BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah. Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman

dokumen-dokumen yang mirip
2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN STRES REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menulis. Sindrom pemalu, social anxiety dan social avoidance sendiri telah diketahui

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. membantu mereka melewati fase-fase perkembangan. Dukungan sosial akan

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

SIJIL PSIKOLOGI ISLAM DAN KAUNSELING. WPK 523 Psikologi Perkembangan Remaja, Dewasa dan Orang Tua

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan gangguan yang disebut dengan enuresis (Nevid, 2005).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua perasaan takut bermula dari masa kanak-kanak karena pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

LAMPIRAN. Universita Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. dibawah situasi yang menekan/stres (Torres et. al, 2012). Menurut Bowlby

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. bagi masyarakat, karena banyakdari kaum laki-laki maupun perempuan, tua

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. membangun bangsa ke arah yang lebih baik. Mahasiswa, adalah seseorang

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi merupakan salah satu jenjang yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menjalani peran sebagai penuntut ilmu, mahasiswa pada umumnya selalu

BAB IV ANALISA DATA. A. Analisis Tentang Proses Bimbingan dan Konseling Islam dengan Terapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk. mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap pasangan suami istri karena sebuah kesempurnaan bila seorang

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia yang berkualitas sangat penting artinya untuk

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. afeksional pada seseorang yang ditujukan pada figur lekat dan ikatan ini

BAB I 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (2011), pada tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan perasaan tegang, pikiran khawatir dan. perubahan fisik seperti meningkatnya tekanan darah.

BAB I PENDAHULUAN. bergaul dan diterima dengan baik di lingkungan tempat mereka berada. Demikian

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kadang berbagai macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan itu. Salah satu yang

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya layanan

BAB I PENDAHULUAN survei rutin yang dilakukan rutin sejak tahun 1991 oleh National Sleep

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan

BAB I PENDAHULUAN. Fobia sering kali dimiliki seseorang. Apabila terdapat perasaan takut

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

HUBUNGAN ANTARA SENSE OF HUMOR DENGAN STRES KERJA PADA KARYAWAN. Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebuah organisasi atau perusahaan yang maju tentunya tidak lain didukung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpengalaman berbicara di depan umum pun tidak terlepas dari perasaaan ini.

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN. dilahirkan akan tumbuh menjadi anak yang menyenangkan, terampil dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan secara

BAB I PENDAHULUAN. Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Kelainan ini dikenal dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

PENGARUH BRAIN GYM TERHADAP PENURUNAN TINGKAT STRES PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI D IV FISIOTERAPI TINGKAT AKHIR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB V POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA PARTISIPAN INDONESIA DALAM PERSEKUTUAN DOA SOLAFIDE

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan bidang keilmuan yang diambilnya. (Djarwanto, 1990)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Dental Anak Usia 6 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. akan merasa sedih apabila anak yang dimiliki lahir dengan kondisi fisik yang tidak. sempurna atau mengalami hambatan perkembangan.

BAB I PENDAHULUAN. ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan tuntutan kehidupan (Sunaryo, 2013). Menurut Nasir & Muhith (2011) stres

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan pekerjaan ataupun kegiatan sehari hari yang tidak. mata bersifat jasmani, sosial ataupun kejiwaan.

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme koping adalah suatu cara yang digunakan individu dalam

Pedologi. Gangguan Kecemasan (Anxiety Disorder) Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. merasakan tentang dirinya (sense of self) serta bagaimana cara individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kasus gangguan perilaku eksternal sudah menjadi topik yang

BAB I PENDAHULUAN. Merokok masih menjadi kebiasaan banyak orang baik di negara. tinggi. Jumlah perokok di Indonesia sudah pada taraf yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tergantung pada orangtua dan orang-orang disekitarnya hingga waktu tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. masa ini sering kali disebut dengan masa keemasan the Golden Age, masa-masa

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang menghadapi

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dilakukan di Puskesmas Wonosari pada bulan September-Oktober 2016.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rista Mardian,2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. alat-alat kelamin manusia mencapai kematangannya. Secara anatomis berarti alatalat

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Pada perjalanan kehidupan, manusia berada dititik- titik yang berbeda dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perilaku, komunikasi dan interaksi sosial (Mardiyono, 2010). Autisme adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat

I. PENDAHULUAN. Setiap orang cenderung pernah merasakan kecemasan pada saat-saat tertentu

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Semua dokter gigi yang merawat pasien anak menyadari bahwa

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Setiap anak pada umumnya senang bergaul dan bermain bersama dengan teman sebayanya. Saat bersama dengan teman, seorang anak biasanya selalu penuh dengan tawa dan canda. Akan tetapi, ada juga anak-anak yang lebih banyak diam dan tidak banyak bicara bila dibandingkan dengan teman-temannya. Ia bahkan terkadang menghindar dengan mengasingkan dirinya dan hanya mengamati teman-temannya bermain dari kejauhan. Ia lebih sering menghabiskan waktunya sendiri dan jarang melakukan aktivitas bersama teman-temannya. Tidak hanya pada saat bergaul dengan teman, namun ada juga anak yang sehari-harinya kerap menghindar ketika harus melakukan sesuatu di hadapan orang lain. Ia selalu menolak saat diberikan tugas untuk maju ke depan kelas. Ia hanya menunduk diam dan bahkan ada yang terkadang sampai menangis. Perilaku anak tersebut sayangnya sering kali diabaikan oleh orang tua ataupun guru di sekolah. Mereka pada umumnya menganggap perilaku anak tersebut disebabkan oleh sifatnya yang pemalu. Hal ini menyebabkan orang tua ataupun guru jarang yang mengeluhkan perilaku anak tersebut dibandingkan dengan anak yang menunjukkan masalah perilaku lainnya seperti senang membuat keributan di kelas, senang melawan guru, atau anak yang senang berkelahi dengan temannya. Kondisi tersebut diatas menyebabkan kasus anak dengan keluhan pendiam, pemalu, sulit tampil dan sulit berteman menjadi jarang dilaporkan dan cenderung diabaikan. Padahal, perilaku anak yang demikian merupakan gejala dari salah satu

2 gangguan mental anak yaitu social phobia. Social phobia sendiri merupakan kecemasan berlebihan yang muncul karena adanya kekhawatiran memperoleh evaluasi negatif dari orang lain saat individu terlibat dalam aktivitas atau situasi sosial tertentu (NIMH, 2013). Saat ini di Indonesia, hasil penelitian mengenai social phobia masih relatif jarang ditemukan sehingga data-data yang diperoleh juga masih dapat dikatakan minim. Sebaliknya, berbagai studi yang dilakukan di belahan dunia lainnya menunjukkan tingginya angka kasus social phobia. Salah satu hasil penelitian terdahulu di Amerika Serikat menyatakan social phobia merupakan masalah kesehatan mental terbesar ketiga di dunia dengan prevalensi sebesar 13.3% (Kessler dkk, 1994). Sementara itu dilaporkan juga bahwa sebesar 10-15% individu di dunia ini mengalami kondisi tersebut pada tingkat yang signifikan (APA, 2004). Berbagai hasil penelitian di beberapa negara lainnya menunjukkan prevalensi yang beragam. Sebuah survey di New Zealand melaporkan bahwa 11,1% remaja berusia 18 tahun memenuhi kriteria social phobia (Feehan dalam NICE, 2013). Hasil penelitian lainnya di Australia menyatakan social phobia berada di posisi kedelapan sebagai gangguan mental yang paling umum dijumpai pada pria dan wanita berusia 15 hingga 24 tahun (Lampe, dkk, 2003). Angka prevalensi yang tinggi yaitu 4.7% hingga 9% juga ditemukan di Brazil (Rocha dkk, 2005). Social phobia pada umumnya pertama kali terdeteksi di usia anak-anak akhir, atau di awal maupun pertengahan usia remaja (Kessler, 2005). Meskipun demikian hasil penelitian terdahulu ada yang menemukan bahwa social phobia dapat terdeteksi lebih dini pada saat usia anak 8 tahun (Velting, 2001). Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian lainnya yang menemukan kasus social phobia pada setting klinis sebesar 29-40% dan membuatnya menjadi salah satu bentuk gangguan kecemasan yang paling umum

3 dijumpai pada anak-anak (Hammerness, dkk; Kendall, dkk dalam Hitchcock, dkk, 2009). Sementara itu dikatakan bahwa gejala-gejala social phobia lebih tinggi tingkatannya pada anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki (Inam, Mahjabeen, dan Abiodullah, 2012). Social phobia berbeda dengan kecemasan biasa yang terkadang dialami ketika berhadapan dengan situasi baru atau saat harus tampil menyampaikan pidato di depan banyak orang. Anak dengan social phobia merasa takut untuk melakukan kegiatan rutinnya sehari-hari seperti makan atau minum di depan orang lain, membeli sesuatu di supermarket atau menggunakan toilet umum. Ketakutan tersebut menyebabkan anak memandang situasi sosial sebagai suatu hal yang mengancam dan harus dihindari. Terdapat sejumlah situasi sosial yang menimbulkan kecemasan bagi anak dengan social phobia (Morris, 2004). Secara umum situasi tersebut terdiri dari interaksi sosial dan performance. Adapun situasi yang melibatkan interaksi sosial antara lain menghadiri pesta, bertemu dengan orang asing, terlibat dalam percakapan, mempertahankan kontak mata, berbicara dengan figur otoritas, dan bersikap asertif. Sedangkan situasi yang melibatkan performance seperti berbicara di hadapan sekelompok orang, makan atau minum bersama orang lain, menggunakan toilet umum, dan tampil di hadapan orang lain. Sebuah hasil penelitian yang terdahulu menemukan bahwa 60% situasi yang mencemaskan ternyata dialami oleh anak di sekolah (Strauss dan Last, dalam Morris, 2004). Hal ini tidaklah mengherankan karena anak menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah. Lebih lanjut dikatakan bahwa situasi-situasi yang menimbulkan kecemasan anak dengan social phobia di sekolah adalah ketika berinteraksi dengan temannya, menjalani ujian, tampil di depan guru dan teman-teman serta membaca dengan keras di depan kelas.

4 Berdasarkan uraian sebelumnya, telah disampaikan data-data yang menunjukkan tingginya kasus social phobia di berbagai negara. Namun sayangnya, tingginya angka tersebut berbanding terbalik dengan penanganan yang dilakukan. Gangguan ini sering kali kurang disadari dan dibiarkan begitu saja tanpa penanganan apapun. Berdasarkan sebuah survey yang dilakukan oleh National Comorbidity Survey Replication Study (NCS-R, dalam Schneider dan Levenson, 2008) rata-rata durasi penundaan perolehan penanganan untuk social phobia adalah 16 tahun lamanya. Hanya 45% dari individu dengan social phobia yang memperoleh penanganan. Tidak hanya itu, ketika terdeteksi, social phobia ditemukan bersamaan dengan gangguan mental lainnya. Oleh karena itu social phobia harus dideteksi dan ditangani sedini mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang disebabkan oleh penghindaran yang dilakukan anak terhadap interaksi sosial. Social phobia dapat menimbulkan berbagai hambatan dan kendala dalam keberfungsian anak sehari-hari. Perilaku menghindar yang kerap dilakukannya dapat menyebabkan anak tidak memiliki banyak teman serta masalah lainnya seperti prestasi akademis yang rendah. Selain itu anak dengan social phobia juga cenderung memiliki harga diri yang rendah serta mengalami hambatan dalam kemampuan sosial (Chavira, Stein; Van Ameringen dkk; Fordham dan Stevenson dalam Hitchcock dkk, 2009). Social phobia pada anak juga menjadi faktor resiko berkembangnya gangguan psikologis lainnya di kemudian hari (Wittchen, Stein dan Kessler dalam Melfsen dkk, 2011). Berdasarkan uraian sebelumnya, diketahui bahwa social phobia apabila tidak segera ditangani maka akan menimbulkan berbagai dampak negatif. Perilaku menghindar yang kerap dilakukan anak pada saat berada dalam situasi sosial dapat menyebabkan terhambatnya proses belajar mengajar di sekolah dan mempengaruhi

5 prestasi akademisnya. Perilaku menghindar pada anak dengan social phobia juga dapat menghambat sosialisasinya sehingga interaksinya cenderung terbatas dan kemampuan sosialnya kurang berkembang. Deteksi dan penanganan sedini mungkin sangatlah diperlukan. Gejala-gejala social phobia pada anak dapat dilihat dari tiga aspek yaitu fisiologis, perilaku dan kognitif. Secara fisiologis, anak akan mengalami peningkatan aktivitas otonom saat berada pada situasi sosial seperti meningkatnya denyut jantung, berkeringat dingin, wajah yang memerah, mual, masalah dengan pencernaan, dan tegangan otot (Hitchcock dkk, 2009). Kecemasan ini juga dapat terlihat dari perilaku anak yang kerap kali menghindar dari situasi sosial, sensitif, emosi yang meledak-ledak, menangis, selalu menempel pada orang tua, serta terlampau berhati-hati. Selain perilaku menghindar, ada juga yang disebut dengan safety behavior yang kerap dilakukan oleh anak dengan social phobia. Safety behavior merupakan perilaku yang dilakukan untuk mengurangi rasa cemas pada situasi sosial. Selain itu anak dengan social phobia juga sering digambarkan sebagai anak yang sangat peka akan kritikan dan tidak asertif terhadap teman-temannya (Bruch dan Heimberg dalam Hitchcock dkk, 2009). Sedangkan dari aspek kognitif, anak cenderung sangat memikirkan penilaian dari orang lain dan menganggap situasi sosial sebagai sesuatu yang mengancam (Barret, Rapee, Dadds, dan Ryan dalam Hitchcock dkk, 2009). Hasil penelitian menemukan bahwa baik pada orang dewasa maupun anak-anak yang mengalami gangguan psikologis mengalami distorsi tingkat tinggi pada proses berpikirnya yang terkait dengan automatic thought (Wright, Beck & Thase, 2003). Demikian juga halnya dengan anak yang mengalami social phobia. Anak dengan social phobia memiliki keyakinan bahwa dirinya tidak mampu dan tidak normal sehingga selalu melakukan kesalahan dan tidak diterima oleh orang lain. Anak yang mengalami

6 kondisi ini sangat peka terhadap sinyal-sinyal yang menunjukkan adanya kemungkinan penilaian negatif dari orang lain. Anak menjadi terlalu fokus terhadap sinyal-sinyal tersebut sehingga akhirnya tanpa disadari ia terlampau menyalahkan diri sendiri dan memunculkan distorsi persepsi terhadap perilaku orang lain (Ito dkk, 2008). Stimulus netral pun kemudian disalahartikan sebagai sesuatu yang negatif, sedangkan stimulus positif cenderung diabaikan. Demikian juga halnya dengan memorinya akan pengalaman di masa lalu yang berhasil ia lewati dengan baik cenderung kurang ia perhatikan. Distorsi kognitif tersebut kemudian akan mengaktifkan sistem saraf autonom dan memunculkan simptom-simptom kecemasan yang selanjutnya menjadi penguat bagi gambaran diri yang negatif, perasaan tidak mampu, perasaan terhina dan yang akhirnya membuat anak dengan social phobia menarik diri dan menghindar dari situasi sosial. Perilaku menghindar pun membuat anak semakin menyalahkan dirinya, siklus ini akan terjadi secara terus menerus (Clarks dan Well dalam Ito dkk 2008). Berdasarkan uraian diatas, dapat diketahui bahwa social phobia memicu tiga bentuk respon yaitu kognitif, perilaku dan fisiologis. Ketiganya saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa respon perilaku yaitu perilaku menghindar terhadap situasi sosial dapat menyebabkan berbagai kendala dan hambatan bagi anak. Oleh karena itu, respon perilaku menghindar pada anak dengan social phobia diharapkan dapat diturunkan melalui program intervensi Coping Cat Kendall. Program ini sendiri merupakan program intervensi yang dikhususkan untuk menangani gangguan kecemasan pada anak. Terapis dalam intervensi ini mengajarkan pada anak bahwa mengalami kecemasan adalah suatu hal yang wajar. Anak belajar untuk mengidentifikasi proses kognitif yang terlibat dan mengembangkan coping skills sehingga anak mampu menghadapi rasa takutnya dan tidak perlu menghindarinya. Melalui latihan-latihan yang dilakukan selama sesi terapi dan di luar sesi terapi, maka

7 anak dapat yakin bahwa kemampuan copingnya ternyata berhasil (Seligman & Reichenberg, 2012). Efektivitas Coping Cat telah banyak didokumentasikan dalam sejumlah literatur (Silva, dkk, 2006; Velting, dkk, 2004). Program ini disebut sebagai panduan CBT yang aplikasinya tersebar luas untuk mengatasi kecemasan pada anak (Velting, dkk, 2004) dan telah berhasil dilakukan di Amerika Serikat, Australia dan Canada. Program Coping Cat sangat dapat diadaptasi dan juga efektif apabila dilakukan pada kelompok dan dijalankan bersamaan dengan manajemen kecemasan keluarga. Selain itu, program Coping Cat juga berhasil diterapkan pada berbagai etnik budaya dan gender. Penelitian yang dilakukan oleh Kendall (dalam Mash dan Wolve, 2010) menunjukkan program Coping Cat efektif dalam menurunkan tingkat kecemasan pada anak, setelah memperoleh intervensi ini anak tidak lagi memenuhi kriteria untuk gangguan kecemasan. Berdasarkan pertimbangan dari penelitian sebelumnya bahwa Coping Cat efektif dalam menurunkan tingkat kecemasan pada anak maka peneliti tertarik untuk menggunakan program intervensi Coping Cat Kendall pada anak dengan social phobia. Perilaku menghindar yang menjadi karakteristik dari social phobia sering kali diabaikan dan tidak mendapat perhatian oleh orang tua maupun guru di sekolah. Padahal hal tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bagi anak karena dapat menghambat fungsi akademis dan sosial anak serta berkembangnya gangguan yang lebih serius. Dengan demikian peneliti memandang masalah social phobia pada anak perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius.

8 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan fenomena pada latar belakang masalah, maka rumusan masalah penelitian ini adalah: Bagaimana efektivitas Coping Cat Kendall dalam menurunkan social phobia pada anak? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat efektivitas Coping Cat Kendall dalam menurunkan social phobia pada anak. 1.4. Manfaat penelitian 1.4.1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Psikologi Klinis Anak Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai aplikasi nyata psikologi klinis anak terkait penerapan program Coping Cat Kendall dalam upaya untuk menanggulangi gejala-gejala kecemasan pada anak khususnya yang mengalami Social Phobia. 1.4.2. Perkembangan Pelayanan Psikologi Hasil penelitian mengenai efektivitas Coping Cat Kendall diharapkan mampu menjadi acuan atau pedoman bagi psikolog klinis anak sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan psikologi. 1.4.3. Perkembangan Riset Psikologi Manfaat penelitian lainnya adalah sebagai dasar pengembangan riset psikologi. Penelitian ini akan menghasilkan gambaran efektivitas Coping Cat Kendall pada anak dengan social phobia. Pengembangan riset psikologi yang dilakukan akan

9 meningkatkan kemampuan dan keterampilan psikolog dalam melaksanakan terapi khususnya menggunakan Coping Cat Kendall pada anak dengan social shobia. 1.5 Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan Berisikan uraian mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka Kajian yang diperoleh dari penelaahan pustaka meliputi kajian literatur dan halhal yang terkait social phobia dan Coping Cat Kendall. Bab III Metode Penelitian Pada bab ini diuraikan tentang desain penelitian, gambaran subjek penelitian, dan rancangan program intervensi Coping Cat Kendall. Bab IV Pelaksanaan dan Hasil Penelitian Berisikan pelaksanaan intervensi, hasil penelitian serta pembahasan hasil penelitian efektivitas Coping Cat Kendall pada anak dengan social phobia. Selanjutnya akan dibahas pula tentang keterbatasan penelitian. Bab V Kesimpulan dan Saran Pada bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan akan dibahas pula tentang bagaimana implikasi hasil penelitian terhadap pelayanan dan penelitian.