DAS Toba Barat; 12) Dataran Rendah dan Hutan Tropis Angkola; 13) Hutan warisan Ulu Masen/ Seulawah.

Untuk itu program TFCA-Sumatera memprioritaskan kegiatan yang secara garis besar dapat dikelompokkan dalam kegiatan: 1) Konservasi bentang alam, 2) Konservasi habitat, 3) Konservasi spesies dan genetik, 4) Pengembangan model-model pengelolaan sumberdaya alam terbaik seperti pada daerah penyangga, koridor dan kawasan dengan nilai konservasi tinggi, 5) Pengembangan kebijakan konservasi, dan 6) Peningkatan insentif bagi masyarakat dan peran pemerintah daerah dalam konservasi. Kegiatan lain dapat ditambahkan untuk mendukung kegiatan diatas secara terpadu. Program TFCA-Sumatera tidak dapat mendukung kegiatan yang sangat khusus memusatkan perhatian pada satu kegiatan tunggal seperti penelitian, perancangan, pengembangan model, pengembangan kapasitas atau kampanye dan advokasi tanpa dikaitkan dengan kegiatan di tingkat tapak atau bentang alam yang sangat penting perannya dalam membuat perubahan yang nyata di lapangan. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan dapat menghasilkan dampak yang nyata seperti: 1) Terpeliharanya ekosistem-ekosistem hutan pada tingkat bentang alam melalui berbagai intervensi, termasuk mendorong terwujudnya kondisi pemungkin seperti penggunaan lahan dan tata ruang yang berkelanjutan dan perbaikan kebijakan yang mengedepankan konservasi hutan; 2) Terpeliharanya habitat hidupan liar melalui pelaksanaan pengelolaan secara efektif kawasankawasan konservasi prioritas, membangun dan mengelola koridor satwa untuk menciptakan ketersinambungan habitat serta mendorong praktek-praktek pengelolaan terbaik sumberdaya alam di daerah penyangga kawasan konservasi dan kawasan-kawasan dengan nilai konservasi tinggi; 3) Meningkatnya populasi spesies kunci yang terancam punah dan terkendalinya populasi spesies yang bernilai komersial melalui kegiatan-kegiatan pemulihan dan penyelamatan populasi dan habitat jenis terancam punah dan pengaturan pemanfaatan jenis-jenis komersial; 4) Terciptanya pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan baik di tingkat ekosistem, spesies maupun genetik yang berdampak pada kelestarian hutan; 5) Meningkatnya taraf hidup masyarakat sekitar hutan sebagai bagian dari insentif yang pada gilirannya berpengaruh pada kelestarian hutan; 6) Meningkatnya peran pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dalam konservasi hutan sehingga mendorong terciptanya kebijakan-kebijakan daerah yang memberikan insentif bagi konservasi hutan; F. HASIL DAN INDIKATOR Program yang diusulkan diharapkan dapat mencapai hasil yang nyata dan terjangkau. Program yang diusulkan tersebut secara nyata memperbaiki cara konservasi dan kondisi ekosistem hutan yang terukur dibandingkan data dasar yang telah dipersiapkan. Tabel berikut memperlihatkan kombinasi beberapa indikator yang dapat dipakai untuk menilai keberhasilan program sebagai hasil dari bantuan TFCA-Sumatera. Tabel berikut hanya merupakan contoh dan bersifat indikatif berdasarkan target kegiatan dalam TFCA-Sumatera, bukan merupakan

standar baku. Pihak yang mengusulkan dapat mencari indikator lain namun harus dapat dengan pasti mengukur hasil yang diharapkan dan indikator yang ditetapkan. Konsep usulan kegiatan dapat menunjukkan/memberikan indikator keberhasilan berikut ini dan atau indikator lain yang dapat mengukur sukses kegiatan TFCA-Sumatera: Tabel 1. Kemungkinan-kemungkinan indikator keberhasilan kegiatan TFCA-Sumatera No Indikator yang dapat dipantau Satuan ukuran 1 Pertambahan kawasan konservasi baru, luasan habitat yang Hektar (ha) direstorasi, perluasan kawasan konservasi, pembangunan koridor satwa terancam dan keterhubungan antar kawasan konservasi, pembangunan/pemeliharaan/pengelolaan daerah penyangga 2 Perlindungan kawasan konservasi melalui penegakan hukum yang tegas, termasuk patroli, pembentukan organisasi swadaya masyarakat yang mampu melindungi kawasan Jumlah kasus kejahatan hutan yang dilaporkan dan diproses ke penegak hukum konservasi 3 Menurunnya tingkat gangguan terhadap kawasan konservasi: perambahan, pembalakan liar, kebakaran Kasus/ha/KK/titik api 4 Peningkatan efektivitas pengelolaan kawasan, diukur dengan metoda standar untuk menurunkan ancaman dan tekanan serta meningkatkan pengelolaan kawasan konservasi Misal: % peningkatan keefektifan pengelolaan kawasan, atau disesuaikan dengan standar dalam metoda yang dipakai 5 Peningkatan populasi spesies yang terancam punah Jumlah populasi/kerapatan 6 Pembinaan populasi: reintroduksi, rehabilitasi, restorasi habitat dan populasi Jumlah populasi, jumlah individu, ha habitat yang direstorasi 7 Peningkatan jumlah perusahaan yang melaksanakan praktek pengelolaan SDA terbaik dan teridentifikasinya kawasan dengan nilai konservasi tinggi yang dilindungi dan dikelola secara baik Jumlah perusahaan, Ha, lokasi, termasuk SDA yang dapat dilestarikan karena implementasi pengelolaan terbaik 8 Kebijakan dan aturan pemerintah pusat dan daerah yang mendukung konservasi yang diterapkan Jumlah kebijakan yang dikeluarkan, diperbaiki, diterapkan dan berjalan 9 Peningkatan kesejahteraan (insentif bagi) masyarakat lokal karena program TFCA-Sumatera 10 Keterlibatan masyarakat lokal dalam konservasi hutan dan keanekaragaman hayati Jumlah orang/rumah tangga yang penghasilannya meningkat, produktivitas, akses terhadap air, energi, sumberdaya alam, dsb. Jumlah rumah tangga yang melaksanakan kegiatan sesuai dengan kaidah konservasi, dsb.