BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan pada dasarnya merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling asasi. Demikian asasinya pangan bagi kehidupan masyarakat, maka tersedianya harus dapat dijamin dalam kualitas maupun kuantitas yang cukup untuk pemenuhan aspirasi humanistik masyarakat, yaitu hidup maju, mandiri, dalam suasana tenteram, serta sejahtera lahir dan batin (Siswono, 2002). Ketersediaan pangan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan keluarga, yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi anggota keluarga. Tingkat konsumsi pada anak balita sangat berhubungan erat dengan status gizi anak balita. Jika konsumsi anak balita mampu mencukupi semua kebutuhan gizinya, diharapkan itu akan menghasilkan status gizi yang baik dan terhindar dari penyakit defisiensi gizi. Tingkat konsumsi pangan anak balita dipengaruhi oleh persediaan pangan keluarga. Tidak cukupnya ketersediaan pangan keluarga menunjukkan adanya kerawanan pangan keluarga. Artinya kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan pangan, baik dari jumlah maupun mutu gizinya bagi setiap anggota keluarga belum terpenuhi, terutama anak balita yang merupakan satu golongan rawan. Status gizi anak balita sangat rentan terhadap perubahan status pangan keluarga, dan status gizi anak balita merupakan salah satu indikator yang dipakai untuk menilai status gizi masyarakat (Soekirman, 2000). Status gizi yang baik untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas pada hakekatnya harus dimulai sedini mungkin yakni sejak manusia itu
berada dalam kandungan. Salah satu hal perlu diperhatikan adalah makanannya. Melalui makanan, manusia mendapat gizi yang merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat hidup berkembang. Ketidaktahuan cara pemberian makan pada anak balita baik dari jumlah, jenis, dan frekuensi pemberian serta adanya kebiasaan yang merugikan kesehatan (pantangan terhadap satu jenis makan tertentu), secara langsung maupun tidak langsung menjadi penyebab utama terjadinya masalah gizi pada anak (Santoso, 1999). Konsumsi pangan secara kuantitatif dapat dilihat dari energi (kalori) yang diperoleh dari makanan yang dikonsumsi. Menurut data yang disampaikan Sekretaris Dewan Ketahanan Pangan Dan Gizi menunjukkan, meski secara nasional ketersediaan energi tahun 2003 berada diatas kecukupan yaitu sebesar 3076 kkal namun rata rata konsumsi baru mencapai 1989 kkal (90,4% dari kecukupan). Sementara untuk protein terjadi kelebihan dalam hal ketersediaan, yaitu 76,4 gram dan rata rata konsumsi melebihi angka kecukupan yaitu sebesar 55,37 gram (110,7%). Menurut rekomendasi WKNPG VIII tahun 1998, kecukupan energi sebesar 2200 kkal dan protein 50 gram. Sebagian besar penduduk di bawah garis kemiskinan tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan dengan jumlah dan kualitas yang mencukupi norma gizi. Sebagai akibatnya sebagian anggota keluarga pada kelompok rumah tangga miskin mengalami gangguan pertumbuhan dan kecerdasan (terutama anak anak), serta memiliki produktifitas kerja dan status kesehatan yang rendah. Dengan demikian kelompok penduduk ini pada umumnya akan mengalami kurang gizi atau gizi buruk yang akan berakibat rendahnya kualitas SDM untuk dapat beraktifitas pada
pembangunan pada umumnya dan peningkatan pendapatan pada khususnya. Dengan kata lain, kelompok penduduk ini juga akan sulit untuk meningkatkan pendapatan atau terentaskan dari kemiskinan, yang pada gilirannya akan berakibat pada rendahnya kemampuan untuk mengakses pangan dan mencapai status gizi yang baik. Pada kondisi ini akan terjadi lingkaran sebab akibat antara akses pangan, status gizi dan kemiskinan/pendapatan (Dinkes Sumut, 2006). Daya beli atau pendapatan keluarga yang memadai untuk memenuhi biaya hidup merupakan salah satu kunci ketahanan pangan keluarga. Keadaan ekonomi keluarga dan pola alokasi pendapatan menentukan daya beli keluarga terhadap pangan (Soekirman, 2000). Kerawanan pangan sangat dipengaruhi oleh daya beli keluarga yang ditentukan oleh tingkat pendapatannya. Rendahnya tingkat pendapatan memperburuk konsumsi energi dan protein. Ketersediaan dan konsumsi pangan keluarga menjadi kurang, baik dalam jumlah, mutu maupun keragamannya. Hal ini akan berdampak buruk terhadap status gizi anak balita. Kerawanan dapat terjadi bila penduduk mengalami kekurangan gizi disebabkan tidak tersedianya pangan, kurangnya akses sosial atau ekonomi terhadap pangan yang cukup, dan/atau konsumsi serta penyerapan bahan pangan yang tidak memadai (FIA, 2008). Di Indonesia jumlah anak balita yang mengalami gizi buruk dan gizi kurang pada tahun 2003 mencapai 27,5% dari total jumlah balita. Pada tahun 2004 mencapai 19,37% dari total jumlah balita. Pada tahun 2005 sebanyak 73.041 kasus balita yang mengalami gizi buruk di seluruh wilayah Indonesia. Sebanyak 2.580 mengalami marasmus, 88 orang mengalami kwashiorkor, 140 orang mengalami marasmus
kwashiorkor, serta sebanyak 70.203 orang mengalami kasus gizi non klinis (Dewan Ketahanan Pangan, 2006). Dari hasil laporan Riskesdas bahwa prevalensi status gizi anak balita di Propinsi Sumatera Utara tahun 2007, menurut indeks BB/U terdapat 8,40% balita gizi buruk, 14,30% balita gizi kurang, dan menurut indeks TB/U terdapat 25,20% balita sangat pendek, 17,90 % balita pendek dan menurut indeks BB/TB terdapat 9,10 % balita sangat kurus, 7,90 % balita kurus. Hasil penelitian Fauziaty (2007) menyatakan bahwa, diantara 50 keluarga yang berasal dari keluarga dengan ketahanan pangan keluarga cukup, terjamin terdapat 2,0% berstatus gizi lebih, 32 keluarga dengan ketahanan pangan dengan tingkat kelaparan tingkat ringan terdapat 43,7% dengan status gizi kurang, 16 keluarga rawan pangan tingkat sedang terdapat 68,7% balita dengan status balita gizi kurang, 2 keluarga rawan pangan tingkat berat 100 % berstatus gizi buruk. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendapatan. Kecamatan Pintupohan Meranti Kecamatan Pintu Pohan Meranti merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Toba Samosir yang terletak pada ketinggian 700 1.500 meter di atas permukaaan laut dengan luas wilayah 38.695 ha. Kecamatan Pintu Pohan terdiri dari 7 (tujuh) desa dan dibagi menjadi 35 dusun. Sebagian desa masih terisolir, karena untuk menuju ke beberapa desa tersebut sangat sulit, karena berada didaerah perbukitan. Untuk menuju desa tersebut harus berjalan kaki dikarenakan kondisi jalan yang tidak mengijinkan untuk berkendaraan. Dari ketujuh desa tersebut, terdapat dua desa tertinggal baik dari segi ekonomi maupun pembangunan, yaitu Pintu Pohan Dolok, Meranti Tengah.
Desa Meranti Tengah merupakan salah satu desa tertinggal dengan luas 9885 Ha merupakan desa yang paling terisolir dan tertinggal, penduduk Desa Meranti Tengah terdiri dari 138 kepala keluarga, 583 jiwa. Penduduk desa mayoritas bermata pencaharian sebagai petani sawah darat. Luas lahan pertanian/kebun di desa tersebut kira kira 268 km 2 dari 9825 Ha. Jarak yang menghubungkan desa tersebut dengan desa lain maupun ke pasar tradisional ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 3 jam, dengan kondisi jalan mendaki, karena sampai saat ini belum dapat dijangkau oleh roda dua ataupun roda empat. Sampai saat ini sumber penerangan (listrik) di desa tersebut belum ada. Desa Pintupohan Dolok juga merupakan desa tertinggal dengan kondisi yang hampir sama. Hanya saja waktu tempuhnya lebih singkat yaitu 1 jam berjalan kaki dengan kondisi jalan berbukit dan belum dapat dijangkau oleh kendaraan roda dua maupun roda empat. Luas Desa Pintupohan Dolok ± 1362 Ha dengan lahan pertanian seluas 83 Ha dan sisanya merupakan hutan belantara. Jumlah penduduk Desa Pintupohan Dolok sebanyak 34 kepala keluarga, 155 jiwa. Mayoritas penduduk bemata pencaharian sebagai petani. Sama halnya dengan Desa Meranti Tengah desa inipun belum ada sumber penerangan (listrik). Desa Meranti Tengah dan Pintupohan Dolok merupakan termasuk desa tertinggal berdasarkan skor kemiskinan dan ketertinggalan pembangunan (Profil Kecamatan,2008). Sulitnya akses menuju kedua desa tersebut, rendahnya pendapatan, menjadi salah satu kendala dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan.
Berdasarkan uraian diatas peneliti merasa tertarik mengetahui bagaimana gambaran ketahanan pangan keluarga dan status gizi anak balita di desa tertinggal Kecamatan Pintupohan Meranti, Kabupaten Toba Samosir tahun 2010. 1.2.Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah penelitian ini adalah Bagaimana gambaran ketahanan pangan dan status gizi anak balita di desa tertinggal Kecamatan Pintupohan Meranti Kabupaten Toba Samosir Tahun 2010 1.3. Tujuan 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran ketahanan pangan keluarga dan status gizi anak balita di desa tertinggal Kecamatan Pintupohan Meranti Kabupaten Toba Samosir tahun 2010 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui ketersediaan pangan keluarga secara kualitatif di desa tertinggal Kecamatan Pintupohan Meranti Kabupaten Toba Samosir tahun 2010. 2. Mengetahui ketersediaan pangan keluarga secara kuantitatif di desa tertinggal Kecamatan Pintupohan Meranti Kabupaten Toba Samosir tahun 2010. 3. Mengetahui status gizi anak balita berdasarkan BB/U, TB/U, BB/TB di desa tertinggal Kecamatan Pintupohan Meranti Kabupaten Toba Samosir tahun 2010.
1.4. Manfaat Penelitian 1. Merupakan bahan masukan bagi instansi pemerintah kabupaten dan secara khusus untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir dalam upaya perbaikan gizi dan peningkatan pelayanan kesehatan. 2. Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Toba Samosir agar dapat meningkatkan ketahanan pangan di desa tersebut.