BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA PERDATA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III SUMBER HUKUM

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB III KEDUDUKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 7 TAHUN 2014 PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU- XII/2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

1. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD Tahun 1945) telah melahirkan sebuah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB III PUTUSAN MAHKMAH AGUNG NO. 184 K/AG/1995 TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS ANAK PEREMPUAN BERSAMA SAUDARA PEWARIS

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UU & Lembaga Pengurus Tipikor L/O/G/O

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

JUDICIAL REVIEW : Antara Trend dan Keampuhan bagi Strategi Advokasi

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pengujian Peraturan Daerah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hukum Acara Pembubaran Partai Politik. Ngr Suwarnatha

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

-2- memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dipe

BAB 1 PENDAHULUAN. kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan. Pada zaman kedudukan Belanda, dikenal sebagai Pengadilan

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

MAHASISWA UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN MEMUTUSKAN : : UNDANG-UNDANG TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI MAHASISWA UNIVERSITAS.

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Nomor 005/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl. 29 Maret 2006

JANGAN DIBACA! MATERI BERBAHAYA!

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang : Mahkamah Agung

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Reposisi Peraturan Desa dalam Kajian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 & Undang-undang No. 12 Tahun 2011

KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, S.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 28 Februari 2013

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MAHKAMAH AGUNG Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tanggal 30 Desember 1985 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 39/PUU-XII/2014 Hak Memilih

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 8 TAHUN 1980 TENTANG PASAL 284 (1) 1a KUHP

Pengujian Peraturan. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

Kuasa Hukum : - Fathul Hadie Utsman, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 20 Oktober 2014;

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA


RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA, NOMOR 19 TAHUN 1964 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA BADAN LEGISLASI DPR RI DENGAN PEMERINTAHAN

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS KEDUDUKAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI DASAR HUKUM DALAM MEMUTUS PERKARA PERDATA DI LINGKUNGAN PENGADILAN AGAMA Pembahasan mengenai analisis data mengacu pada data-data sebelumnya, yaitu bab II dan bab III. analisis data pada penelitian ini yaitu Analisis tentang kewenangan Mahkamah Agung berkaitan dengan hukum material peradilan dan Analisis tentang kedudukan Mahkamah Agung sebagai dasar hukum dalam memutus perkara di peradilan agama. Sesuai dengan judul penelitian diatas, data yang akan dianalisis dalam bentuk argumen dengan cara deskriptif analisis diperoleh baik dari referensi yang berkaitan dengan penelitian ini. A. Kewenangan Mahkamah Agung Berkaitan dengan Hukum Material Peradilan 1. Fungsi Peradilan (Justitiele Fungtie) Dalam putusan kasasi, Mahkamah Agung dapat membatalkan putusan dan penetapan dari Pengadilan-Pengadilan yang lebih rendah karena: a. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya perbuatan yang bersangkutan; b. karena melampaui batas wewenangnya; 56

57 c. karena salah menerapkan atau karena melanggar peraturanperaturan hukum yang berlaku (diatur dalam pasal 51 Undang-Undang No. 13 tahun 1965). Menurut Prof. Soebekti, SH dikeluarkannya Peraturan M.A. No. 1 tahun 1963 tersebut adalah tepat karena Pengadilan Tinggi pada umumnya jauh letaknya dengan tempat tinggal pemohon kasasi itu. lagi pula berkasberkamya disimpan di Pengadilan Negeri. 1 a. Permohonan kasasi yang disebutkan diatas adalah "kasasi pihak" ("partij cassatie"). Selain daripada kasasi tersebut, masih ada bentuk kasasi lain yang disebut dengan permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Agung demi kepentingan hukum (pasal 50 ayat (2) Undang- Undang No. 13 tahun 1965). b. Peninjauan kembali. Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 1965 pasal 52 disebutkan bahwa: "Terhadap putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohon peninjauan kambali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-Undang". Kemudian dalam pasal 21 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 lebih jelas diatur sebagai berikut: "Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-Undang, terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuasan hukum yang tetap dapat dimintakan pukul 22.01 wib. 1 http://www.mahkamahagung.go.id/pr2news.asp?bid=5 diakses tanggal 2 Juni 2011

58 peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan". c. Hak Uji (Toetsingsrecht). Hak menguji Mahkamah Agung ini sangat erat hubungannya dengan fungsi peradilan. Mengapa? Karena hak uji atau "toetsingsrecht" Hakim terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari Undang-undang hanya formil saja dan melalui putusan kasasi. Sesungguhnya hak menguji hakim tersebut tidak dijelaskan maksudnya secara tegas dan menyeluruh. 2 Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 pasal 26 yang berbunyi sebagai berikut: (1). Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-Undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (2). Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundangundangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan dari peraturan perundangundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang bersangkutan. 2. Fungsi Pengawasan Fungsi Pengawasan diberikan oleh Undang-Undang No. 14 tahun 1970 yaitu dalam Bab II pasal 10 ayat 4 yang berbunyi: "Mahkamah pukul 22.01 wib. 2 http://www.mahkamahagung.go.id/pr2news.asp?bid=5 diakses tanggal 2 Juni 2011

59 Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Undang-undang". Dan di samping itu mengingat masih belum ada peraturan pelaksanaan yang mengatur, Mahkamah Agung dalam prakteknya masih bersandar pada pasal 47 Undang-Undang No. 13 tahun 1965 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Mahkamah Agung sebagai puncak semua peradilan dan sebagai pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan memberi pimpinan kepada pengadilan-pengadilan yang bersangkutan. (2) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan dalam semua lingkungan pengadilan di seluruh Indonesia dan menjaga supaya peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya. (3) Perbuatan-perbuatan Hakim-hakim di semua lingkungan peradilan diawasi dengan cermat oleh Mahkamah Agung. (4) Untuk kepentingan, Negara dan Keadilan Mahkamah Agung memberi peringatan, tegoran dan petunjuk yang dipandang perlu baik dengan surat tersendiri, maupun dengan surat edaran. (5) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan dari semua pengadilan dalam semua lingkungan peradilan. Mahkamah Agung dalam hal itu dapat memerintahkan disampaikannya berkas-berkas perkara dan surat-surat untuk dipertimbangkan. Pengawasan Mahkamah Agung menurut pasal 47 Undang-Undang Nomor 13 tahun 1965 adalah terhadap jalannya peradilan (Bahasa Belanda: Rechtsgang). 3. Fungsi Pengaturan (Regerende Functie) Fungsi Pengaturan ini bagi Mahkamah Agung adalah bersifat sementara yang artinya bahwa selama Undang-Undang tidak mengaturnya, Mahkamah Agung dapat "mengisi" kekosongan tersebut sampai pada suatu saat Undang-undang mengaturnya. Pasal 131 Undang-

60 Undang No. 1 tahun 1950 memberikan kesempatan bagi Mahakamah Agung untuk membuat peraturan secara sendiri bilamana dianggap perlu untuk melengkapi Undang-Undang yang sudah ada. Hal tersebut menurut Prof. Soebekti, SH, Mahkamah Agung memiliki sekelumit kekuasaan legislatif, yang dianggap merupakan suatu pelimpahan kekuasaan dari pembuat Undang-Undang. Contoh: 1. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1963 yang menentukan bahwa permohonan kasasi juga dapat diajukan di Pengadilan tingkat pertama (yang dalam hal ini. Pengadilan Negeri). Dengan demikian peraturan tersebut merupakan perluasan terhadap pasal 113 (perkara perdata) yang mengatur agar permohonan kasasi diajukan kepada Pengadilan yang putusannya dimohonkan kasasi (pada umumnya adalah Pengadilan Tinggi). 2. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahm 1959 tanggal 20 April 1959 yang isinya antara lain mengatur: a. Biaya kasasi dibayar tunai pada Pengadilan yang bersangkutan. b. Permohonan untuk pemeriksaan kasasi dalam perkara perdata tidak boleh diterima, jika tidak disertai dengan pembayaran biaya perkara. c. Panitera Mahkamah Agung tidak diharuskan mendaftarkan permohonan kasasi apabila biaya perkara tersebut belum diterima

61 meskipun berkas perkara yang bersangkutan telah diterima di kepaniteraan Mahkamah Agung. d. yang dianggap sebagai tanggal permohonan kasasi ialah tanggal pada waktu biaya perkara tersebut diterima di Pengadilan Negeri. 3. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1977 tanggal 26. Nopember 1977 yang isinya antara lain mengatur: "jalan pengadilan dalam pemeriksaan kasasi dalam perkara Perdata dan perkara Pidana oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer". Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1980 tanggal 1 Desember 1980 tentang Peninjauan kembali putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap yang diperbaiki lagi dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1982 tanggal 11 Maret 1982 tentang Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1980 yang disempurnakan. 4. Fungsi Pertimbangan dan Nasehat (Advieserende Functie) Demikian pula Undang-Undang No. 14 tahun 1970 yang tercantum dalam pasal 25; "Semua pengadilan dapat memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum pada Lembaga Negara lainnya apabila diminta". Rupa-rupanya pertimbangan hukum yang memberi kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk memberi pertimbangan hukum diperluas lagi oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. III/MPR/1978 Jo. Tap MPR No. VV/MPR/1973 pasal 11 ayat (2) di mana Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan

62 dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak, kepada Lembagalembaga Tinggi Negara. Sebagai contoh pelaksanaan ketentuan. Undang-Undang tersebut adalah kewenangan Mahkamah Agung memberi pertimbanganpertimbangan hukum terhadap permohonan-permohonan grasi kepada Presiden/Kepala Negara melalui Menteri Kehakiman. Dalam praktek Mahkamah Agung pemah pada tahun 1965 diminta nasehat oleh Permerintah dalam masalah pembubaran partai politik Masyumi (masa pra-gestapu), sehingga dalam putusan Presiden waktu itu disebut: "mendengar nasehat Mahkamah Agung". Pada masa itu Kekuasaan Kehakiman telah kehilangan kebebasannya, dengan duduknya Ketua Mahkamah Agung sebagai Menteri dalam Kabinet. Bahkan dalam Undang-undang No. 19 tahun 1964 dicantumkan adanya "campur tangan Presiden dalam Pengadilan". Dalam kaitan ini Bapak Prof. Soebekti, SH menyatakan bahwa beliau tidak keberatan Pengadilan diminta nasehat oleh Pemerintah atau Lembaga Tinggi Negara lainnya, asal itu tidak mengurangi kebebasan Pengadilan. 5. Fungsi Administrasi (Administrative Functie) Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970 pasal 11 berbunyi sebagai berikut:

63 (1). Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1) organisatoris, administratif dan finansiil ada dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan. (2). Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan tersendiri. Dari kalimat "administrasi" dalam pasal tersebut di atas, kiranya dapat dibedakan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas di sini adalah meliputi segala aktifitas dalam hal "tehnis operasional" (misalnya monitoring perkara yang telah diucapkan Hakim, pembuatan laporan kegiatan Hakim/laporan bulanan dan lain sebagainya). Sedangkan "administrasi" yang diartikan oleh pasal 11 tersebut adalah dalam arti sempit. Seolah-olah timbul dualisme pimpinan dimana sepanjang mengenai administrasi dalam arti luas oleh Mahkamah Agung sedang administrasi dalam arti sempit diselenggarakan oleh Departeman masing-masing. Namun menurut Prof. Soebekti, SH. pandangan yang sedemikian tersebut adalah keliru, beliau berpendapat pimpinan hanya ada satu yaitu Mahkamah Agung - RI, sedang Departemen hanya melaksanakan "dienende functie". 3 pukul 22.01 wib. 3 http://www.mahkamahagung.go.id/pr2news.asp?bid=5 diakses tanggal 2 Juni 2011

64 B. Analisis Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung sebagai Dasar Hukum dalam Memutus Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama bahwa: Dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 disebutkan Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. (2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota; c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Perataran Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. (4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. (5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 4 Pada penjelasan pasal 7 Ayat (4) ditegaskan lagi bahwa peraturan yang diakui dalam ketentuan ini adalah: Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat 4 Pasal 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

65 Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. 5 Dari pasal 7 ayat 4 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 di atas, jelas bahwa Peraturan Mahkamah Agung menempati posisi pada peraturan perundangan lainnya, yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. Secara konstitusional, berdasarkan pasal 5 jo. Pasal 20 UUD 1945, negara Indonesia menganut paham kedaulatan legislative (legislative sovereignty). Bila bertitik tolak dari kedaulatan legislatif ketentuan pasal 5 dan pasal 20 UUD 1945, pada dasarnya MA bukan badan atau cabang kekuasaan negara yang diberi kekuasaan dan kewenangan membuat peraturan perundang-undangan karena kekuasaan dan kewenangannya sebagai kekuasaan kehakiman (judicial power) menurut pasal 24 ayat (1) UUD 1945 adalah kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (to enforce the law and justice). Dengan demikian, pada prinsipnya MA memiliki kewenangan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, melaksanakan ketentuan perundangundangan yang dibuat oleh DPR dan Presiden/ Pemerintah. Namun, MA dan badan peradilan itu hanya dapat dibenarkan melakukan penafsiran untuk mencari dan menemukan makna atau memperluas dan mengelastiskan pengertian, apabila ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak jelas maknanya, rumusannya keliru, atau mengandung 5 Penjelasan Pasal 7 ayat 4 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004.

66 ambiguitas. Penafsiran boleh dilakukan melalui metode penafsiran sejarah legislatif untuk mengetahui dan menemukan apa yang dikehendaki legislatif. 6 Kategori Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) penjelasan pasal 7 ayat (4) Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberi kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk membuat peraturan agar tetap dapat ditegakan interactive between social change and law development. Patokan atau ruang lingkup batasan kewenangan MA membuat peraturan, pada penjelasan umum: Membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan. a. Peraturan Mahkamah Agung Bersifat Pelengkap (Complementary) Peraturan Mahkamah Agung bersifat pelengkap atau penyempurna terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Oleh karena itu dilarang atau tidak dibenarkan membuat PERMA yang membuat kebijakan umum, yang tidak ada sandaran dan kaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan DPR (legislatif) dan Presiden / Pemerintah (eksekutif). b. Tujuannya untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum 1) Mengisi kekurangan hukum 6 Ibid., h. 165.

67 Keadaan kekurangan hukum sering dijumpai dalam bidang hukum acara (processrecht, law of procedure), sebagai contoh: penangkapan pelaku teroris, yang secara prosedur hanya menggunakan data dari intel dan proses penangkapannya yang lama menggunakan formulasi hukum dari KUHP, terjadi kekurangan hukum. 2) Mengisi kekosongan hukum Biasanya tindakan kekosongan hukum ini dalam bidang hukum acara, yang sama sekali tidak mengatur teknis peradilan, padahal sangat dibutuhkan. Sebagai missal PERMA No. 1 Tahun 1956, untuk mengisi kekosongan hubungan antara pengadilan perdata dan pengadilan pidana. PERMA NO. 1 Tahun 1959, untuk mengisi kekosongan mengenai pembayaran biaya perkara kasasi. PERMA No. 1 Tahun 1963 untuk mengisi kekosongan permohonan kasasi maupun risalah kasasi yang dapat diajukan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara pada tingkat pertama. c. Peraturan Mahkamah Agung diperlukan bagi kelancaran jalannya keadilan Ditinjau dari faktor urgensi, pembuatan Peraturan Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum, betul-betul diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan. Kapan saja terjadi kekuranglancaran jalannya peradilan yang ditimbulkan oleh kekurangan atau kekuasaan atau kekosongan hukum yang berlaku, MA

68 harus segera meresponnya dengan jalan membuat PERMA yang mendalam dan komperehensif. 7 Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung terhadap Putusan Perdata di Lingkungan Peradilan Agama sebagaimana tertera pada pasal 7 ayat 4 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan bahwa Peraturan Mahkamah Agung menempati posisi pada peraturan perundangan lainnya dan Peraturan Mahkamah ini berfungsi mengisi kekurangan atau kekosongan hukum. Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kewenangan Mahkamah Agung terkait dengan Hukum Material Peradilan adalah Mahkamah Agung memiliki fungsi peradilan, fungsi pengawasan, fungsi pengaturan, fungsi pertimbangan dan nasehat, dan memiliki fungsi administrasi. Dan sebagaimana tertera pada pasal 7 ayat 4 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan bahwa Peraturan Mahkamah Agung menempati posisi pada peraturan perundangan lainnya dan Peraturan Mahkamah ini berfungsi mengisi kekurangan atau kekosongan hukum. 7 Ibid., h. 167.