BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

dokumen-dokumen yang mirip
B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan sejumlah uang misalnya, dapat meminjam dari orang

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

BAB I PENDAHULUAN. Secara historis, istilah hukum perusahaan berasal dari hukum dagang dan

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB I PENDAHULUAN. Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. dengan pasal 294 UU Kepailitan dan PKPU. Adapun PKPU ini berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional.


BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat serta kompleks melahirkan berbagai

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan dapat terjadi dengan makin pesatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah franchise dalam Bahasa Prancis memiliki arti kebebasan atau freedom.

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai segala jenis usaha dan bentuk usaha. Rumusan pengertian

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. akan berakibat pula pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I. tidak dipakai. Sangat sedikit kasus-kasus yang ada saat itu yang mencoba memakai peraturan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945 menempatkan

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan pada karyawan. Jaminan tersebut diberikan dalam bentuk manfaat

BAB I PENDAHULUAN. kesatuan organisasi yang terdiri dari faktor-faktor produksi yang bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. menghimpun dana, menyalurkan dana atau kedua-duanya. 2 Sesuai dengan laju. pertumbuhan ekonomi dan gerak pembangunan suatu bangsa.

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan ekonomi tersebut. Modal yang dimiliki oleh para pengusaha

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh

KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. Oleh : Linda Firdawaty * Abstraksi

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat ukur kemakmuran dari suatu negara. 1 Untuk mencapainya diperlukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB I PENDAHULUAN. yaitu saat di lahirkan dan meninggal dunia, dimana peristiwa tersebut akan

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan-perusahaan yang menyokong pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Kendatipun

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

BAB I PENDAHULUAN. disalurkan oleh perbankan syari ah. Seperti yang disebutkan dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Grafindo Persada, Jakarta, 2000 hal 1. Universitas Sumatera Utara

BAB I P E N D A H U L U A N. pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan laut ini. Tetapi karena

I. PENDAHULUAN. membutuhkan modal karena keberadaan modal sangat penting sebagai suatu sarana

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu perdagangan yang lazim dikenal dengan perdagangan ekspor-impor.

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Privatum Vol. V/No. 5/Jul/2017

BAB I PENDAHULUAN. provisi, ataupun pendapatan lainnya. Besarnya kredit yang disalurkan akan

UPAYA HUKUM DALAM PERKARA KEPAILITAN

BAB I PENDAHULUAN. roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN WARALABA. (Studi Pada Perjanjian Waralaba Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo) S K R I P S I

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

PENYELESAIAN KREDIT MACET DI KOPERASI BANK PERKREDITAN RAKYAT (KBPR) VII KOTO PARIAMAN

BAB I PENDAHULUAN. antara lain sektor hukum, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya. Sektor yang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai usaha yang terus berkembang di segala bidang. Usaha yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir

BAB I PENDAHULUAN. Suatu kegiatan usaha atau bisnis diperlukan sejumlah dana sebagai modal

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta

BAB I PENDAHULUAN. Jepang, Korea Selatan, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Pada awal

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

I. PENDAHULUAN. Perusahaan memiliki peran penting dalam negara Indonesia, yaitu sebagai

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit dan sebagai bisnis yang efisien dan dapat dijalankan serta dikembangkan oleh siapa saja karena pemasaran usaha yang telah dikenal luas dalam masyarakat. Pengertian waralaba menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam Pasal 1 angka 1 yaitu : 1 Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 juga menyebutkan bahwa waralaba diselenggarakan harus berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia dan dalam hal perjanjian ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Perjanjian waralaba memuat klausula paling sedikit : 2 1 Republik Indonesia Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Bab I, Pasal 1 angka 1. 2 Ibid., Pasal 5. 1

2 a. Nama dan alamat para pihak; b. Jenis Hak Kekayaan Intelektual; c. Kegiatan usaha; d. Hak dan kewajiban para pihak; e. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba; f. Wilayah usaha; g. Jangka waktu perjanjian; h. Tata cara pembayaran imbalan; i. Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris; j. Penyelesaian sengketa; dan k. Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian. Sistem usaha waralaba mengenal para pihak yaitu ; 3 pertama, Franchisor atau pemberi waralaba/pewaralaba adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya; kedua, Franchisee atau penerima waralaba/terwaralaba, adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pemberi waralaba. Mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut dan untuk menjaga kepastian hukum bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian waralaba, yang berakibat pada tidak dapat dipenuhinya kewajibankewajiban yang sudah jatuh tempo, maka pemerintah melakukan perubahanperubahan yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah dengan merevisi Undang-Undang Kepailitan yang ada. 4 3 Ibid., Pasal 1. 4 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hlm. 1.

3 Latar belakang pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan (selanjutnya disebut Perpu No. 1 Tahun 1998), tidak lain berkaitan dengan kondisi perekonomian pada masa itu. Pada satu sisi, Indonesia membutuhkan kepercayaan dunia Internasional terhadap iklim bisnis Indonesia, dan di lain pihak para kreditur membutuhkan suatu aturan hukum yang cepat dan pasti bagi penyelesaian piutang-piutangnya pada berbagai perusahaan Indonesia yang berada dalam kondisi bangkrut. Apabila mengandalkan penyelesaian utang-piutang berdasarkan peraturan yang lama maka akan memakan waktu yang lama, berbelit-belit dan tidak menjamin kepastian hukum. 5 Perpu No. 1 Tahun 1998 kemudian disahkan dalam bentuk Undang- Undang yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang- Undang (selanjutnya disebut UU No. 4 Tahun 1998). Kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK dan PKPU). 6 Pada prinsipnya, sebagai konsekuensi dari ketentuan Pasal 22 UUK dan PKPU, maka setiap dan seluruh perikatan antara pewaralaba yang dinyatakan pailit dengan pihak ketiga yang dilakukan sesudah pernyataan pailit, tidak akan dan tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut 2014), hlm. 3. 5 Sunarmi, Hukum Kepailitan (Medan: USU Press, 2009), hlm. 3. 6 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,

4 mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu. Gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit, selama dalam kepailitan, yang secara langsung diajukan kepada debitur pailit, hanya dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk pencocokan. 7 B. Perumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Bagaimana waralaba sebagai salah satu bentuk sistem bisnis dalam hukum positif di Indonesia? 2. Bagaimana kepailitan menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang? 3. Bagaimana akibat hukum kepailitan pewaralaba terhadap perjanjian waralaba dalam industri makanan? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun penulisan ini dilakukan dengan tujuan dan manfaat yang hendak dicapai, yaitu : 1. Tujuan penulisan Berdasarkan perumusan masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah : a. Untuk mengetahui bentuk waralaba sebagai suatu bentuk sistem bisnis dalam hukum positif yang berkembang di Indonesia 7 https://clickgtg.wordpress.com/2008/07/02/hukum-kepailitan-di-indonesia/ (diakses pada 03 Maret 2015).

5 b. Untuk mengetahui secara paham bentuk kepailitan menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang c. Untuk mengetahui akibat hukum kepailitan pewaralaba terhadap perjanjian waralaba dalam industri makanan 2. Manfaat penulisan Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : a. Secara teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan menambah wawasan ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya pengetahuan ilmu hukum ekonomi. b. Secara praktis Ditinjau dari permasalahan, penulis mengharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut : 1) Bagi pewaralaba (franchisor), agar memiliki pengetahuan dalam gugatan yang diajukan kepada kreditur dan memahami akibat hukum kepailitan terhadap perjanjian waralaba. 2) Bagi terwaralaba (franchisee), agar memahami akibat hukum dari pewaralaba yang pailit. D. Keaslian Penulisan Berdasarkan hasil penelitian di Perpustakaan di Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, ternyata tidak ditemukan judul yang membahas mengenai Akibat Hukum Kepailitan Pewaralaba Terhadap Perjanjian Waralaba Dalam Bidang Industri Makanan, adalah sebagai berikut:

6 1. Akibat hukum kepailitan pewaralaba terhadap perjanjian waralaba dalam bidang industri makanan 2. Perlindungan hukum bagi pembeli harta debitur pailit sebelum terjadinya kepailitan 3. Analisis permohonan kepailitan Perum oleh Menteri Keuangan Dengan demikian jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya. E. Tinjauan Pustaka Pasal 1 angka 1 UUK dan PKPU, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan pewaralaba Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undangundang ini. 8 Syarat-syarat yuridis agar debitur dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut: 9 1. Adanya utang; debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya; 8 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 1 angka 1. 9 https://clickgtg.wordpress.com/2008/07/02/hukum-kepailitan-di-indonesia/ (diakses pada 03 Maret 2015).

7 2. Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo; 3. Minimal satu dari utang dapat ditagih; 4. Adanya kreditur dan kreditur lebih dari satu; 5. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan; 6. Permohonan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang; 7. Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam undang-undang kepailitan. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mensyaratkan bahwa permohonan pernyataan pailit harus diajukan oleh pihak yang berwenang, bahkan panitera wajib tidak menerima permohonan pernyataan pailit apabila diajukan oleh pihak yang tidak berwenang. Berdasarkan Undang-undang Kepailitan, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit antara lain: 10 1. Debitur Dalam setiap hal disyaratkan bahwa debitur mempunyai lebih dari satu orang kreditur, karena merasa tidak mampu atau sudah tidak dapat membayar utang-utangnya, dapat mengajukan permohonan pailit. Debitur harus membuktikan bahwa ia mempunyai dua atau lebih kreditur serta juga membuktikan bahwa ia tidak dapat membayar salah satu atau lebih utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Apabila debitur telah menikah, maka harus ada persetujuan pasanganya, karena hal ini menyangkut harta bersama, kecuali tidak ada pencampuran harta. 10 http://notariskhairulnas.blogspot.com (diakses pada 19 Maret 2015).

8 2. Kreditur Dua orang kreditur atau lebih, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit selama memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang. Kreditur yang mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi debitur harus memenuhi syarat bahwa hak tuntutannya terbukti secara sederhana atau pembuktian mengenai hak kreditur untuk menagih juga dilakukan secara sederhana. 3. Kejaksaan Apabila permohonan pernyataan pailit mengandung unsur atau alasan untuk kepentingan umum maka, permohonan harus diajukan oleh Kejaksaan. Kepentingan umum yang dimaksud dalam undang-undang adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. 4. Bank Indonesia Bank Indonesia adalah satu-satunya pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit jika debiturnya adalah bank. Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggung jawabkan. 5. Badan Pengawas Pasar Modal Apabila debitur adalah perusahaan bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian maka satu-satunya pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah badan pengawas

9 pasar modal, karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan badan pengawas pasar modal. 6. Menteri keuangan Permohonan pernyataan pailit harus diajukan oleh Menteri Keuangan apabila debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik. Akibat hukum kepailitan adalah: 11 1. Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. 2. Perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitur dapat meminta kepada kurator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh kurator dan pihak tersebut. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, menyebutkan pengertian waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan 11 Ibid.

10 dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. 12 Perjanjian waralaba mengenal dua pihak yaitu: 13 1. Pemberi waralaba/pewaralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimilikinya kepada penerima waralaba. 2. Penerima waralaba/terwaralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba. Waralaba terbagi atas beberapa bentuk, yaitu : 14 1. Product franchise Suatu bentuk waralaba dimana terwaralaba hanya bertindak mendistribusikan produk dari partnernya dengan pembatasan areal. 2. Processing or manufacturing franchise Jenis waralaba ini memberikan hak pada suatu badan usaha untuk membuat suatu produk dan menjualnya pada masyarakat, dengan menggunakan merek dagang dan merek pewaralaba. Jenis waralaba ini seringkali ditemukan dalam industri makanan dan minuman. Pasal 1. 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba 13 Ibid. 14 http://jurnal-sdm.blogspot.com/ (diakses pada 01 Maret 2015).

11 3. Bussiness format atau sistem waralaba Pewaralaba memiliki cara yang unik dalam menyajikan produk dalam satu paket, seperti yang dilakukan oleh McDonald s dengan membuat variasi produknya dalam bentuk paket. 4. Group trading franchise Bentuk waralaba yang menunjuk pada pemberian hak mengelola toko-toko grosir maupun pengecer yang dilakukan toko serba ada. Waralaba harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 15 a. Memiliki ciri khas usaha; b. Terbukti sudah memberikan keuntungan; c. Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis; d. Mudah diajarkan dan diaplikasikan; e. Adanya dukungan yang berkesinambungan; dan f. Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar. Perjanjian waralaba merupakan kesepakatan tertulis yang dibuat antara pewaralaba dan terwaralaba untuk melindungi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Selain itu, perjanjian waralaba juga diperlukan sebagai salah satu syarat administratif bagi terwaralaba untuk mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) sebagai bukti sebuah perusahaan terwaralaba. F. Metode Penulisan Untuk mendapatkan data yang valid dan akurat penelitian harus dilakukan secara sistematis dan teratur, sehingga metode yang dipakai sangatlah menentukan. Metode penelitian yaitu urutan-urutan bagaimana penelitian ini dilakukan. 15 Republik Indonesia Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Bab I, Pasal 3.

12 Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Spesifikasi penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif terutama dilakukan untuk penelitian norma hukum. Dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat. 16 Penelitian ini bersifat deskriptif. Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran yang lengkap dan secara jelas tentang permasalahan yang terdapat pada masyarakat dan dapat dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Adapun metode pendekatan penelitian yang dipakai adalah pendekatan yuridis. 2. Data penelitian Mencapai tujuan untuk melengkapi materi skripsi, maka dicari dan diambil bahan penelitian melalui data sekunder. Adapun data-data sekunder yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Bahan hukum primer, yaitu berbagai dokumen perundang-undangan yang tertulis yang ada dalam dunia hukum bisnis antara lain, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang pengecualian Waralaba, Undang-Undang Republik 16 Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm. 54.

13 Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, serta Peraturan Perundang-Undangan lain dibawah undang-undang. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memiliki hubungan dengan badan hukum primer dan dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang ada. Semua dokumen yang dapat menjadi sumber informasi mengenai kepailitan, seperti hasil seminar atau makalah-makalah dari pakar hukum, koran, majalah. c. Bahan hukum tersier, yaitu mencakup kamus bahasa untuk pembenahan tata bahasa Indonesia dan juga sebagai alat bantu pengalih bahasa beberapa istilah asing serta sumber-sumber lain yakni, internet yang memiliki kaitan erat dengan permasalahan yang dibahas. 3. Teknik pengumpulan data Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan melakukan penelitian kepustakaan atau yang lebih dikenal dengan studi kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, majalah, surat kabar, hasil seminar, dan sumber-sumber lain yang terkait dengan sumber masalah yang dibahas dalam skripsi ini. 4. Analisis data Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan, dianalisis dengan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah metode analisa data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh menurut kualitas dan

14 kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori yang diperoleh dari penelitian kepustakaan sehingga diperoleh jawaba atas permasalahan yang diajukan. G. Sistematika Penulisan Pembahasan dan penyajian suatu penelitian haruslah melalui sistematika yang benar agar menghasilkan karya ilmiah yang baik. Oleh karena itu, penulis membagi tulisan ini dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bab ini mengemukakan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II WARALABA SEBAGAI SALAH SATU BENTUK SISTEM BISNIS DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA Bab ini menjelaskan tentang waralaba sebagai bentuk sistem bisnis dan pengaturan waralaba dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007. BAB III KEPAILITAN PEWARALABA MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

15 Bab ini menjelaskan tentang syarat dan prosedur kepailitan serta akibat yang timbul ketika pewaralaba mengalami pailit ditinjau dari sisi perjanjian waralaba dan berakhirnya kepailitan. BAB IV AKIBAT KEPAILITAN PEWARALABA TERHADAP PERJANJIAN WARALABA DALAM INDUSTRI MAKANAN Bab ini menjelaskan tentang karakteristik industri makanan pada umumnya, akibat hukum kepailitan pewaralaba terhadap perjanjian waralaba serta bentuk perlindungan hukum bagi terwaralaba dalam menjaga kelangsungan usaha dalam bidang industri makanan BAB V PENUTUP Bab ini dikemukakan kesimpulan dari bagian awal penulisan skripsi hingga pada bagian akhir dari penulisan skripsi yang merupakan substansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran yang penulis berikan dalam masalah yang dibahas.