BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada

dokumen-dokumen yang mirip
Analisis Vegetasi Mangrove di Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara

Struktur Vegetasi Mangrove di Desa Ponelo Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove merupakan kombinasi antara kata mangue (bahasa

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

VI. SIMPULAN DAN SARAN

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

ZONASI TUMBUHAN UTAMA PENYUSUN MANGROVE BERDASARKAN TINGKAT SALINITAS AIR LAUT DI DESA TELING KECAMATAN TOMBARIRI

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

Latar Belakang (1) Ekosistem mangrove Produktivitas tinggi. Habitat berbagai organisme makrobentik. Polychaeta

Lampiran 1. Kuisioner Pengunjung Kuisioner penelitian untuk pengunjung Pantai Putra Deli

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

4 KERUSAKAN EKOSISTEM

LAMPIRAN. Lampiran 1. Analisis vegetasi hutan mangrove mulai dari pohon, pancang dan semai berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan erat. Selain keunikannya, terdapat beragam fungsi yang dapat dihasilkan

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK

METODE PENELITIAN. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

KORELASI ANTARA KERAPATAN AVICENNIA DENGAN KARAKTERISTIK SEDIMEN DI KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI RAWA KABUPATEN SIAK, RIAU

1. Pengantar A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

LEMBAR PERSETUJUAN JURNAL KERAPATAN, FREKUENSI DAN TINGKAT TUTUPAN JENIS MANGROVE DI DESA LIMBATIHU KECAMATAN PAGUYAMAN PANTAI KABUPATEN BOALEMO.

PENDAHULUAN Latar Belakang

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI

MPIRAN 1. Hasil Pengamatan Mangrove di Pantai Kecamatan Panggungrejo Kota Pasuruan

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Mangrove/bakau adalah tanaman alternatif terbaik sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

IV. METODE PENELITIAN

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

III. METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut

MATERI DAN METODE PENELITIAN. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah vegetasi mangrove

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kecamatan Padang Cermin merupakan bagian dari Kabupaten Pesawaran, Secara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

IDENTIFIKASI VEGETASI MANGROVE DI SEGORO ANAK SELATAN, TAMAN NASIONAL ALAS PURWO, BANYUWANGI, JAWA TIMUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan

PENDAHULUAN. di darat maupun di laut. Kandungan bahan organik di darat mencerminkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

ABSTRACT

ANALISIS STRUKTUR DAN STATUS EKOSISTIM MANGROVE DI PERAIRAN TIMUR KABUPATEN BIAK NUMFOR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

BAB 2 BAHAN DAN METODA

KONDISI EKOLOGI MANGROVE PULAU BUNAKEN KOTA MANADO PROVINSI SULAWESI UTARA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3. No. 1, Maret 2012: ISSN :

II. TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

Transkripsi:

27 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Dudepo merupakan salah satu pulau kecil berpenduduk yang berada di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo yang terletak pada koordinat 0 0 52 30"-0 0 54 50" LU dan antara 122 0 45 30"-122 0 48 50" BT. Batas wilayah Pulau Dudepo yaitu sebelah utara berbatasan dengan Selat Anggrek, sebelah selatan, timur, dan barat berbatasan dengan Laut Sulawesi. Secara adminstratif, Pulau Dudepo terbagi atas 6 dusun yaitu Dusun I Makassar, Dusun II Upo, Dusun III Tapia, Dusun IV Baturata, Dusun V Pasir Putih, dan Dusun VI Botongo. Desa Dudepo merupakan salah satu desa di Kecamatan Anggrek yang terletak disebuah pulau pada bagian utara dari Kecamatan Anggrek yang termasuk pada kawasan Laut Sulawesi. Letak Pulau/Desa Dudepo sekarang ini memiliki luas sekitr 54 km 2, dengan jumlah penduduk berdasarkan data tahun 2012 adalah 1.234 jiwa. Jarak Desa Dudepo dari ibu kota Kecamatan Anggrek sekitar 14 km dan dari ibu kota Kabupaten Gorontalo Utara sekitar 30 km. Aksesibilitas untuk sampai di Pulau Dudepo dapat dilakukan dengan menggunakan speed boat, atau dengan menggunakan perahu katinting, dengan jarak tempuh dari Pelabuhan Anggrek ±40 menit. Pulau ini dapat dilalui melalui Desa Ilangata, maupun Desa Monano dengan jarak tempuh ± 20-25 menit, dengan menggunakan jenis angkutan yang sama (DKP Provinsi Gorontalo, 2012). Gambar 5 berikut ini menunjukkan peta Pulau Dudepo.

28 Peta Pulau Dudepo Gambar 5. Peta Pulau Dudepo (Sumber: DKP Provinsi Gorontalo, 2012) Pulau ini memiliki dataran pantai dan perbukitan rendah sampai tinggi. Dataran pantai memiliki topografi datar sampai bergelombang. Daerah dataran yang bertopografi datar sebagian besar merupakan daerah pemukiman, sedang daerah yang bergelombang serta perbukitan adalah daerah hutan campuran. Luas hutan mangrove di wilayah Pulau Dudepo adalah 28 Ha atau sebesar 21,1% dari luas total Pulau Dudepo. Jenis-jenis mangrove yang terdapat di pulau ini yaitu Avicennia sp, Rhizophora sp, Sonneratia sp, Bruguiera sp. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan bahwa mangrove di wilayah ini masih memiliki kondisi lebat dan terdapat pada beberapa sisi dari pulau, tetapi sebagian

29 masyarakat sudah memanfaatkan kayu-kayu dari mangrove ini sebagai alat bantu pada alat tangkap sero dan bangunan rumah (DKP Provinsi Gorontalo, 2012). B. Analisis Vegetasi Mangrove di Pulau Dudepo 1. Jenis Vegetasi Mangrove Mangrove di Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek merupakan hutan mangrove alami. Kegiatan inventarisasi mangrove dilakukan pada titik 047 o 56 10" sebagai stasiun I yang mewakili sebelah Timur, stasiun II pada titik 047 o 43 20" mewakili sebelah Selatan, stasiun III pada titik 047 o 83 23" mewakili sebelah Barat, dan stasiun IV pada titik 047 o 73 63" mewakili sebelah Utara Pulau Dudepo. Gambar lokasi seluruh stasiun dapat dilihat pada Lampiran 1. Vegetasi mangrove yang ditemukan dibedakan antara pohon, pancang, dan semai berdasarkan ukuran diameter batangnya. Berdasarkan hasil pengamatan dan identifikasi mangrove di lokasi penelitian, vegetasi mangrove di pulau Dudepo terdiri atas 2 famili dan terdiri dari 5 spesies. Famili Rhizophoraceae (jenis Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera parviflora, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata) dan famili Avicenniaceae (Avicennia lanata). Jenis-jenis mangrove yang ditemukan di Pulau Dudepo dapat dilihat pada Tabel 3 dan gambar jenisjenis mangrove ditunjukkan pada Lampiran 3.

30 Tabel 3. Jenis-Jenis Mangrove di Pulau Dudepo Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Jenis (Timur) (Selatan) (Barat) (Utara) Avicennia lanata Bruguiera gymnorrhiza _ Bruguiera parviflora Rhizophora apiculata _ Rhizophora mucronata (Sumber: Olahan data primer, 2012) Berdasarkan Tabel 3 diatas bahwa pada stasiun I dan stasiun II terdapat 3 jenis mangrove dengan vegetasi jenis yang berbeda. Pada stasiun I ditemukan 3 jenis mangrove yaitu jenis Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora mucronata, dan Avicennia lanata. Pada stasiun II terdapat 3 jenis mangrove yaitu Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, dan Bruguiera parviflora. Sementara pada stasiun III dan IV terdapat 2 jenis dengan vegetasi yang sama yaitu jenis Rhizophora mucronata dan Bruguiera gymnorrhiza. Vegetasi mangrove yang terdapat di Pulau Dudepo pada umumnya didominasi oleh famili Rhizophoraceae. Hal ini disebabkan karena substrat yang ada pada lokasi penelitian didominasi oleh substrat berlumpur dan lumpur berpasir yang cocok untuk pertumbuhan jenis mangrove yang tergolong famili Rhizophoraceae. Hal ini sesuai dengan pendapat Hasmawati (2001) bahwa vegetasi mangrove Rhizophoraceae sebagian besar dapat hidup pada substrat yang lembek, berlumpur, maupun lumpur bercampur pasir. Sementara Avicennia lanata tidak tumbuh baik pada lokasi penelitian hal ini disebabkan oleh keterbatasan buah yang dihasilkan jenis ini yakni Avicannia lanata hanya dapat berbuah pada waktu-waktu tertentu yakni antara bulan November sampai Maret. Hal ini sesuai dengan pendapat Noor, dkk, (2006)

31 bahwa mangrove jenis Avicennia lanata diketahui hanya dapat berbunga pada bulan Juli sampai Februari dan berbuah antara bulan November sampai Maret. 2. Kerapatan Jenis Kerapatan jenis mangrove merupakan parameter untuk menduga kepadatan jenis mangrove pada suatu komunitas. Kerapatan jenis pada suatu area dapat memberikan gambaran ketersediaan dan potensi tumbuhan mangrove (Wantasen, 2002 dalam Feronika, 2011). Kerapatan suatu jenis merupakan nilai yang menunjukkan penguasaan suatu jenis terhadap komunitas (Soerianegara dan Indrawan, 1998). Tingkat kerapatan jenis mangrove pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini. Jenis Tabel 4. Kerapatan Jenis Mangrove di Pulau Dudepo Kerapatan Jenis (Ind/Ha) Pohon Pancang Semai S I S II S III S IV S I S II S III S IV S I S II S III S IV Avicennia lanata 33 0 0 0 0 0 0 0 767 0 0 0 Bruguiera gymnorrhiza 167 0 167 400 200 0 800 100 67 0 1233 100 Bruguiera parviflora 0 67 0 0 0 0 0 0 0 133 0 0 Rhizophora apiculata 0 500 0 0 0 0 0 0 0 167 0 0 Rhizophora mucronata 1367 2367 1500 1433 833 1133 400 2200 2267 567 367 1767 (Sumber: Olahan data primer, 2012) Berdasarkan hasil analisis kerapatan bahwa jenis mangrove yang memiliki kerapatan tertinggi terdapat pada kategori pohon, sedangkan kerapatan terendah terdapat pada tingkat pancang, Tingginya kerapatan pada kategori pohon menyebabkan cahaya matahari yang masuk tidak dapat menyinari lahan hutan

32 mangove. Hal ini membuat semai dan pancang tidak terlalu banyak tumbuh dengan baik. Pendapat ini diperkuat oleh Supardjo (2007) bahwa rendahnya kerapatan semai disebabkan oleh matahari yang dibutuhkan oleh semai untuk berfotosintesis terhalang oleh pohon, sehingga semai tidak dapat tumbuh dengan baik. Selain itu berdasarkan wawancara dengan masyarakat Pulau Dudepo bahwa mangrove pada kategori pancang tidak terlalu rapat disebabkan oleh pengambilan pancang oleh sebagian masyarakat untuk bahan kayu bakar. Jenis mangrove yang memiliki nilai kerapatan jenis tertinggi pada kategori pohon yaitu jenis Rhizophora mucronata yang ditemukan pada stasiun II dengan kerapatan jenis sebesar 2.367 ind/ha, sedangkan jenis Avicennia lanata meiliki kerapatan jenis terendah sebasar 33 ind/ha ditemukan pada stasiun I. Nilai kerapatan jenis tertinggi pada kategori pancang yakni jenis Rhizophora mucronata ditemukan pada stasiun IV dengan nilai kerapatan jenis sebesar 2.200 ind/ha, dan kerapatan terendah yaitu jenis Bruguiera gymnorrhiza yang ditemukan pada stasiun III sebesar 100 ind/ha. Sementara pada kategori semai jenis Rhizophora mucronata yang terdapat pada stasiun I memiliki kerapatan jenis sebesar 2.267 ind/ha dan kerapatan jenis terendah adalah jenis Bruguiera gymnorrhiza sebesar 67 ind/ha (Tabel 4). Kerapatan jenis Rhizophora mucronata untuk semua kategori pada lokasi penelitian tergolong rapat. Hal ini diperkuat dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 Tahun 2004 bahwa kriteria baku mutu kerapatan mangrove, kerapatan padat 1.500 ind/ha, sedang 1.000-1.500 ind/ha dan jarang < 1.000 ind/ha (Eriza, 2010).

33 Tingginya kerapatan jenis mangrove menunjukkan banyaknya tegakan pohon yang berada dalam kawasan tersebut. Rhizophora mucronata memiliki kerapatan mangrove tertinggi pada semua kategori. Kondisi ini disebabkan karena jenis Rhizophora mucronata ini merupakan jenis mangrove yang pertumbuhannya toleran terhadap kondisi lingkungan, terutama terhadap kondisi substrat, serta penyebaran bijinya yang sangat luas. Hal ini sesuai dengan pendapat Kartawinata (1979) dalam Chaerani (2011) bahwa jenis Rhizophora mucronata merupakan salah satu jenis tumbuhan mangrove yang toleran terhadap kondisi lingkungan (seperti substrat, pasang surut, salinitas dan pasokan nutrien), dapat menyebar luas dan dapat tumbuh tegak pada berbagai tempat. 3. Kerapatan Relatif Menurut Skilleter dan Warren (1999) dalam Schaduw (2008) kerapatan relatif pada suatu ekosistem berpengaruh pada biota yang berasosiasi didalamnya, ekosistem mangrove ini digunakan sebagai tempat perlindungan bagi biota yang hidup didalamnya, seperti ikan dan gastropoda dari faktor alam dan hewan predator. Hasil analisis vegetasi kerapatan relatif dapat dilihat pada Tabel 5.

34 Tabel 5. Kerapatan Relatif Mangrove di Pulau Dudepo Jenis Kerapatan Relatif (%) Pohon Pancang Semai S I S II S III S IV S I S II S III S IV S I S II S III S IV Avicennia lanata 2.13 0 0 0 0 0 0 0 24.73 0 0 0 Bruguiera gymnorrhiza 10.64 0 10 21.82 19.35 0 66.67 4.35 2.15 0 77.08 5.36 Bruguiera parviflora 0 2.27 0 0 0 0 0 0 0 15.38 0 0 Rhizophora apiculata 0 17.05 0 0 0 0 0 0 0 19.23 0 0 Rhizophora mucronata 87.23 80.68 90 78.18 80.65 100 33.33 95.65 73.12 65.38 22.92 94.64 (Sumber: Olahan data primer, 2012) Berdasarkan kajian analisis kerapatan relatif (KR) vegetasi mangrove di Pulau Dudepo didapatkan bahwa Rhizophora mucronata memiliki kerapatan relatif yang paling tinggi pada ketiga tingkat kategori, baik pada kategori pohon, pancang, maupun semai. Pada kategori pohon kerapatan relatif tertinggi yaitu pada stasiun III dengan nilai kerapatan relatif sebesar 90%, untuk kategori pancang kerapatan relatif sebesar 100% pada stasiun II, dan untuk kategori semai terdapat pada stasiun IV sebesar 94,64%. Sementara kerapatan relatif terendah untuk kategori pohon yakni jenis Avicennia lanata sebesar 2,13% yang ditemukan pada stasiun II. Pada kategori pancang dan semai jenis Bruguiera gymnorrhiza memiliki kerapatan relatif terendah dengan masing-masing sebesar 4,35% pada stasiun IV dan 2.15% pada stasiun I (Tabel 5). Jenis Rhizophora mucronata memiliki kerapatan relatif tertinggi disebabkan karena kondisi substrat yang umumnya lumpur mengandung bahan organik sangat cocok untuk pertumbuhan jenis Rhizophora mucronata, selain itu Rhizophora mucronata ini merupakan tumbuhan perintis atau pioner. Hal ini

35 sesuai pendapat Parawansa (2007) bahwa ketergantungan jenis tumbuhan pioner terhadap jenis tanah ditunjukkan oleh genus Rhizophora yaitu merupakan ciri umum untuk tanah berlumpur yang bercampur dengan bahan organik, dalam hal ini kerapatan relatif mangrove terkait erat dengan ketersediaan bahan organik pada lingkungan untuk mendukung pertumbuhan jenis mangrove. 4. Frekuensi Jenis Frekuensi suatu jenis menunjukkan penyebaran suatu jenis dalam suatu area. Jenis yang menyebar secara merata mempunyai nilai frekuensi yang besar, sebaliknya jenis-jenis yang mempunyai nilai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran yang tidak merata dan kurang luas (Sultan, 2001). Hasil perhitungan frekuensi jenis mangrove di Pulau Dudepo dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini. Jenis Tabel 6. Frekuensi Jenis Mangrove di Pulau Dudepo Frekuensi Jenis Pohon Pancang Semai S I S II S III S IV S I S II S III S IV S I S II S III S IV Avicennia lanata 0.33 0 0 0 0 0 0 0 0.33 0 0 0 Bruguiera gymnorrhiza 0.67 0 1 1 0.67 0 0.33 0.67 0.33 0 0.67 0.67 Bruguiera parviflora 0 0.67 0 0 0 0 0 0 0 0.67 0 0 Rhizophora apiculata 0 0.67 0 0 0 0 0 0 0 0.67 0 0 Rhizophora mucronata 0.33 0 0 0 0 0 0 0 0.33 0 0 0 (Sumber: Olahan data primer, 2012) Berdasarkan hasil perhitungan frekuensi jenis mangrove di Pulau Dudepo, jenis Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera gymnorrhiza memiliki frekuensi

36 jenis tertinggi sebesar 1. Jenis Rhizophora mucronata ini ditemukan pada seluruh dan jenis Bruguiera gymnorrhiza hanya ditemukan pada stasiun III dan IV. Sementara jenis Avicennia lanata memiliki nilai frekuensi terendah sebesar 0,33 yang ditemukan pada stasiun I. Pada kategori pancang, jenis Rhizophora mucronata memiliki frekuensi jenis sebesar 1 yang ditemukan pada stasiun I dan II dan untuk frekuensi terendahnya yaitu jenis Bruguiera gymnorrhiza dengan nilai frekuensi jenis sebesar 0,33 yang ditemukan pada stasiun III. Sementara untuk kategori semai, jenis Rhizophora mucronata memiliki frekuensi jenis tertinggi sebesar 1 ditemukan pada seluruh stasiun dan frekuensi terendahnya yaitu jenis Bruguiera gymnorrhiza dan Avicennia lanata dengan nilai frekuensi jenis sebesar 0,33 yang ditemukan pada stasiun I (Tabel 6). Jenis Rhizophora mucronata memiliki nilai frekuensi tertinggi karena kondisi substrat sangat cocok untuk pertumbuhannya, sehingga mangrove jenis ini menyebar merata pada setiap stasiun pengamatan. Selain itu Rhizophora mucronata termasuk jenis yang memiliki benih yang dapat berkecambah pada waktu masih berada pada induknya sangat menunjang pada proses penyebaran yang luas dari jenis lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Pramudji (2001) dalam Mar fuah (2005) bahwa pada tanah lumpur dan lembek ditumbuhi oleh jenis mangrove Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, lumnitzera littorea dengan penyebaran yang merata dan luas, sedangkan pada wilayah pesisir yang berpasir dan berombak besar pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Marcelle (1998) dalam Gulton (2010) juga berpendapat bahwa daur hidup yang

37 khas dari jenis Rhizophora sp dengan benih yang dapat berkecambah pada waktu masih berada pada tumbuhan induk sangat menunjang pada proses penyebaran yang luas pada ekosistem mangrove. 5. Frekuensi Relatif Frekuensi relatif adalah pengukuran distribusi spesies yang ditemukan pada plot yang dikaji. Nilai dari frekuensi relatif (FR) menunjukkan keseringan suatu jenis ditemukan dalam suatu kawasan (Price, 1975 dalam Pariyono, 2006). Hasil analisis vegetasi mangrove di Pulau Dudepo untuk tingkat frekuensi relatif dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini. Jenis Tabel 7. Frekuensi Relatif Mangrove Di Pulau Dudepo Frekuensi Relatif (%) Pohon Pancang Semai S I S II S III S IV S I S II S III S IV S I S II S III S IV Avicennia lanata 16.67 0 0 0 0 0 0 0 20 0 0 0 Bruguiera gymnorrhiza 33.33 0 50 50 40 0 33.33 40 20 0 40 40 Bruguiera parviflora 0 28.57 0 0 0 0 0 0 0 28.57 0 0 Rhizophora apiculata 0 28.57 0 0 0 0 0 0 0 28.57 0 0 Rhizophora mucronata 50 42.86 50 50 60 100 66.67 60 60 42.86 60 60 (Sumber: Olahan data primer, 2012) Hasil perhitungan yang terlihat pada Tabel 7, nilai frekuensi relatif tertinggi (FR) kategori pohon ditemukan pada stasiun I, III, dan IV yaitu jenis Rhizophora mucronata sebesar 50% ditemukan pada stasiun I dan untuk jenis Rhizophora mucronata dan Bruguiera gymnorrhiza terdapat pada stasiun III dan IV dengan nilai FR sebesar 50%. Kedua jenis mangrove ini memiliki nilai FR

38 yang sama, hal ini berarti terjadi distribusi yang merata di antara kedua jenis mangrove. Nilai frekuensi relatif terendah terdapat pada stasiun I yaitu jenis Avicennia lanata dengan nilai frekuensi relatif sebesar 16,67%. Pada kategori pancang frekuensi relatif tertinggi yaitu jenis Rhizophora mucronata ditemukan pada stasiun II sebesar 100% dan FR terendah ditemukan pada stasiun III yakni jenis Bruguiera gymnorrhiza sebesar 33,33%. Sementara pada kategori semai nilai FR tertinggi ditemukan pada stasiun I, III, dan IV yakni jenis Rhizophora mucronata sebesar 60%, sedangkan FR terendah ditemukan pada stasiun I yakni jenis Bruguiera gymnorrhiza dan Avicennia lanata dengan nilai FR sebesar 20%. Kemunculan jenis Rhizophora mucronata dan Bruguiera gymnorrhiza ditemukan pada semua stasiun pengamatan, hal ini disebabkan jenis ini lebih banyak memperoleh unsur hara dibandingkan dengan jenis lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Pramudji (2000) dalam Kaunang dan Kimbal (2009) bahwa tinggi rendahnya nilai frekuensi relatif disebabkan oleh terjadinya kompetisi yang tidak seimbang antar jenis mangrove yang menempati suatu habitat yang sama, sehingga kurang kompetitif dalam memperoleh unsur hara. 6. Dominansi Dominansi suatu jenis merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan suatu jenis tumbuhan kategori pohon dalam hal bersaing dengan tumbuhan lainnya, dalam hal ini terkait dengan besarnya diameter tumbuhan (Barbour, 1980 dalam Prasetyo, 2007). Perhitungan nilai dominansi ini hanya dilakukan pada kategori pohon untuk mengetahui INP kategori pohon. Hasil

39 perhitungan nilai dominansi mangrove pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini. Tabel 8. Dominansi Mangrove Di Pulau Dudepo Jenis Dominansi Jenis (m 2 /Ha) Dominansi Relatif (%) S I S II S III S IV S I S II S III S IV Avicennia lanata 0.67 0 0 0 10.64 0 0 0 Bruguiera gymnorrhiza 4.4 0 2.74 1.77 69.85 0 61.96 65.99 Bruguiera parviflora 0 5.07 0 0 0 61.61 0 0 Rhizophora apiculata 0 2.28 0 0 0 27.67 0 0 Rhizophora mucronata 1.23 0.88 1.68 0.91 19.51 10.70 38.04 34.01 (Sumber: Olahan data primer, 2012) Berdasarkan perhitungan dominansi pada Tabel 8 bahwa nilai dominansi jenis tertinggi yaitu jenis Bruguiera parviflora dangan nilai dominansi sebesar 5,07 m 2 /Ha ditemukan pada stasiun II, sedangkan nilai dominansi jenis terendah yaitu jenis Avicennia lanata sebesar 0,67 m 2 /Ha ditemukan pada stasiun I. yaitu jenis Avicennia lanata sebesar 0,67 m 2 /Ha. Bruguiera parviflora mempunyai nilai dominansi jenis tertinggi karena mangrove jenis ini memiliki diameter rata-rata lebih besar dari pada jenis lainnya yang berada dilokasi penelitian yakni diameternya 44 cm atau 0,44 m. Nilai dominansi relatif pohon setiap stasiun di lokasi penelitian menunjukan bahwa jenis Bruguiera gymnorrhiza memiliki presentase dominansi yang tinggi yakni sebesar 69,85% yang terdapat pada stasiun I, dan diikuti oleh jenis Bruguiera parviflora dengan nilai DR sebesar 61.61% terdapat pada stasiun

40 II. Sementara dominansi relatif terendah yaitu jenis Avicennia lanata dengan nilai DR sebesar 10,64%. 8. Indeks Nilai penting (INP) Indeks Nilai Penting (INP) merupakan indeks yang memberikan suatu gambaran mengenai pentingnya peranan atau pengaruh pada suatu vegetasi mangrove dalam suatu lokasi penelitian. Indeks Nilai Penting digunakan dalam menginterpretasi komposisi dari suatu komunitas tumbuhan (Fachrul, 2007). Hasil analisis INP mangrove di Pulau Dudepo dapat dilihat pada Tabel 9 dibawah ini. Jenis Tabel 9. Nilai Indeks Penting Mangrove di Pulau Dudepo INP (%) Pohon Pancang Semai S I S II S III S IV S I S II S III S IV S I S II S III S IV Avicennia lanata 29.43 0 0 0 0 0 0 0 44.73 0 0 0 Bruguiera gymnorrhiza 113.82 0 121.96 137.80 59.35 0 100 44.35 22.15 0 117.08 45.36 Bruguiera parviflora 0 92.45 0 0 0 0 0 0 0 43.96 0 0 Rhizophora apiculata 0 73.31 0 0 0 0 0 0 0 47.80 0 0 Rhizophora mucronata 156.75 134.23 178.04 162.20 140.65 200 100 155.65 133.12 108.24 82.92 154.64 (Sumber: Olahan data primer, 2012) Berdasarkan hasil analisis vegetasi mangrove dapat diketahui bahwa jenis mangrove yang memiliki INP tertinggi terdapat pada kategori pohon yakni jenis Rhizophora mucronata sebesar 178.04%, yang ditemukan pada stasiun III, sedangkan INP terendah terdapat pada stasiun I yaitu jenis Avicennia lanata sebesar 29.43%. Pada kategori pancang INP tertinggi yakni jenis Rhizophora mucronata sebesar 200% ditemukan pada stasiun II sedangkan INP terendah

41 terdapat pada stasiun I yaitu jenis Bruguiera gymnorrhiza sebesar 44.35% terdapat pada stasiun IV. Sementara INP tertinggi untuk kategori semai yaitu jenis Rhizophora mucronata sebesar 154.64% ditemukan pada stasiun IV dan INP terendahnya yaitu jenis Bruguiera gymnorrhiza sebesar 22.15% ditemukan pada stasiun I (Tabel 9). Jenis Rhizophora mucronata memiliki nilai INP tertinggi pada semua kategori yaitu kategori pohon, pancang dan semai. Hasil ini mencerminkan bahwa hutan mangrove pada lokasi penelitian dalam kondisi baik. Jenis Rhizophora mucronata mempunyai peranan yang tinggi dilokasi penelitian karena mangrove jenis ini memiliki karakteristik dan morfologi yang mendukung dalam hal bersaing dengan jenis lainnya dan dapat dikatakan kondisi perairan di lokasi penelitian baik untuk pertumbuhan mangrove. Keadaan ekosistem mangrove seperti ini mengimplementasikan bahwa ekosistem hutan mangrove pada lokasi penelitian belum banyak mengalami perubahan yang disebabkan oleh kegiatan manusia, walaupun ada sebagian masyarakat memanfaatkan kayu-kayu dari mangrove ini sebagai alat bantu pada alat tangkap sero, kayu bakar, dan bangunan rumah. Hal ini sesuai dengan pendapat Martosubroto dan Sudrajat (1974) dalam Prasetyo (2007) bahwa area mangrove yang memiliki nilai penting tinggi menandakan bahwa mangrove di area tersebut dalam kondisi baik dan belum mengalami perubahan, sebaliknya apabila kondisi ini berkurang atau berubah menjadi daratan karena sedimentasi dan rusak karena ulah manusia, maka perlu dilakukan rehabilitasi agar keseimbangan ekosistem terjaga.

42 C. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Mangrove Parameter pendukung perairan yang memegang peranan penting bagi kehidupan mangrove untuk menunjang kehidupannya. Berdasarkan hasil penelitian di Pulau Dudepo, beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove dpat dilihat pada Tabel 10 berikut ini. No. Tabel 10. Parameter Lingkungan Perairan Pada Lokasi Penelitian Kisaran Parameter Stasiun I (Timur) Stasiun II (Selatan) Stasiun III (Barat) Stasiun IV (Utara) 1. Suhu ( 0 C) 30 27,8 29,2 30,1 2. Salinitas ( 0 / 00 ) 28,6 28,6 30 30 3. ph Air 6,5 7,4 7,4 7 4. ph Tanah 6 6 7 7 5. Substrat Berlumpur Berkumpur (Sumber: Data primer, 2012) 1. Suhu Lumpur berpasir Lumpur berpasir Suhu merupakan salah satu parameter yang penting bagi keberlangsungan hidup biota laut. Suhu dapat mempengaruhi proses-proses dalam suatu ekosistem mangrove seperti fotosintesis dan respirasi (Aksornkoae, 1993 dalam Taher, 2011). Berdasarkan hasil pengukuran langsung pada wilayah mangrove di Pulau Dudepo diperoleh suhu pada masing-masing stasiun tidak berbeda jauh kisarannya (Tabel 10). Suhu air terendah ditemukan pada stasiun II (Barat), yaitu sebesar 27,8 o C, sedangkan suhu tertinggi ditemukan pada stasiun IV (Utara), yaitu sebesar 30,1 o C. Rendahnya suhu pada stasiun II disebabkan oleh pengukuran dilakukan

43 pada pagi hari atau sekitar pukul 07.30 WITA. Sedangkan pengukuran suhu tinggi pada stasiun IV disebabkan oleh pengukuran yang dilakukan pada siang hari sekitar pukul 14.00 WITA, dimana intensitas cahaya matahari yang diterima oleh permukaan air tinggi dan sedikitnya air yang tergenang pada lokasi menyebabkan tingginya suhu air di lokasi tersebut. Selain itu, kisaran suhu yang tinggi ini juga disebabkan oleh kondisi cuaca yang sangat cerah. Hal ini sesuai dengan pendapat Aksornkoae (1993) dalam Taher (2011) bahwa tinggi rendahnya suhu pada habitat mangrove disebabkan oleh intensitas cahaya matahari yang diterima oleh badan air, banyak sedikitnya volume air yang tergenang pada habitat mangrove, keadaan cuaca. Kisaran suhu pada masing-masing stasiun pengamatan adalah sesuai dengan kondisi habitat mangrove yang ada. Kisaran suhu ini mendukung untuk syarat tumbuhnya mangrove pada habitat tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Saenger (1979) dalam Setyawan, dkk, (2002) bahwa kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan mangrove adalah 18-30 o C. 2. Salinitas Salinitas merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan perkembangan mangrove, baik laju pertumbuhan, kemampuan bertahan, dan zonasi dari spesies mangrove. Faktor yang mempengaruhi tingginya fluktuasi salinitas yaitu pola sirkulasi air, ketersediaan dan pasokan air tawar, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai (Nontji, 2003). Berdasarkan hasil pengukuran dilokasi penelitian, salinitas air laut pada keempat stasiun penelitian tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, karena masih berada pada kisaran 28,6-30. Hal ini karena habitat mangrove dilokasi

44 penelitian tidak ada ketersediaan air tawar serta lokasinya yang berhadapan langsung dengan laut bebas sehingga sangat mempengaruhi salinitas pada habitat mangrove di lokasi penelitian tersebut. Salinitas tertinggi pada lokasi penelitian ditemukan pada stasiun III dan IV yaitu sebesar 30, sedangkan salinitas terendah ditemukan pada stasiun I dan II sebesar 28,6 (Tabel 10). Kisaran salinitas pada lokasi penelitian dapat dikatakan bahwa salinitas ini memang masih mendukung pertumbuhan mangrove pada lokasi tersebut, karena secara umum mangrove dapat tumbuh pada perairan yang memiliki salinitas 10-30. Hal ini sesuai dengan pendapat Kusmana (2005) dalam Taher ( 2011) bahwa salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30. 3. Derajat Keasaman (ph) Air Derajat keasaman (ph) merupakan faktor pembatas bagi organisme yang hidup di suatu perairan. Perairan dengan ph yang terlalu tinggi atau rendah akan mempengaruhi ketahanan hidup organisme dan vegetasi yang hidup didalamnya (Odum, 1993). ph air pada keempat stasiun pengamatan berkisar antara 6,5 7,4 (Tabel 10). Kisaran nilai ph masih merupakan kisaran ph yang mendukung tumbuhnya mangrove. Pada lokasi pengamatan, ph tertinggi terdapat pada stasiun II dan III yakni sebesar 7,4 sedangkan ph terendah ditemukan pada stasiun I yakni sebesar 6,5. Variasi ph air ini disebabkan oleh kadar bahan organik dan mineral pada tanah sedimen, serta kandungan mineral dari air laut. Berdasarkan kisaran ph yang ada, menandakan bahwa perairan disekitar mangrove di lokasi penelitian

45 pada keempat stasiun termasuk produktif, karena kandungan bahan organik lebih banyak berasal dari lingkungan mangrove itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Kaswadji (1971) bahwa ph dengan nilai 5,5-6,5 dan >8,5 termasuk perairan yang kurang produktif, perairan dengan ph 6,5-7,5 termasuk dalam perairan yang produktif serta ph 7,5-8, 5 termasuk perairan dengan produktivitas yang tinggi. 4. Derajat Keasaman (ph) Tanah Nilai ph menunjukkan banyaknya konsentrasi ion H + di dalam tanah. Derajat keasaman tanah mempengaruhi transportasi dan keberadaan nutrien yang diperlukan tanaman (Murdiyanto, 2003 dalam Bahri, 2007). Jenis tanah banyak dipengaruhi oleh keasaman tanah yang berlebihan, yang mengakibatkan tanah sangat peka terhadap terjadinya proses biologi. Jika keadaan lingkungan berubah dari keadaan alaminya, keadan ph tanah juga akan dapat berubah (Arief, 2003). Nilai ph tanah yang diukur pada keempat stasiun pengamatan berkisar antara 6-7. Nilai ph tanah tertinggi ditemukan pada stasiun III dan IV yaitu sebesar 7 sedangkan nilai ph tanah terendah ditemukan pada stasiun I dan stasiun II yaitu sebesar 6 (Tabel 10). Kisaran ph pada stasiun III dan IV masih bersifat netral karena semua nilainya 7, sedangkan stasiun I dan II ph tanah bersifat asam. Hal ini sesuai dengan pendapat Murdiyanto (2003) dalam Bahri (2007) bahwa umumnya ph tanah mangrove berkisar antara 6-7, kadang-kadang turun menjadi lebih rendah dari 5. Kondisi tanah pada area mangrove biasanya bersifat asam karena banyaknya bahan organik di kawasan itu.

46 5. Substrat Karakteristik substrat merupakan faktor utama yang membatasi pertumbuhan dan distribusi tanaman mangrove. Perbedaan dari karakteristik fisik dan kimia tanah akan menyebabkan perbedaan pada zonasi mangrove. Substrat tanah dihutan mangrove memiliki ciri-ciri selalu basah, mengandung garam, kandungan oksigen sedikit dan kaya akan bahan-bahan organik. Bahan organik yang terdapat didalam tanah berasal dari perombakan sisa tumbuhan yang diproduksi oleh mangrove itu sendiri. Menurut Soeroyo (1993) dalam Bahri (2007) walaupun terjadi pengendapan tanah pada hutan mangrove yang dapat meningkatkan lapisan lumpur, tanah tersebut tidaklah konstan, karena hal ini mungkin sangat dipengaruhi oleh aliran air laut. Adanya aliran laut ini juga mempengaruhi terdamparnya bibit-bibit untuk tumbuh. Tetapi dengan adanya sistem perakaran yang menggantung akan membantu pertumbuhan semai. Berdasarkan hasil pengamatan bahwa tipe substrat pada stasiun I dan II adalah lumpur. Tipe substrat lumpur berpasir ditemukan pada stasiun III dan IV. Penyebaran spesies mangrove di lokasi penelitian sesuai dengan tipe substrat tumbuhnya mangrove pada umumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeroyo (1993) dalam Bahri (2007) bahwa mangrove Rhizophora, khususnya Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang berlumpur dan dalam. Pernyataan tersebut diperkuat lagi oleh pendapat Sukadjo (1984) dalam Adamy (2009) bahwa jenis substrat mangrove yang berupa lumpur tebal dapat tumbuh jenis mangrove Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Avicennia marina, dan Bruguiera gymnorrhiza dapat tumbuh baik.