Sertifikat hak guna..., Fransiska KrisnaniBudi Utami, FH UI, Universitas Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH. A. Pengertian dan dasar hukum pendaftaran tanah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

BAB II SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH MERUPAKAN ALAT BUKTI YANG KUAT (TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI YOGYAKARTA NOMOR 71/PDT

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian peranan menurut Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut:

PENGERTIAN Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai Hak Milik adalah hak turuntemurun,

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 4 TAHUN Tentang HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: Mengingat:

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA


BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

Lex Privatum Vol. VI/No. 1/Jan-Mar/2018

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH, HAK MILIK ATAS TANAH, DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

*35279 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 24 TAHUN 1997 (24/1997) TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PERALIHAN HAK ATAS TANAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN A. Tinjauan Umum Mengenai Peralihan Hak Atas Tanah

HIBAH TANAH PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA KEPADA WARGA NEGARA INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PENERBITAN SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH DAN IMPLIKASI HUKUMNYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

mudah dapat membuktikan hak atas tanah yang dimiliki atau dikuasainya,

Lex et Societatis, Vol. V/No. 5/Jul/2017

HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Wakaf merupakan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan atau

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN


PEROLEHAN HAK ATAS TANAH YANG BERASAL DARI REKLAMASI PANTAI

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Dalam pembangunan peran tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING

PEROLEHAN TANAH OLEH PEMERINTAH DAERAH YANG BERASAL DARI TANAH HAK MILIK

Lex Administratum, Vol. V/No. 6/Ags/2017

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

II. TINJAUAN PUSTAKA. menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Di dalam UUPA terdapat jiwa dan ketentuan-ketentuan yang harus dipergunakan

BAB 2 ISI 2.1. Hukum Tanah Nasional


8. PENDAFTARAN KARENA PERUBAHAN DATA YURIDIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 40 TAHUN 1996 (40/1996) TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK ATAS TANAH

BAB II HAMBATAN PELAKSANAAN PERPANJANGAN SERTIPIKAT HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH HAK PENGELOLAAN PEMERINTAH KOTA PEKANBARU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MEMBATALKAN SERTIPIKAT HAK PAKAI NO. 765 MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 981K/PDT/2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB 2 HAK ATAS TANAH BERSAMA RUMAH SUSUN DAN MASALAH PERPANJANGANNYA. 1.1 Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA

TENTANG. dilakukan. Nomor 21. diubah. Tanah dan. Tahun. Nomor...

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Ed. Revisi. Cet.8, (Jakarta, Djambatan, 1999), hal.18.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 084 TAHUN 2014 TENTANG

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG

PENDAFTARAN TANAH RH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK-HAK ATAS TANAH. perundang-undangan tersebut tidak disebutkan pengertian tanah.

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

BAB II KEABSAHAN JUAL BELI TANAH HAK MILIK OLEH PERSEROAN TERBATAS. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hukum tertulis sebagai pelaksana Undang-Undang Pokok Agraria

Lex Administratum, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

RGS Mitra 1 of 15 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. dua hal yang saling memiliki keterikatan yang kuat. Tanah banyak memberi bagi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK GUNA BANGUNAN. Hak guna bangunan dalam pengertian hukum barat sebelum dikonversi berasal dari hak

BAB I PENDAHULUAN. orang lain berkewajiban untuk menghormati dan tidak mengganggunya dan

BAB I PENDAHULUAN. yang didapatkan dibangku perkuliahan dan diterapkan di tempat kerja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam kaitannya dengan pengertian penguasaan yaitu : Penguasaan adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tanah merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. masih bercorak agraris. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan

BAB III MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH. yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Turun temurun dan dapat beralih.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sertifikat ganda..., Joshua Octavianus, FH UI, Universitas Indonesia

Transkripsi:

10 BAB 2 SERTIPIKAT HAK GUNA BANGUNAN NOMOR 00609/JEMBATAN BESI SEBAGAI ALAT BUKTI YANG KUAT ( TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 40 K/PDT/2009 ) 2. Landasan Teori Umum 2.1. Pendaftaran Tanah Masyarakat Indonesia sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki kebutuhan akan sandang, pangan dan papan. Dalam hal ini, yang menjadi kebutuhan untuk tempat tinggal di dalamnya adalah tanah. Hukum tanah nasional berasal dari hukum adat dimana konsepsi dari hukum adat adalah komulastik religius yang memungkinkan kepemilikan tanah secara individual namun juga mengandung unsur kebersamaan sehingga tidak melupakan dan tetap memperhatikan kepentingan umum dan kepentingan bersama. Untuk melindungi kepemilikan tanah tersebut, maka negara dalam hal ini pemerintah melakukan kegiatan pendaftaran tanah dalam rangka menciptakan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pemegang hak atas tanah. 2. 1.1. Pengertian Pendaftaran Tanah Pengertian pendaftaran tanah menurut A.P. Parlindungan, pendaftaran tanah berasal dari kata Cadastre (Bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukkan kepada luas, nilai, dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa Latin Capistratum yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi (Capotatio Terrens). Dalam arti yang tegas, Cadastre adalah record pada lahan-lahan, nilai daripada tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan. Dengan demikian, Cadastre merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi dari tersebut

11 dan juga sebagai Continuous recording (rekaman yang berkesinambungan) dari hak atas tanah. 4 Sedangkan menurut Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, dari segi istilah, ditemukan istilah pendaftaran tanah dalam bahasa Latin disebut Capistratum, di Jerman dan Italia disebut Catastro, di Perancis disebut Cadastre, di Belanda dan juga di Indonesia dengan istilah Kadastrale atau Kadaster. Maksud dari Capistratum atau Kadaster dari segi bahasa adalah suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi, yang berarti suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman) yang menunjukkan kepada luas, nilai dan kepemilikan atau pemegang hak suatu bidang tanah, sedangkan kadaster yang modern bisa terjadi atas peta yang ukuran besar dan daftar-daftar yang berkaitan. 5 Pengertian Pendaftaran Tanah berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, adalah : Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuansatuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidangbidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Dari pengertian pendaftaran tanah tersebut diatas dapat diuraikan unsurunsurnya, yaitu: 6 1. Adanya serangkaian kegiatan Kata-kata serangkaian kegiatan menunjuk kepada adanya berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang berkaitan satu dengan yang lain, berturutan menjadi satu kesatuan rangkaian yang bermuara pada 4 A.P. Parlindungan. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1999, hlm. 18-19 5 Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis. Hukum Pendaftaran Tanah. Bandung: Mandar Maju, 2008, hlm. 18-19. 6 Urip Santoso, S.H., M.H.. Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 14.

12 tersedianya data yang diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan bagi rakyat. Kegiatan pendaftaran tanah terdiri atas kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali, bentuk kegiatannya adalah pengumpulan dan pengolahan data fisik; pembuktian hak dan pembukuannya; penerbitan sertifikat; penyajian data fisik dan data yuridis; dan penyimpanan daftar umum dan dokumen, dan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah, bentuk kegiatannya adalah pendaftaran peralihan dan pembebanan hak; dan pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya. Kegiatan pendaftaran tanah menghasilkan dua macam data, yaitu data fisik dan data yuridis. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. 2. Dilakukan oleh Pemerintah Penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam masyarakat modern merupakan tugas negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah bagi kepentingan rakyat dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Instansi Pemerintah yang menyelenggarakan pendaftaran tanah adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN), sedangkan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. 3. Secara terus menerus, berkesinambungan Kata-kata terus-menerus, berkesinambungan menunjuk kepada pelaksanaan kegiatan, yang sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Data yang sudah terkumpul dan tersedia harus selalu dipelihara, dalam arti disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian hingga tetap sesuai dengan keadaan yang terakhir. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali menghasilkan tanda bukti hak berupa sertipikat. Dalam kegiatan pendaftaran tanah dapat terjadi peralihan hak, pembebanan hak, perpanjangan jangka waktu hak atas tanah, pemecahan,

13 pemisahan dan penggabungan bidang tanah, pembagian hak bersama, hapusnya hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun, peralihan dan hapusnya hak tanggungan; perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan, dan perubahan nama pemegang hak harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat hingga tetap sesuai dengan keadaan yang terakhir. 4. Secara teratur Kata teratur menunjukkan bahwa semua kegiatan harus berlandaskan peraturan perundang-undangan yang sesuai, karena hasilnya akan merupakan data bukti menurut hukum, biarpun daya kekuatan pembuktiannya tidak selalu sama dalam hal hukum negara-negara yang menyelenggarakan pendaftaran tanah. Peraturan perundang-undangan yang mengatur pendaftaran tanah adalah Undang-Undang Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999, Permen Agraria Nomor 9 Tahun 1999, dan sebagainya. 5. Bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun Kegiatan pendaftaran tanah dilakukan terhadap Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Tanah Wakaf, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, Hak Tanggungan, dan Tanah Negara. 6. Pemberian surat tanda bukti hak Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya menghasilkan surat tanda bukti hak berupa sertipikat atas bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan sertipikat hak milik atas satuan rumah susun. Sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalan Pasal 19 Ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. 7. Hak-hak tertentu yang membebaninya Dalam pendaftaran tanah dapat terjadi objek pendaftaran tanah dibebani dengan hak yang lain, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

14 Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tangggungan, atau Hak Milik atas tanah dibebani dengan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. 2.1.2. Asas-Asas Pendaftaran Tanah Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, maka pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, asas aman, asas terjangkau, asas mutakhir dan asas terbuka. 1. Asas sederhana Asas ini dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah. 2. Asas aman Asas ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri. 3. Asas terjangkau Asas ini dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak yang memerlukan hal ini dimaksudkan agar para pihak yang memerlukan dapat menjangkaunya terutama bagi golongan ekonomi lemah dan tidak mampu. 4. Asas mutakhir Asas ini dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan berkesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir, maka untuk itu perlu diikuti dengan kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. Asas mutakhir menuntut agar dapat dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus menerus dan selalu sesuai dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. 5. Asas terbuka

15 Asas ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengetahui atau memperoleh keterangan mengenai data fisik dan data yuridis dan pihak-pihak yang memerlukan dan berkepentingan untuk memperoleh data-data yang berkaitan dengan tanah tersebut dapat memperoleh keterangan yang benar mengenai data tersebut setiap saat. Sedangkan menurut Soedikno Mertokusumo menyatakan bahwa dalam pendaftaran tanah dikenal 2 (dua) macam asas, yaitu: 7 1. Asas Specialitiet Artinya pelaksanaan pendaftaran tanah itu diselenggarakan atas dasar peraturan perundang-undangan tertentu, yang secara teknis menyangkut masalah pengukuran, pemetaan, dan pendaftaran peralihannya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pendaftaran tanah dapat memberikan kepastian hukum terhadap hak atas tanah, yaitu memberikan data fisik yang jelas mengenai luas tanah, letak, batas-batas tanah. 2. Asas Openbaarheid (Asas Publisitas) Asas ini memberikan data yuridis tentang siapa saja yang menjadi subjek haknya, apa nama hak atas tanah, serta bagaimana terjadinya peralihan dan pembebanannya. Data ini sifatnya terbuka untuk umum, artinya setiap orang dapat melihatnya. Berdasarkan asas ini, setiap orang berhak mengetahui data yuridis tentang subjek hak, nama hak atas tanah, peralihan hak, dan pembebanan hak atas tanah yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, termasuk mengajukan keberatan sebelum sertifikat diterbitkan, sertifikat pengganti, sertifikat yang hilang atau sertifikat yang rusak. 2.1.3. Tujuan Pendaftaran Tanah Tujuan pendaftaran tanah adalah untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang-bidang tanah yang dipertegas dengan dibuatnya Peraturan perundang-undangan yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah mengenai pendaftaran tanah yang mengatur mengenai pembukuan tentang bidang-bidang tanah yang data fisik dan data yuridisnya belum lengkap 7 Soedikno Mertokusumo. Hukum dan Politik Agraria. Jakarta: Karunika-Universitas Terbuka, 1988, hlm. 99.

16 atau masih dalam keadaan sengketa sehingga untuk tanah-tanah tersebut masih belum dapat dikeluarkan sertipikat sebagai tanda bukti hak dalam rangka untuk menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah tersebut. Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, maka tujuan pendaftaran tanah adalah: a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Maka untuk itu diberikan sertipikat sebagai surat tanda bukti, dimana sertipikat merupakan hak bagi pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh Undang-Undang. Maka jaminan kepastian hukum sebagai tujuan pendaftaran tanah meliputi: 1. Kepastian status hak yang didaftar Artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat diketahui dengan pasti status hak yang didaftar, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Hak Tanggungan, Hak Milik Atasa Satuan Rumah Susun atau Tanah Wakaf. 2. Kepastian subjek hak Artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat diketahui dengan pasti pemegang haknya, apakah perseorangan (warga negara Indonesia atau orang asing yang berkedudukan di Indonesia), sekelompok orang secara bersama-sama, atau badan hukum (badan hukum privat atau badan hukum publik). 3. Kepastian objek hak Artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat diketahui dengan pasti letak tanah, batas-batas tanah, dan ukuran (luas) tanah. Letak tanah berada di jalan, kelurahan/desa, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi mana. Batas-batas tanah meliputi sebelah utara, selatan, timur, dan barat berbatasan dengan tanah siapa atau tanah apa. Ukuran (luas) tanah dalam bentuk meter persegi (m2).

17 Untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam pendaftaran tanah, maka kepada pemegang hak atas tanah diberikanlah sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah tersebut. b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenal bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. Dengan terselenggaranya pendaftaran tanah juga dimaksudkan untuk terciptanya suatu pusat informasi mengenai bidang-bidang tanah sehingga pihak-pihak yang berkepntingan dan yang memerlukan informasi mengenai bidang-bidang tanah tersebut termasuk pemerintah dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. Untuk melaksanakan fungsi informasi, data fisik dan data yuridis dari bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar terbuka untuk umum. Dengan pendaftaran tanah, pemerintah maupun masyarakat dapat dengan mudah memperoleh informasi tentang data fisik dan data yuridis di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota apabila mau mengadakan suatu perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar, misalnya pengadaan tanah untuk kepentingan pemerintah atau perusahaan swasta, jual beli, lelang, pembebanan Hak Tanggungan. c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan Program Pemerintah di bidang pertanahan dikenal dengan Catur Tertib Pertanahan, yaitu Tertib Hukum Pertanahan, Tertib Administrasi Pertanahan, Tertib Penggunaan Tanah, serta Tertib Pemeliharaan Tanah dan Kelestarian Lingkungan Hidup. Untuk mewujudkan Tertib Administrasi Pertanahan dilakukan dengan menyelenggarakan pendaftaran tanah yang bersifat Rechts Cadaster. Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan.

18 Untuk mewujudkan tertib administrasi pertanahan, setiap bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan, dan hapusnya hak atas bidang tanah dan hak milik atas satuan rumah susun wajib didaftar. 2.1.4. Manfaat Pendaftaran Tanah Manfaat pendaftaran tanah bagi para pihak-pihak yang memperoleh manfaat dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, adalah: 1. Manfaat bagi pemegang hak a. Memberikan rasa aman. b. Dapat mengetahui dengan jelas data fisik dan data yuridisnya. c. Memudahkan dalam pelaksanaan peralihan hak. d. Harga tanah menjadi lebih tinggi. e. Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. f. Penetapan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tidak mudah keliru. 2. Manfaat bagi pemerintah a. Akan terwujud tertib administrasi pertanahan sebagai salah satu program Catur Tertib Pertanahan. b. Dapat memperlancar kegiatan Pemerintahan yang berkaitan dengan tanah dalam pembangunan. c. Dapat mengurangi sengketa di bidang pertanahan, misalnya sengketa batas-batas tanah, pendudukan tanah secara liar. 3. Manfaat bagi calon pembeli atau kreditor Bagi calon pembeli atau calon kreditor dapat dengan mudah memperoleh keterangan yang jelas mengenai data fisik dan data yuridis tanah yang akan menjadi objek perbuatan hukum mengenai tanah. 2.1.5. Objek Pendaftaran Tanah Objek pendaftaran tanah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria yaitu mengenai hak-hak atas tanah yang wajib untuk didaftar adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, sedangkan Hak Sewa Untuk Bangunan tidak wajib untuk didaftarkan. Sedangkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menjadi objek pendaftaran tanah meliputi

19 bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, Tanah Hak Pengelolaan, Tanah Wakaf, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, Hak Tanggungan, dan Tanah Negara. Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka yang menjadi objek pendaftaran tanah adalah: 1. Hak Milik Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria yang dimaksud dengan Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak milik merupakan hak yang paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain di atas bidang tanah Hak Milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, dengan pengecualian Hak Guna Usaha), yang hampir sama dengan kewenangan negara (sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya. Hak ini, meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan mirip dengan Eigendom atas tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang memberikan kewenangan yang (paling) luas pada pemiliknya, dengan ketentuan harus memperhatikan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria. 8 Yang dapat mempunyai Hak Milik, adalah: a. Hanya Warga Negara Indonesia b. Bank Pemerintah atau badan keagamaan dan badan sosial maupun badanbadan hukum yang diperbolehkan oleh pemerintah untuk mempunyai hak milik dengan syarat-syarat tertentu. Hak milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia saja dan tidak dapat dimiliki oleh warga negara asing dan badan hukum baik yang didirikan di Indonesia maupun yang didirikan di luar negeri dengan pengecualian badan-badan hukum tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 yaitu Bank-Bank yang didirikan oleh negara untuk selanjutnya disebut sebagai Bank Negara, Perkumpulan- 8 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. Hak-Hak Atas Tanah. Seri Hukum Harta Kekayaan. Jakarta: Kencana, 2007, hlm. 30.

20 perkumpulan Koperasi Pertanian, Badan-badan Keagamaan dan Badan-badan Sosial. Dengan hal tersebut sehingga tidak setiap orang dapat dengan mudah mengalihkan Hak Milik atas tanah karena Undang-Undang Pokok Agraria memberikan pembatasan-pembatasan mengenai peralihan Hak Milik atas tanah. Berdasarkan Pasal 21 dan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria maka cara memperoleh Hak Milik atas tanah adalah dengan: a. Orang asing maupun Warga Negara Indonesia yang telah melepaskan kewarganegaraannya yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh Hak Milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut harus melepaskan haknya tersebut karena apabila lebih dari jangka waktu yang ditentukan maka hak tersebut menjadi hapus dan jatuh ke tangan negara. b. Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. c. Adanya suatu peristiwa perdata, baik yang karena dikehendaki maupun yang lahir karena perbuatan hukum dalam bentuk perjanjian misalnya dalam bentuk jual beli, hibah, tukar menukar, maupun karena peristiwa perdata karena perkawinan yang menyebabkan terjadinya persatuan harta, karena kematian sehingga menyebabkan timbulnya pewarisan ab intestato maupun warisan dalam bentuk hibah wasiat. 2. Hak Guna Usaha Berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang Pokok Agraria maka yang yang dimaksud dengan Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang lagi paling lama 25 (dua puluh lima) tahun, guna perusahaan pertanian, perusahaan perikanan atau perusahaan peternakan untuk melakukan kegiatan usahanya di Indonesia dan hanya diberikan kepada tanah yang luasnya paling sedikit 5 (lima) hektar dengan

21 ketentuan bahwa jika luasnya 25 (dua puluh lima) hektar atau lebih harus dengan memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik dan harus sesuai dengan perkembangan zaman. Hak Guna Usaha ini juga dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Pokok Agraria,yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha adalah: a. Warga Negara Indonesia b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Orang atau badan hukum yang mempunyai maupun memperoleh hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat maka dalam jangka waktu 1 (satu) tahun wajib untuk melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat, apabila dalam jangka waktu tersebut hak guna usaha tersebut tidak dilepaskan atau dialihkan maka hak guna usaha itu hapus demi hukum dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan menurut ketntuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Jangka waktu Hak Guna Usaha berdasarkan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 adalah untuk pertama kalinya paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun, kemudian dapat diperpanjang lagi untuk jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama selama 35 (tiga puluh lima) tahun. Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nonmor 40 Tahun 1996 maka permohonan pemegang Hak Guna Usaha dapat diperpanjang selama memenuhi syarat-syarat, yaitu: a. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut. b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak. c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak. Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha maupun pembaharuannya diajukan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sebelum

22 berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha tersebut dan dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. Peralihan Hak Guna Usaha dapat dilakukan dengan cara jual-beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan atau penyertaan dalam modal, pewarisan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang berwenang. 3. Hak Guna Bangunan Berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Pokok Agraria maka yang dimaksud dengan Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan atas permintaan dari pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan dari bangunanbangunannya maka jangka waktunya dapat perpanjang lagi untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun. Hak Guna Bangunan ini dapat beralih maupun dialihkan kepada pihak lain. Dalam hal ini pemegang Hak Milik atas tanah yang diatasnya didirikan Hak Guna Bangunan berbeda dengan pemegang Hak Guna Bangunan tersebut yaitu pemegang Hak Guna Bangunan bukanlah pemegang Hak Milik dari tanah tersebut yang diatasnya didirikan bangunan tersebut karena adanya perjanjian yang berbentuk autentik antara pemegang Hak Milik atas tanah yang bersangkutan dengan pemegang Hak Guna Bangunan yang hendak mendirikan bangunan di atas tanah tersebut. Berdasarkan Pasal 21 Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 1996 maka Hak Guna Bangunan dapat diberikan kepada tanah yang status tanahnya adalah tanah Negara, tanah Hak Pengelolaan, dan tanah Hak Milik. Hak Guna Bangunan dapat juga dijadikan sebagai jaminan hutang dengan Hak Tanggungan dan dapat juga dibebani dengan hipotek atau credietverband. Yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan berdasarkan Pasal 36 Undang- Undang Pokok Agraria, adalah: a. Warga Negara Indonesia. b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

23 Jadi hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan ini, dan disini terlihat prinsip nasional tetap dipertahankan, sehingga orang yang bukan Warga Negara Indonesia hanya dapat mempunyai hak seperti yang ditentukan pada Pasal 36 huruf b Undang-Undang Pokok Agraria yaitu badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, oleh karena orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai pemegang hak, dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan Hak Guna Bangunan itu kepada orang lain yang memenuhi syarat. Dan ketentuan tersebut juga berlaku terhadap pihak yang memperoleh Hak Guna Bangunan, jika dia tidak mempunyai syarat tersebut. Jika Hak Guna Bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut di atas, hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria). Dalam kaitan dengan pemberian hak ini, Hak Guna Bangunan itu terjadi dalam batas-batas kemungkinan yang ada, yang di dalam Penetapan Pemerintah yang berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 Tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah dalam Pasal 4 disebutkan, Gubernur Kepala Daerah memberi keputusan mengenai permohonan pemberian, perpanjangan/pembaruan, dan menerima pesanan Hak Guna Bangunan atas tanah Negara kepada Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia yang bukan bermodal asing yang: a. Luas tanahnya tidak melebihi 2.000 m2 (dua ribu meter persegi). b. Jangka waktunya tidak melebihi dari 20 (dua puluh) tahun. 9 Pemberian Hak Guna Bangunan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara, yaitu: 9 Soedharyo Soimin, S.H., Status Hak Dan Pembebasan Tanah, Edisi Kedua. Jakarta: Sinas Grafika, 2004, hlmn. 21-22.

24 a. Sampai dengan 2000 m2 (dua ribu meter persegi), pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. b. Mulai dari 2000 m2 (dua ribu meter persegi) hingga 150.000 m2 (seratus lima puluh ribu meter persegi), pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi. c. Di atas 150.000 m2 (seratus lima puluh ribu meter persegi), pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dilakukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional/Menteri Negara Agraria. d. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 1997 dinyatakan bahwa: 1. Permohonan pendaftaran perubahan Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, dan perubahan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) diajukan kepada kantor Pertanahan setempat dengan disertai: a. Sertipikat Hak Milik atau Hak Guna Bangunan yang dimohon perubahan haknya, atau bukti pemilikan tanah yang bersangkutan dalam hal Hak Milik yang belum terdaftar. b. Kutipan Risalah Lelang yang dikeluarkan oleh pejabat lelang apabila hak yang bersangkutan dimenangkan oleh badan hukum dalam suatu pelelangan umum. c. Surat persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan apabila hak atas tanah tersebut dibebani Hak Tanggungan. d. Bukti identitas pemohon. 2. Dalam hal Hak Milik yang dimohon perubahan haknya belum terdaftar, maka permohonan pendaftaran perubahan hak dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran Hak Milik tersebut dan penyelesaian pendaftaran perubahan haknya dilaksanakan sesudah Hak Milik itu didaftar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

25 3. Dalam hal Hak Milik yang dimohon perubahan haknya dimenangkan oleh badan hukum melalui pelelangan umum, maka permohonan pendaftaran perubahan Hak Milik tersebut diajukan oleh badan hukum yang bersangkutan bersamaan dengan permohonan pendaftaran peralihan haknya dan kedua permohonan tersebut diselesaikan sekaligus dengan mendaftar perubahan hak tersebut terlebih dahulu dan kemudian mendaftar peralihan haknya, dengan ketentuan bahwa untuk Hak Milik yang belum terdaftar ketentuan pada ayat (2) juga dilaksanakan. Dari ketentuan tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa perubahan dari Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan dapat terjadi karena sukarela yaitu dilakukan dengan cara pelepasan Hak Milik atas tanah yang disertai dengan pemberian Hak Guna Bangunan dan karena hasil lelang yang diperoleh badan hukum. Berdasarkan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 maka pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik, yaitu: 1. Hak Guna Bangunan atas tanah hak Milik terjadi dengan pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. 2. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. 3. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik mengikat pihak ketiga sejak didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). 4. Ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Berdasarkan ketentuan tersebut maka lahirnya pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik adalah pada saat dibuatnya akta pemberian Hak Guna Bangunan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, sedangkan pendaftaran yang dilakukan hanyalah untuk mengikat pihak ketiga. Jangka waktu Hak Guna Bangunan atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan menurut Pasal 25 PP No. 40 Tahun 1996 adalah untuk

26 pertama kalinya paling lama adalah 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun. Sedangkan jangka waktu Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik menurut Pasal 29 PP No. 40 Tahun 1996, adalah paling lama 30 tahun, tidak dapat diperpanjang, tetapi dapat diperbarui haknya atas kesepakatan pihak pemilik tanah dan pemegang Hak Guna Bangunan. 10 Berdasarkan Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 maka Hak Guna Bangunan dapat diperpanjang, yaitu: 1. Hak Guna Bangunan atas tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, atas permohonan pemegang hak dapat diperpanjang atau diperbaharui, jika memenuhi syarat: a. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut. b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak. c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 d. Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan. 2. Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diperpanjang atau diperbaharui atas permohonan pemegang Hak Guna Bangunan setelah mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan. Berdasarkan Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 maka tata cara permohonan perpanjangan Hak Guna Bangunan, yaitu: 1. Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan atau pembaharuannya diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau perpanjangannya. 2. Perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. 10 Urip Santoso, S.H., M.H.. Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 26.

27 3. Ketentuan mengenai tata cara permohonan perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan dan persyaratannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas maka dapat terlihat bahwa Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah Negara dan tanah Hak Pengelolaan saja yang dapat diperpanjang, sedangkan Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah Hak Milik tidak dapat diperpanjang melainkan hanya diperbaharui saja setelah berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam pemberian hak tersebut yang wajib dibuat dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat. Berdasarkan Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 maka Hak Guna Bangunan dapat dialihkan, yaitu: 1. Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. 2. Peralihan Hak Guna Bangunan terjadi karena: a. Jual-beli b. Tukar-menukar c. Penyertaan dalam modal d. Hibah e. Pewarisan 3. Peralihan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan. 4. Peralihan Hak Guna Bangunan karena jual-beli kecuali jual-beli melalui lelang, tukar-menukar, penyertaan dalam modal, dan hibah harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. 5. Jual-beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan Berita Acara Lelang. 6. Peralihan Hak Guna Bangunan karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang.

28 7. Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan. 8. Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik yang bersangkutan. Dari rumusan tersebut juga dapat kita lihat bahwa undang-undang secara tegas membedakan syarat peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dengan Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah Hak Milik, karena pemberian tersebut lahir dari perjanjian, maka sebagai konsekuensi dari sifat perjanjian itu sendiri, yang menurut ketentuan Pasal 1315 dan Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya berlaku di antara para pihak, yaitu pemegang Hak Milik dan pemegang Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik tersebut, setiap tindakan yang berhubungan dengan Hak Guna Bangunan di atas bidang tanah tersebut, haruslah terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari pemegang Hak Milik atas bidang tanah tersebut, termasuk peralihannya. Sebagaimana halnya peralihan Hak Milik dan Hak Guna Usaha seperti telah dijelaskan di muka, peralihan Hak Guna Bangunan ini pun wajib didaftarkan. Ketentuan mengenai pendaftaran peralihan Hak Guna Bangunan juga diatur dalam ketentuan yang sama seperti halnya peralihan Hak Milik dan Hak Guna Usaha, yaitu mulai dari Pasal 37 hingga Pasal 46 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. Dari rangkaian pasal-pasal tersebut di atas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan: 1. Peralihan Hak Guna Bangunan, yang dilakukan dengan cara jual-beli, tukarmenukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelanghanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang berwenang. Dengan demikian berarti setiap peralihan Hak Guna Bangunan, yang dilakukan dalam bentuk jual-beli, tukarmenukar atau hibah harus dibuat di hadapan PPAT. Jual-beli, tukar-menukar atau hibah ini, dalam konsepsi hukum adat adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat terang dan tunai. Dengan terang dimaksudkan bahwa perbuatan hukum tersebut harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang untuk

29 menyaksikan dilaksanakan atau dibuatnya perbuatan hukum tersebut. Sedangkan dengan tunai diartikan bahwa dengan selesainya perbuatan hukum di hadapan PPAT berarti pula selesainya tindakan hukum yang dilakukan dengan segala akibat hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat dibatalkan kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi mengenai Hak Guna Bangunan yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak atas bidang tanah tersebut. 2. Dengan demikian berarti, agar peralihan Hak Guna Bangunan tersebut dapat terselenggara secara benar, maka seorang PPAT yang akan membuat peralihan Hak Guna Bangunan tersebut harus memastikan kebenaran mengenai Hak Guna Bangunan yang akan dialihkan tersebut, dan mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dari mereka yang akan mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut. Sehubungan dengan objek hak atas tanah yang dipindahkan, PPAT harus memeriksa kebenaran dari dokumen-dokumen yang berhubungan dengan Hak Guna Bangunan yang akan dialihkan tersebut. Dalam hal surat tersebut tidak dapat diserahkan, atau tidak ada, maka PPAT wajib menolak membuat akta pemindahan Hak Guna Bangunan yang akan dialihkan tersebut. Sehubungan dengan subjek hukum yang akan mengalihkan, maka PPAT harus memeriksa mengenai kewenangan dari pihak yang akan mengalihkan dan yang akan menerima peralihan Hak Guna Bangunan tersebut. Jika subjek hukum yang akan mengalihkan tidak berhak atau berwenang, maka pengalihan tidak dapat dilakukan. Jika subjek hukum yang akan menerima pengalihan bukanlah subjek hukum yang diperkenankan sebagai pemegang Hak Guna Bangunan, maka harus diperhatikan ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 1997 tentang Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Pakai. 11 Berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Pokok Agraria maka hapusnya Hak Guna Bangunan karena: 1. Jangka waktunya berakhir. 11 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. Hak-Hak Atas Tanah. Seri Hukum Harta Kekayaan. Jakarta: Kencana, 2007, hlm.208-210.

30 2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi. 3. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir. 4. Dicabut untuk kepentingan umum. 5. Ditelantarkan. 6. Tanahnya musnah. 7. Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria. Sedangkan, berdasarkan Pasal 35 juncto Pasal 20 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 maka hapusnya Hak Guna Bangunan karena: 1. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya. 2. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir, karena: a. Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31 dan pasal 32. b. Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan. c. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 3. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir. 4. Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961. 5. Ditelantarkan. 6. Tanahnya musnah. 7. Ketentuan Pasal 20 ayat (2) yaitu apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) haknya tidak dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum. 8. Ketentuan lebih lanjut mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.

31 Berdasarkan Pasal 30 dan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 maka kewajiban dari pemegang Hak Guna Bangunan, adalah: 1. Pemegang Hak Guna Bangunan berkewajiban: a. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya. b. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya. c. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup. d. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus. e. Menyerahkan sertipikat Hak Guna Bangunan yang telah dihapus kepada Kepala Kantor Pertanahan. 2. Jika tanah Hak Guna Bangunan karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lintas umum atau jalan air, pemegang Hak Guna Bangunan wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu. Berdasarkan Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 maka hak dari pemegang Hak Guna Bangunan, adalah pemegang Hak Guna Bangunan berhak untuk menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya. 4. Hak Pakai Berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Pokok Agraria maka yang dimaksud dengan Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa

32 atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini. Hak Pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu dan dengan cuma-cuma dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian Hak Pakai tidak boleh disertai dengan syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan. Hak Pakai dapat diberikan kepada tanah yang status tanhanya adalah tanah Negara, tanah Hak Pengelolaan dan tanah Hak Milik. Yang dapat mempunyai Hak Pakai berdasarkan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, adalah: a. Warga Negara Indonesia. b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. c. Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, dan Pemerintah Daerah. d. Badan-badan keagamaan dan sosial. e. Orang asing yang berkedudukan di Indoensia. f. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. g. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional. Jangka waktu Hak Pakai ada yang diberikan untuk jangka waktu yang ditentukan dan ada yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Berdasarkan Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 maka jangka waktu Hak Pakai, adalah: 1. Hak Pakai Atas Tanah Negara dan Hak Pakai Atas Hak Pengelolaan diberikan jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. 2. Sesudah jangka waktu Hak Pakai atau perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) habis, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Pakai atas tanah yang sama.

33 3. Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan kepada: a. Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, dan Pemerintah Daerah. b. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional. c. Badan Keagamaan dan badan sosial. Berdasarkan Pasal 46 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 maka syarat-syarat permohonan pemegang hak apabila Hak Pakai Atas Tanah Negara hendak diperbaharui, adalah: 1. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut. 2. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak. 3. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39. 4. Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat diperpanjang atau diperbaharui atas usul pemegang Hak Pengelolaan. Berdasarkan Pasal 47 Peraturan pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 maka tata cara permohonan perpanjangan waktu Hak Pakai, adalah: 1. Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Pakai atau pembaharuan diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Pakai tersebut. 2. Perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. 3. Ketentuan mengenai tata cara permohonan perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai dan persyaratannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Peralihan Hak Pakai dapat dilakukan dengan cara jual-beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan atau penyertaan dalam modal, pewarisan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak

34 melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang berwenang. 5. Tanah Hak Pengelolaan Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 juncto Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 juncto Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 juncto Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 maka pengertian dari Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Sedangkan berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Pemberian Hak Pengelolaan maka pengertian dari Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara atas tanah yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah, menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Yang dapat mempunyai Hak Pengelolaan, adalah: 12 1. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah. 2. Badan Usaha Milik Negara. 3. Badan Usaha Milik Daerah. 4. PT Persero. 5. Badan Otorita. 6. Badan-badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk oleh pemerintah. 6. Tanah Wakaf Wakaf tanah Hak Milik diatur dalam Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria yaitu perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 12 Urip Santoso, S.H., M.H.. Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 28.

35 Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Agama Islam. Hak atas tanah yang dapat diwakafkan untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya menurut ajaran Agama Islam hanyalah Hak Milik. Dalam perwakafan tanah Hak Milik terdapat pihak yang mewakafkan tanah disebut Wakif, pihak menerima tanah wakaf disebut Nadzir, pihak yang membuat Akta Ikrar Wakaf adalah Pejabat pembuat Akta Ikrar Wakaf, dan pihak yang mendaftar tanah yang diwakafkan adalah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. 13 7. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat, yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal dan vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama demikian Undang-Undang Rumah Susun untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan apa yang disebut bagian bersama, tanah bersama, dan benda bersama. 14 Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 maka satuan rumah susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai saran penghubung ke jalan umum. Sedangkan, berdasarkan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 maka Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah, meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang 13 Ibid, hlm. 29. 14 Boedi Harsono. Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Djembatan, 2008, hlm. 351.

36 kesemuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan. 8. Hak Tanggungan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan kepada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996). Hak-hak yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atas tanah negara, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan, Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuannya wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah negara. 15 9. Tanah Negara Tanah negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah (Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997). Dalam hal tanah negara sebagai objek pendaftaran tanah, pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah negara dalam daftar tanah. Daftar tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat identitas bidang tanah dengan suatu sistem penomoran. Untuk tanah negara tidak disediakan buku tanah dan oleh karenanya di atas tanah negara tidak diterbitkan sertipikat. 16 2.1.6. Sistem Pendaftaran Tanah Yang Digunakan Pada pendaftaran tanah ada dua sistem yang digunakan, yaitu: 15 Urip Santoso, S.H., M.H.. Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana, 2010,Op.Cit. hlm.29-30. 16 Ibid,. Hlm. 29.