BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
KINERJA STRUKTUR RANGKA BETON BERTULANG DENGAN PERKUATAN BREISING BAJA TIPE X

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMODELAN STRUKTUR RANGKA BETON BERTULANG DENGAN PERKUATAN BREISING KONSENTRIK V-TERBALIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 2.1 Perbandingan SNI dengan SNI No SNI SNI

JUDUL PENELITIAN ANALISIS KONSTRUKSI BERTAHAP PADA STRUKTUR RANGKA TERBUKA BETON BERTULANG DENGAN PERKUTAN BRESING BAJA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERBANDINGAN PERILAKU ANTARA STRUKTUR RANGKA PEMIKUL MOMEN (SRPM) DAN STRUKTUR RANGKA BRESING KONSENTRIK (SRBK) TIPE X-2 LANTAI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

EVALUASI KINERJA PORTAL BAJA 3 DIMENSI DENGAN PENGAKU LATERAL AKIBAT GEMPA KUAT BERDASARKAN PERFORMANCE BASED DESIGN

JUDUL PENELITIAN ANALISIS KONSTRUKSI BERTAHAP PADA STRUKTUR RANGKA TERBUKA BETON BERTULANG DENGAN PERKUTAN BRESING BAJA

STUDI EVALUASI KINERJA STRUKTUR BAJA BERTINGKAT RENDAH DENGAN ANALISIS PUSHOVER ABSTRAK

II. KAJIAN LITERATUR. tahan gempa apabila memenuhi kriteria berikut: tanpa terjadinya kerusakan pada elemen struktural.

BAB III METODE ANALISIS

ANALISA KINERJA STRUKTUR BETON BERTULANG DENGAN KOLOM YANG DIPERKUAT DENGAN LAPIS CARBON FIBER REINFORCED POLYMER (CFRP)

BAB III METODE PENELITIAN

DAFTAR ISI. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Umum Beban Gempa Menurut SNI 1726: Perkuatan Struktur Bresing...

BAB II DASAR-DASAR PERENCANAAN STRUKTUR GEDUNG BERTINGKAT

BAB 1 PENDAHULUAN. hingga tinggi, sehingga perencanaan struktur bangunan gedung tahan gempa

PERKUATAN SEISMIK STRUKTUR GEDUNG BETON BERTULANG MENGGUNAKAN BREISING BAJA TIPE-X TUGAS AKHIR

DAFTAR ISI JUDUL LEMBAR PENGESAHAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR NOTASI

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

PEMODELAN STRUKTUR RANGKA BAJA DENGAN BALOK BERLUBANG

ANALISIS KINERJA STRUKTUR BETON BERTULANG DI WILAYAH GEMPA INDONESIA INTENSITAS TINGGI DENGAN KONDISI TANAH LUNAK

BAB IV PERMODELAN STRUKTUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS KINERJA STRUKTUR BETON BERTULANG DENGAN VARIASI PENEMPATAN BRACING INVERTED V ABSTRAK

BAB III LANDASAN TEORI. Bangunan Gedung SNI pasal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI MENENTUKAN PARAMETER DAKTILITAS STRUKTUR GEDUNG TIDAK BERATURAN DENGAN ANALISIS PUSHOVER

PERBANDINGAN PERILAKU DAN KINERJA STRUKTUR RANGKA BAJA DENGAN SISTEM BREISING KONSENTRIK TIPE-X DAN SISTEM BREISING EKSENTRIK V-TERBALIK

ANALISIS PERILAKU DAN KINERJA RANGKA BETON BERTULANG DENGAN DAN TANPA BREISING KABEL CFC

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK. Kata kunci: perkuatan, struktur rangka beton bertulang, dinding geser, bracing, pembesaran dimensi, perilaku. iii

Pengaruh Core terhadap Kinerja Seismik Gedung Bertingkat

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II STUDI PUSTAKA

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR NOTASI DAFTAR LAMPIRAN

ABSTRAK. Kata Kunci: perkuatan seismik, rangka beton bertulang, bresing baja, dinding pengisi berlubang sentris, perilaku, kinerja, pushover.

Gambar 2.1 Rangka dengan Dinding Pengisi

EVALUASI KEMAMPUAN STRUKTUR RUMAH TINGGAL SEDERHANA AKIBAT GEMPA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pergesekan lempeng tektonik (plate tectonic) bumi yang terjadi di daerah patahan

BAB II LANDASAN TEORI. kestabilan struktur dalam menahan segala pembebanan yang dikenakan padanya,

BAB III METODE ANALISA STATIK NON LINIER

EVALUASI KINERJA INELASTIK STRUKTUR RANGKA BETON BERTULANG TERHADAP GEMPA DUA ARAH TUGAS AKHIR PESSY JUWITA

PERENCANAAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK BIASA DAN STRUKTUR RANGKA BAJA BRESING KONSENTRIK KHUSUS TIPE-X TUGAS AKHIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. desain untuk pembangunan strukturalnya, terutama bila terletak di wilayah yang

PERBANDINGAN ANALISIS RESPON STRUKTUR GEDUNG ANTARA PORTAL BETON BERTULANG, STRUKTUR BAJA DAN STRUKTUR BAJA MENGGUNAKAN BRESING TERHADAP BEBAN GEMPA

BAB III LANDASAN TEORI. dasar ke permukaan tanah untuk suatu situs, maka situs tersebut harus

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR NOTASI DAN SIMBOL

3. BAB III LANDASAN TEORI

ANALISIS PERILAKU STRUKTUR PELAT DATAR ( FLAT PLATE ) SEBAGAI STRUKTUR RANGKA TAHAN GEMPA TUGAS AKHIR

RESPON DINAMIS STRUKTUR PADA PORTAL TERBUKA, PORTAL DENGAN BRESING V DAN PORTAL DENGAN BRESING DIAGONAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI Annisa Candra Wulan, 2016 Studi Kinerja Struktur Beton Bertulang dengan Analisis Pushover

TUGAS AKHIR PERENCANAAN STRUKTUR KONSTRUKSI BAJA GEDUNG DENGAN PERBESARAN KOLOM

BAB 1 PENDAHULUAN Umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DASAR DASAR PERENCANAAN STRUKTUR ATAS. Secara umum struktur atas adalah elemen-elemen struktur bangunan yang

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II DASAR TEORI. Pada bab ini akan dibahas sekilas tentang konsep Strength Based Design dan

BAB III LANDASAN TEORI. A. Gempa Bumi

BAB IV EVALUASI KINERJA DINDING GESER

PERANCANGAN STRUKTUR ATAS GEDUNG CONDOTEL MATARAM CITY YOGYAKARTA. Oleh : KEVIN IMMANUEL KUSUMA NPM. :

PRESENTASI TUGAS AKHIR

EVALUASI SENDI PLASTIS DENGAN ANALISIS PUSHOVER PADA GEDUNG TIDAK BERATURAN

TESIS EVALUASI KINERJA STRUKTUR GEDUNG BETON BERTULANG SISTEM GANDA DENGAN ANALISIS NONLINEAR STATIK DAN YIELD POINT SPECTRA O L E H

Kata kunci : base isolator, perbandingan kinerja, dengan dan tanpa base isolator,

PERENCANAAN GEDUNG BETON BERTULANG BERATURAN BERDASARKAN SNI DAN FEMA 450

BAB III PEMODELAN STRUKTUR

Studi Assessment Kerentanan Gedung Beton Bertulang Terhadap Beban Gempa Dengan Menggunakan Metode Pushover Analysis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang aman. Pengertian beban di sini adalah beban-beban baik secara langsung

DAFTAR NOTASI. Luas penampang tiang pancang (mm²). Luas tulangan tarik non prategang (mm²). Luas tulangan tekan non prategang (mm²).

BAB III PEMODELAN DAN ANALISIS STRUKTUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. gawang apabila tanpa dinding (tanpa strut) dengan menggunakan dinding (dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gedung dalam menahan beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut. Dalam. harus diperhitungkan adalah sebagai berikut :

STUDI KOMPARATIF PERANCANGAN STRUKTUR GEDUNG TAHAN GEMPA DENGAN SISTEM RANGKA GEDUNG BERDASARKAN TATA CARA ASCE 7-05 DAN SNI

ANALISA PORTAL DENGAN DINDING TEMBOK PADA RUMAH TINGGAL SEDERHANA AKIBAT GEMPA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Iswandi Imran (2014) konsep dasar perencanaan struktur

PENGARUH PENEMPATAN DAN POSISI DINDING GESER TERHADAP SIMPANGAN BANGUNAN BETON BERTULANG BERTINGKAT BANYAK AKIBAT BEBAN GEMPA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. geser membentuk struktur kerangka yang disebut juga sistem struktur portal.

ANALISIS DINAMIK BEBAN GEMPA RIWAYAT WAKTU PADA GEDUNG BETON BERTULANG TIDAK BERATURAN

Laporan Tugas Akhir Perencanaan Struktur Gedung Apartemen Salemba Residences 4.1 PERMODELAN STRUKTUR Bentuk Bangunan

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR NOTASI DAN SIMBOL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Beton berlulang merupakan bahan konstruksi yang paling penting dan merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

T I N J A U A N P U S T A K A

BAB IV PEMODELAN STRUKTUR

BAB III LANDASAN TEORI. untuk bangunan gedung (SNI ) dan tata cara perencanaan gempa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Statik Ekivalen

PERANCANGAN STRUKTUR ATAS GEDUNG TRANS NATIONAL CRIME CENTER MABES POLRI JAKARTA. Oleh : LEONARDO TRI PUTRA SIRAIT NPM.

Evaluasi Kinerja Gedung Beton Bertulang Dengan Pushover Analysis Akibat Beban Gempa Padang

BAB IV ANALISIS STRUKTUR

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beban Gempa Beban gempa adalah beban yang bekerja pada suatu struktur akibat dari pergerakan tanah yang disebabkan karena adanya gempa bumi (baik itu gempa tektonik atau vulkanik) yang mempengaruhi struktur tersebut. 2.1.1 Beban Gempa menurut SNI 1726:2002 Pada peraturan perencanaan beban gempa SNI 1726:2002 digunakan faktorfaktor yang disesuaikan dengan perencanaan suatu struktur yang terdiri dari wilayah gempa, percepatan puncak muka tanah (Ao), faktor keutamaan gedung (I), faktor reduksi gempa (R), dan waktu getar alami (Tc). Faktor-faktor tersebut digunakan untuk menghitung faktor respon gempa (Ca) dengan rumus: dengan dimana: C a = A r T (2. 1) A r = A m T c (2. 2) T = ζ n (2. 3) A m = 0.25 A o (2. 4) Ar = Pembilang dalam persamaan hiperbola Faktor Respons Gempa C Am= Percepatan respons maksimum T = Waktu getar alami struktur gedung (detik) ζ = Koefisien pengali dari jumlah tingkat struktur gedung n = Jumlah tingkat Gempa arah vertikal juga diperhitungkan dengan mencari nilai faktor respon gempa vertikal (Cv) dengan rumus: C v = Ψ A 0 I (2. 5) dengan ψ adalah koefisien yang disesuaikan dengan wilayah gempa tempat struktur gedung berada. 4

2.1.2 Beban Gempa menurut SNI 1720:2012 Peraturan perencanaan beban gempa pada gedung-gedung di Indonesia yang berlaku saat ini diatur dalam SNI Gempa 1726:2012. Pada peraturan ini dijelaskan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perhitungan untuk analisis beban gempa sebagai berikut: 1. Geografis Perencanaan beban gempa pada sebuah gedung tergantung dari lokasi gedung tersebut dibangun. Hal ini disebabkan karena wilayah yang berbeda memiliki percepatan batuan dasar yang berbeda pula. 2. Faktor keutamaan gedung Faktor ini ditentukan berdasarkan jenis pemanfaatan gedung. Gedung dengan kategori risiko I dan II memiliki faktor keutamaan gedung 1, untuk kategori resiko III memiliki faktor 1.25, dan kategori resiko IV memiliki faktor 1.5. 3. Kategori Desain Seismik Pembagian kategori desain seismik dari rendah ke tinggi yaitu A, B, C, D, E, dan F. Penentuan kategori ini dapat dilihat pada lampiran A Tabel A5. 4. Sistem penahan gaya seismik Struktur dengan sistem penahan gaya seismik memiliki faktor reduksi gempa atau koefisien modifikasi respon (R), faktor kuat lebih sistem (Ω0), dan faktor pembesaran defleksi (Cd) yang berbeda-beda sesuai dengan Tabel A6 pada lampiran A. 2.2 Perbandingan SNI-1726-2002 dengan SNI-1726-2012 SNI-1726-2012 mengenai Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung merupakan peraturan gempa terbaru yang menggantikan SNI-1726-2002. Perubahan yang ada terdapat pada revisi yang terkait dengan kategori desain seismik (KDS). Sebagai contoh daerah Bali selatan yang sebelumnya berada pada wilayah gempa V dengan resiko gempa sedang menjadi KDS D. Tabel 2.1 menunjukkan perbandingan dari kedua SNI tersebut. 5

Tabel 2.1 Perbandingan SNI-1726-2002 dengan SNI-1726-2012 No SNI-1726-2002 SNI-1726-2012 1 Nilai faktor keutamaan diatur Dalam menentukan kategori risiko pada Tabel A.1 SNI-1726-2002. bangunan dan faktor keutamaan Pada SNI ini nilai I ditentukan berdasarkan perkalian nilai I1 dan I2 pada Tabel A.1. bangunan bergantung dari fungsi/jenis pemanfaatan bangunan tersebut. Nilai faktor keutamaan diatur pada Tabel A.2 SNI-1726-2012. 2 Jenis tanah pada SNI-1726-2002 Pasal 4.6.3 ditetapkan dalam tiga kategori, yakni tanah keras, tanah sedang dan tanah lunak. Berdasarkan sifat-sifat tanah pada situs, maka situs harus diklasifikasi sebagai kelas situs SA, SB, SC, SD, SE, atau SF. 3 Penentuan wilayah gempa Parameter spektrum respons disesuaikan dengan lokasi/daerah percepatan pada periode pendek (SMS) pada Peta Wilayah Gempa dan periode 1 detik (SD1) yang sesuai Indonesia pada Pasal 4.7.1 SNI- 1726-2002. Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 wilayah gempa, dengan pengaruh klasifikasi situs, harus ditentukan dengan perumusan berikut. wilayah gempa 1 adalah wilayah 2 SDS = FaSs (2. 6) 3 dengan kegempaan paling rendah dan wilayah 6 dengan kegempaan paling tinggi. 2 SD1 = FvS1 3 (2. 7) 4 Untuk menentukan pengaruh Bila spektrum respons desain gempa rencana pada struktur gedung, maka untuk masingmasing wilayah gempa ditetapkan diperlukan oleh tata cara ini dan prosedur gerak tanah dari spesifik-situs tidak digunakan, maka kurva spektrum Spektrum Respons Gempa respons desain harus dikembangkan Rencana C-T, dengan bentuk tipikal seperti Gambar 2.1 dengan mengacu pada Gambar 2.2 sesuai SNI-1726-2012 6

Tabel 2.1 Lanjutan Gambar 2.1 Bentuk tipikal spektrum respons gempa rencana Sumber: SNI-1726 (2002) 5 Nilai faktor reduksi gempa ditentukan berdasarkan tingkat daktilitas struktur dan jenis sistem struktur yang digunakan. Nilai maksimum faktor tersebut (Rm) untuk beberapa sistem struktur diatur pada Tabel 3 SNI-1726-2002. 6 Pasal 5.6 SNI-1726-2002 mengatur pembatasan waktu getar alami fundamental untuk mencegah penggunaan struktur gedung yang terlalu fleksibel. Nilai waktu getar alami fundamental T1 dari struktur gedung harus dibatasi, bergantung pada koefisien ζ untuk wilayah gempa tempat struktur gedung berada dan jumlah tingkatnya n menurut persamaan T1 < ζ. n (2. 8) Gambar 2.2 Spektrum respons desain Sumber: SNI-1726 (2012) Faktor koefisien modifikasi respon (R), pembesaran defleksi (Cd), dan faktor kuat lebih sistem (Ωo) ditentukan berdasarkan Tabel 9 SNI-1726-2012. Faktor-faktor tersebut ditentukan berdasarkan sistem penahan gaya seismik struktur bangunan. Untuk menentukan perioda fundamental struktur (T), digunakan perioda fundamental pendekatan (Ta). Periode fundamental pendekatan (Ta) dalam detik, ditentukan dari persamaan berikut: Ta = x C t h n (2. 9) Keterangan: hn (m) = ketinggian struktur dalam di atas dasar sampai tingkat tertinggi struktur 7

Tabel 2.1 Lanjutan Keterangan: ζ = koefisein sesuai wilayah gempa (Tabel A.2 Lampiran A) n = jumlah tingkat Koefisien Ct dan x ditentukan berdasarkan Tabel A.9 Lampiran A. Ta = 0,1N (2. 10) Keterangan: N = jumlah tingkat 7. Gaya geser dasar dari metode statik ekuivalen dihitung berdasarkan persamaan berikut. V1 = C1.I R Keterangan: Wt (2. 11) Persamaan yang digunakan dalam menghitung gaya geser dasar dalam metode statik ekuivalen adalah sebagai berikut: V = Cs. W (2. 12) Keterangan: V1 C1 = gaya geser dasar nominal = faktor respons gempa V = gaya geser dasar Cs = koefisien respons seismik W = berat bangunan untuk waktu getar fundamental I = faktor keutamaan R = faktor reduksi gempa Wt = berat total struktur Cs = S DS R I e (2. 13) Nilai Cs yang dihitung sesuai dengan persamaan tersebut tidak boleh kurang dari persamaan berikut: Cs=0,044SDSIe>0,01 (2. 14) Sebagai tambahan, untuk struktur yang berlokasi di daerah dengan S1 sama dengan atau lebih besar dari 0,6 g, maka Cs harus tidak kurang dari persamaan berikut: 8

Tabel 2.1 Lanjutan 0,5S Cs= 1 R I e (2. 15) 8. Beban geser nominal (V) menurut Pasal 6.1.2 SNI-1726-2002 harus didistribusikan sepanjang tinggi struktur gedung menjadi bebanbeban gempa nominal statik ekuivalen Fi yang menangkap pada pusat massa lantai tingkat ke-i menurut persamaan: Gaya gempa lateral di tingkat harus ditentukan dari persamaan berikut: Fx = Cvx V (2. 17) Dan, Cvx = n w i 1 x h i k x w h Keterangan: k i (2. 18) Fi = n i 1 w z i i i w z i V (2. 16) Cvx wi dan wx = faktor distribusi vertikal = berat total bangunan pada tingkat i atau x Keterangan: Fi = gaya statik ekuivalen pada lantai ke-i Wi = berat lantai ke-i (beban mati dan beban hidup) hi dan hx k = tinggi dari dasar sampai tingkat i atau x = eksponen yang terkait dengan perioda struktur Zi = ketinggian lantai ke-i dari dasar Sumber: SNI-1726 (2002) dan SNI-1726 (2012) 2.3 Perkuatan Struktur Perkuatan (retrofitting) merupakan usaha untuk memperkuat struktur atau memperbaiki struktur yang sudah ada untuk mengembalikan keadaan struktur kembali berfungsi seperti awal dibangun atau layak dihuni. Ada berbagai hal yang menyebabkan sebuah struktur memerlukan perkuatan contohnya seperti kerusakan 9

akibat gempa, bangunan yang sudah tua dan penambahan beban pada suatu struktur. Dari hal hal tersebut perkuatan merupakan solusi tepat jika dibandingkan dengan biaya untuk membangun bangunan kembali. Terdapat berbagai macam metode perkuatan yang umum digunakan pada struktur beton bertulang, antara lain penambahan komponen struktur (kolom, dinding), peningkatan kekuatan elemen struktur (pembesaran dimensi, penambahan lapisan berupa pelat baja atau bahan komposit seperti FRP), pengurangan berat komponen non struktur dan penambahan breising. Keefektifan dari metode perkuatan struktur tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.3 Gambar 2.3 Perbandingan breising terhadap masing masing perkuatan Sumber: IST Group (2004) Gambar 2.3 menunjukan perbandingan antara masing-masing perkuatan dengan rangka tanpa perkuatan. Monolithic wall memiliki kekakuan yang sangat tinggi namum memiliki daktilitas yang sangat rendah. Post-Cast wall memiliki kekuatan yang berada dibawah monolithic wall diikuti concrete blocks yang daktilitasnya meningkat berbanding dengan penuruan kekuatan gaya lateral. Perkuatan breising relatif memberikan kekuatan dengan daktilitas yang tidak jauh dari rangka tanpa perkuatan. 10

2.4 Struktur Rangka Breising Breising adalah suatu sistem rangka batang vertikal yang memikul beban lateral melalui kekakuan aksial portal. Interaksi breising dan portal ketika menerima beban lateral, breising bersimpangan layaknya sebuah rangka batang, sedangkan portal kaku bersimpangan geser. Breising merupakan metode yang sangat efesien dan ekonomis untuk menahan gaya horisontal pada struktur rangka. Breising efesien karena bekerja diagonal pada tegangan aksial dan menyebabkan kebutuhan untuk ukuran batang breising kecil, dalam memberikan kekakuan dan kekuatan terhadap gaya geser horisontal (Smith and Coull, 1991). Geometrik rangka breising di kelompokkan berdasarkan dari karakter daktilitasnya. Salah satunya rangka breising konsentrik dan rangka breising eksentrik. Pada rangka breising konsentrik sumbu dari semua batang berpotongan pada satu titik sehingga gaya pada batang adalah axial. Rangka breising konsentrik memiliki jumlah kekakuan yang besar namun daktilitas yang dimiliki rendah. Rangka breising konsentrik merupakan pilihan tepat untuk penahan beban lateral diarea aktivitas seismik yang minim dimana daktilitas yang tinggi tidak penting. Disisi lain rangka breising eksentrik memanfaatkan elemen link untuk membawa lentur dan geser kedalam rangka, yang menurunkan kekakuan untuk rasio berat badan tapi meningkatan daktilitas (Kowalczyk, 1995). Gambar 2.4 menampilkan tipe tipe dari breising konsentrik Gambar 2.4 Tipe-tipe Breising Konsentrik Sumber: AISC 341-10 ( 2010) 11

2.4.1 Sistem Rangka Breising Konsentrik Biasa Rangka breising konsentrik biasa dapat diaplikasikan untuk rangka breising yang terhubung secara konsentris. Eksentrisitas yang lebih rendah dibandingkan panjang balok diizinkan jika, breising diperhitungkan untuk momen eksentrik dengan perkuatan beban gempa. Rangka breising konsentrik biasa didesain dengan ketentuan yang diharapkan untuk memberikan kapasitas simpangan inelastik yang terbatas pada bagian dan sambungannya. Pada perencanaan SRBKB tidak memerlukan analisis tambahan. Rasio kelangsingan breising adalah KL/r 4 E/Fy (AISC 341-10, 2010). 2.4.2 Sistem Rangka Breising Konsentrik Khusus Menurut AISC 341-10 (2010) rangka batang breising konsentrik khusus dapat diaplikasikan untuk rangka breising yang terdiri dari batang yang terhubung secara konsentris. Kebutuhan kekuatan dari kolom, balok dan sambungan dalam rangka batang breising konsentrik khusus didasarkan pada kombinasi beban dan fungsi penggunaan gedung yang telah termasuk perkuatan beban seismik. Dalam menentukan perkuatan beban gempa, pengaruh dari gaya horizontal termasuk kuat lebih, Emh harus diambil sebagai gaya terbesar ditentukan dari 2 analisis berikut: - Analisis yang mengasumsikan semua breising untuk menahan kekuatan yang sesuai dengan kekuatan breising diharapkan pada tekanan dan tarikan. - Analisis yang mengasumsikan semua breising untuk menahan gaya yang sesuai dengan kekuatan yang diharapkan dan semua breising dalam tekan diasumsikan untuk menahan kekuatan tekuk yang diharapkan. Breising harus ditentukan untuk mengabaikan tekan atau tarik yang berasal dari beban gravitasi. Analisis harus mempertimbangkan kedua arah dari pembebanan rangka. Penjabaran kekuatan pasca tekuk breising harus diambil maksimal 0,3 kali dari kekuatan breising pada tekanan yang diinginkan. Sedangkan untuk penjabaran dari kekuatan tarik breising dirumuskan sebagai berikut: Ry = fy. Ag (2. 19) Keterangan: Ry adalah ratio dari tegangan leleh yang diinginkan fy adalah tegangan leleh minimum dari baja yang digunakan Ag adalah luas kotor (mm 2 ) 12

Untuk pendistribusian beban lateral breising, salah satu dari gaya paralel ke breising setidaknya antara 30% sampai 70% dari total gaya lateral. Sepanjang garis itu gaya lateral ditahan oleh tarik breising, kecuali jika kekuatan yang tersedia dari setiap breising pada tekanan lebih besar dari kebutuhan kekuatan yang dihasilkan kombinasi beban yang ditentukan oleh kode bangunan yang berlaku termasuk perkuatan beban gempa. Untuk tujuan dari ketentuan ini, batang dari breising didefinisikan sebagai batang sendiri atau batang paralel dengan rencana mengimbangi 10% dari dimensi bangunan tegak lurus pada batang breising. Kolom dan breising harus memenuhi persyaratan daktilitas yang tinggi dan untuk balok harus memenuhi kecukupan daktilitas. Breising harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Kelangsingan breising memiliki KL/r 200 2. Jarak konektor harus menyesuaikan dengan rasio kelangsingan a/ri. Elemen individual antara konektor tidak melebihi 0,4 kali rasio kelangsingan dari batang yang dibuat. Jumlah dari ketersediaan kekuatan geser dari konektor harus sama atau melampaui kekuatan tarik yang tersedia dari setiap elemen. Jarak konektor harus seragam, tidak kurang dari 2 konektor harus digunakan pada batang yang akan dibuat. Konektor tidak boleh berada ditengah dari seperempat panjang breising. Kecuali dimana tekuk dari breising sekitar tekuk kritis tidak menyebabkan geser dalam sambungan. Desain sambungan harus mematuhi ketentuan ini. 3. Luas bersih efektif breising tidak boleh kurang dari luas kotor breising. Spesifikasi minimum kekuatan leleh dari tulangan harus setidaknya sama dengan spesifikasi minimum kekuatan leleh dari breising. sambungan dari tulangan ke breising harus mempunyai kecukupan kekuatan untuk mengembalikan kekuatan tulangan yang diharapkan pada setiap sisi dari bagian yang direduksi. Sambungan breising bisa berupa las atau sambungan breising yaitu kekuatan tarik, kekuatan tekan dan akomodasi dari tekuk breising. Hubungan kolom harus memenuhi alur pengelasan agar pembuatan sambungan mampu melengkapi penetrasi join alur pengelasan dan kolom harus didesain untuk 13

mengembangkan setidaknya 50% lebih rendah dari kekuatan flexurel yang tersedia pada sambungan breising. 2.5 Material Beton Beton (concrete) merupakan campuran semen portland atau semen hidrolis lainnya, agregat halus, agregat kasar dan air dengan atau tanpa bahan campuran tambahan (admixture) (SNI 2847, 2013). Parameter utama yang mempengaruhi dari kualitas beton adalah kekuatan dan ketahanan. Efek merugikan jangka panjang dari material beton adalah pengurangan kekuatan dan bisa mengakibatkan kegagalan tak terduga. Menurut (Nawy, 2009) properti kekerasan beton dibagi menjadi 2 kategori yaitu properti dari jangka pendek dan properti dari jangka panjang. Untuk properti jangka pendek kekuatan dalam tekanan, tarik dan geser serta kekakuan diukur dengan modulus elastisitas. Sedangakan untuk properti jangka panjang bisa diklasifikasikan pada susut dan rangkak. Hubungan dari tegangan dan regangan material beton sangat penting untuk pengembangan analisis dan desain serta prosedur penggunaan pada struktur beton. Gambar 2.5 menunjukan kurva tegangan regangan yang didapatkan dari tes menggunakan beton silinder yang dibebani selama beberapa menit. Bagian pertama dari kurva dapat dianggap linear sebesar 40 % dari kekuatan ultimit f c. Setelah sekitar 70 % dari kegagalan tegangan, material kehilangan sebagian besar dari kekakuannya yang meningkatkan kelinieran kurva dari diagram. Pada beban ultimit, retak pararel terhadap arah dari beban datang terlihat jelas dan menjadi awal mula kegagalan Gambar 2.5 Kurva Tegangan Regangan 14

Modulus elastisitas beton adalah perbandingan antara tegangan dan regangan beton. Beton tidak memiliki modulus elastisitas yang pasti, nilainya bervariasi tergantung dari kekuatan beton, umur beton, jenis pembebanan, karakteristik, perbandingan semen dan agregat. Kurva modulus elastisitas beton ditunjukan pada gambar 2.6. Peraturan gedung menurut SNI 2847-2013 memberikan modulus elastisitas Ec dengan persamaan sebagai berikut: Ec =33wc 1.5 f c psi (0.043wc 1.5 f c) untuk 90 < wc < 155 lb/ft 3 (2. 20) atau Ec = 57000 f c psi (4700 f c Mpa) (2. 21) Keterangan: wc = berat jenis dari beton f c = kekuatan tekan beton Kekuatan Tekan Ultimit Titik Leleh Gambar 2.6 Kurva Hubungan Modulus Elastisitas dengan Tegangan Regangan 2.6 Analisis Pushover Analisis statik non-linear pushover merupakan salah satu analisis kinerja berbasis desain yang menjadi sarana dalam mencari kapasitas dari suatu struktur. Konsep dari analisis pushover yaitu memberikan pola beban statik tertentu dalam arah lateral yang ditingkatkan secara bertahap pada suatu struktur sampai struktur tersebut mencapai target displacement tertentu atau mencapai pola keruntuhan tertentu. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui nilai-nilai gaya geser dasar untuk perpindahan lantai atap tertentu. Nilai-nilai yang didapatkan tersebut 15

kemudian dipetakan menjadi suatu kurva kapasitas dari struktur. Selain itu, analisis pushover juga dapat memperlihatkan secara visual perilaku struktur pada saat kondisi elastis, plastis, dan sampai terjadinya keruntuhan pada elemen-elemen strukturnya baik secara dua atau tiga dimensi. Menurut Dewobroto (2005) tahapan utama dalam analisa pushover adalah: 1. Menentukan titik kontrol untuk memonitor besarnya perpindahan struktur. Rekaman besarnya perpindahan titik kontrol dan gaya geser dasar digunakan untuk menyusun kurva pushover. 2. Membuat kurva pushover berdasarkan berbagai macam pola distribusi gaya lateral terutama yang ekivalen dengan distribusi dari gaya inersia, sehingga diharapkan simpangan yang terjadi hampir sama atau mendekati simpangan yang terjadi akibat gempa. Oleh karena sifat gempa adalah tidak pasti, maka perlu dibuat beberapa pola pembebanan lateral yang berbeda untuk mendapatkan kondisi yang paling menentukan. 3. Estimasi besarnya perpindahan lateral saat gempa rencana (target perpindahan). Titik kontrol didorong sampai batas perpindahan tersebut, yang mencerminkan perpindahan maksimum yang diakibatkan oleh intensitas gempa rencana yang ditentukan. 4. Mengevaluasi level kinerja struktur ketika titik kontrol tepat berada pada target perpindahan: merupakan hal utama dari perencanaan berbasis kinerja. Komponen struktur dan aksi perilakunya dapat dianggap memuaskan jika memenuhi kriteria yang dari awal sudah ditetapkan, baik terhadap persyaratan simpangan maupun kekuatan.karena yang dievaluasi adalah komponen maka jumlahnya relative sangat banyak, oleh karena itu proses ini sepenuhnya harus dikerjakan oleh komputer (fasilitas pushover dan evaluasi kinerja yang terdapat secara built-in pada program SAP2000, mengacu pada FEMA - 356). Oleh karena itulah mengapa pembahasan perencanaan berbasis kinerja banyak mengacu pada dokumen FEMA. 2.6.1 Sendi Plastis Sendi plastis adalah penggambaran dari perilaku pasca-leleh yang terkonsentrasi dalam satu atau lebih derajat kebebasan. Sifat sendi plastis adalah sebutan pengaturan dari sifat kaku-plastis yang dapat diberikan pada satu atau lebih 16

elemen rangka. Perilaku gaya-perpindahan plastis dapat ditentukan untuk tiap derajat kebebasan gaya (aksial dan geser), begitu pula perilaku momen-rotasi plastis dapat ditentukan untuk tiap derajat kebebasan momen (lentur dan torsi). Derajat kebebasan yang tidak ditentukan tetap dalam kondisi elastis. Pada SAP2000, sendi plastis hanya dapat diaplikasikan pada elemen rangka. Untuk tiap derajat kebebasan, kurva gaya-perpindahan (force-displacement) didefinisikan agar memberikan nilai leleh dan simpangan plastis setelah leleh. Hal ini dilakukan dalam hubungan dari kurva dengan nilai pada lima titik, A-B-C-D-E, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.7. Titik-titik tersebut dijelaskan sebagai berikut (Computers and Structures, 2015): - Titik A selalu merupakan titik awal. - Titik B mewakili pelelehan. Perpindahan atau rotasi pada titik B akan dikurangi dari simpangan pada titik C, D, dan E. Hanya simpangan plastis yang melewati titik B diperlihatkan oleh sendi plastis. - Titik C mewakili kapasitas ultimit untuk analisis pushover. - Titik D mewakili kekuatan sisa untuk analisis pushover. - Titik E mewakili kegagalan total. Setelah titik E, sendi plastis akan jauh berkurang sampai titik F (tidak diperlihatkan) secara langsung dibawah titik E pada sumbu horizontal. Hal lain terkait analisis statis pushover mengacu pada manual SAP2000. Gambar 2.7 Kurva simpangan plastis untuk gaya vs perpindahan Sumber: Computers and Structures (2015) 17

2.7 Perancangan Bangunan Tahan Gempa Berbasis Kinerja Perancangan bangunan tahan gempa bertujuan untuk mempertahankan setiap pelayanan vital dari fungsi bangunan, membatasi ketidaknyamanan penghunian dan kerusakan bangunan hingga masih dapat diperbaiki ketika terjadi gempa ringan sampai sedang dan menghindari terjadinya korban jiwa oleh runtuhnya bangunan akibat gempa kuat (SNI 1726, 2002). Perancangan bangunan tahan gempa berbasis kinerja merupakan proses yang dapat digunakan untuk perancangan bangunan baru maupun perkuatan bangunan yang sudah ada dengan pemahaman terhadap aspek resiko keselamatan (life), kesiapan pakai (occupancy), dan resiko kerugian finansial yang timbul akibat beban gempa (economic loss). FEMA 273 (1997) menetapkan level kinerja untuk perancangan struktur tahan gempa yang ditampilkan dalam Tabel 2.2 dan Gambar 2.8. Tabel 2.2 Tingkat Kinerja Struktur menurut FEMA 273 Level Kinerja Operational Immediate Occupancy (IO) Life Safety (LS) Collapse Prevention (CP) Sumber: FEMA 273 (1997) Keterangan Tidak ada pergeseran permanen, struktur masih dapat mempertahankan kekuatan dan kekakuan awal. Retak kecil terjadi pada elemen struktur dan semua sistem penting struktur berfungsi secara normal Tidak ada kerusakan pada elemen struktur dan hanya kerusakan ringan komponen non struktural dan bangunan tetap dapat berfungsi tanpa terganggu masalah perbaikan. Terjadi kerusakan elemen struktural maupun non struktural tetapi tidak terjadi keruntuhan. Bangunan masih dapat digunakan setelah dilakukan perbaikan. Terjadi kerusakan komponen struktural dan non struktural, bangunan hampir runtuh, dan kecelakaan akibat kejatuhan material bangunan sangat mungkin terjadi. Gambar 2.8 Ilustrasi Rekayasa Gempa Berbasis Kinerja Sumber: Fema 273 (1997) 18

Gambar 2.8 menampilkan kurva perbandingan gaya geser dan perpindahan dengan kategori dari level kinerja dan persentase kerusakannya. Hal penting dari perancangan berbasis kinerja adalah penetapan sasaran kinerja bangunan terhadap gempa. Sasaran kinerja terdiri dari gempa rencana yang ditentukan (earthquake hazard) dan batas kerusakan yang diizinkan atau tingkat kinerja secara kualitatif yang digambarkan dalam kurva hubungan gaya-lendutan dari perilaku struktur secara global terhadap beban lateral. 2.7.1 Kinerja Batas Ultimit menurut SNI 1726:2002 Menurut SNI 1726, (2002) kinerja batas ultimit struktur gedung ditentukan oleh simpangan dan simpangan antar-tingkat maksimum struktur gedung akibat pengaruh gempa rencana dalam kondisi struktur gedung di ambang keruntuhan. Simpangan itu digunakan untuk membatasi kemungkinan terjadinya keruntuhan struktur gedung yang dapat menimbulkan korban jiwa manusia dan untuk mencegah benturan berbahaya antar gedung atau bagian struktur gedung yang dipisah dengan sela pemisah (sela delatasi). Simpangan ultimit dihitung dengan rumus: δh = δ ξ (2. 22) Dimana untuk struktur gedung beraturan: ξ = 0,7 R dan struktur gedung tidak beraturan: ξ = 0,7 R Faktor Skala (2. 23) Dimana R adalah faktor reduksi gempa struktur gedung tersebut dan faktor skala tidak boleh diambil kurang dari 80% nilai respons ragamnya yang pertama. Untuk memenuhi persyaratan kinerja batas ultimit struktur gedung, dalam segala hal simpangan antar-tingkat yang dihitung dari simpangan struktur gedung tidak boleh melampaui 0,02 kali tingkat yang bersangkutan. Jarak pemisah antargedung harus ditentukan paling sedikit sama dengan jumlah simpangan maksimum masing-masing struktur gedung pada batas itu. Dalam segala hal masing-masing jarak tersebut tidak boleh kurang dari 0,025 kali ketinggian, batas itu diukur dari batas penjepitan lateral. Dua bagian struktur gedung yang tidak direncanakan untuk bekerja sama sebagai satu kesatuan dalam mengatasi gempa rencana, harus dipisahkan yang satu terhadap yang lainnya dengan suatu sela pemisah (sela delatasi) yang lebarnya paling sedikit harus sama dengan jumlah simpangan 19

masing-masing bagian struktur gedung pada batas itu. Dalam segala hal, lebar sela pemisah ditetapkan tidak boleh kurang dari 75 mm. Sela pemisah harus direncanakan detailnya dan dilaksanakan sedemikian rupa sehingga senantiasa bebas dari benda-benda penghalang. Lebar sela pemisah juga harus memenuhi semua toleransi pelaksanaan. 2.8 Titik Kinerja dan Target Perpindahan Titik kinerja dan target perpindahan merupakan perpindahan maksimum yang terjadi saat bangunan mengalami gempa rencana. Untuk mendapatkan perilaku struktur pasca keruntuhan digunakan analisa pushover untuk mendapatkan kurva hubungan gaya geser dasar dan perpindahan lateral dengan titik kontrol minimal 150% dari titik kinerja/target perpindahan. Kurva pushover dengan minimal 150% dari titik kinerja digunakan untuk melihat perilaku bangunan pada kondisi yang melebihi rencananya. Titik kinerja/target perpindahan merupakan rata-rata nilai dari beban gempa rencana sehingga bangunan yang direncanakan harus memiliki nilai yang lebih besar dari titik kinerja/target perpindahan. Level kinerja adalah pembatasan derajat kerusakan yang ditentukan oleh kerusakan fisik struktur dan elemen struktur sehingga tidak membahayakan keselamatan pengguna gedung. Kriteria evaluasi level kinerja kondisi bangunan didasarkan pada gaya dan deformasi yang terjadi pada target perpindahan atau titik kinerja. Jadi parameter target perpindahan dan titik kinerja sangat penting peranannya bagi perencanaan berbasis kinerja. Ada beberapa cara menentukan target perpindahan yaitu metoda koefisien perpindahan (Displacement Coeficient Method) FEMA 356 dan metode koefisien yang dimodifikasi (Displacement Modification) FEMA 440. Sedangkan pada titik kinerja (performance point) digunakan Metoda Spektrum Kapasitas (Capacity Spectrum Method) ATC 40. Persyaratan perpindahan dari SNI 1726-2002 juga dapat dijadikan sebagai kriteria kinerja. 2.8.1 Metode Koefisien Perpindahan (FEMA 356) Menurut FEMA 356, (2000) metode koefisien perpindahan merupakan metoda utama untuk prosedur statik nonlinier. Penyelesaian dilakukan dengan 20

memodifikasi respons elastis linier dari sistem SDOF ekivalen dengan faktor koefisien C0, C1, C2 dan C3 sehingga diperoleh perpindahan global maksimum (elastis dan inelastis) yang disebut target perpindahan, δt. Proses dimulai dengan menetapkan waktu getar efektif, Te yang memperhitungkan kondisi inelastis bangunan. Waktu getar alami efektif mencerminkan kekakuan linier dari sistem SDOF ekivalen. Jika di-plot-kan pada spektrum respon elastis akan menunjukkan percepatan gerakan tanah pada saat gempa yaitu akselerasi puncak, Sa, versus waktu getar, T. Rendaman yang digunakan selalu 5% yang mewakili level yang diharapkan terjadi pada struktur yang mempunyai respons pada daerah elastis. Puncak perpindahan spektra elastis, Sd berhubungan langsung dengan akselerasi spektra Sa, dengan hubungan berikut: S d = T e 2 4π 2 S a (2. 24) Selanjutnya target perpindahan δt, ditentukan rumus berikut: δt = C 0 C 1 C 2 C 3 S a ( T e 2π )2 g (2. 25) Te adalah waktu getar alami efektif yang memperhitungkan kondisi inelastic C0 adalah koefisien faktor bentuk, untuk merubah perpindahan spektral menjadi perpindahan atap, umumnya memakai faktor partisipasi ragam yang pertama (first mode participation factor) atau berdasarkan Tabel 3-2 dari FEMA 356. C1 adalah faktor modifikasi yang menghubungkan perpindahan inelastik maksimum dengan perpindahan yang dihitung dari respon elastik linier. Untuk Te Ts maka C1 = 1 sedangkan Te < Ts maka, C1 = [1.0 + (R-1)Ts/Tc]/R (2. 26) TS adalah waktu getar karakteristik yang diperoleh dari kurva respons spektrum pada titik dimana terdapat transisi bagian akselerasi konstan ke bagian kecepatan konstan. 21

R adalah rasio kuat elastik perlu terhadap koefisien kuat leleh dihitung dengan rumus: R = Sa Vy/w Cm (2. 27) Sa adalah akselerasi respons spektrum yang berkesesuaian dengan waktu getar alami efektif pada arah yang ditinjau. Vy adalah gaya geser dasar pada saat leleh, dari idealisasi kurva pushover menjadi bilinier W adalah total beban mati dan beban hidup yang dapat direduksi. Cm adalah faktor massa efektif yang diambil dari Tabel 3-1 dari FEMA 356. C2 adalah koefisien untuk memperhitungkan efek pinching dari hubungan bebandeformasi akibat degradasi kekakuan dan kekuatan, berdasarkan Tabel 3-3 dari FEMA 356. C3 adalah koefisien untuk memperhitungkan pembesaran simpangan lateral akibat adanya efek P-delta. Koefisen diperoleh secara empiris dari studi statistik analisa riwayat waktu non-linier dari SDOF dan diambil berdasarkan pertimbangan engineering judgement, dimana perilaku hubungan gaya geser dasar lendutan pada kondisi pasca leleh kekakuan positif kurva maka C3 = 1, sedangkan jika perilaku pasca lelehnya negative (kurva menurun) maka: C 3 = 1.0 + α (R 1)3/2 T e (2. 28) adalah rasio kekakuan pasca leleh terhadap kekakuan elastik efektif, dimana hubungan gaya lendutan diidealisasikan sebagai kurva bilinier (lihat waktu getar efektif). g adalah percepatan gravitasi 9.81 m/det2 Gambar 2.9 menampilkan kurva idealisasi gaya dan perpindahan yang terjadi sesuai dengan grafik pushover. Hasil grafik pushover dibagi menjadi 2 bagian dalam kemiringan pasca leleh positi dan pasca leleh negatif 22

Gambar 2.9 Perilaku pasca leleh struktur Sumber: FEMA 356 (2000) Berdasarkan FEMA 273 level kinerja ditentukan oleh persentase drift ratio dari model struktur. Level kinerja struktur terbagi menjadi 3 kategori yaitu Immediate Occupancy, Life safety dan Collapse Prevention. Tabel 2.3 menunjukan level kinerja berdasarkan persentase dari drift. Tabel 2.3 Level Kinerja Struktur Sumber: FEMA 356 (2000) 2.8.2 Metode Modifikasi Perpindahan (FEMA 440) Menurut FEMA 440, (2005) metode modifikasi perpindahan merupakan metode koefisien perpindahan dari FEMA 356 yang telah dimodifikasi dan diperbaiki. Persamaan yang digunakan untuk menghitung target perpindahan tetap sama yaitu sesuai persamaan 2.24. Akan tetapi ada perubahan dalam menghitung factor C1 dan C2 sebagai berikut: 23

C 1 = 1 + R 1 at e 2 (2. 29) Dimana Te adalah waktu getar efektif dari struktur SDOF dalam detik, R adalah rasio kekuatan yang dihitung dengan Persamaan 2.15. Konstanta a adalah sama dengan 130, 90 dan 60 untuk site kategori B, C dan D. Untuk waktu getar kurang dari 0.2 detik maka nilai C 1 pada 0.2 detik dapat dipakai. Untuk waktu getar lebih dari 1.0 detik maka C 1 dapat dianggap sama dengan 1. C 2 = 1 + 1 800 (R 1 T e ) 2 (2. 30) Untuk waktu getar kurang dari 0.2 detik maka nilai C 2 pada 0.2 detik dapat dipakai. Untuk waktu getar lebih dari 0.7 detik maka C 2 dapat dianggap sama dengan 1. 2.8.3 Metode Spektrum Kapasitas ATC 40 Dalam Metoda Spektrum Kapasitas kurva hubungan gaya dan perpindahan diplot-kan dalam format ADRS (acceleration displacement response spectra). Spektrum demand didapat dengan mengubah spektrum respon yang biasanya dinyatakan dalam spektra percepatan (Sa) dan periode (T) menjadi format spectra percepatan (Sa) dan spectra perpindahan (Sd). Format yang baru ini disebut Acceleration-Displacement Respon Spectra (ADRS). Gerakan tanah gempa juga dikonversi ke format ADRS yang nantinya digunakan untuk mencari gaya gempa perlu. Pada format tersebut waktu getar ditunjukkan sebagai garis radial dari titik pusat sumbu. Format ADRS ditampilkan pada gambar 2.10. Gambar 2.10 Penentuan Titik Kinerja menurut Metode Spektrum Kapasitas Sumber: ATC 40 (1996) 24

Level kinerja ATC 40 ditentukan berdasarkan perpindahan yang terjadi pada struktur. Kinerja menurut ATC 40 dibagi menjadi 4 level kinerja yaitu Intermediate Occupancy, Damage Control, Life Safety, dan Structural Stability. Pada Structural Stability Vi adalah total gaya geser lateral pada tingkat I dan Pi adalah total beban gravitasi dari beban mati dan beban hidup. Pembagian level kinerja munurut ATC 40 ditunjukan pada Tabel 2.4 Tabel 2.4 Deformation Limit menurut ATC 40 Interstory Drift Intermediate Damage Structural Life Safety Limit Occupancy Control Stability Max. Total Roof Displacement 0.01 0.01-0.02 0.02 0.33 Vi/Pi Max. Inelastic Drift 0.005 0.005-0.015 No. Limit No. Limit Sumber: ATC 40 (1996) 2.9 Penelitian Terkait Penggunaan Breising Sebagai Perkuatan Struktur Rangka Beton Bertulang Penggunaan breising sebagai perkuatan suatu struktur bukanlah hal yang baru dalam bidang konstruksi. Selain sudah banyak diterapkan dalam struktur gedung, bebarapa penelitian juga telah banyak dilakukan untuk membuktikan keefektifan dari penggunaan breising. Penelitian tersebut antara lain: 2.9.1 Youssef et al (2007) Penelitian tentang kinerja seismik rangka breising baja yang diperkuat dengan breising baja konsentrik telah dilakukan oleh Youssef et al (2007) dengan membuat dan membebani 2 model struktur dengan skala yang diperkecil sebesar 2/5 dari aslinya. Model 1 rangka tanpa perkuatan yang dirancang sesuai dengan persyaratan SRPMM, sedangkan model 2 rangka tanpa perkuatan dengan breising baja X dengan pendetailan biasa. Gambar 2.11 menampilkan pendetailan dan beban pada model rangka tanpa perkuatan dan rangka breising. Kedua model dibebani siklik sampai runtuh dan hubungan antara beban dengan simpangan serta pola retak dicatat. Data-data pengujian disajikan pada Tabel 2.5. 25

(a) (b) Gambar 2.11 (a) Detail rangka tanpa perkuatan (b) Detail rangka breising Sumber: Youssef et.al (2007) Tabel 2.5 Data model setelah dari hasil pengujian Balok Kolom Beban retak Beban leleh Beban Maks Model 1 140x160mm 140x160mm Tulangan 2M10 4M15 30 kn 37,5 kn 55 kn Sengkang 6-35 6-35 Model 2 140x160mm 140x160mm Tulangan 2M10 4M10 Sengkang 6-70 6-70 90 kn 105 kn 140 kn Breising Sumber: Youssef et.al (2007) L25x25x3,2 Hasil pengujian menunjukkan hubungan beban dan rasio simpangan seperti pada Gambar 2.12. dimana kurva menunjukkan dari rangka mulai retak hingga keadaan ultimit. Rangka breising mampu menahan hingga beban 140 kn, sedangkan rangka momen hanya mampu menahan hingga beban 55 kn. Gambar 2.12 Hubungan Beban dan Rasio Simpangan Sumber: Youssef et.al (2007) 26

Gambar 2.12 menunjukan rangka breising jauh lebih kuat dan kaku dibandingkan dengan rangka momen dengan pendetailan khusus untuk seismik. Kemudian rangka breising yang dirancang dengan faktor reduksi beban yang sama dengan faktor reduksi untuk SRPMM menunjukan perilaku yang memadai dalam menahan beban gempa. Dan untuk perencanaan rangka breising baja dapat dilakukan dengan cara konvensional tanpa pendetailan khusus. 2.9.2 Massumi dan Absalan (2013) Penelitian tentang interaksi antara sistem breising dan rangka pemikul momen pada rangka beton bertulang dengan breising baja telah dilakukan oleh Massumi dan Absalan (2013) dengan menguji dan memodel 2 buah rangka beton bertulang yang dirancang dengan peraturan lama. Satu rangka diperkuat dengan breising baja (BF1) sedangkan yang lain tidak diperkuat dengan breising baja (UBF1). Interaksi antara rangka momen dengan rangka dengan breising dianalisis dengan membuat model tambahan menggunakan software ANSYS dengan breising ada BF1 dihilangkan tetapi sambungan pelat buhul tetap (UBF2). Gambar 2.13 menampilkan detail struktur yang akan diujikan setelah diskala 1/2,5 menghasilkan panjang 1,92 m dengan tinggi 1,26 m dengan ukuran pondasi yaitu panjang 0,8 m lebar 0,3 m dan tinggi 0,3 m. Ukuran balok dan kolom yaitu 120x120 mm, ukuran breising 20x20x2 mm dengan kuat leleh sekitar 240 MPa dan kuat tekan beton f c 25 MPa. Untuk pendetailan sambungan breising digunakan plat gusset dengan ukuran L 100x100x10 mm dan PL 100x100x8 mm sebagai dudukan pelat. (a) (b) 27

(c) (d) Gambar 2.13 (a) Rangka momen (b) Rangka momen dengan pelat buhul (c) Rangka breising beserta pelat buhul (d) Detail pelat buhul Sumber: Massumi dan Absalan (2013) Pengujian kedua model tersebut dilakukan dengan memberikan beban vertikal berupa beban gravitasi lantai yang dibantu dengan turnbuckle yang tertancap ke bawah dan beban lateral. Gambar 2.14 menunjukan pola keretakan rangka dengan breising, dimana penambahan pelat buhul juga memberi kontribusi dalam bentuk pola keretakan, Gambar 2.14 Pola retak dari pengujian Sumber: Massumi dan Absalan (2013) Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan breising pada rangka beton bertulang meningkatkan kekuatan, kekakuan dan kapasitas absorpsi energi struktur. disamping itu interaksi antara rangka beton bertulang dan sistem breising memiliki dampak positif terhadap perilaku struktur, yakni meningkatkan kekuatan ultimit struktur. 28

Lateral Load kn Hasil pengujian software ANSYS juga menghasilkan peningkatan kekuatan yang signifikan untuk rangka dengan penambahan breising. Ternyata pelat buhul juga memberikan kekuatan pada rangka momen. Hasil interaksi keseluruhan elemen tersebut menghasilkan perkuatan yang ditinjau dari penambahan masingmasing elemen sampai 100%. Peningkatan yang signifikan bisa dilihat pada gambar 2.15. Beban lateral yang mampu diterima oleh rangka breising BF1 mencapai 60 kn, sedangkan rangka momen hanya mampu menahan beban sampai 13 kn. Rangka dengan pelat buhul mampu menahan beban sekitar 24 kn, ini membuktikan pelat buhul juga memperkuat struktur. 70 60 50 40 30 20 10 0 UBF1 UBF2 BF1 0 5 10 15 20 25 30 Lateral Displacemett (mm) Gambar 2.15 Hubungan antara beban lateral load dan lateral displacement Rangka tanpa breising UBF1, rangka dengan plat buhul UBF2, dan rangka breising BF1 Sumber: Massumi dan Absalan (2013) 2.9.3 Massumi dan Tasnimi (2008) Penelitian tentang pengaruh perbedaan detail sambungan breising X pada struktur beton bertulang yang diperkuat dengan sistem breising telah dilakukan oleh Massumi dan Tasnimi (2008). Penelitian dilakukan untuk menemukan detail sambungan breising yang efektif pada rangka beton dengan membuat 8 benda uji untuk sambungan breising yang berbeda yang telah diskala 1:2:5. Dalam penelitian ini dibuat dua rangka tanpa breising dengan kode UBF11 dan UBF12 sebagai kontrol spesimen dan lima pendetailan sambungan antara rangka dan breising yang berbeda dengan kode BF11, BF12, BF21, BF22, BF23, dan BF31. Gambar 2.16 menunjukan pendetailan sambungan dari masing-masing spesimen Untuk BF11 dan BF12 menggunakan baut sebagai sambungan plat buhul pada rangka batang. Pada BF11 baut tertancap pada kolom dan balok, sedangkan 29

pada BF21 hanya tertancap pada kolom. Pada BF21, BF22 dan BF23 sambungan breising pada rangka batang menggunakan jaket baja. Pada BF21 tidak ada hubungan antara jaket baja dengan permukaan beton, sedangkan pada BF22 dan BF23 digunakan perekat epoxy untuk menyatukan jaket baja kepermukaan kolom beton dan bagian dari balok. Pada BF31 breising telah ditetapkan pada pojok kolom dan balok dengan pengelasan sebelum pengecoran. Gambar 2.16 Detail sambungan Sumber: Massumi dan Tasnimi (2008) Pada penelitian ini, kolom dibangun kaku di atas pondasi beton bertulang dengan dimensi 800 x 300 mm. Sampel dites di bawah beban lateral yang berulang dan beban vertical sebesar 18 kn. Dari lima tipe detail sambungan breising X, dengan sambungan baut yang terhubung pada balok dan kolom (BF11) mampu meningkatkan kekakuan rangka, sehingga dapat digunakan untuk bangunan rendah sampai sedang. Sambungan baut hanya pada kolom (BF12) tidak cukup kuat dan mengalami kerusakan yang sangat signifikan, meskipun dapat digunakan untuk langkah awal. BF21 tidak direkomendasikan untuk diterapkan karena detail dengan bentuk jaket baja tanpa perekat epoxy menyebabkan slip pada sistem breising. Untuk tipe BF22 dan BF23 yang direkatkan dengan perekat epoxy serta BF31 yang diletakkan pada beton memiliki kinerja yang lebih baik dari rangka batang lainnya. Beban siklik menyebabkan kekuatan dan kekakuan berkurang dan perpindahan meningkat pada perilaku inelastik. Breising X pada beton bertulang mendukung sebagian besar gaya lateral, tetapi keruntuhan rangka disebabkan oleh leleh dari tarik breising dan terjadi kegagalan tekuk dari tekanan breising. 30

2.9.4 Viswanath et.al (2010) Penelitian tentang tipe breising terbaik sebagai perkuatan rangka beton dalam menahan beban gempa telah dilakukan oleh Viswanath et.al (2010). Breising baja merupakan salah satu sistem struktur yang umum digunakan untuk menahan beban gempa pada gedung tingkat tinggi. Breising baja lebih ekonomis, mudah dikerjakan dan fleksibel dalam desain kekuatan dan kekakuan. Ada banyak tipe breising yang bisa digunakan sebagai perkuatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang tipe breising yang paling efektif untuk digunakan. Dalam pemodelan struktur gedung digunakan software STAAD Pro V8i untuk membuat model 3D. Beban lateral yang diaplikasikan pada gedung berdasarkan Indian Standards. Gedung diasumsikan berada pada zona gempa IV sesuai dengan IS 1893:2002. Perletakan struktur tersebut diasumsikan sebagai jepit dan interaksi antara struktur dengan tanah diabaikan. Terdapat empat tipe breising yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu breising diagonal, breising X berpotongan, breising K dan breising X. Selain keempat tipe breising tersebut, analisis juga dilakukan terhadap struktur yang tidak diperkuat dengan menggunakan breising. Jadi dibuat lima model struktur bangunan bertingkat 4. Untuk bangunan bertingkat 8, 12 dan 16 dianalisis dalam zona gempa IV dan diperkuat dengan breising tipe X. Hasil analisis gedung bertingkat 4 tersebut dibagi dalam 2 parameter yaitu perpindahan lateral dan gaya-gaya dalam pada kolom. Penambahan breising mampu mereduksi perpindahan lateral maksimum yang terjadi pada model gedung. Dari segi gaya-gaya dalam maksimum, dapat disimpulkan bahwa penambahan breising meningkatkan gaya aksial yang dapat diterima pada struktur dan adanya penurunan momen dan gaya geser pada kolom yang terhubungan dengan breising. Breising mampu mengurangi kebutuhan lentur dan geser pada balok dan kolom dan mentransfer beban lateral melalui mekanisme beban aksial. Dari kedua parameter tersebut, breising tipe X terbukti lebih efektif dalam memperkuat struktur gedung bertingkat 4 dari tipe bresing yang lain. Pada analisis gedung bertingkat 8, 12 dan 16 digunakan breising tipe X sebagai perkuatan struktur gedung tersebut. Setelah dilakukan analisis, didapatkan hasil bahwa pada gedung yang diperkuat breising terjadi reduksi perpindahan 31

maksimum sebesar 62-74 % jika dibandingkan dengan gedung tanpa perkuatan breising. Tipe breising X merupakan tipe yang paling efektif dalam perkuatan struktur gedung bertingkat. 2.9.5 Ismail et.al (2015) Ismail et.al (2015) telah melakukan penelitian tentang perkuatan gedung dengan menggunakan breising baja yang dilakukan pada Gedung STKIP ADZKIA Padang, dengan kondisi gedung tersebut telah rusak (balok melendut dan retak pada dinding). Hasil evaluasi kinerja dan kekuatan struktur kondisi eksisting berdasarkan SNI 2012 diperoleh bahwa bangunan sekolah STKIP ADZKIA Padang tidak cukup kuat menahan kombinasi beban-beban yang bekerja pada struktur. Oleh karena itu, perlu dilakukan perkuatan pada struktur gedung tersebut dan metode perkuatan yang direkomendasikan adalah menambahkan breising aja tipe V terbalik. Gedung STKIP ADZKIA dimodel dan dianalisis dengan bantuan software analisis struktur ETABS 9.7.1. Setelah pemodelan struktur, selanjutnya dilakukan analisis struktur gedung yang telah diperkuat dengan breising baja. Hasil analisis menunjukkan bahwa, pemasangan breising baja pada struktur lantai menyebabkan penurunan pada gaya dalam balok mencapai ±70% dibandingkan kondisi eksisting. Perbandingan simpangan antar lantai yang terjadi pada struktur antara kondisi eksisting dengan setelah dipasang breising baja mengalami penurunan simpangan maksimum sekitar kurang lebih 60% untuk arah X dan kurang lebih 65% untuk arah Y. 2.9.6 Maheri (2009) Penelitian tentang breising baja internal pada rangka beton bertulang telah dilakukan oleh Maheri (2009). Penelitian dilakukan pada beberapa parameter respon seismik seperti uji pushover, uji siklik dan faktor perilaku seismik, kemudian ditambah sambungan kuat lebih dan alat pelepas tekan. Pada pengujian uji pushover dibuat 4 model yang diskala 1:3,2 yaitu 2 model tanpa breising dan 2 model dengan breising X dengan semua unit rangka daktail. Hasil dari pengujian pushover menunjukkan bahwa terjadi peningkatan 3,5 kali untuk kapasitas beban lateral. Peningkatan juga terjadi pada kekakuan sampai breising tersebut mengalami kegagalan atau tekuk. Kekakuan juga ditunjukkan pada kurva perpindahan. Penggunaan breising mengakibatkan 5 kali peningkatan 32

kekakuan yang mengindikasi penyerapan energi yang besar. Untuk daktilitas, kuat lebih dan faktor kinerja menunjukkan bahwa breising lebih cocok untuk desain berdasarkan kekuatan daripada desain daktail. Penelitian tentang uji siklik dilakukan dengan memodel rangka momen beton bertulang dengan rangka breising X beton bertulang yang diskala 2/5. Rangka momen F1 didesain menurut ACI 318-01 dengan pendetailan khusus untuk desain gempa. Detail penulangan untuk rangka momen yaitu 4M10 untuk balok dan 4M15 untuk kolom dengan sengkang 35 mm. Sedangkan breising balok dan kolom menggunakan 4M10 dengan sengkang 70 mm. Breising dihubungkan ketulangan dengan pelat gusset dengan ukuran 150x150x8 mm yang dihubungkan dengan baut. Pada sistem breising dibuat 2 jenis tipe breising yaitu FX1 penampang sudut ganda 2L 25x25x32 mm dan FX2 penampang kanal C 3x35 mm. Uji siklik dilakukan dengan memberi beban gravitasi menggunakan hydraulik. Dari hasil tes menunjukkan bahwa rangka breising FX1 memiliki kekakuan 2 kali lipat dari kekakuan lateral rangka pemikul momen. Tetapi kekakuan akan sama seperti rangka pemikul momen setelah terjadi tekuk. Hal itu juga berlaku pada rangka breising FX2 walaupun memiliki kekakuan lateral lebih baik dari rangka breising FX1. Untuk hasil analisis dari ketiga model tersebut, rangka breising memiliki kinerja yang lebih baik dari rangka momen pada kapasitas kekakuan dan kelenturan. Penambahan breising menyebabkan penurunan daktilitas dari rangka daktail, tetapi penurunan daktilitas tersebut tidak mempengaruhi kapasitas kehilangan energi dari rangka. Kapasitas kekuatan dari rangka beton bertulang dan sistem breising merupakan pertimbangan yang penting dalam menentukan sambungan breising. Penelitian ini dilakukan dengan membuat 3 model benda uji yang diskala 1:3,5 dengn 1 rangka momen dan 2 rangka breising yang dites dengan beban siklik. Penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan sistem breising ke rangka beton bertulang mengakibatkan kapasitas dari rangka beton bertulang meningkat melebihi kapasitas dari sistem breising. Kemudian untuk mengetahui evaluasi dari sambungan breising dibuat skala penuh dari breising X pada rangka beton bertulang. Model dianalisis dengan The Open SEES (Open System for Earthquake Engginering Simulation) dengan model validasi yang diambil dari tes siklik rangka 33

momen dan rangka breising. Hasil analisis menunjukkan bahwa sambungan mengurangi panjang efektif dari balok dan kolom rangka beton bertulang dan kekakuan dari rangka berkurang. Untuk meningkatkan daktilitas, mempertahankan kekuatan, dan kapasitas kekakuan penambahan knee bracing direkomendasikan berdasarkan hasil tes. Knee bracing digunakan pada konstruksi baja untuk meningkatkan daktilitas dan untuk meningkatkan ketahanan gempa pada rangka. Analisis dilakukan dengan membuat 4 model rangka untuk dites pushover yaitu 2 rangka tanpa breising dan 2 rangka dengan sudut breising. Dari tes tersebut didapatkan bahwa kapasitas ultimit dari Knee bracing lebih besar 2,5 kali dari rangka tanpa breising. Knee bracing memungkinkan rangka untuk memiliki kapasitas dan kekakuan yang cukup dengan kapasitas yang baik untuk menyerap energi. Kurva pushover juga menunjukkan peningkatan daktilitas rangka dengan knee bracing dibandingkan breising X. Alat pelepas tekan dipasang pada batang breising untuk melepas gaya tekan. Batang dibagi 2 bagian dan dilas diujung dengan pelat baja dari alat pelepas tekan. Dibuat 2 benda uji dengan alat tersebut kemudian dibandingkan dengan 2 benda uji tanpa breising dan 2 benda uji dengan breising X. Pengujian dilakukan dengan beban yang sama dan berulang-ulang. Parameter gempa dievaluasi dari hasil tes termasuk degradasi kekakuan, kapasitas kehilangan energi dan daktilitas. Pada degradasi kekakuan dengan penggunaan alat pelepas tekan, dapat meminimalkan keretakan pada rangka beton bertulang dan ketahanan kekakuan lateral dari rangka hampir konstan. Penggunaan alat pelepas tekan pada breising tidak berpengaruh terhadap kapasitas kehilangan energi. Pada daktilitas pengaruh alat pelepas tekan mampu meningkatkan daktilitas pada rangka breising. 34