BAB I PENDAHULUAN. wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. S.H. dalam bukunya Mardiasmo (2011):

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kini, kita tidak bisa bebas dari yang namanya pajak. Bahkan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. daerah menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yaitu PAD. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD, adalah

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pusat dan pembangunan (Siahaan, 2010:9). Sedangkan pajak

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan pada tingkat nasional, regional, maupun lokal.

BAB II PENERIMAAN DAERAH DAN PENGALIHAN PBB-P2

BAB I PENDAHULUAN. mencanangkan suatu gerakan pembangunan yang dikenal dengan istilah

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. pada sensus penduduk yang dilakukan pada 1 Mei 15 Juni 2010 tercatat paling

Landasan Filosofi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 BUKU SAKU PERPAJAKAN BAGI UMKM

BAB I PENDAHULUAN. semua itu kita pahami sebagai komitmen kebijakan Pemerintah Daerah kepada. efisien dengan memanfaatkan sumber anggaran yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang sebagai

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Undang Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

BAB III ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. 1. Ekstensifikasi Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

BAB I PENDAHULUAN. wilayah sebesar km². Dari total luas keseluruhan tersebut, sebesar

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah pajak yang dikenakan terhadap objek pajak berupa bumi dan/atau

Elisabeth Tilana Mutiara Putri Erly Suandy

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 28 Tahun 2009 mulai 1 Januari 2010 Pajak Bumi dan Bangunan

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. berupa hasil kekayaan alam maupun iuran dari masyarakat. Salah satu bentuk. pembangunan dan pengeluaran pemerintahan.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PAJAK DAERAH

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 45 TAHUN 2013 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan

BAB 4 PEMBAHASAN. Dengan melihat komitmen nasional yang selalu mengupayakan penerimaan dari sektor

I. PENDAHULUAN. Penerimaan Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pajak Bumi Bangunan

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan atau mengadakan perubahan perubahan kearah keadaan yang lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. negara yang terutang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

BAB III ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. 1. Analisis Efektivitas Pajak Bumi dan Bangunan Kabupaten Boyolali

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tempat pusat pemerintahan. Dahulunya pemerintahan pusat harus mengurusi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM)

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar pembangunan tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar.

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai penyempurnaan Undang-undang Nomor 22

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 148 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan tahun 2012 terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 1.1 Perkembangan Penerimaan Pajak (triliun rupiah)

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini begitu banyak pembangunan di wilayah perkotaan atau di

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

Perpajakan Elearning # 11

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat mengartikan pajak sebagai pungutan yang dilakukan pemerintah secara

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

WALIKOTA MATARAM PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR: 30 TAHUN TENTANG TATA CARA PENDATAAN OBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pajak menurut beberapa ahli antara lain :

MENGENAL SEKILAS TENTANG KEBIJAKAN PEDAERAHAN PAJAK PUSAT

BAB I PENDAHULUAN. daerah dalam keuangan daerah menjadi salah satu tolak ukur penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Rochmat Soemitro (dalam Waluyo, 2010) pajak adalah iuran kepada kas

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia termasuk negara berkembang yang memiliki Penghasilan dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul

TENTANG PENDAFTARAN, PENDATAAN DAN PENILAIAN OBJEK DAN SUBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERKOTAAN WALIKOTA SURABAYA,

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak sedikit. Dana tersebut dapat diperoleh dari APBN. APBN dihimpun dari semua

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PRAKTIK KERJA LAPANGAN MANDIRI. Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa dalam

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

BUPATI INDRAGIRI HULU PERATURAN BUPATI INDRAGIRI HULU NOMOR : 74 TAHUN 2012

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia termasuk negara yang berkembang yang memiliki pendapatan

Kini PBB Menjadi Pajak Daerah!

BAB I PENDAHULUAN. tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa otonomi

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

OLEH: Yulazri M.Ak. CPA

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu bagian dari pendapatan yang diterima oleh negara. Di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 38 TAHUN 2013 TENTANG KLASIFIKASI NILAI JUAL OBJEK PAJAK BUPATI MALANG,

BAB II TINJAUAN PUSATAKA. Menurut Moekijat (1989:194), ciri-ciri prosedur meliputi : tidak berdasarkan dugaan-dugaan atau keinginan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

BAB 4 ANALISIS EFEKTIFITAS PEMUNGUTAN PBB DAN TINJAUAN PERANAN PBB SEBAGAI PAJAK DAERAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PENDAPATAN ASLI DAERAH, PAJAK DAERAH DAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DI KABUPATEN SIDOARJO

PERATURAN BUPATI REJANG LEBONG NOMOR 10 TAHUN 2012 T E N T A N G

Pasal 26 UU No.6/1983 s.t.d.t.d. UU No. 16/2009. Pasal 36 ayat (1) huruf a, UU No.6/1983 s.t.d.t.d. UU No. 16/2009.

DEFINISI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

WALIKOTA DEPOK PERATURAN WALIKOTA DEPOK NOMOR 46 TAHUN 2013

BAHAN MATERI MATA PELAJARAN EKONOMI DAN BISNIS KOMPETENSI DASAR KETENTUAN PERPAJAKAN KELAS XI AP TAHUN PELAJARAN 2014/2015

BUPATI KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 12 TAHUN 2014 TENTANG

TENTANG BENTUK DAN ISI FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERUTANG DAN SURAT SETORAN PAJAK DAERAH PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERKOTAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan keleluasaan pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang- Undang (dapat dipaksakan)

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan pada tingkat nasional, regional, maupun lokal. Pajak Bumi dan

BAB II LANDASAN TEORI. satu sama lain pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu merumuskan

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Pelaksanaan praktek kerja lapangan mandiri ( PKLM ) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. penyelenggaraan pemerintah daerah. Berlakunya Undang-Undang Nomor 32

PERATURAN BUPATI PURWAKARTA NOMOR 51 TAHUN 2013

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia termasuk negara berkembang yang memiliki penerimaan dari berbagai sumber. Salah satu sumber penerimaan negara yang terbesar yaitu dari penerimaan pajak. Penerimaan Pajak menyumbang hampir 80% dari total penerimaan negara. Penerimaan tersebut digunakan untuk membiayai berbagai kepentingan umum, yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kesehatan rakyat, pendidikan, kesejahteraan, dan sebagainya. Pajak adalah kewajiban yang harus dibayar oleh masyarakat baik secara pribadi maupun badan dari pendapatan atau penghasilan masyarakat kepada pemerintah yang ditujukan untuk melakukan kegiatan pembangunan negara di segala bidang (Suandy, 2011). Pembagian pajak berdasarkan wewenang pemungut ada dua, yaitu pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat dan pajak daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah yang berbeda. Pajak pusat wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak dan pajak daerah wewenang pemungutannya ada pada pemerintah daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Berbagai jenis pajak dan retribusi adalah antara lain pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, pajak restoran, pajak hotel, pajak kendaraan bermotor, pajak hiburan, pajak bumi dan bangunan, dan lain-lain. 1

2 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang nomor 12 Tahun 1994. PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. Pada tahun 2009 pemerintah pusat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yg mengatur tentang pengalihan PBB Pedesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disebut PBB-P2 dan BPHTB oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang berlaku di seluruh daerah di Indonesia. Alasan kenapa PBB-P2 dilimpahkan kepada pemerintah daerah adalah karena pemerintah pusat yang dalam hal ini wewenang pemungutannya ada pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di masing-masing kota tidak bisa menjangkau potensi penerimaan dan juga menagih tunggakan pajak bumi dan bangunan yang ada didaerah perkotaan dan pedesaan. Hal ini dikarenakan KPP tidak memiliki aparat. Sebaliknya, pemerintah daerah memiliki aparat seperti camat, lurah, RT RW, dan lainnya untuk dapat membantu proses pemungutan PBB. PBB sebenarnya terdiri dari 5 sektor, yaitu Perdesaan, Perkotaan, Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan. PBB yang dialihkan menjadi Pajak Kabupaten/Kota hanya PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan (P2), sementara PBB sektor Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan (P3) masih tetap menjadi Pajak

3 Pusat. Hal ini dikarenakan objek PBB-P2 yang tersebar sangat luas ke pelosok daerah yang menyebabkan pemerintah pusat kesulitan untuk menjangkau potensi PBB. Sedangkan sektor PBB lain merupakan sektor PBB yang memiliki potensi besar tetapi objek yang ada hanya sedikit sehingga pemerintah pusat masih dapat menjangkau potensi PBB tersebut. Pengalihan PBB-P2 ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam memenuhi kebutuhan pengeluarannya dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, dan juga untuk lebih mengefektifkan pengelolaan PBB-P2. Pemerintah Daerah tentunya lebih memahami karakteristik daerahnya dan mengetahui apa yang terbaik yang akan dilakukan bagi masyarakat setempat. Sehingga dengan dialihkannya PBB-P2 menjadi pajak daerah diharapkan pelayanan kepada Wajib Pajak akan menjadi lebih baik, efektif, efisien dan akuntabel. Sebelum dikeluarkan UU PDRD ini, hasil penerimaan PBB-P2 ini dibagikan kepada Pemerintah Pusat sebesar 10% dan Pemerintah Daerah sebesar 90%. Namun setelah dikeluarkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, hasil penerimaan PBB-P2 100% menjadi milik daerah tersebut. Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pengalihan pengelolaan BPHTB dilaksanakan mulai 1 Januari 2011 dan pengalihan pengelolaan PBB-P2 ke seluruh pemerintahan kabupaten/kota dimulai paling lambat 1 Januari 2014. Pada tahun 2012, ada 17 kabupaten/kota yang telah mendapatkan pengalihan atas pengelolaan PBB-P2.

4 Salah satu kota yang telah menyatakan kesiapannya dalam mengelola PBB-P2 adalah Kota Yogyakarta. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengenai pengalihan PBB-P2 ini, maka pemerintah Kota Yogyakarta dapat mengelola sendiri penerimaan pajak bumi dan bangunan yang diperoleh secara langsung dari masyarakat Kota Yogyakarta. Berikut tabel 1.1 yang menunjukkan target dan realisasi pajak bumi dan bangunan Kota Yogyakarta tahun 2008 sampai dengan tahun 2013 (dalam rupiah). Tabel 1.1 Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Kota Yogyakarta Tahun 2008-2013 (dalam rupiah) Tahun Potensi Ketetapan Realisasi 2008 31.486.417.000 22.540.000.000 30.449.247.480 2009 35.980.000.000 25.545.000.000 29.909.059.690 2010 38.000.000.000 26.600.000.000 31.849.156.000 2011 42.600.000.000 29.680.000.000 38.145.706.550 2012 45.000.000.000 32.000.000.000 44.116.129.340 2013 48.900.000.000 39.000.000.000 44.358.025.930 Sumber : Dinas Pajak Daerah dan Pengelola Keuangan Kota Yogyakarta,2013 (diolah)

5 Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa potensi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Kota Yogyakarta cukup besar. Selain itu juga, penerimaan PBB Kota Yogyakarta, hampir selalu meningkat. Dalam penentuan ketetapan target realisasi penerimaan PBB, pemerintah Kota Yogyakarta dalam hal ini Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan yang ditugaskan untuk menentukan besarnya ketetapan target penerimaan PBB. Penentuan ketetapan penerimaan PBB diputuskan dengan cara melakukan estimasi minimal 70% dari potensi PBB yang ada. Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa ketetapan penerimaan PBB selalu meningkat tiap tahunnya. Hal ini salah satunya dikarenakan bertambahnya jumlah Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang mengindikasikan bertambahnya jumlah objek pajak bumi dan bangunan. Kota Yogyakarta merupakan daerah yang setiap tahunnya mengalami peningkatan jumlah pendatang dari pulau jawa maupun luar pulau jawa. Selain sebagai tempat tujuan wisata para pendatang, sebagian besar pendatang merupakan mahasiswa yang mengambil studi di kota Yogyakarta. Dengan banyaknya pendatang yang selalu meningkat setiap tahunnya, didirikannya banyak hotel atau tempat penginapan untuk para wisatawan, kos-kosan untuk para pelajar, dan juga menjamurnya tempat-tempat makan dan tempat hiburan. Hal ini memicu banyaknya terjadi transaksi jual beli tanah yang akan digunakan untuk membangun fasilitas-fasilitas tersebut. Tidak hanya penduduk asli kota Yogyakarta, penduduk dari luar kota Yogyakarta juga banyak yang melakukan transaksi jual beli tanah yang akan digunakan untuk investasi pribadi maupun investasi komersial seperti membangun kos-kosan atau rumah kontrakan, tidak

6 sedikit pula investor yang tertarik untuk membangun fasilitas penunjang lainnya yaitu pusat perbelanjaan, hotel, dan tempat-tempat hiburan lainnya karena investasi seperti ini cukup menjanjikan mengingat banyaknya para wisatawan atau pelajar yang datang ke kota Yogyakarta. Hal ini membuat jumlah wajib pajak ikut meningkat setiap tahunnya. Banyak wajib pajak bumi dan bangunan di Kota Yogyakarta yang memiliki lebih dari satu objek pajak. Objek pajak (bumi dan/atau bangunan) merupakan komponen yang ada dalam SPPT. Nilai objek pajak bumi dan bangunan ini yang menjadi dasar perhitungan pajak terutang yang ada dalam SPPT. Wajib pajak bumi dan bangunan harus membayar pajak bumi dan bangunannya sesuai dengan jumlah besaran pajak yang tertera pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Wajib pajak yang memiliki lebih dari satu objek pajak berarti wajib pajak tersebut juga memiliki lebih dari satu SPPT sesuai dengan jumlah objek yang dimiliki. Hal ini membuat pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak tersebut menjadi bertambah. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa semakin meningkatnya jumlah SPPT, maka jumlah pajak bumi dan bangunan yang terutang akan meningkat. Apabila jumlah pajak terutang semakin meningkat maka seharusnya penerimaan PBB juga akan ikut meningkat. Dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Pemerintah menetapkan NJOP atas tanah ataupun bangunan dengan cara menetapkan harga rata-rata tanah atas transaksi jual beli yang terjadi di lingkungan masyarakat. Harga tanah yang ditentukan oleh masyarakat biasanya lebih tinggi dari harga tanah sesuai oleh NJOP yang ditentukan oleh pemerintah.

7 Masyarakat tidak jarang menjual tanahnya jauh lebih tinggi dari NJOP yang sudah ditetapkan pemerintah dan juga nilai pasar yang wajar. Hal ini membuat pemerintah harus terus melakukan penyesuaian NJOP terhadap harga tanah yang ada dimasyarakat. Harga tanah yang jauh di atas NJOP dan nilai pasar yang wajar ini dikarenakan perkembangan daerah yang didominasi hotel, perkantoran, pertokoan serta tempat hiburan seperti mall dan pusat perbelanjaan lainnya. Semakin pesat perkembangannya maka akan semakin mahal nilai pasar tanah tersebut dan akan semakin jauh dari NJOP yang sudah ditetapkan. Munculnya tunggakan pajak dikarenakan wajib pajak tidak membayarkan kewajiban perpajakannya, namun dalam Pajak Bumi dan Bangunan tunggakan pajak tidak mengurangi Penerimaan PBB, sebaliknya tunggakan pajak ini dapat menambah Penerimaan PBB. Hal ini disebabkan karena tidak ada pemisahan antara tunggakan pajak dengan penerimaan PBB itu sendiri. Sedangkan, pada tunggakan pajak juga tidak ada pemisahan antara penerimaan tunggakan pajak tahun berjalan dengan penerimaan tunggakan pajak tahun-tahun sebelumnya. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Sasana (2005) yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan PBB di Kabupaten Banyumas menunjukkan bahwa variabel-varabel PDRB per kapita, jumlah wajib pajak, inflasi, jumlah luas lahan, dan jumlah bangunan berpengaruh positif terhadap penerimaan PBB. Variabel jumlah bangunan merupakan variabel yang paling dominan. Penelitian lain juga dilakukan oleh Damanik (2009) di Medan yang meneliti tentang pengaruh kenaikan NJOP terhadap penerimaan PBB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi NJOP, maka semakin besar Pajak

8 Bumi dan Bangunan yang terutang. Dengan demikian, penerimaan PBB juga akan ikut meningkat. Selain itu, penelitian lain yang dilakukan oleh Septiany (2011) di Sleman mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan PBB menunjukkan variabel-variabel jumlah objek pajak, jumlah STTS, pengurangan dan tunggakan pajak berpengaruh secara simultan terhadap penerimaan PBB, namun secara individu hanya variabel tunggakan berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PBB, untuk variabel jumlah obyek pajak, luas tanah, luas bangunan, jumlah STTS, dan pengurangan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan PBB. Untuk variabel jumlah obyek pajak mempunyai pengaruh positif terhadap penerimaan PBB, sedangkan untuk variabel luas tanah, luas bangunan, jumlah STTS, pengurangan dan tunggakan mempunyai pengaruh negatif terhadap penerimaan PBB. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin menguji pengaruh jumlah Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, NJOP, dan tunggakan pajak terhadap penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu terletak pada objek yang berbeda dan pada waktu yang berbeda. Penelitian ini dilakukan di Pemerintah Kota Yogyakarta tahun 2008 hingga tahun 2013. Maka judul penelitian ini adalah Pengaruh Jumlah Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, NJOP, dan Tunggakan Pajak terhadap Penerimaan PBB di Kota Yogyakarta.

9 1.2. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Apakah jumlah SPPT berpengaruh positif terhadap penerimaan PBB? 2. Apakah NJOP berpengaruh positif terhadap penerimaan PBB? 3. Apakah tunggakan pajak berpengaruh positif terhadap penerimaan PBB? 4. Apakah jumlah SPPT pajak bumi dan bangunan, NJOP dan tunggakan pajak berpengaruh positif terhadap penerimaan PBB? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk menguji kembali apakah terdapat pengaruh antara variabel-variabel independen (jumlah SPPT, NJOP dan tunggakan pajak) terhadap variabel dependen (penerimaan PBB) dengan objek penelitian dan rentang waktu yang berbeda dengan penelitian sebelumnya. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Kontribusi akademis : untuk memberikan gambaran mengenai faktorfaktor yang mempengaruhi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan 2. Kontribusi regulasi : diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada pemerintah Kota Yogyakarta dalam upaya penyempurnaan atau perbaikan kebijakan-kebijakan guna meningkatkan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan.

10 1.5. Sistematika Penulisan Bab I PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang penelitian, motivasi penelitian, rumusan masalah, mengungkapkan tujuan, dan manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II LANDASAN TOERI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Bab ini memuat teori-teori untuk mendukung variabel penelitian yang digunakan dan pengembangan hipotesis. Bab III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini berisi metode penelitian meliputi objek penelitian, populasi penelitian, sampel penelitian, teknik pengumpulan data, definisi variabel, operasionalisasi variabel, model penelitian, uji asumsi klasik dan teknik analisis data. Bab IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi tentang hasil penelitian dan analisis data yang diperoleh serta pembahasan. Bab V PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan dan keterbatasan penelitian.