BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam tinjauan pustaka ini akan dipaparkan beberapa teori terkait dengan penelitian ini seperti definisi EMR, beberapa keuntungan dan barrier/hambatan dari penerapan EMR, beberapa faktor temuan dari penelitian sebelumnya yang mempengaruhi kepuasan pengguna EMR, sekilas mengenai penelitian serupa yang pernah dilakukan di negara lain seperti Oman dan Amerika Serikat, serta teori dari acceptance model yang dipakai dalam penelitian ini. Dari ulasan teori ini diharapkan adanya persamaan persepsi antara peneliti dengan pembaca mengenai obyek yang akan diteliti. 2.1 EMR (Electronic Medical Records) EMR (Electronic Medical Records) merupakan sistem informasi berbasiskan komputer yang mengintegrasikan informasi spesifik pasien dari berbagai sumber, serta memberikan fasilitas tracking information dari waktu ke waktu untuk keperluan analisa dan pelaporan, sedangkan menurut para peneliti EMR merupakan catatan rekam medis yang berasal dari beberapa sumber, terkait dengan perawatan pasien, diagnosa, uji laboratorium, riwayat penyakit, dan resep, yang dapat diakses dari beberapa tempat yang berbeda didalam suatu organisasi dengan memperhatikan keamanan serta privasi dan kerahasiaan pasien (Mohd & Mohamad, 2005). EMR yang pada dasarnya dikembangkan untuk mempercepat 5
proses pengambilan keputusan seorang dokter dalam pengambilan keputusan tindakan medis, tetapi juga memberikan kemudahan dan kenyamanan pasien, karena dengan sistem informasi yang terintegrasi dan identitas unik, pasien tidak perlu direpotkan dengan berbagai macam berkas (Klehr et.all., 2009). Berdasarkan Medical Record Institute (MRI), tingkatan sistem informasi perawatan kesehatan terbagi menjadi lima tahap. Tahapan yang pertama adalah automated medical records (AMR), merupakan sebuah rekaman atau catatan yang masih berbasiskan kertas namun dengan beberapa dokumen yang sudah dihasilkan oleh komputer. Tahap yang kedua adalah computerized medical records (CMR), CMR membuat dokumen-dokumen pada tingkatan AMR menjadi tersedia secara elektronik. Tingkat ketiga adalah electronic medical records (EMR) yang melakukan restrukturisasi dan optimasi dari dokumen-dokumen pada tingkatan sebelumnya dengan memastikan kemampuan interoperasi (interoperability) dari semua sistem dokumentasi. Tingkat keempat yakni electronic patient record (EPR) yakni rekaman atau catatan yang berorientasi pada pasien dengan informasi dari berbagai institusi. Dan yang terakhir adalah electronic health record (EHR), yang merupakan catatan informasi-informasi kesehatan umum yang tidak terkait secara langsung dengan penyakit. Informasi yang terdapat didalamnya adalah demografi pasien, catatan kemajuan, permasalahan kesehatan pasien, obat, riwayat medis masa lalu, imunisasi, data laboratorium, dan laporan radiologi. EHR mengotomatisasi alur kerja klinisi dan memiliki kemampuan untuk menghasilkan catatan lengkap klinis pasien, serta mendukung kegiatan lain yang terkait dengan perawatan baik langsung atau tidak langsung melalui antarmuka 6
termasuk pendukung keputusan, manajemen mutu, dan hasil pelaporan (Allan et al., 2000).. Stage 5. Electronic Health Record (EHR) Stage 4. Electronic Patient Record (EPR) Stage 3. Electronic Medical Record (EMR) Stage 2. Computerized Medical Record (CMR) Stage 1. Automated Medical Record (AMR) Gambar 2.1 Healthcare Information system Stages (Weagermann, 1999) in (Haslina & Sharifah, 2005) Dalam penerapannya dibeberapa negara, EMR banyak memberikan keuntungan tiga keuntungan utama dari penerapannya (Chaudry et all, 2006), yakni : 1. Meningkatkan kepatuhan pada pedoman kesehatan 2. Meningkatkan pengawasan dan pemantauan kesehatan pasien 3. Menekan terjadinya kesalahan tindakan medis Sedangkan dari segi efisiensinya, EMR sebagai suatu pusat data medis memberikan efisiensi waktu bagi para penggunanya untuk mendokumentasikan setiap tindakan medis dan penarikan informasi status kesehatan pasien (Poissant, Pereira, Tamblyn, and Kawasumi, 2005). Selain peningkatan efisiensi waktu, EMR juga memberikan peningkatan penyimpanan data pasien, sehingga data lebih terjaga dan integritasnya semakin tinggi (Kochevar et.al., 2011). 7
Sedangkan berdasarkan stakeholdernya, EMR memberikan beberapa keuntungan yang berbeda (Mohd & Mohamad, 2005). Keuntungan yang didapatkan diantara penyelenggara pelayanan kesehatan atau pihak rumah sakit, administrator, dokter, pembuat kebijakan dan para peneliti berbeda-beda. Bagi penyelenggara pelayanan kesehatan, keuntungan yang didapatkan yaitu secara keseluruhan misalnya memudahkan akses data dari beberapa lokasi dan unit pelayanan kesehatan yang berbeda didalam satu organisasi atau perusahaan. Dengan meningkatnya efisiensi waktu, peningkatan produktifitas dan kualitas pelayanan akan semakin meningkat. Penerapan sistem EMR juga akan memberikan suatu pengetahuan mengenai best practice pelayanan kesehatan kepada para penggunanya. Dari sisi administrator EMR memberikan kemudahan dalam proses pekerjaan administrasi seperti pelaporan, proses billing, mengorganisir informasi medis, serta meningkatkan kecepatan proses proses pelayanan administrasi pasien. Bagi dokter yang merupakan pengguna sistem EMR, keuntungan yang diberikan berupa dukungan pengambilan keputusan (decision support system). EMR memberikan informasi detil dari pasien mulai dari histori medis dan keluarga, hasil tes laboratorium, radiologi. Kecepatan dan kemudahan dalam pengaksesan data membantu kinerja dokter dalam mendapatkan informasi medis terbaru dan melakukan review medis. Selain itu sistem alert/reminder yang terdapat pada EMR juga membantu dokter dalam melakukan pekerjaannya serta meningkatkan perhatian terhadap proses pelayanan kesehatan pasien. Disisi pembuat kebijakan dan peneliti, secara garis besar EMR memberikan kontribusi pengetahuan yang bisa di kembangkan untuk perencanaan jangka panjang industri pelayanan kesehatan. 8
Selain keuntungan yang ditawarkan dari penerapan EMR, tidak membuat EMR dapat dengan mudah untuk segera di implementasikan pada beberapa instansi kesehatan seperti rumah sakit. Setidaknya ada delapan faktor yang menjadi penghalang bagi rumah sakit untuk beralih menggunakan sistem EMR (Boonstra & Broekhuis, 2010) adalah : 1. Faktor Finansial, penerapan EMR membutuhkan investasi dana yang besar, tidak hanya itu biaya operasional yang tinggi dan ketidakjelasan pencapaian ROI menjadi pertimbangan tersendiri untuk menerapkan EMR. 2. Faktor Teknis, beberapa alasan teknis yang menjadi penghalang adalah : Secara umum, kemampuan penggunaan komputer dari dokter dan staff masih rendah Belum adanya pelatihan khusus bagi calon pengguna EMR Adanya kesan yang mengatakan bahwa EMR merupakan sesuatu yang sulit dan komplex Adanya keterbatasan EMR dalam menunjang kebutuhan dokter yang sesungguhnya Sulit dilakukan custom jika ada hal-hal baru yang harus segera diterapkan didalam EMR Keandaran EMR masih diragukan oleh para dokter Permasalahan hardware yang kurang mendukung EMR tersebut 3. Faktor Waktu Banyak waktu yang dibutuhkan mulai dari proses pemilihan, pembelian sampai ke implementasi 9
Diperlukan banyak waktu untuk memahami sistem EMR agar sesuai dengan tujuan utamanya Pencatatan status pasien dengan EMR dianggap memakan waktu dibandingkan secara manual dengan kertas Dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan konversi data dari paper based ke elektonic based yang siap digunakan 4. Faktor Psikologis, masih rendahnya tingkat kepercayaan para dokter terhadap EMR 5. Faktor Sosial, Sebagian dokter berpendapat bahwa EMR menyebabkan penurunan hubungan psikologis antara dokter dan pasien, karena dokter menjadi terpaku pada komputer. Rendahnya dukungan dari perawat dan staff lainnya, dikarenakan kemampuan dan pemahaman komputer umumnya dan EMR khususnya masih sangat minim. 6. Faktor legal, EMR rentan terhadap jaminan keamanan dan kerahasiaan data pasien. Karena dengan EMR transfer data dan informasi menjadi sangat cepat dan mudah, karena semua department pelayanan kesehatan terintegrasi. 7. Faktor Organisasi 8. Faktor Proses menuju perubahan Rendahnya dukungan dari organisasi secara keseluruhan, khususnya yang berkaitan langsung dengan budaya organisasi 10
Masih rendahnya penghargaan untuk dokter yang sudah berperan aktif dalam implementasi EMR Masih rendahnya partisipasi dari dokter senior yang sudah merasa nyaman dengan prosedur pelayanan kesehatan yang lama (manual) Rendahnya dukungan dari pimpinan untuk memberikan pengaruh akan pentingnya manfaat dari EMR. Pada penelitian sebelumnya (Miller and Sim, 2004) juga diindentifikasi beberapa barrier yang mempengaruhi pada dokter untuk menggunakan EMR antara lain tingginya biaya, keuntungan finansial yang tidak menentu, tingginya waktu yang dibutuhkan pada tahap inisialisasi. 2.2 Penelitian Sebelumnya Pada penelitian sebelumnya EMR banyak diteliti untuk melihat penerimaan (aceptance) dan kepuasan penggunaan terhadap EMR (satisfaction). Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Mohammed Al Farsi, Daniel J dan West yaitu pengukuran kepuasan dokter terhadap penerapan EMR di Oman. Penelitian tersebut dilakukan pada salah satu rumah sakit di Oman yang sudah menerapkan EMR dengan jumlah karyawan sebanyak 550, dengan jumlah dokter sebanyak 85 orang dan 70 dokter diantaranya dijadikan sebagai subyek sampel dengan alasan dokter sudah menggunakan sistem EMR dalam beberapa periode. Analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan analisa persentase untuk mengukur tingkat kepuasannya. 11
Gambar 2.2 Hasil penelitian Mohammed Al Farsi et al. (2005) Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa pengguna merasa puas dengan EMR dan yakin bahwa penerapan sistem tersebut dapat meningkatkan kualitas perawatan pasien. Sama dengan halnya Oman, penelitian di Amerika Serikat juga memberikan kesimpulan bahwa penerimaan sistem EMR mencapai tujuh puluh lima persen (75%) dari user sample yang dipilih, dan lebih dari lima puluh persen (50%) non-user menyatakan tanggapan yang positif setelah diberikan pengalaman menggunakan EMR (Kochevar et.al., 2011). Penelitian yang kedua yaitu pengembangan acceptance model untuk EMR yang dilakukan oleh haslina mohd dan sharifah mastura syed mohammad pada tahun 2005. Pengembangan acceptance model yang dilakukan yaitu berdasarkan pada dua determinan TAM (Technology Acceptance Model) yaitu ease of use dan usefulness untuk memprediksikan penerimaan sistem, hal lain yang dianggap berpengaruh pada pengembangannya adalah faktor tatap muka (user interface) yang meliputi tampilan layar, terminologi, kemudahan pembelajaran (learning), dan kemampuan sistem (system capabilities). Faktor berikutnya adalah user 12
behavioral, kualitas informasi (accuracy, completeness, curent, sufficient, undestandable, security, standardized, timely, and format of layout). Interface Information Quality Acceptance of EMR Percieved of Usefulness Percieved Ease of Use User Behavioral Gambar 2.3 Model Penerimaan EMR, Haslina & Syarifah (2005) Selain pengambangan model dengan TAM, model yang lebih komprehensif juga dikembangkan untuk membantu memahami faktor-faktor baik yang menjadi pendorong ataupun penghalang dalam pengadopsian dan penggunaan teknologi. Dengan menggunakan model UTAUT (Theory of Acceptance and Use of Technology), Hennington dan Janz (2007) membuat model UTAUT terkait dengan pengadopsian EMR. 13
Gambar 2.4 EMR Adoption Issues Fit into the UTAUT Model, Hennington and Janz (2007) 2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi EMR Dalam penelitian sebelumnya ditemukan beberapa faktor yang mempengaruhi penerimaan dan kepuasan pengguna terhadap EMR. Yang pertama adalah kemampuan pengguna sistem dalam menggunakan komputer, hal ini menjadi salah satu hambatan atau pertimbangan juga beberapa rumah sakit untuk menerapkan EMR (Sultan Alanazy, 2006). Dalam penelitian sebelumnya juga disimpulkan bahwa rendahnya tingkat penggunaan sistem EMR disebabkan oleh kurangnya ketersediaan komputer dan kemampuan pengguna dalam menggunakan komputer (Laerum et al., 2003). Faktor lain kedua menyebutkan bahwa desain tampilan antarmuka dan kualitas informasi juga mempengaruhi tingkat penerimaan dari sistem informasi, didalam penelitian sebelumnya pengukuran 14
kepuasan interaksi pengguna dengan EMR sangat dipengaruhi desain layar dan layout (Sitting et al., 2000). Faktor ketiga adalah infrastruktur jaringan yang merupakan sumber daya dasar dari semua sistem informasi (O brien, 2006:39), ketergantungan penggunaan sistem terhadap jaringan menjadikan jaringan sebagai isu yang sering dibahas ketika suatu perusahaan ingin mengimplementasikan teknologi baru (Corrocher & Fontana, 2007). Memahami efek dinamika jaringan menjadi sangat penting dalam fase pengenalan teknologi dan pengembangan strategi (Ayers et al., 2009). Faktor keempat yakni budaya atau culture (Seeman & Gibson, 2009), budaya dapat meningkatkan niat konsumen untuk menggunakan teknologi (Bandyopadhyay, 2007), EMR yang merupakan suatu bentuk organizational change yang mengubah sistem pelayanan konvensional ke dalam bentuk pelayanan elektronik tidak hanya membutuhkan pembelajaran (learning) didalam proses perubahannya tetapi ada budaya organisasi yang mempengaruhi individu atau kelompok kerja untuk lebih memahami perubahan organisasi dan meningkatkan proses pembelajaran (Lucas and Kline, 2008). 2.4 Unified Theory of Acceptance and Use of Technology (UTAUT) Keberhasilan suatu sistem sangat tergantung sekali kepada penerimaan dan penggunaan oleh individu-individu, dari pengukuran penerimaan dan penggunaan inilah dapat diukur kepuasan dari penggunaan sistem dan dampak langsungnya terhadap peningkatan produktifitas suatu organisasi. Pengukuran kepuasan pengguna diakui sebagai metrik kunci dari keberhasilan suatu sistem informasi 15
(DeLone and McLean, 1992), dan memberikan implikasi penting bagi perusahaan (Brown et al., 2008). Salah satu model yang dikembangkan untuk mengukur tingkat penerimaan sistem informasi adalah technology acceptance model (TAM). Dikatakan bahwa penerimaan sistem informasi dapat dilihat dari persepsi kemudahan penggunaan (percieved Ease of use) dan persepsi kegunaan (percieved of usefulness) dari sistem informasi dalam mendukung pekerjaan (Davis, 1989). Namun seiring berjalannya waktu banyak sekali kritikan terhadap TAM karena dikatakan Tam kurang mempunyai kekuatan untuk memprediksi user acceptance (Lee, Kozar, & Larsen, 2003). Dari situ venkatesh dan davis megembangkan TAM dan menghasilkan suatu model baru yaitu TAM2 (Venkatesh et all., 2003). Namun dengan banyaknya variasi dari TAM dan cukup membuat bingung para peneliti lain untuk memilih model yang cocok dengan sistem yang mau dikembangkan, atas dasar ini kemudian venkatesh mengevaluasi delapan model user acceptance terkemuka dan berhasil mengintegrasikannya kedalam model yang baru yaitu Unified Theory of Acceptance and Use of Technology (UTAUT) Model (Venkatesh et all., 2003). UTAUT menunjukan bahwa niat untuk berperilaku (behavioral intention) dan perilaku untuk menggunakan suatu teknologi (use behavior) dipengaruhi oleh ekspektansi kenerja (performance expectancy), ekspektansi usaha (effort expectancy), pengaruh sosial (social influence), dan kondisi yang membantu (facilitating condition) yang dimoderatori oleh jenis kelamin (gender), usia (age), pengalaman (experince), dan kesukarelaan (voluntaries). 16
Konsepsi UTAUT Akar Konsepsi Sumber Model Performance Expectancy Effort Expectancy Social Influence Facilitating Conditions Percieved Usefulness Extrinsic Motivation Job-fit Relative Advantage outcome Expectations Percieved ease of use Complexity Ease of Use Subjective Norm Social Factors Image Percieved Behavioral Control Facilitating Conditions Compatibility TAM MM MPCU IDT SCT TAM MPCU IDT TRA, TPB, C- TAM-TPB MPCU IDT TPB, C-TAM- TPB MPCU IDT Table 2.1 UTAUT Model (Venkatesh et all., 2003) 17
Performance Expectancy Effort Expectancy Social Influence Behavioral Intentions Use Behavior Facilitating Conditions Gender Age Experience Voluntariness of Use Gambar 2.5 The Unified Theory of Acceptance and Use of Technology Performance Expectancy(PE) didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan seorang individu pada sejauh mana penggunaan sistem akan menolong ia untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan kinerja di pekerjaannya. Performance expectancy dibentuk dari beberapa konstruksi yaitu perceived usefulness yang didapatkan dari model TAM yang dipahami sebagai suatu tingkat kepercayaan seseorang bahwa dengan menggunakan sistem dapat meningkatkan performa kerja mereka (Venkatesh et al., p.448). Extrinsic motivation yang berasal dari Motivasional model (Davis et al., 1993), yang dipahami sebagai suatu persepsi dimana pengguna mau menggunakan sistem karena dirasakan adanya pencapaian value seperti performa kinerja, upah atau bayaran, dan promosi (Venkatesh et al., p.448). Job fit yang diadopsi dari model of PC utilization (Thompson et al., 1991) yang didefiniskan sebagai seberapa besar kemampuan sistem dalam 18
meningkatkan performa kinerja individual (Venkatesh et al., p.448). Relative advantage yang diadopsi dari innovation diffusion theory (IDT) (Moore and Benbasat, 1991;Rodgers, 2003) yang didefinisikan sebagai derajat dimana inovasi dirasakan lebih baik daripada pendahulunya (Venkatesh et al., p.448), dan yang terakhir adalah Outcome expectation yang diadopsi dari social cogniitive theory (Compeau and Higgins 1995; Compeau et al. 1999) Effort Expectancy(EE) merupakan tingkat kemudahan terkait dengan penggunaan sistem. Persepsi kemudahan dilihat dari beberapa segi diantaranya kejelasan (clarity), mudah dipahami (understandability), fleksibilitas (flexibility), dan kemudahan penggunaan (ease of use). Pengukuran tingkat kemudahan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis kelamin (gender), umur (age), dan pengalaman (experience ) (vankatesh, 2003). Dibangun dari beberapa konstruksi diantaranya yaitu perceived ease of use (TAM) (davis, 1989;davis et al., 1989) yang dipahami sebagai derajat dimana seseorang percaya bahwa menggunakan sistem yang baru akan bebas dari usaha (effort) (Venkatesh et al., p. 451). Complexcity (MPCU) (Thompson et al., 1991) sejauh mana suatu inovasi dianggap sulit untuk dipahami dan digunakan (Venkatesh et al., p. 451). Ease of use (IDT) (Moore & Benbasat, 1991), sampai sejauh mana inovasi dianggap sulit untuk digunakan (Venkatesh et al., p. 451). Social Influence(SI) dipahami sebagai pendorong yang dirasakan oleh pengguna untuk menggunakan sistem yang baru. Dorongan yang diberikan menghasilkan persepsi bahwa akan menjadi sangat penting bagi pengguna untuk menggunakan sistem dalam mempermudah tugas dan pekerjaan. 19
Facilitating Condition(FC) merupakan tingkat kepercayaan seorang individu terhadap ketersediaan infrastruktur teknik dan organisasional untuk mendukung penggunaan sistem (I Gusti Nyoman & Wisnu, 2010) 20