PENANGGULANGAN KEBUTAAN KATARA K TERPADU SEBAGAI UPAYA MENCAPAI "VISION 2020 THE RIGHT TO SIGHT " DI PROPINSI JAWA BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
KEBIJAKAN DEPARTEMEN KESEHATAN TENTANG PKMRS PADA PENYULUHAN KELOMPOU BAGI RS SWANTA SE JABAR BANDUNG, 5 JULI Dr. Henni Djuhaeni, MARS

BAB 1 PENDAHULUAN. nasional secara utuh yang dimaksudkan untuk meningkatkan derajat kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. maupun sosial yang memungkinkan setiap orang dapat hidup produktif secara sosial

PROGRAM INOVASI RS INDERA

Revisi PP.38/2007 serta implikasinya terhadap urusan direktorat jenderal bina upaya kesehatan.

GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. izin penyelenggaraan Rumah Sakit Khusus Pemerintah dari Gubernur Jawa

1 Mapping Sarana Kesehatan; 2 Self Asessment terhadap standard sarana; 3 Sosialisasi : - Kepada Organisasi Profesi, Perguruan tinggi, Asosiasi,

KEBIJAKSANAAN SISTEM RUJUKAN PROPINSI JAWA BARAT DALAM PROGRAM AUDIT MATERNAL PERINATAL DAN PERMASALAHANNYA *) dr. Henni Djuhaeni, MARS

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini diarahkan untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. dalam proses refraksi ini adalah kornea, lensa, aqueous. refraksi pada mata tidak dapat berjalan dengan

Indonesia Menuju Pelayanan Kesehatan Yang Kuat Atau Sebaliknya?

EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT

URGENSI SIPD DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

2015, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM RUJUKAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KERANGKA ACUAN KEGIATAN PERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT ( PERKESMAS ) PUSKESMAS KESAMBEN TAHUN I. Pendahuluan

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. drg. Oscar Primadi, MPH NIP

BAB I PENDAHULUAN. yang mampu mewujudkan kesehatan optimal. Sedangkan sasaran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Tabel 4.1 INDIKATOR KINERJA UTAMA DINAS KESEHATAN KABUPATEN KERINCI TAHUN Formulasi Penghitungan Sumber Data

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan kesehatan yang semakin muncul di permukaan. Kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia masih merupakan hal

Usaha-usaha Kesehatan Masyarakat. Contact: Blog: suyatno.blog.undip.ac.id Hp/Telp: /

PEDOMAN PENGORGANISASIAN UNIT KERJA PUSKESMAS TAMAMAUNG TAHUN 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. umur harapan hidup (life expectancy). Pembangunan kesehatan di Indonesia sudah

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. yang optimal (Nursalam, 2013). Keperawatan merupakan indikator dari kualitas

BAB 1 PENDAHULUAN. mengalami kemajuan yang cukup bermakna ditunjukan dengan adanya penurunan

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 22

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dan terpenting dari

BAB IV GAMBARAN UMUM

JAMINAN KESEHATAN SUMATERA BARAT SAKATO BERINTEGRASI KE JAMINAN KESEHATAN MELALUI BPJS KESEHATAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 31 TAHUN : 2004 SERI : D NOMOR : 4

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM KESEHATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MALINGPING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT WAY DENTE

BUPATI BANYUMAS PERATURAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 68 TAHUN 2008 TENTANG

PROFIL PROVINSI JAWA BARAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

VI. PENUTUP A. Kesimpulan

2016, No Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

RENCANA KINERJA TAHUNAN KEGIATAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PROMOSI KESEHATAN TAHUN 2016

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

2 Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetuju

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang

PROFIL PUSKESMAS KARANGASEM I TAHUN 2012

KERANGKA ACUAN KEGIATAN KUNJUNGAN RUMAH

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

RENCANA AKSI KINERJA DAERAH (RAD) DINAS KESEHATAN KABUPATEN KERINCI TAHUN Target ,10 per 1000 KH

BUPATI KEPULAUAN MERANTI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BERITA DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II YOGYAKARTA ( Berita Resmi Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta )

PEDOMAN PEDOMAN PENGELOLAAN USIA LANJUT (USILA) PUSKESMAS WARA BARAT BAB I PENDAHULUAN

Family Gathering Terpadu RSJ Grhasia Yogyakarta

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KESEHATAN

CAPAIAN INDIKATOR MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN AREA MANAJEMEN TRIWULAN I TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. Dasar-dasar atau prinsip pembangunan kesehatan pada hakikatnya adalah nilai

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

STUDI TENTANG MANAJEMEN SISTEM PELAKSANAAN PENAPISAN GIZI BURUK DI DINAS KESEHATAN KABUPATEN BOYOLALI

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

MODAL DASAR PD.BPR/PD.PK HASIL KONSOLIDISASI ATAU MERGER

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia.

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 39 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. membangun manusia Indonesia yang tangguh. Pembangunan dalam sektor kesehatan

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 73 TAHUN 2008 TENTANG

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA STANDAR PROMOSI KESEHATAN RUMAH SAKIT

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TENTANG. ELiMINASI MALARIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial-spriritual yang

BAB II EVALUASI PELAKSANAAN RENJA TAHUN LALU

G U B E R N U R SUMATERA BARAT

BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA

BAB I PENDAHULUAN. Rencana Kerja Dinas Kesehatan

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Imunisasi sebagai salah satu pencegahan upaya preventif yang

BAB 1 PENDAHULUAN. tentang perlunya melakukan Primary Health Care Reforms. Intinya adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

KEBIJAKAN DEPARTEMEN KESEHATAN TENTANG PENINGKATAN PEMBERIAN AIR SUSU IBU (ASI) PEKERJA WANITA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

B A B I PENDAHULUAN. 1 P r o f i l T a h u n a n P u s k e s m a s K e c. T e b e t

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2014 (dalam rupiah)

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN WALIKOTA SEMARANG TAHUN 2008 NOMOR 46 NOMOR 46 TAHUN 2008

PERLUKAH RAWAT INAP DI PUSKESMAS

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG ELIMINASI MALARIA DI KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH PROVINSI RIAU

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR PROVINSI JAMBI NOMOR 48 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN KORBAN PASUNG PSIKOTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

Transkripsi:

PENANGGULANGAN KEBUTAAN KATARA K TERPADU SEBAGAI UPAYA MENCAPAI "VISION 2020 THE RIGHT TO SIGHT " DI PROPINSI JAWA BARAT OLEH HENNI DJUHAENI SHARON GONDODIPUTRO KANWIL DEPARTEMEN KESEHATAN PROPINSI JAWA BARAT

I. Pendahuluan Indera penglihatan merupakan salah satu alat tubuh manusia yang mempunyai fungsi sangat penting untuk memungkinkan manusia menerima informasi dari lingkungan kehidupan sekitarnya sehingga mampu beradaptasi dan mempertahankan hidup dalam lingkungannya dan menghindarkan diri dari berbagai ancaman yang mungkin terjadi. Dengan demikian kesehatan indera penglihatan merupakan salah satu unsur terpenting dalam upaya meningkatkan kualitas SDM agar terwujud manusia Indonesia yang cerdas, produktif serta mampu berperan dalam berbagai bidang pembangunan. Di Indonesia angka kebutaan pada tahun 1982 mencapai 1,2% berarti 1,5 juta penduduk mengalami kebut an. Sejak saat itu kebutaan di Indonesia dicanangkan sebagai bencana kebutaan Nasional. Dari hasil survai kesehatan indera penglihatan 1993-1996 prevalensi kebutaan di Jawa Barat adalah 1,1% di mana 56% disebabkan oleh kebutaan karena katarak. Diperkirakan terdapat kurang lebih 263.773 orang buta karena katarak. Dari jumlah tersebut diperkirakan kurang lebih 44.841 orang merupakan penduduk miskin. Tingginya angka kebutaan ini selain disebabkan oleh meningkatnya angka harapan hidup yang menyebabkan kelompok usia lanjut meningkat jumlahnya, juga disebabkan oleh karena katarak sebagai penyebab utama kebutaan belum dapat ditanggulangi sepenuhnya. Untuk mengatasi masalah tersebut Pemerintah mengembangkan program pencegahan kebutaan dalam bentuk Upaya Kesehatan Mata/Pencegahan Kebutaan (UKM/PK) dan khususnya untuk kebutaan katarak melalui program Penanggulangan Kebutaan Katarak Paripurna (PKKP). Namun demikian, semua upaya yang dilakukan sampai dengan Pelita VI masih belum dapat mencapai tujuan yang ditargetkan karena kurang terkoordinirnya berbagai upaya yang dilakukan. Menyadari hal tersebut di Propinsi Jawa Barat sejak tanggal 29 Juli 1998 telah terbentuk "Forum Koordinasi Penanggulangan Kebutaan Katarak Terpadu" yang bertugas membantu Gubernur KDH Tk. I Jawa Barat, dalam mengkoordinasikan penanggulangan kebutaan katarak sebagai wu jud

pencanangan penanggulangan kebutaan katarak pada saat perayan Hari Kesehatan Nasional ke-33 di Kabupaten Kuningan. Pada kesempatan ini akan diuraikan analisa situasi, hasil kegiatan penanggulangan kebutaan katarak terpadu, hambatan serta masalah yang dihadapi dan kebijakan Propinsi Jawa Barat untuk penanggulangan kebutaan katarak dalam rangka mencapai "vision 2020 right to sight" dan bebas kebutaan katarak pada penduduk miskin pada tahun 2005. II. Analisis Situasi A. Demografi Propinsi Jawa Barat mempunyai wilayah sekitar 44.624,8 km 2 atau 34% dari luas Pulau Jawa dan Madura. Secara administratif Pemerintah Propinsi Jawa Barat terdiri dari 5 wilayah kerja Pembantu Gubernur, 20 wilayah Kabupaten, 6 wilayah Kodya, 7 wilayah Kota Administratif, 526 wilayah Kecamatan, 6711 Desa dan 413 Kelurahan. Jumlah penduduk tahun 1998 adalah sebesar 42.234.900 Jiwa yang merupakan 20 dari jumlah penduduk Indonesia (Profit Kesehatan Propinsi Jawa Barat tahun 1998). Penyebaran penduduk tidak merata, di mana pertumbuhan penduduk di perkotaan dalam periode 1990-1995 sebesar 6,5%, sedangkan di pedesaan sebesar 0,61% kepadatan penduduk rata-rata 900-1000 orang per km 2, bahkan di Kotamadya Bogor mencapai kepadatan 13.991 orang per km 2.

Tabbel 2.1 Distribusi Penduduk berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Propinsi Jawa Barat Tahun 1995 dan 1996 Distribusi Umur (Tahun) Tahun 1995 Tahun 1996 Tahun 1997 Tahun 1998 0-4 4.931 304 4 981.300 5071.000 5.162.400 5-14 9.035.254 8.932.500 8.994.900 9.060.600 15-44 19.208.123 19.657.300 20.181.000 20.721.200 > 45 6.572.049 6.767.300 7.023.800 7.290.700 Total 39.746.730 40.338.400 41.270.700 42.234.900 Sumber data : Profil Kesehatan Kabupaten/Kotamadya Pada Tabel 2.1 terlihat bahwa pada tahun 1998 terjadi penambahan jumlah penduduk kelompok umur > 45 tahun sebesar 3,8%. Hal ini perlu diwaspadai, karena kemungkinan terjadi penambahan kasus penyakit degeneratif pada mata misalnya katarak yang dapat menimbulkan kebutaan kalau tidak dilakukan upayaupaya penanggulangannya. B. Status Kesehatan Program-program pembangunan kesehatan di Propinsi Jawa Barat telah berhasil meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Hal ini terlihat antara lain dengan meningkatnya Usia Harapan Hidup Waktu Lahir (EO) yaitu tahun 1995 adalah 60,33 tahun meningkat menjadi 60,98 pada tahun 1996 (Kantor Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat). Keadaan ini dapat mengakibatkan timbulnya transisi epidemologi penyakit di mana terjadi pergeseran dari penyakit infeksi yang bersifat akut menuju penyakit kronis degeneratif. Hasil survai kesehatan mata tahun 1993-1995 menggambarkan semakin meningkatnya penyakit mata degeneratif, misalnya katarak yang merupakan peringkat tertinggi dan menunjukkan peningkatan, dari 0,76% pada tahun 1982 menjadi 1,01% pada saat ini.

Tabel 2.2 Prevalensi (%) Kebutaan menurut Kelompok Umur di Propinsi Jawa Barat Tahun 1993 Kelompok Umur % Balita 0,3 Usia prasekolah 0,37 Produktif 0,53 Usia lanjut < 65 tahun 2,89 Usia lanjut > 65 tahun 14,41 Total 1,1 Sumber Data : Sub-Direktorat Bina Kesehatan Mata, Dep.Kes.RI. Tabel 2.3 Prevalensi dan Distribusi (%) Kebutaan menurut Penyebab di Propinsi Jawa Barat tahun 1993 Prevalensi Penyebab Jabar Nasional Katara k 0,56 0,78 Retina 0,03 0,31 Kornea 0,10 0,10 Lain-lain 0,31 0,15 Sumber Data : Sub-Direktorat Bina Kesehatan Mata, Dep.Kes.RI. Dari Tabel 2.2 dan 2.3 terlihat bahwa prevalensi kebutaan di Jawa Barat sebesar 1,1 dan dengan meningkatnya usia penduduk, prevalensi kebutaan akan meningkat pula. Selanjutnya, ternyata 56% kebutaan tersebut disebabkan oleh katarak. Bila penduduk Jawa Barat berjumlah 42.234.900 penduduk, maka diperkirakan terdapat 260.167, kebutaan oleh katarak (1,1% x 56% x jml penduduk). C. Sarana Kesehatan Sarana Kesehatan di Propinsi Jawa Barat mulai dari pelayanan dasar sampai dengan rujukan cukup banyak. Hal ini dapat terlihat dalam Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Jenis Sarana Kesehatan di Propinsi Jawa Barat Tahun 1997 No. Jenis Sarana Kesehatan Jumlah (Buah) 1. Puskesmas 1.099 2. Puskesmas Pembantu 1.653 3. BP Swasta 1.414 4. RSUD/RSB 31 5. RSU Vertikal 1 6. RS Mata 1 7. RS Khusus 7 8. RS Swasta 61 9. RS ABRI 13 Sumber data : Profit Kesehatan Propinsi Jawa Barat tahun 1998 Jumlah sarana pelayanan kesehatan swasta dengan berbagai jenjang dari tahun ke tahun meningkat. Prosentase Balai Pengobatan Swasta sebesar 57% dari seluruh sarana pelayanan kesehatan dasar. Rumah Sakit Swasta sebesar 62,4% dari seluruh Rumah Sakit yang ada di Propinsi Jawa Barat. Secara umum potensi dari swasta ini belum secara optimal dan terkoordinir dilibatkan dalam kegiatan penanggulangan kebutaan di Propinsi Jawa Barat. D. Tenaga Kesehatan Jumlah dokter spesialis mata yang bekerja di Propinsi Jabar berjumlah 87 orang yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota. Hanya dua Rumah Sakit Umum Daerah yang belum memiliki dokter spesialis mata. E. Forum Koordinasi Penanggulangan Kebutaan Katarak Terpadu Propinsi Jawa Barat Forum koordinasi ini dibentuk untuk mengkoordinasikan seluruh kegiatan penanggulangan kebutaan katarak yang dilakukan oleh berbagai sarana pelayanan kesehatan yang berjalan sendiri-sendiri, sehingga tidak didapatkan data yang akurat di dalam pencapaian program yang ditargetkan.

Forum ini bertugas : Membantu Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dalam mengkoordinasikan dan melaksanakan penanggulangan kebutaan katarak terpadu di Jawa Barat Penyebarluasan informasi jumlah penderita katarak pada instansi terkait Koordinasi seluruh sumber daya dalam kegiatan operasi katarak Penyebarluasan jadwal operasi katarak. Susunan pengurus terdiri dari unsur PEMDA Propinsi Jawa Barat, Kanwil Departemen Kesehatan Propinsi, Dinas Kesehatan Propinsi, Rumah Sakit Mata Cicendo, BKMM, PERDAMI Cabang Jawa Barat. Output yang diharapkan : Agar pelaksana pemberi pelayanan kesehatan dapat terkoordinasi dengan baik Bila ada masalah pascaoperasi tidak menjadi beban pasien maupun sarana dimana operasi dilakukan Peningkatan mutu pelayanan Terciptanya : Koordinasi antara PPK, Ikatan profesi dan pihak ke-3 yaitu penyandang dana. Tertib administrasi, sehingga kerjasama antar instansi dapat berjalan dengan baik dan diketahuinya jumlah pasien katarak yang di operasi. III. Hasil Kegiatan Adapun hasil kegiatan Forum sebagai berikut : A. Koordinasi sumber daya 1. Sumber Daya Manusia Para spesialis mata dalam melakukan kegiatan dikoordinasi oleh Perdami Jawa Barat dengan mengacu pada konsep wilayah yaitu wilayah I, II, III, dan IV. 2. Sarana dan Prasarana : Pemilihan lokasi operasi disesuaikan dengan standar yang telah ditetapkan dalam SK Gubernur.

3. Pendanaan Sebelum adanya Forum, tidak diketahui sumber dan pendistribusian dana tersebut secara jelas. Setelah adanya Forum, sebagian besar dana diketahui dan didistribusikan untuk pelaksanaan operasi katarak dengan asas pemerataan. Dana operasi berasal dari CBM, Dharmais dan APBN melalui Kanwil Dep.Kes. Propinsi Jawa Barat. B. Operasi Katarak ini. Tahun 1998 dilaksanakan di Kabupaten/Kodya sesuai Tabel 3.1 di bawah Tabel 3.1 Lokasi dan Jumlah Operasi Katarak Propinsi Jawa Barat 1 Januari - 31 Desember 1998 No. Kabupaten/Kodya Jumlah 1. Karawang 886 2. Kodya Bandung 776 3. Sukabumi 380 4. Cirebon 246 5. Kuningan 99 6. Cianjur 89 7. Garut 55 8. Sumedang 27 9. Subang 22 10. Purwakarta 15 11. Lebak 7 Sumber data : - Laporan dari 11 Kabupaten / Kota - Laporan BKMM - Laporan PERDAMI Jawa Barat - Laporan Rumah Sakit Mata Cicendo. Total 2.801 Bila proyeksi penderita katarak tahun 1998 sebesar 260.167 orang dan penduduk miskin sebesar 17%, maka jumlah penduduk miskin penderita katarak sebesar 44.841 orang.

Tahun 1998 jumlah operasi sebesar 2.801, sehingga cakupan operasi sebesar 2,7% di luar yang dilakukan oleh PERDAMI Pusat/Dep.Kes. R.I. Cakupan operasi katarak masih jauh dari harapan. Namun demikian dengan adanya Forum ini setidak-tidaknya telah diketahui jumlah operasi se-propinsi Jawa Barat. Tahun 1999 : s/d Juli 1999 dilaksanakan operasi oleh BKMM dan PERDAMI Jawa Barat, Rumah Sakit Mata Cicendo dengan hasil sementara sebagai berikut. Tabel 3.2 Lokasi dan Jumlah Operasi Katarak di Propinsi Jawa Barat 1 Januari - 31 Juli 1999 No. Lokasi Kabupaten/Kodya Crash Program PERDAMI Kegiatan Rutin 1. Sukabumi 291-2. Karawang 230 30 3. Serang 300-4. Cirebon 205 111 5. Sumedang 106 14 6. Kuningan 175-7. Indramayu 100-8. Sumedang 87-9. Cianjur 14-10. Bandung - 29 11. Garut - 72 12. Bogor - 20 13. Dalam Gedung BKMM - 101 Subtotal 1.508 377 Total 1.885 Sumber data : - Laporan Crash program dari PERDAMI Jabar 1999 - Laporan triwulan DT II 1999 - Laporan BKMM 1999 - Pengecekan realisasi POA tahun 1999. Perlu diketahui bahwa pada bulan Februari sampai dengan Mei 1999 terdapat operasi katarak crash program PERDAMI Yayasan Dharmais dengan hasil 1508 operasi.

C. Pencatatan dan Pelaporan - Telah disusun format pelaporan bagi Kabupaten/Kota - Kabupaten / Kota yang melapor baru 50%. D. Mutu pelayanan operasi, khususnya pelaksanaan prosedur tetap, mulai diketahui F. Pada bulan November 1998 dilaksanakan supervisi operasi di 2 lokasi yaitu : Puskesmas Limbangan Kabupaten Garut dan Puskesmas Sukanegara Kabupaten Cianjur Dana berasal dari Pemda DT I Propinsi Jawa Barat. IV. Hambatan dan Masalah Dalam pelaksanaan program penanggulangan kebutaan katarak terpadu masih terdapat hambatan dan masalah sebagai berikut. 1. Base line data tidak diketahui antara lain karena a. Belum pernah dilakukan b. Propinsi Jawa Barat merupakan daerah sasaran dari Jawa Barat maupun dari Pusat, di mana sering kali antara Pusat dengan Propinsi Jawa Barat kurang komunikasi. 2. Sosialisasi SK Gubernur telah disebarluaskan ke seluruh Kabupaten / Kota, namun demikian belum semua Kabupaten / Kota melaksanakan SK Tersebut. Misalnya saja : a. Belum semua Kabupaten/Kota melakukan penjaringan jumlah penderita katarak setiap 3 bulan sekali dan melaporkan hasilnya ke Forum. b. Belum semua Kabupaten 1 Kota melaporkan hasil kegiatan operasi katarak. Hal-hal tersebut menyulitkan pemetaan penderita katarak di Propinsi Jawa Barat. 3. Penemuan penderita : sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan, Puskesmas diharapkan dapat berfungsi sebagai penggerak dalam penemuan

penderita. Namun demikian, pada kenyataannya seringkali Tim operasi katarak telah berada di lokasi, ternyata pasien minimal. Saat ini alokasi dana untuk kegiatan penemuan penderita tidak ada, padahal kegiatan ini merupakan faktor utama dalam keberhasilan program. 4. Dana operasi : sangat terganiung bantuan LSM hanya 13 % dana yang berasal dari bantuan pemerintah. 5. Program penanggulangan kebutaan katarak khususnya kebutaan katarak belum menjadi prioritas sehingga belum tersosialisasi dengan baik. 6. Lions club sebagai salah satu LSM yang telah mengadakan kerjasama dengan Pemda TK I Jawa Barat belum secara optimal terlihat keterlibatannya dalam pendanaan operasi katarak. V. Kebijakan Propinsi Jawa Barat dalam Rangka Penanggulangan Kebutaan Katarak "Vision 2020 the Right to Sight" Dalam pembahasan secara lintas sektor dan lintas program sebagai tindak lanjut pemecahan masalah yang ditemukan, disepakati bahwa Jawa Barat bertekad untuk mensukseskan program "vision 2020" dengan prioritas utama penduduk miskin, sehingga diharapkan tahun 2005 Jawa Barat bebas katarak penduduk miskin. Disepakati pula bahwa penanggulangan kebutaan katarak dilakukan secara komprehensif yaitu merupakan suatu mata rantai kegiatan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya sperti terlihat pada gambar di bawah ini.

A. KIE (Komunikasi, Informasi & Eduka si) B. Pelatihan bagi tenaga kesehatan dan masyarakat F. Evaluasi Kegiatan C. Penemuan Kasus dan Seleksi Kasus D. Operasi Katarak E. Pemantauan Pascaoperasi Gambar V.1 Mata Rantai Langkah-langkah Penanggulangan Kebutaan Katarak Adapun penjabaran kegiatan dalam mata rantai tersebut adalah sebagai berikut. A. Komunikasi Informasi dan Edukasi Tujuannya : 1. Diseminasi informasi kebutaan katarak kepada unsur-unsur lintas sektoral dan masyarakat. 2. Masyarakat mengetahui dan memahami kasus-kasus katarak, sehingga dapat melakukan penemuan kasus dan kemudian merujuk ke Puskesmas terdekat. 3. Pelaksanaan KIE melalui jalur struktural atau badan independen/lsm. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan : a. Diseminasi informasi melalui media cetak (koran) b. Diseminasi informasi melalui media elektronika (Radio dan TV)

c. Pembuatan poster d. Pertemuan lintas sektor dan lintas program. B. Pelatihan bagi Tenaga Kesehatan dan Masyarakat Dokter, perawat dan kader terlatih dalam menemukan kasus katarak. Khusus bagi dokter dan perawat : terlatih dalam penemuan, seleksi, dapat mempersiapkan kebutuhan sumber daya dalam pelaksanaan operasi katarak serta melakukan follow-up pascaoperasi. C. Penemuan dan Seleksi Kasus Tujuan 1. Ditemukan kasus-kasus katarak di masyarakat yang dapat dilakukan operasi baik dipelayanan kesehatan dasar maupun Rujukan. 2. Terbentuknya tim atau badan independen yang mengkoordinir penjaringan kasus. Kegiatan-kegiatannya : a. Penemuan kasus baik oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat/ badan independen b. Seleksi kasus oleh tenaga kesehatan. D. Operasi Katarak Kegiatannya dapat dilakukan baik di sarana pelayanan dasar maupun sarana pelayanan Rujukan. Bagi kegiatan yang dilaksanakan di sarana pelayanan dasar, ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi sebagai benkut 1. Khusus ditujukan untuk operasi katarak masal yaitu minimal untuk 20 operasi 2. Khusus bagi penderita tidak mampu 3. Usia penderita lebih dari 14 tahun dan kooperatif

4. Penderita dengan risiko tinggi misalnya : penyakit gula, anemia berat, hipertensi berat, Hepatitis/AIDS dan infeksi, atau keluhan mata lainnya tidak diikutsertakan dalam operasi masal. 5. Tempat operasi dan peralatan yang dibutuhkan memenuhi syarat. E. Pemantauan Pascaoperasi (Follow-up penderita) Follow-up penderita dilakukan 1. Pada hari pertama oleh operator dan dokter setempat 2. 1 minggu pascabedah oleh dokter setempat 3. 1 bulan pascabedah oleh dokter setempat. F. Evaluasi Kegiatan Tujuannya : 1. Tercatatnya hasil operasi katarak sehingga informasi bagi evaluasi kegiatan. 2. Dapat diketahui hasil kegiatan penanggulangan kebutaan katarak secara komprehensif. 3. Dapat diketahui hambatan dan masalah yang ditemukan dalam kegiatan penanggulangan kebutaan katarak sebagai bahan masukan bagi perencanaan kegiaian selanjutnya. 4. Rencana uji coba Lokasi : Kabupaten Ciamis Rencana tidak lanjut ini sebaiknya dilaksanakan diseluruh Propinsi Jawa Barat. Namun demikian perlu diuji coba terlebih dahulu di satu Kabupaten. Uji coba ini akan dilaksanakan di Kabupaten Ciamis karena di Kabupaten tersebut jumlah kasus banyak.

Situasi Kabupaten Ciamis adalah sebagai berikut : 1. Jumlah penduduk : 1.548.524 orang 2. Jumlah Desa/Kelurahan : 361 buah 3. Perkiraan kasus Katarak Miskin : 3.816 kasus 4. Jumlah Puskesmas : 56 buah 5. Jumlah Kecamatan : 32 buah VII. Penutup 1. Kebijaksanaan Pelayanan Kesehatan mata utamanya adalah untuk menurunkan angka kesakitan karena penyakit mata dan menurukan angka kebutaan karena katarak dengan harapan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. 2. Pelayanan kesehatan mata merupakan tanggung jawab Pemerintah, Swasta dan Masyarakat, dilaksanakan secara terpadu dengan mencakup upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. 3. Perlu upaya-upaya peningkatan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) yang berkaitan dengan penanggulangan kebutaan katarak terpadu. 4. Pemerataan pelayanan kesehatan mata yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Upaya pelayanan kesehatan mata diselenggarakan melalui Puskesmas dan upaya peran serta masyarakat beserta rujukannya. 5. Perlu pemantapan peran Pemda Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, masyarakat dan LSM terkait dalam penemuan kasus katarak, pendanaan operasi katarak. 6. Perlu pemantapan dan peningkatan kerjasama lintas sektor dan lintas program di setiap jenjang administrasi, sehingga didapatkan koordinasi dan kesamaan persepsi tentang penanggulangan kebutaan katarak terpadu. 7. Karena jumiah dokter spesialis mencukupi dan tersebar di seluruh daerah maka Jawa Barat mempunyai kebijakan tetap mendayagunakan

dokter spesialis secara optimal dalam operasi katarak, sedangkan dokter umum dititikberatkann pada penemuan kasus.