BAB II LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

b) transaksi-transaksi atau kejadian-kejadian lain pada periode berjalan yang diakui pada laporan keuangan perusahaan.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB II LANDASAN TEORI. Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat

BAB II TELAAH PUSTAKA Pengertian Penghasilan menurut Akuntansi dan Pajak. Penghasilan menurut SAK No. 23 meliputi pendapatan (revenue)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. pembangunan adalah penerimaan yang berasal dari dalam negeri yaitu dari sektor pajak.

BAB II LANDASAN TEORI. diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun

1. Pengertian Penghasilan Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pengertian penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan

BAB II TELAAH PUSTAKA. dikenakan atas laba kena pajak perusahaan. yang diterima atau yang diperolehnya dalam tahun pajak.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

BAB II LANDASAN TEORI

PAJAK PENGHASILAN (PPh)

BAB II LANDASAN TEORI. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 1, Pajak adalah kontribusi

HAKIKAT REKONSILIASI. Perbedaan timbul terkait pengakuan pendapatan dan beban di laporan laba rugi.

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. pajak ini dikenakan atas laba kena pajak perusahaan. diperolehnya dalam tahun pajak.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

BAB II LANDASAN TEORITIS. 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak Penghasilan. 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

A. Pengertian Laporan Keuangan

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi koperasi yang terdapat dalam Peraturan Undang-Undang. Koperasi No.25Tahun 1992 yang berbunyi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang dengan

BAB II LANDASAN TEORI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV PEMBAHASAN. Peraturan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang bertujuan untuk menyajikan

BAB 2 LANDASAN TEORI. 1. Joanna Junaedi (2010) dengan judul Analisis Rekonsiliasi Fiskal Atas

Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal

RUGI LABA BIAYA FISKAL

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II LANDASAN TEORI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II TELAAH PUSTAKA. Jendral Pajak dalam perhitungan laba fiskal. lebih lanjut oleh PSAK 46 (2002:4), yaitu:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB III PENYEBAB BEDA AKUNTANSI PAJAK DAN KOMERSIAL

BAB II LANDASAN TEORI. (2006), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. adalah sebagai berikut, iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAB I KETENTUAN UMUM

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PERPAJAKAN II. Penyajian Laporan Keuangan dan Pengaruhnya terhadap Perpajakan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

ANALISIS PERBEDAAN LABA MENURUT UNDANG- UNDANG PAJAK PENGHASILAN NO.17 TAHUN 2000 DENGAN PSAK 17 PADA PT. CATUR SENTOSA ADIPRANA PEKANBARU

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Mardiasmo ( 2006 ) mendefinisikan, Pajak adalah iuran rakyat

PAJAK PENGHASILAN. Saiful Rahman Yuniarto, S.Sos, MAB

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

PAJAK PENGHASILAN. Pembagian Subjek Pajak. Subjek Pajak Dalam Negeri Subjek Pajak Luar Negeri SIAPA SUBJEK PAJAK?

AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN

BAB II LANDASAN TEORI. diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak. Jenderal Pajak, dan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak.

bambang kesit, 2010 halaman 1 dari 10 perpajakan, prodi akuntansi-feuii MODUL : TEKNIK REKONSILIASI FISKAL UNTUK MENGHITUNG PPh Badan

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II LANDASAN TEORI. Soemitro, SH (Mardiasmo, 2006) adalah iuran rakyat kepada negara yang dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN

APLIKASI UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 2000 DAN PENGARUHNYA TERHADAP LAPORAN KEUANGAN Oleh : Evi Ekawati. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Laporan keuangan merupakan produk yang dihasilkan dari akuntansi yang harus

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.

Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak dan tidak dikenakan Pajak penghasilan, diatur dalam Psl 4 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008, yaitu :

KONSEP PENDAPATAN DALAM PAJAK

PAJAK PENGHASILAN UMUM. Amanita Novi Yushita, M.Si

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pajak yang dikemukakan oleh Mardiasmo (2011). Pajak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II LANDASAN TEORI. Konsep Penghasilan Untuk Keperluan Perpajakan. diperoleh Wajib Pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,

PAJAK PENGHASILAN. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan

BAB II LANDASAN TEORITIS

ANALISIS PERHITUNGAN PPh BADAN DALAM RANGKA PENYESUAIAN UNDANG- UNDANG DAN PERATURAN PAJAK YANG BERLAKU. Hartanti

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI. Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "Pajak" yang dikemukakan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 57/PUU-XII/2014 Penghitungan Pajak Penghasilan

Undang-Undang PPh dan Peraturan Pelaksanaannya

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

By Afifudin PSP FE Unisma 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi secara

Transkripsi:

6 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Akuntansi Peranan akuntansi dalam dunia bisnis sangat penting karena akuntansi memberikan informasi yang dapat digunakan manajer untuk menjalankan operasi perusahaan. Oleh karena itu, sebelumnya perlu memahami definisi akuntansi, akuntansi adalah suatu sistem informasi yang mengidentifikasi, mencatat, dan mengkomunikasikan peristiwa-peristiwa ekonomi dari suatu organisasi kepada pihak yang berkepentingan. Akuntansi sering disebut juga sebagai bahasa bisnis, semakin baik kita memahami bahasa tersebut maka semakin baik pula kita dapat mengelola perusahaan. Suradi (2009:2). Perbedaan akuntansi keuangan dengan akuntansi pajak menurut Mohammad Zain (2007:110), menjelaskan sebagai berikut: Akuntansi merupakan kegiatan jasa yang berfungsi menyajikan informasi kuantitatif mengenai suatu entitas ekonomis sebagai dasar untuk mengambil suatu keputusan ekonomis terhadap beberapa alternatif tersedia, sedangkan akuntansi pajak merupakan bagian dari akuntansi yang berhubungan dengan penyajian informasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan. Fungsi akuntansi bagi perpajakan yaitu sebagai alat yang digunakan dalam perhitungan pajak, yang dalam undang-undang perpajakan sendiri disebut pembukuan. Dalam rangka melaksanakan perpajakan tersebut wajib pajak diharuskan menyelenggarakan pembukuan.

7 B. Pajak Penghasilan 1. Konsep Penghasilan dan Beban menurut Akuntansi dan Perpajakan a. Penghasilan Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2007:70): Penghasilan (income ) adalah kenaikan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunaan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Menurut undang-undang PPh pasal 4 ayat 1 UU PPh No. 17 Tahun 2000: Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. b. Beban Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2007:70b): Beban adalah penurunan manfaat ekonomi selam suatu periode akuntansi dalam bentuk arus kas keluar atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal. Menurut Muda Markus dan Hendy Yujana (2002:71), biaya terbagi menjadi 2 macam yaitu: 1) Biaya-biaya yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto (deductible costs / expenses) sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 UU PPh No. 17 Tahun 2000.

8 2) Biaya-biaya yang tidak boleh diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto (non deductible costs / expenses) sebagaimana disebutkan dalam pasal 9 dan pasal 18 UU PPh No. 17 Tahun 2000. 2. Pengertian Pajak Penghasilan Pajak penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan pajak ini dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan. (PSAK No. 46). 3. Subjek Pajak Penghasilan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan menentukan dengan jelas siapa yang menjadi Subjek Pajak Penghasilan : (1) Yang menjadi subjek pajak adalah : a. 1) orang pribadi; 2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak; 3) badan; dan 4) bentuk usaha tetap. (2) Subjek Pajak dalam negeri adalah : a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang

9 pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria : 1. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; 2. Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 3. Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan 4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. (3) Subjek Pajak Luar Negeri adalah: a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

10 b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. (4) Sedangkan yang bukan termasuk Subjek Pajak adalah: a. Badan perwakilan negara asing; b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabatpejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan Warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. c. Organisasi-organisasi internasional yang diterapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat: Indonesia menjadi anggota oraganisasi tersebut tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.

11 d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat bukan Warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. 4. Objek Pajak Penghasilan Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 UU PPh Tahun 2000 disebutkan bahwa yang menjadi Objek Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut : a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini; b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. Laba usaha; d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2) Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; 3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun; 4) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan 5) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan; e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

12 f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian hasil usaha koperasi; h. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak; i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP); l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n. Premi asuransi; o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; dan p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Yang bukan termasuk objek pajak penghasilan sebagaimana yang terdapat dalam peraturan perpajakan adalah: a. 1) Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;

13 2) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; b. Warisan; c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa; f. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal

14 pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : 1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan 2. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor; g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selam 5 (lima) tahun sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha; dan k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan

15 menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: 1) Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan 2) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. 5. Tarif Pajak penghasilan UU PPh Tahun 2000 pada dasarnya menganut tarif progresif. Tarif progresif adalah tarif dengan persentase yang makin meningkat atau naik apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak meningkat. Tarif progresif ini diterapkan untuk memenuhi azas keadilan dalam bentuk pengenaan pajak terhadap Wajib Pajak. Semakin besar Penghasilan Kena Pajak semakin besar pula pajak yang harus ditanggungnya. Berdasarkan UU PPh Tahun 2000 terdapat perbedaan penggunaan tarif dalam menghitung Pajak Penghasilan Terutang antara Wajib Pajak Orang Pribadi dengan Wajib Pajak Badan dalam hal lapisan Penghasilan Kena Pajak dan Tarif PPh, yang dapat dilihat pada tabel 2.1 dan Tabel 2.2 berikut ini: Tabel 2.1 Tarif Umum PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif PPh Sampai dengan Rp. 25.000.000,00 5% Diatas Rp. 25.000.000,00 s.d Rp. 50.000.000,00 10% Diatas Rp. 50.000.000,00 s.d Rp. 100.000.000,00 15% Diatas Rp. 100.000.000,00 s.d Rp. 200.000.000,00 25% Diatas Rp. 200.000.000,00 35% Sumber: Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 17 Tahun 2000

16 Tabel 2.2 Tarif Umum PPh Wajib Pajak Badan dan BUT Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif PPh Sampai dengan Rp. 50.000.000,00 10% Diatas Rp. 50.000.000,00 s.d Rp. 100.000.000,00 15% Diatas Rp. 100.000.000,00 30% Sumber: Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 17 Tahun 2000 C. Koreksi Fiskal Koreksi fiskal adalah penyesuaian penghasilan neto komesial menjadi penghasilan fiskal. Penghasilan neto fiskal rnerupakan dasar untuk menghitung pajak penghasilan terutang. Menurut Anastasia Diana dan Lilis Setiawati (2004:195) koreksi fiskal dapat dibedakan menjadi 2 yaitu : l. Koreksi fiskal positif karena adanya perbedaan antara ketentuan perpajakan dengan komersial yang mengakibatkan laba bertambah besar atau rugi bertambah kecil. 2. Koreksi fiskal negatif terjadi karena adanya perbedaan antara ketentuan perpajakan dengan komersial yang mengakibatkan laba bertambah kecil atau rugi bertambah besar. Adanya perbedaan antara laporan komersial dan laporan keuangan fiskal disebabkan karena adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya sehingga menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Perbedaan itu terdiri dari dua jenis yaitu :

17 1. Beda waktu Pengertian beda waktu menurut Marisi P. Purba dan Andreas (2005:9), adalah disebabkan adanya perbedaan waktu dan metode pengakuan penghasilan dan beban tertentu menurut akuntansi dengan ketentuan perpajakan. Perbedaan ini mengakibatkan pergeseran pengakuan penghasilan dan beban antara satu tahun pajak ke tahun pajak lainnya. Beda waktu dapat digolongkan menjadi : a. Pendapatan atau keuntungan yang diakui lebih dahulu oleh pajak daripada akuntansi Contoh : penghasilan untuk beberapa tahun yang diperoleh sekaligus yang meliputi pendapatan diterima di muka, keuntungan penjualan akibat sales and lease back diakui pajak pada tanggal penjualan, sedangkan menurut akuntansi pengakuannya ditangguhkan selama umur aktiva tersebut. b. Biaya atau kerugian yang diakui lebih dahulu oleh pajak daripada akuntansi Contoh : biaya pendirian dan perluasan modal menurut pajak dibebankan sekaligus, sedangkan menurut akuntansi ditangguhkan. c. Pendapatan atau keuntungan yang diakui lebih dahulu oleh akuntansi daripada pajak Contoh : penjualan aktiva tetap oleh karena sebab biasa dengan harga di atas nilai buku, menurut pajak diakui sebagai pendapatan sedangkan

18 menurut akuntansi jika nilai buku saldonya negatif, maka hasil penjualan aktiva langsung dikurangkan dari nilai buku. d. Biaya atau kerugian yang diakui lebih dahulu oleh akuntansi daripada pajak Contoh : penyisihan piutang diragukan pelunasannya menurut akuntansi telah menjadi beban pada saat diperkirakan tidak tertagih tapi menurut pajak diakui pada saat piutang benar-benar dihapuskan. Penyusutan aktiva tetap merupakan salah satu komponen beda waktu. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2007 : 17.1), "Penyusutan adalah alokasi jumlah suatu aktiva yang dapat disusutkan sepanjang masa manfaat yang diestimasi". Persyaratan aktiva tetap yang dapat disusutkan menurut ketentuan perpajakan adalah harta berwujud apabila : 1. Harta tersebut mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. 2. Harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan. Metode penyusutan menurut Ketentuan Perundang-undangan Perpajakan sebagaimana diatur dalam pasal 11 Undang-undang No. 17 tahun meliputi : 1. Metode garis lurus (straight line method) atau metode saldo menurun (declining balance method) untuk aktiva tetap berwujud bukan bangunan. 2. Metode garis lurus untuk aktiva tetap berwujud berupa bangunan.

19 Tabel 2.1 Tarif Penyusutan Kelompok Harta Berwujud 1. Bukan Bangunan Masa Manfaat Garis Lurus Tarif Depresiasi Saldo Menurun Kelompok 1 4 tahun 25% 50% Kelompok 2 8 tahun 12,50% 25% Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,50% Kelompok 4 20 tahun 5% 10% 2. Bangunan Permanen 20 tahun 5% - Tidak Permanen 10 tahun 10% - 2. Beda Tetap Pengertian beda tetap menurut Yusdianto Prabowo (2004:300-301), adalah : Perbedaan pengakuan suatu penghasilan atau biaya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan prinsip akuntansi yang sifatnya permanen. Dengan kata lain, suatu perusahaan atau biaya tidak akan diakui untuk selamanya dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak (taxable income). Dalam arti lain suatu penghasilan atau biaya tidak akan diakui untuk selamanya dalam rangka menghitung penghasilan kena pajak, seperti :

20 a. Pemberian kenikmatan atau natura b. Biaya jamu tamu, kecuali jika perusahaan membuat daftar nominatif. c. Sumbangan d. PPh pasal 26 atas royalty yang ditanggung oleh pemberi hasil. e. Pendapatan bunga. f. Hibah dan warisan g. Bunga dan deviden Dasar hukum atas penghitungan Penghasilan Kena Pajak adalah : a. UU No. 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan. b. PP No. 131 tahun 2000 tentang bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia. c. KEP-554/PJ/2000 tentang petunjuk pelaksanaan pajak penghasilan pasal 21 dan pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi. d. Ketentuan dan peraturan pelaksanaan lainnya yang berkaitan : 1. Penghasilan bunga bank Pendapatan bunga deposito dari bank merupakan salah satu unsur penghasilan di luar usaha dalam laporan laba rugi. Menurut akuntansi pada akhir periode harus disajikan dalam laporan laba rugi pada rekening pendapatan di luar usaha. Sedangkan menurut perpajakan, penghasilan bunga deposito tidak dimasukkan sebagai unsur pendapatan, karena atas penghasilan bunga deposito telah dikenakan pajak yang bersifat final.

21 2. Penghasilan dividen Menurut akuntansi, jika dividen tunai harus diakui maka hak pemegang saham untuk menerima pembayaran ditetapkan. Sedangkan menurut pajak, dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk objek pajak penghasilan, kecuali untuk dividen atau laba yang diterima oleh PT dalam Negara, koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha uang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan bagi PT, BUMN dan BUMD yang menerima dividen kepemilikan saham pada badan yang memberi dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut. 3. Biaya sumbangan, kenikmatan dalam bentuk natura, denda dan bunga pajak Biaya sumbangan, kenikmatan dalam bentuk natura, denda dan bunga pajak merupakan arus keluar yang setiap periode harus dibebankan pada penghasilan. Sedangkan menurut pajak tidak semua biaya yang dikeluarkan dapat dibebankan pada penghasilan dalam periode tertentu. 4. Biaya jamuan (entertainment) Biaya ini merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang ada hubungan dengan kegiatan wajib pajak yang

22 harus dilengkapi dengan daftar nominatifnya, jika tidak maka biaya ini tidak dapat dikurangkan dari penghasilan. D. Akuntansi Pajak Penghasilan Menurut Harnanto (2003 : 11), PSAK No. 46 dapat dikatakan sebagai suatu metode akuntansi pajak penghasilan yang secara komprehensif mencoba menerapkan pendekatan aktiva-kewajiban (assets-liability approach), dimana metodenya berorientasi pada neraca. Metode ini mengakui kewajiban dan aktiva pajak tangguhan terhadap konsekuensi fiskal masa depan yang disebabkan oleh adanya perbedaan waktu (temporary/timing differences) dan sisa kerugian yang masih atau belum dikompensasikan. 1. Dasar Pengenaan Pajak Dasar Pengenaan Pajak (DPP) aktiva adalah jumlah yang dapat dikurangkan, untuk setiap tujuan fiskal terhadap setiap manfaat ekonomi (penghasilan) kena pajak akan diterima perusahaan pada saat memulihkan nilai tercatat aktiva tersebut. Apabila manfaat ekonomi (penghasilan) tersebut tidak akan dikenakan pajak maka DPP aktiva adalah sama dengan nilai tercatat aktiva. Contohnya : a. Mesin, nilai perolehan 100. Untuk tujuan fiskal, mesin telah disusutkan sebesar 30 dan sisa nilai buku dapat dikurangkan pada periode mendatang. Penghasilan mendatang dari penggunaan aktiva merupakan objek pajak. DPP aktiva tersebut adalah 70.

23 b. Piutang bunga mempunyai nilai tercatat 100. Untuk tujuan fiskal, pendapatan bunga diakui dengan dasar kas (cash basis). DPP piutang bunga adalah nihil. c. Piutang usaha mempunyai nilai tercatat 100. Pendapatan usaha terkait telah diakui untuk tujuan fiskal. DPP piutang adalah 100. d. Pinjaman yang diberikan mempunyai nilai tercatat 100. Penerimaan kembali pinjaman tidak mempunyai konsekuensi pajak. DPP pinjaman yang diberikan adalah 100. DPP kewajiban adalah nilai tercatat kewajiban dikurangi dengan setiap jumlah yang dapat dikurangkan pada masa mendatang. Contohnya : a. Nilai tercatat beban yang masih harus dibayar (accrued expenses) 100. Biaya tersebut dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal dengan dasar kas. DPPnya adalah nol. b. Nilai tercatat pendapatan bunga diterima di muka 100. Untuk tujuan fiskal, pendapatan bunga tersebut dikenakan pajak dengan dasar kas. DPPnya adalah nol. c. Nilai tercatat beban yang masih harus dibayar (accrued expenses) 100. Untuk tujuan fiskal biaya tersebut telah dikurangkan. DPPnya adalah 100. d. Nilai tercatat beban denda yang masih harus dibayar 100. Untuk tujuan fiskal, beban denda tersebut tidak dapat dikurangkan. DPPnya adalah 100.

24 e. Nilai tercatat pinjaman yang diterima 100. Pelunasan pinjaman tersebut tidak mempunyai konsekuensi pajak. DPPnya adalah 100. 2. Pengakuan Aktiva Pajak Kini (current tax assets) dan Kewajiban Pajak Kini (current tax liabilities) Jumlah pajak kini, yang belum dibayar harus diakui sebagai kewajiban. Apabila jumlah pajak yang telah dibayar untuk periode berjalan dan periode-periode sebelumnya melebihi jumlah pajak yang terutang untuk periode-periode tersebut, maka selisihnya diakui sebagai aktiva. 3. Pengakuan Aktiva Pajak Tangguhan (deferred tax assets) dan Kewajiban Pajak Tangguhan (deferred tax liabilities) a. Perbedaan temporer kena pajak (taxable temporary differences) Semua perbedaan temporer kena pajak diakui sebagai kewajiban pajak tangguhan, kecuali jika timbul perbedaan temporer kena pajak. 1) Dari goodwill yang amortisasinya tidak dapat dikurangkan untuk fiskal. 2) Pada saat pengakuan awal aktiva atau kewajiban dari suatu transaksi yang : a) Bukan transaksi penggabungan usaha, dan b) Pada saat transaksi, tidak mempengaruhi laba akuntansi dan laba fiskal. Pengakuan suatu aktiva mengandung makna bahwa nilai tercatat aktiva tersebut akan terpulihkan dalam bentuk manfaat ekonomi yang akan diterima oleh perusahaan pada periode mendatang. Apabila nilai

25 tercatat aktiva lebih besar daripada DPPnya, jumlah manfaat ekonomi yang kena pajak akan melebihi jumlah yang dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal. Perbedaan ini merupakan perbedaan temporer kena pajak dan kewajiban pajak penghasilan pada periode mendatang merupakan kewajiban pajak tangguhan. Pada saat perusahaan memulihkan (recover) nilai tercatat, aktiva, perbedaan temporer kena pajak akan terealisasi menjadi laba fiskal. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya kewajiban pajak. Beberapa perbedaan temporer timbul apabila penghasilan atau beban diakui dalam penghitungan laba akuntansi yang berbeda dengan periode saat penghasilan atau beban tersebut diakui dalam penghitungan laba fiskal. Berikut ini disajikan contoh perbedaan temporer kena pajak yang akan menimbulkan kewajiban pajak tangguhan, misalnya : penyusutan yang digunakan dalam penghitungan laba fiskal mungkin berbeda dengan penyusutan yang digunakan dalam penghitungan laba akuntansi. Perbedaan temporernya adalah selisih antara nilai tercatat aktiva tetap dengan DPPnya. DPP aktiva tetap adalah sebesar harga perolehan dikurangi seluruh pengurangan yang diperkenankan oleh peraturan perundangan perpajakan dalam penghitungan fiskal. Perbedaan temporer kena pajak tersebut menyebabkan timbulkan kewajiban pajak tangguhan, apabila penyusutan menurut pajak menggunakan metode dipercepat (accelerated). Sebaliknya, apabila penyusutan menurut pajak lebih lambat dibanding penyusutan menurut

26 akuntansi maka timbul perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dalam penghitungan laba fiskal, sehingga timbul aktiva pajak tangguhan. Perbedaan temporer juga timbul apabila : a. Biaya pemerolehan dalam suatu penggabungan usaha, yang secara substansi merupakan suatu akuisisi, dialokasi pada aktiva dan kewajiban tertentu berdasarkan nilai wajar sedangkan penyesuaian tersebut tidak diperkenankan untuk tujuan fiskal. b. Terdapat goodwill atau goodwill negatif yang muncul pada saat konsolidasi, atau c. Pada saat pengakuan awal, DPP aktiva atau kewajiban berbeda dengan nilai tercatatnya, sebagai contoh apabila perusahaan memperoleh bantuan atau sumbangan (yang bukan merupakan objek pajak) dalam bentuk aktiva. b. Pengakuan awal aktiva atau kewajiban Perbedaan temporer mungkin timbul pada saat pengakuan awal suatu aktiva atau kewajiban, sebagai contoh apabila sebagian atau seluruh harga pemerolehan suatu aktiva tidak dikurangkan untuk tujuan fiskal. Metode akuntansi untuk perbedaan temporer tersebut, tergantung dari sifat transaksi yang menyebabkan dilakukannya pengakuan awal aktiva :

27 a. Dalam suatu penggabungan usaha, perusahaan mengakui kewajiban atau aktiva pajak tangguhan dan pengakuan ini mempengaruhi jumlah goodwill atau goodwill negatif. b. Apabila transaksi mempengaruhi laba akuntansi atau laba fiskal, perusahaan mengakui kewajiban atau aktiva pajak tangguhan dan mengakui beban (penghasilan) pajak tangguhan pada laporan laba rugi. c. Apabila sifat transaksi bukan transaksi penggabungan usaha, dan tidak mempengaruhi laba akuntansi atau laba fiskal, maka perusahaan tidak diperkenankan mengakui kewajiban atau aktiva pajak tangguhan pada pengakuan awal ataupun pada periode selanjutnya (subsequent recognition), karena penyesuaian nilai tercatat aktiva atau kewajiban sebesar nilai aktiva atau kewajiban pajak tangguhan tersebut akan mengakibatkan laporan keuangan menjadi kurang transparan. Perusahaan juga tidak diperkenankan untuk mengakui perubahan selanjutnya dalam kewajiban atau aktiva pajak tangguhan yang belum diakui pada saat aktiva tersebut disusutkan. c. Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan (deductible temporary differences) Aktiva pajak tangguhan (deferred tax assets) diakui untuk seluruh perbedaan temporer yang boleh dikurangkan, sepanjang besar kemungkinan perbedaan temporer yang boleh dikurangkan tersebut

28 dapat dimanfaatkan untuk mengurangi laba fiskal pada masa yang akan datang, kecuali aktiva pajak tangguhan yang timbul dari : 1. Goodwill negatif yang diakui sebagai pendapatan tangguhan sesuai dengan PSAK No. 22 tentang Akuntasi Penggabungan Usaha, atau 2. Pengakuan awal aktiva atau kewajiban pada suatu transaksi yang : a) Bukan transaksi penggabungan usaha, dan b) Tidak mempengaruhi baik laba akuntansi maupun laba fiskal. Pengakuan suatu kewajiban mengandung makna bahwa nilai tercatat kewajiban akan diselesaikan pada masa yang akan datang dengan menggunakan sumber daya. Pada saat sumber daya tersebut digunakan untuk menyelesaikan kewajiban sebagian atau seluruh jumlah sumber daya tersebut mungkin dapat dikurangkan dari laba fiskal pada periode setelah pengakuan kewajiban. Dalam hal ini, perbedaan temporer adalah selisih antara nilai tercatat kewajiban dan DPPnya. Oleh karena itu, timbul aktiva pajak tangguhan berupa pajak penghasilan yang dapat dipulihkan pada masa yang akan datang, yaitu saat bagian dari kewajiban tersebut dapat dikurangkan dalam penghitungan laba fiskal. Demikian pula halnya, apabila nilai tercatat aktiva lebih rendah dari DPPnya, maka selisihnya merupakan aktiva pajak tangguhan berupa pajak penghasilan yang dapat dipulihkan pada masa yang akan datang. Berikut ini adalah contoh perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan menimbulkan aktiva pajak tangguhan adalah biaya

29 manfaat pensiun (retirement benefit cost). Biaya tersebut dapat dikurangkan dalam penghitungan laba akuntansi, tetapi biaya tersebut baru dapat dikurangkan dalam penghitungan laba fiskal pada saat iuran atau manfaat pensiun tersebut dibayar oleh perusahaan. Perbedaan temporer adalah selisih antara nilai tercatat kewajiban dengan DPPnya (DPPnya umumnya adalah nol). Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan akan menimbulkan aktiva pajak tangguhan karena manfaat ekonomi akan diperoleh perusahaan dalam bentuk pengurangan terhadap laba fiskal pada saat iuran atau manfaat pensiun dibayar. Penggunaan perbedaan temporer yang boleh dikurangkan pada masa yang akan datang terjadi dalam bentuk pengurangan laba fiskal. Namun, manfaat ekonomi berupa pengurangan pembayaran pajak hanya akan dinikmati oleh perusahaan apabila perusahaan mempunyai laba fiskal dalam jumlah yang memadai sehingga realisasi tersebut dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, perusahaan mengakui aktiva pajak tangguhan hanya apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal akan tersedia dalam jumlah yang memadai sehingga perbedaan temporer tersebut dapat dimanfaatkan. d. Pengakuan awal aktiva atau kewajiban Salah satu contoh timbulnya aktiva pajak tangguhan pada saat pengakuan awal suatu aktiva, adalah bantuan atau sumbangan yang tidak kena pajak. Untuk tujuan akuntansi, bantuan atau sumbangan tersebut yang berupa suatu aktiva berwujud boleh disusutkan tetapi

30 untuk tujuan fiskal, aktiva tersebut tidak boleh disusutkan. Oleh karena itu, nilai tercatat aktiva tersebut akan lebih kecil dari DPPnya sehingga timbul perbedaan temporer yang boleh dikurangkan. e. Saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasikan Saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasikan diakui sebagai aktiva pajak tangguhan apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa yang akan datang memadai untuk dikompensasi. Berikut ini adalah hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan apakah penghasilan kena pajak akan tersedia dalam jumlah yang memadai untuk dikompensasikan. 1) Apakah perusahaan mempunyai perbedaan temporer kena pajak dalam jumlah yang memadai yang memungkinkan sisa kompensasi dapat digunakan sebelum masa berlakunya kadaluwarsa. 2) Apakah perusahaan mungkin memperoleh laba fiskal agar saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi kerugian dapat digunakan sebelum masa berlakunya kadaluwarsa. 3) Apakah saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi timbul dari kasuskasus tertentu yang hampir tidak mungkin berulang. Apabila laba fiskal tidak mungkin tersedia dalam jumlah yang memadai untuk dapat dikompensasikan dengan saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi, maka aktiva pajak tangguhan tidak diakui.

31 f. Penilaian kembali aktiva pajak tangguhan Pada setiap tanggal neraca, perusahaan menilai kembali aktiva pajak tangguhan yang tidak diakui. Perusahaan mengakui aktiva pajak tangguhan yang sebelumnya tidak diakui apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa yang akan datang akan tersedia untuk pemulihannya. Sebagai contoh, perbaikan dalam kondisi perekonomian mengingatkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba fiskal dalam jumlah yang memadai pada periode mendatang aktiva pajak tangguhan yang sebelumnya tidak diakui menjadi memenuhi kriteria. g. Pengukuran Kewajiban (aktiva) pajak kini untuk periode berjalan dan periode sebelumnya, diakui sebesar jumlah pajak terutang (restitusi pajak), yang dihitung dengan menggunakan tarif pajak (peraturan pajak) yang berlaku atau yang tidak secara substantif berlaku pada tanggal neraca. Aktiva dan kewajiban pajak tangguhan harus diukur dengan menggunakan tarif pajak yang akan berlaku pada saat aktiva dipulihkan atau kewajiban dilunasi, yaitu dengan tarif pajak (peraturan pajak) yang berlaku atau yang telah secara substantif berlaku pada tanggal neraca. Aktiva dan kewajiban pajak, baik yang bersifat kini maupun tangguhan, dihitung dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) yang telah berlaku. Apabila tarif pajak (dan peraturan pajak) baru telah diumumkan oleh pemerintah maka dianggap bahwa tarif (dan peraturan) tersebut

32 telah sesuai secara substantif berlaku walaupun berlakunya tarif (dan peraturan) tersebut secara efektif mungkin saja masih beberapa bulan sesudah pengumumannya. Dalam hal tersebut, aktiva dan kewajiban pajak harus dihitung dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) baru yang telah dinyatakan laba fiskal yang berbeda, maka aktiva dan kewajiban pajak tangguhan diukur dengan tarif pajak rata-rata yang akan dikenakan terhadap laba fiskal (rugi pajak) pada saat perbedaan temporer membalik (reserve). Aktiva dan kewajiban pajak tangguhan harus mencerminkan konsekuensi pajak untuk pemulihan nilai tercatat aktiva atau penyelesaian kewajiban pajak diharapkan perusahaan pada tanggal neraca. Aktiva dan kewajiban pajak tangguhan tidak boleh didiskonto (discounted). Nilai tercatat aktiva pajak tangguhan harus ditinjau kembali (pada tanggal neraca). Perusahaan harus menurunkan nilai tercatat tersebut apabila laba fiskal tidak mungkin memadai untuk mengkompensasi sebagian atau semua aktiva pajak tangguhan. Penurunan tersebut harus disesuaikan kembali apabila besar kemungkinan laba fiskal memadai. h. Pengakuan pajak kini dan pajak tangguhan Perlakuan akuntansi untuk pengaruh pajak kini dan pajak tangguhan yang berasal dari suatu transaksi atau kejadian harus selaras dengan perlakuan akuntansi untuk transaksi atau kejadian itu sendiri.

33 4. Laporan Laba Rugi Pajak kini dan pajak tangguhan diakui sebagai penghasilan atau beban pada laporan laba rugi periode berjalan, kecuali untuk pajak penghasilan yang berasal dari : a. Transaksi atau kejadian yang langsung dikreditkan atau dibebankan ke ekuitas pada periode yang sama atau periode yang berbeda, atau b. Penggabungan usaha yang secara substansi adalah akuisisi. Pada umumnya, aktiva dan kewajiban pajak tangguhan muncul karena penghasilan atau beban diakui dalam penghitungan laba akuntansi pada periode yang berbeda dari periode pengakuan penghasilan atau beban tersebut dalam penghitungan penghasilan kena pajak (rugi pajak). Pajak tangguhan yang berasal dari aktiva dan kewajiban pajak tangguhan tersebut diakui pada laporan laba rugi. Sebagai contoh adalah biaya pengembangan yang telah dikapitalisasi sesuai dengan PSAK No. 20 tentang biaya riset atau pengembangan dan diamortisasi sebagi beban pada laporan laba rugi, untuk kepentingan pajak biaya tersebut dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menentukan laba fiskal. Nilai tercatat aktiva dan kewajiban pajak tangguhan mungkin berubah walaupun tidak ada perubahan jumlah perbedaan temporer yang terkait dengan aktiva dan kewajiban pajak tersebut. Perubahan tersebut mungkin berasal dari : a. Perubahan tarif pajak atau peraturan pajak. b. Pengkajian kembali nilai aktiva pajak tangguhan yang dapat dipulihkan.

34 c. Perubahan cara pemulihan. Pajak tangguhan yang berasal dari perubahan tersebut diakui pada laporan laba rugi, kecuali untuk transaksi-transaksi yang sebelumnya telah langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas. 5. Transaksi yang Langsung Dikreditkan atau Dibebankan ke Ekuitas Pajak kini dan pajak tangguhan harus langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas apabila pajak tersebut berhubungan dengan transaksi yang langsung dikreditkan atau dibebankan ke ekuitas. PSAK tertentu mengharuskan suatu transaksi untuk langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas. Contoh transaksi tersebut adalah : a. Perubahan nilai tercatat akun aktiva tetap yang berasal dari revaluasi atau penilaian kembali, sesuai dengan PSAK No. 16 tentang aktiva tetap dan aktiva lain-lain. b. Suatu penyesuaian saldo laba awal periode yang berasal dari perubahan kebijakan akuntansi yang diterapkan secara restrospektif atau dari koreksi kesalahan mendasar, sesuai dengan PSAK No. 25 tentang laba atau rugi untuk periode berjalan, kesalahan mendasar dan perubahan kebijakan akuntansi, dan c. Selisih kurs karena penjabaran laporan keuangan suatu ekuitas asing, sesuai dengan PSAK No. 11 tentang penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing. Pada suatu tertentu, jumlah pajak kini dan pajak tangguhan yang berhubungan dengan transaksi-transaksi yang langsung dibebankan atau

35 dikreditkan ke ekuitas, mungkin sulit ditentukan. Hal tersebut mungkin terjadi apabila : a. Tarif pajak bersifat progresif dan tidak mungkin menentukan tarif pajak tertentu yang dikenakan pada komponen tertentu dari penghasilan kena pajak (rugi pajak). b. Perubahan tarif pajak atau peraturan pajak yang mempengaruhi aktiva atau kewajiban pajak tangguhan (baik secara keseluruhan atau sebagian) yang berhubungan dengan transaksi-transaksi yang sebelumnya langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas, atau c. Perusahaan memutuskan bahwa aktiva pajak tangguhan harus diakui, atau tidak lagi diakui seluruhnya, dan aktiva pajak tangguhan tersebut berhubungan (secara keseluruhan atau sebagian) dengan transaksi-transaksi yang sebelumnya dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas. Pada kasus tersebut, jumlah pajak kini dan pajak tangguhan yang berhubungan dengan transaksi-transaksi yang dikreditkan atau dibebankan ke ekuitas ditentukan dengan dasar alokasi proporsional (pro rata allocation) dari pajak kini dan pajak tangguhan atau metode lain yang menghasilkan alokasi yang lebih sesuai. 6. Penyajian a. Aktiva pajak dan kewajiban pajak Aktiva pajak dan kewajiban pajak harus disajikan terpisah dari aktiva dan kewajiban lainnya dalam neraca. Aktiva pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan harus dibedakan dari aktiva pajak kini.

36 Apabila dalam laporan keuangan suatu perusahaan, aktiva dan kewajiban lancar disajikan terpisah dari aktiva dan kewajiban tidak lancar maka aktiva (kewajiban) pajak tangguhan tidak boleh disajikan sebagai aktiva (kewajiban) lancar. b. Saling menghapus (offset) Aktiva pajak kini harus dikompensasi (offset) dengan kewajiban pajak kini dan jumlah netonya harus disajikan pada neraca. 7. Beban Pajak Beban (penghasilan) pajak yang berhubungan dengan laba atau rugi dan aktivitas normal harus disajikan tersendiri pada laporan laba rugi. Walaupun PSAK No. 11 tentang penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing, mengharuskan selisih kurs (exchange difference) tertentu diakui sebagai pendapatan atau beban, namun standar tersebut tidak mengatur pada elemen apakah selisih kurs tersebut harus disajikan dalam laporan laba rugi. Oleh karena itu, selisih kurs dari penjabaran aktiva atau kewajiban pajak tangguhan yang berasal dari penjabaran laporan keuangan entitas asing boleh dikelompokkan ke beban (penghasilan) pajak tangguhan jika penyajian seperti itu dianggap paling bermanfaat untuk pemakai laporan keuangan. Apabila nilai tercatat aktiva atau kewajiban yang berhubungan dengan pajak penghasilan final berbeda dari DPPnya maka perbedaan tersebut tidak diakui sebagai aktiva atau kewajiban pajak tangguhan. Sesuai

37 dengan peraturan perundangan perpajakan, penghasilan kena pajak, semua beban sehubungan dengan penghasilan yang telah dikenakan PPh final tidak boleh dikurangkan. Di lain pihak, baik pendapatan maupun beban tersebut dipakai dalam penghitungan laba rugi menurut akuntansi. Oleh Karena itu, tidak terdapat perbedaan temporer sehingga tidak diakui adanya aktiva atau kewajiban pajak tangguhan. Atas penghasilan yang telah dikenakan PPh final, beban pajak diakui proporsional dengan jumlah pendapatan menurut akuntansi yang diakui pada periode berjalan. Selisih antara jumlah PPh final yang terutang dengan jumlah yang dibebankan sebagai pajak kini pada perhitungan laba rugi diakui sebagai pajak dibayar di muka dan pajak yang masih harus dibayar. Akun pajak penghasilan final dibayar di muka harus disajikan terpisah dari pajak penghasilan final yang masih harus dibayar. Jumlah tambahan pokok dan denda pajak yang ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) harus dibebankan sebagai pendapatan atau beban lain-lain pada laporan laba rugi periode berjalan, kecuali apabila diajukan keberatan dan atau banding. Jumlah tambahan pokok pajak dan denda yang ditetapkan dengan SKP ditangguhkan pembebanannya. Apabila terdapat kesalahan mendasar maka perlakuan akuntansinya mengacu pada PSAK No. 25 tentang laba atau rugi bersih untuk periode berjalan, kesalahan mendasar dan perubahan kebijakan akuntansi.

38 8. Pengungkapan Hal-hal berikut ini harus diungkapkan : a. Unsur-unsur utama beban (penghasilan) pajak. b. Jumlah pajak kini dan pajak tangguhan yang berasal dari transaksitransaksi yang langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas. c. Beban (penghasilan) pajak yang berasal dari pos-pos luar biasa yang diakui pada periode berjalan. d. Penjelasan mengenai hubungan antara beban (penghasilan) pajak dan laba akuntansi dalam salah satu atau kedua bentuk berikut ini : 1) Rekonsiliasi antara beban (penghasilan) pajak dengan hasil perkalian laba akuntansi dan tarif pajak yang berlaku, dengan mengungkapkan dasar penghitungan tarif pajak yang berlaku. 2) Rekonsiliasi antara tarif pajak efektif rata-rata (average effective tax rate) dan tarif pajak yang berlaku, dengan mengungkapkan dasar penghitungan tarif pajak yang berlaku. e. Penjelasan mengenai perubahan tarif pajak yang berlaku dan perbandingan dengan tarif pajak yang berlaku pada periode akuntansi sebelumnya. f. Jumlah (dan batas waktu penggunaan, jika ada) perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa rugi yang dapat dikompensasi ke tahun berikut, yang tidak diakui sebagai aktiva pajak tangguhan pada neraca.

39 g. Untuk setiap kelompok perubahan temporer dan untuk setiap kelompok rugi yang dapat dikompensasi ke tahun berikut : 1) Jumlah aktiva dan kewajiban pajak tangguhan yang diakui pada neraca untuk setiap periode penyajian. 2) Jumlah beban (penghasilan) pajak tangguhan yang diakui pada laporan laba rugi apabila jumlah tersebut tidak terlihat dari perubahan jumlah aktiva atau kewajiban pajak tangguhan yang diakui pada neraca, dan h. Untuk operasi yang tidak dilanjutkan, beban pajak yang berasal dari : 1) Keuntungan atau kerugian atau penghentian operasi, dan 2) Atau rugi dari aktivitas normal operasi yang tidak dilanjutkan untuk periode pelaporan, bersama dengan jumlah periode akuntansi sebelumnya yang disajikan pada laporan keuangan. Unsur-unsur beban (penghasilan) pajak mencakup : a. Beban (penghasilan) pajak kini. b. Penyesuaian yang diakui pada periode berjalan atas pajak kini yang berasal dari periode sebelumnya. c. Jumlah beban (penghasilan) pajak tangguhan baik yang berasal dari timbulnya perbedaan temporer maupun dari realisasinya. d. Jumlah beban (penghasilan) pajak tangguhan yang berasal dari perubahan tarif pajak atau penerapan peraturan perpajakan yang baru.

40 e. Jumlah manfaat dari rugi pajak atau perbedaan temporer periode sebelumnya yang belum diakui, yang digunakan sebagai pengurang beban pajak kini. f. Jumlah manfaat dari rugi pajak atau perbedaan temporer periode sebelumnya yang belum diakui, yang digunakan sebagai pengurang beban pajak tangguhan, dan g. Beban pajak tangguhan yang berasal dari penurunan (write-down) atau penyesuaian kembali (reversal) penurunan periode sebelumnya, dari aktiva pajak tangguhan. Perusahaan harus mengungkapkan jumlah aktiva pajak tangguhan dan sifat bukti yang mendukung pengakuannya, jika : 1. Penggunaan aktiva pajak tangguhan tergantung pada apakah laba fiskal yang dapat dihasilkan pada periode mendatang melebihi laba dari realisasi perbedaan temporer kena pajak yang telah ada, dan 2. Peusahaan telah menderita kerugian pada periode berjalan atau periode sebelumnya. Perusahaan mengungkapkan sifat dan jumlah setiap pos luar biasa pada laporan laba rugi atau pada catatan atas laporan keuangan. Apabila sifat dan jumlah setiap pos luar biasa diungkapkan pada cacatan atas laporan keuangan, maka jumlah semua pos luar biasa diungkapkan pada laporan laba rugi sebesar nilai netonya setelah dikurangi dengan beban (penghasilan) pajak terkait.

41 Walaupun pemakai laporan keuangan dapat menganggap pengungkapan beban (penghasilan) pajak yang berhubungan dengan setiap pos luar biasa sebagai informasi yang bermanfaat namun penyusunan laporan keuangan sering mengalami kesulitan untuk menyajikan informasi mengenai alokasi beban (penghasilan) pajak pada pos-pos tersebut. Sehubungan dengan kesulitan tersebut, maka beban (penghasilan) pajak yang berhubungan dengan pos-pos luar biasa dapat disajikan secara total (aggregate). Untuk menghitung pajak tangguhan, digunakan tarif pasal 17 Undang-undang PPH yaitu PPh Badan. Namun menurut Prianto Budi Saptono (2002 : 20) dalam praktiknya, kadangkala merujuk pada prinsip materialisme dan simplikasi, perusahaan menghitung pajak tangguhan dengan hanya menerapkan tarif 30%. Menurut Prianto Budi Saptono (2002 : 2-22), pengakuan pajak tangguhan dibagi menjadi 2 yaitu : 1. Semua taxable temporary difference atau beda waktu kena pajak (nilai basis akuntansi > nilai basis pajak) yang akan mengakibatkan penambahan penghasilan kena pajak di masa mendatang diakui sebagai kewajiban pajak tangguhan (difference tax liability), kecuali jika timbul dari : a. Goodwill yang amortisasinya tidak dapat dikurangkan (non deductible) untuk tujuan fiskal.

42 b. Pengakuan awal aktiva atau kewajiban dari suatu transaksi yang: 1) Bukan merupakan transaksi penggabungan usaha 2) Pada saat transaksi tidak mempengaruhi laba akuntansi dan penghasilan kena pajak. Jurna1 pendapatan : Beban pajak tangguhan xxxx kewajiban pajak tangguhan xxxx 2. Aktiva pajak tangguhan (different tax assets) diakui untuk seluruh deductible temporary difference atau beda waktu yang boleh dikurangkan (nilai basis akuntansi < nilai basis pajak), sepanjang besar kemungkinan perbedaan tersebut dimanfaatkan untuk mengurangi penghasilan kena pajak pada masa yang akan datang, kecuali aktiva pajak tangguhan yang timbul dari : a. Goowill negatif yang diakui sebagai pendapatan tangguhan sesuai dengan PSAK No. 22 tentang akuntansi penggabungan usaha. b. Pengakuan awal aktiva atau kewajiban dari suatu transaksi yang : 1) Bukan merupakan transaksi penggabungan usaha. 2) Pada saat transaksi tidak mempengaruhi laba akuntansi dan penghasilan kena pajak.

43 Jurnal pencatatan : Aktiva pajak tangguhan xxxx Manfaat pajak tangguhan xxx E. Contoh Kasus PPh Badan Berikut ini adalah contoh kasus rekonsiliasi fiskal pada contoh laporan keuangan yang diambil : PT. INTI LOGGING dengan NPWP : 01.937.654.2.031.000, Jl. S. Parman Kav. 26 Jakarta Barat, bergerak di bidang perkayuan. WP memiliki kerugian fiskal yang masih dapat dikompensasikan sebesar Rp 159.000.000,-. Data-data pembukuan tahun 2006 adalah sebagai berikut : Penjualan bersih Rp 23.200.000.000,- Harga pokok penjualan Rp 17.900.000.000,- Biaya Operasional: Gaji dan upah Rp 1.256.400.000,- PPh 21 yang dibayarkan perusahaan Rp 56.500.000,- Biaya penyusutan Rp 1.285.000.000,- Biaya rekreasi pegawai Rp 22.600.000,- Biaya HP Rp 24.000.000,- Biaya Jamsostek Rp 60.600.000,- Biaya penyisihan piutang ragu-ragu Rp 98.600.000,- Biaya perjalanan dinas Rp 301.000.000,-

44 Biaya bunga bank Rp 180.000.000,- Biaya bunga leasing Rp 20.000.000,- Biaya Royalty Rp 125.000.000,- Biaya pemeliharaan inventaris Rp 230.400.000,- Biaya representasi Rp 135.500.000,- Biaya PLN Rp 9.500.000,- Biaya makan, minum, dan seragam Rp 400.000.000,- Biaya alat tulis kantor Rp 163.800.000,- Biaya listrik, telepon dan air Rp 36.000.000,- Biaya perawatan forklift & dump truck Rp 10.000.000,- Biaya fiskal LN Rp 21.000.000,- Biaya profesional fee Rp 59.700.000,- Biaya lain-lain Rp 25.800.000,- Penghasilan/ Beban lain-lain: Bunga deposito Rp 10.000.000,- Laba penjualan dagang Rp 100.000.000,- Pendapatan sewa forklift & dump truck Rp 150.000.000,- Laba selisih kurs Rp 99.200.000,- Rugi penjualan wisma Rp (80.000.000),- Laba anak perusahaan Rp 200.000.000,- Keterangan lain:

45 a. PT. Inti Logging memiliki kebijakan untuk menanggung PPh pasal 21 semua karyawannya berapapun jumlahnya dalam bentuk PPh 21 ditanggung perusahaan, bukan berbentuk tunjangan PPh (gross up). b. Biaya penyusutan untuk fiskal dan komersial dihitung dengan cara yang sama oleh WP yaitu sebesar Rp 1.285.000.000,00 (metode garis lurus). Demikian juga dengan penentuan masa manfaat dan nilai sisa. Tetapi WP belum menyesuaikan perhitungan biaya penyusutan HP dinas sebesar Rp 4.000.000,- per tahun dan biaya penyusutan mobil sedan dinas sebesar Rp 50.000.000,- per tahun dengan KEP -220/PJ./2002. c. Dalam biaya penyusutan termasuk juga biaya penyusutan atas aktiva finance lease sebesar Rp. 150.000.000,- dan biaya penyusustan wisma sampai saat wisma tersebut dijual sebesar Rp. 10.000.000,- d. Biaya HP adalah pengeluaran untuk pembayaran pulsa HP para direksi e. Biaya astek/ jamsostek adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk pembayaran premi asuransi kecelakaan kerja karyawan. f. Dalam perjalanan dinas, para direksi sesekali membawa keluarga mereka, ternyata setelah diperinci terdapat Rp. 55.000.000,- yang merupakan pengeluaran untuk keperluan keluarga direksi, disamping itu terdapat juga biaya pembelian tiket pesawat terbang untuk para pejabat sebesar Rp. 64.000.000,- g. Biaya bunga bank sebesar Rp. 180.000.000,- terjadi karena hutang PT. Inti Logging kepada bank Buana Indonesia sebesar rata-rata setahun Rp. 1.000.000.000,- dengan tingkat bunga pinjaman rata-rata 18% p.a.