PENGARUH DESENTRALISASI BPHTB TERHADAP PENERIMAAN DAERAH KABUPATEN BADUNG. Komang Yogi Wirasatya Made Yenni Latrini

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. untuk diselesaikan oleh pemerintah daerah. Salah satu urusan yang diserahkan

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia telah membawa

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

BAB I PENDAHULUAN. semua itu kita pahami sebagai komitmen kebijakan Pemerintah Daerah kepada. efisien dengan memanfaatkan sumber anggaran yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN. Umum dan Tata Cara Perpajakan pasal 1 ayat 1 mendefinisikan pajak dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BADUNG MEMUNGUT BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

I. PENDAHULUAN. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

BAB I PENDAHULUAN. Adanya otonomi daerah membuat pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari pajak. Menurut UU Republik Indonesia No 28 tahun 2007, pajak

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan wujud partisipasi dari masyarakat dalam. pembangunan nasional. Pajak merupakan salah satu pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam era globalisasi dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuntutan reformasi disegala bidang membawa dampak terhadap hubungan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional,

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB II PENERIMAAN DAERAH DAN PENGALIHAN PBB-P2

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dan pelaksanaan pembangunan nasional. Keberhasilan suatu

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa

Judul : Tata Cara Pemungutan, Perhitungan, Dan Pembayaran Pajak Hotel Dan Restoran Nama : Dewa Ayu Kartika Mahariani NIM : ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah, namun di sisi lain memberikan implikasi tanggung jawab yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Bhayangkara Jaya

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa orde baru, pembangunan yang merata di Indonesia sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. (Diana Sari, 2013:40). Selanjutnya Diana Sari menyatakan, sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

PENGARUH RASIO KEMANDIRIAN, EFEKTIFITAS DAN PERTUMBUHAN PADA KABUPATEN SOPPENG

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak negara yang dikenakan terhadap

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN DANA ALOKASI UMUM (DAU) TERHADAP BELANJA LANGSUNG

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. kapabilitas dan efektivitas dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun

PENGARUH DESENTRALISASI BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) TERHADAP PENDAPATAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM

I. PENDAHULUAN. pemungutan yang dapat dipaksakan oleh pemerintah berdasarkan ketentuan

BAB I PENDAHULUAN. didalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bertumpu pada penerimaan asli daerah. Kemandirian pembangunan baik di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pembangunan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun Kebijkan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan prinsip

ANALISIS PERANAN PAJAK DAERAH DALAM RANGKA PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No. 22 Tahun 1999 yang telah diganti dengan UU No. 34 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara membutuhkan pendanaan dalam menggerakan dan

KONSTRIBUSI PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI KABUPATEN PAMEKASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

ANALISIS PENERIMAAN PAJAK REKLAME, PAJAK HIBURAN, PAJAK HOTEL DAN PAJAK RESTORAN TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA YOGYAKARTA PERIODE

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah pusat dan pembangunan (Siahaan, 2010:9). Sedangkan pajak

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN PENCATATANNYA PADA DINAS PENDAPATAN KOTA MANADO

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dengan adanya sistem desentralisasi maka pemerintah pusat

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dikelola dengan baik dan benar untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik

1 Universitas Bhayangkara Jaya

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. Adanya perubahan Undang-Undang Otonomi daerah dari UU

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu bentuk kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. disamping sektor migas dan ekspor barang-barang non migas. Sebagai salah satu

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 165/PMK.07/2012 TENTANG PENGALOKASIAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Keyword: Local Tax, Local Retribution, Local Original Revenue.

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

Peraturan pelaksanaan Pasal 159 Peraturan Menteri Keuangan. 11/PMK.07/ Januari 2010 Mulai berlaku : 25 Januari 2010

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat

BAB I PENDAHULUAN. sangat diperlukan dalam penyelenggaraan suatu negara hal ini untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

Transkripsi:

PENGARUH DESENTRALISASI BPHTB TERHADAP PENERIMAAN DAERAH KABUPATEN BADUNG Komang Yogi Wirasatya Made Yenni Latrini 1 Fakultas Ekonomi Universitas Udayana (Unud), Bali, Indonesia email: yogi.wirasatya@yahoo.com / telp: +62 85 921 698 954 2 Fakultas Ekonomi Universitas Udayana (Unud), Bali, Indonesia ABSTRAK Pengalihan BPHTB menjadi pajak daerah diharapkan akan memiliki pengaruh terhadap penerimaan daerah Kabupaten Badung, pengalihan ini akan menjadi salah satu sumber penerimaan daerah yang cukup potensial bagi Kabupaten Badung. Sampel dalam penelitian ini adalah laporan bulanan realisasi penerimaan daerah Kabupaten Badung tahun 2010 (sebelum diakuinya BPHTB menjadi pajak daerah) dan tahun 2011 (sesudah diakuinya BPHTB menjadi pajak daerah). Dengan menggunakan teknik analisis regresi dan analisis korelasi didapatkan hasil bahwa desentralisasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berpengaruh positif secara signifikan terhadap pendapatan asli daerah dan pendapatan daerah di Kabupaten Badung. Namun DBH tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan daerah akibat desentralisasi BPHTB. Hasil analisis secara korelasi menyatakan bahwa desentralisasi BPHTB memiliki korelasi yang kuat terhadap pendapatan asli daerah dan pendapatan daerah di Kabupaten Badung. Hasil analisis korelasi DBH juga memiliki juga korelasi yang kuat terhadap pendapatan daerah namun tidak signifikan. Kata Kunci : Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Desentralisasi, Pendapatan Asli Daerah, Pendapatan Daerah. ABSTRACT The transfer of local tax BPHTB be expected to have an influence on the acceptance of Badung regency, this transition will be a source of considerable revenue potential areas for Badung regency. The sample in this study is a monthly report actual revenues Badung regency in 2010 (prior to the recognition of a tax BPHTB areas) and in 2011 (after he admitted BPHTB a local tax). By using the technique of regression analysis and correlation analysis showed that decentralization Customs Acquisition Rights to Land and Buildings significantly positive effect on local revenues and local revenues in Badung. However DBH did not significantly affect local revenues resulting from decentralization BPHTB. The results of the correlation analysis BPHTB states that decentralization has a strong correlation to revenue and earnings in Badung district. The results of correlation analysis DBH has also a strong correlation to regional revenue, but not significant. Keywords: Bea Acquisition Rights to Land and Buildings, Decentralization, Revenue, Revenue Region. 1

I. PENDAHULUAN Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan telah membawa perubahan mendasar dalam tata pemerintahan dan pengelolaan keuangan daerah, dimana dalam pelaksanaan otonomi dan desentralisasi fiskal, pemda dituntut untuk lebih mandiri dalam melaksanakan pembangunan. Sidik (2002) menyatakan bahwa dalam era ini, pemerintah daerah diharapkan mampu menggali dan mengoptimalkan potensi (keuangan lokal), khususnya Pendapatan Asli Daerah. Ditetapkannya Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi adalah hal yang sangat mendasar dan strategi dibidang desentralisasi fiskal, khususnya untuk BPHTB yang mengalami perubahan dari pajak pusat menjadi pajak daerah, diharapkan akan berdampak pada peningkatan penerimaan daerah Kabupaten Badung. Pengalihan BPHTB dari pajak pusat menjadi pajak daerah diharapkan akan berdampak pada peningkatan penerimaan daerah sehingga akan mendorong derajat kemandirian keuangan pemerintah daerah serta mengurangi tingkat ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Pengalihan BPHTB sebagai pajak pusat menjadi pajak daerah tentunya tidak hanya berdampak pada PAD tetapi juga akan berdampak pada penerimaan Dana Bagi Hasil. Hal ini disebabkan terjadinya pemindahan pos penerimaan BPHTB yang sebelumnya berada pada pos Dana Bagi Hasil Pajak, berpindah ke pos Pendapatan Asli Daerah. Dengan demikian desentralisasi BPHTB tidak saja berdampak terhadap PAD tetapi juga akan berdampak terhadap DBH. 2

Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi pokok masalah penelitian ini adalah. 1) Bagaimana pengaruh desentralisasi BPHTB terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Dispenda Kabupaten Badung? 2) Bagaimana pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Pendapatan Daerah sebelum dan sesudah desentralisasi BPHTB di Dispenda Kabupaten Badung? 3) Bagaimana pengaruh BPHTB terhadap Pendapatan Daerah sebelum dan sesudah desentralisasi di Dispenda Kabupaten Badung? II. KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS Otonomi Daerah Otonomi daerah menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 yaitu hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Desentralisasi menurut UU Nomor 32 Tahun 2004, diartikan pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pusat kepada daerah otonom untuk mengelola urusan pemerintahan dalam sistem NKRI. Pajak Daerah Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang pajak daerah dan retribusi daerah dalam Pasal 1 mendefinisikan Pajak Daerah adalah iuran wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan 3

untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pendapatan Asli Daerah (PAD) PAD adalah pendapatan yang benar-benar diperoleh dan dipergunakan oleh daerah untuk membiayai penyelenggaraan otonomi daerah. Semakin besar penerimaan PAD, berarti bahwa kemampuan dalam melaksanakan pembangunan akan lebih baik. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besamya kemakmuran rakyat. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 pengertian BPHTB antara lain adalah: 1) BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. 2) Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Objek Pajak Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB). Subjek Pajak Berdasarkaan Pasal 1 Perda Kabupaten Badung Tahun 2010 tentang BPHTB Subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas 4

tanah dan atau bangunan. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak BPHTB. Tarif Pajak Besarnya tarif pajak atas objek pajak BPHTB adalah 5% (Pasal 6 Perda Kabupaten Badung No.14 Tahun 2010 tentang BPHTB). Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. Hipotesis Perlu diketahui bahwa sebelum berlakunya UU PDRD, BPHTB merupakan pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat tetapi hasilnya diberikan kepada pemerintah daerah melalui pos Dana Bagi Hasil. Skema bagi hasil BPHTB dapat dilihat pada Gambar 2.1 Gambar 2.1 Skema Bagi Hasil BPHTB Sebelum Desentralisasi Hasil penerimaan BPHTB 100% Pemerintah Pusat 20% Pemerintah Daerah 80% Dibagikan kepada seluruh Kabupaten/Kota Daerah Provinsi 16% Daerah Kab/Kota 64% Sumber: Undang-undang No. 20 tahun 2000 tentang BPHTB Pengalihan BPHTB tentunya tidak hanya berdampak pada PAD dan pendapatan daerah tetapi juga akan berdampak pada penerimaan Dana Bagi Hasil. 5

Skema pembagian sumber-sumber keuangan pendapatan daerah sebelum desentralisasi dan sesudah desentralasasi dapat dilihat pada Gambar 2.2. Gambar 2.2 Skema Pembagian Sumber-Sumber Keuangan Pendapatan Daerah Sebelum Desentralisasi dan Sesudah Desentralisasi PAD (Sesudah Desentralisasi) BPHTB Pendapatan Daerah Dana Perimbangan (Sebelum Desentralisasi) BPHTB Lain-lain Pendapatan Daerah Sumber: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang PDRD Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 disebutkan bahwa penentuan kapasitas fiskal untuk dana perimbangan dipengaruhi oleh PAD, artinya jika PAD naik maka dana perimbangan turun atau sebaliknya. Dengan demikian desentralisasi BPHTB tidak saja berdampak terhadap PAD tetapi juga akan berdampak terhadap dana perimbangan Sejak dilaksanakannya desentralisasi fiskal, pemerintah pusat mengharuskan daerah dapat mengatur sumber dayanya sendiri sehingga tidak hanya bertumpu pada Dana Perimbangan. Dibeberapa daerah peran DAU sangat signifikan karena karena kebijakan belanja daerah lebih di dominasi oleh jumlah DAU daripada PAD (Sidik et al, 2002). H 0 : Dana Bagi Hasil (DBH) tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap 6

Pendapatan Daerah sebelum dan sesudah desentralisasi BPHTB di Dispenda Kabupaten Badung. H 1 : Desentralisasi BPHTB memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap penerimaan PAD di Dispenda Kabupaten Badung. H 2 : Desentralisasi BPHTB memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap Pendapatan Daerah sebelum dan sesudah desentralisasi di Dispenda Kabupaten Badung. III. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Badung, tepatnya pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung. Definisi Operasional Variabel 1) Pendapatan Asli Daerah (PAD) PAD adalah penerimaan yang berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, lain-lain pendapatan daerah yang sah dari Kabupaten Badung pada tahun 2010 dan 2011. Satuan PAD yang digunakan dalam persamaan regresi adalah puluhan milyar. 2) Dana Bagi Hasil (DBH) DBH adalah dana yang berasal dari dana penerimaan APBN yang diberikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah. Satuan DBH yang digunakan dalam persamaan regresi adalah puluhan milyar. 7

3) Pendapatan Daerah Pendapatan dalam APBD yang terdiri dari semua penerimaan uang melalui rekening kas umum Daerah yang merupakan hak Daerah dalam satu tahun anggaran. Satuan pendapatan daerah yang digunakan dalam persamaan regresi adalah puluhan milyar. 4) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) BPHTB merupakan pajak yang dipungut atas perolehan hak atas tanah dan bangunan dengan tarif sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak. Satuan BPHTB yang digunakan dalam persamaan regresi adalah puluhan milyar. Populasi dan Sampel Populasi pada penelitian ini ialah semua laporan bulanan realisasi penerimaan daerah di Dispenda Kabupaten Badung. Kriteria yang digunakan untuk menentukan sampel adalah sebagai berikut. 1) Laporan bulanan realisasi penerimaan daerah Kabupaten Badung tahun 2010 (sebelum diakuinya BPHTB menjadi pajak daerah). 2) Laporan bulanan realisasi penerimaan daerah Kabupaten Badung tahun 2011 (sesudah diakuinya BPHTB menjadi pajak daerah). Teknik Analisis Data Analisis Regresi Analisis regresi yang akan digunakan adalah persamaan regresi sederhana dan regresi menggunakan variabel dummy, Algifari (2000:93) variabel yang dianalisis 8

dengan model regresi dapat berupa variabel kuantitatif dan dapat pula berupa variabel kualitatif. Variabel kualitatif dalam model regresi sering disebut dengan variabel dummy, maka model regresi stokastiknya adalah: Ŷ = a + b 1 X + b 2 D + e 1 Keterangan: X = Variabel BPHTB Y = Variabel penerimaan daerah a dan b = Koefisien korelasi D = Variabel dummy/waktu desentralisasi Ŷ = nilai taksir dari Y Nilai variabel kualitatif dalam penelitian ini diberi nilai 1 dan 0 untuk masing-masing kategori. Jika nilai kuantitatif untuk kategori sesudah desentralisasi adalah 1 dan nilai kuantitatif untuk kategori sebelum desentralisasi adalah 0 Khusus untuk pengaruh desentralisasi BPHTB terhadap PAD Kabupaten Badung tidak menggunakan regresi dengan variabel dummy tetapi menggunakan analisis regresi sederhana. Analisis Korelasi Analisis korelasi adalah suatu persamaan yang menjelaskan kuat atau lemahnya hubungan antara satu variabel atau lebih. Hubungan yang terdapat pada r dianggap signifikan jika nilai signifikansi < 0,05 (tingkat kesalahan). IV. PEMBAHASAN Pembahasan Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh antara desentralisasi BPHTB terhadap penerimaan daerah, penulis melakukan pembahasan sebagai berikut. 9

Pengaruh Desentralisasi BPHTB Terhadap Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) BPHTB sebelum desentralisasi memegang peranan dalam pendapatan daerah karena merupakan pendapatan terbesar dalam dana bagi hasil. Meskipun BPHTB termasuk pajak pusat, tetapi tetap memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah. Sesudah desentralisasi BPHTB merupakan pajak yang sepenuhnya dikelola oleh pemerintah daerah. Penerimaan BPHTB terhadap PAD sesudah desentralisasi disajikan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Penerimaan BPHTB Terhadap Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Bulan Pendapatan Asli Daerah (Rp) BPHTB (Rp) Sesudah Januari 111.241.141.963 540.523.000 Februari 85.726.407.361 8.739.583.265 Maret 100.330.041.281 12.021.878.415 April 85.388.122.437 12.957.050.445 Mei 121.535.563.168 15.133.569.450 Juni 104.371.574.536 12.623.476.555 Juli 117.181.656.301 15.248.851.632 Agustus 123.827.179.843 18.655.113.645 September 112.198.222.834 23.787.573.951 Oktober 144.634.803.961 16.152.792.903 November 139.465.410.306 26.322.964.799 Desember 148.557.188.328 56.821.513.962 Jumlah 1.394.457.312.319 219.004.892.022 Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung, 2010-2011 Pengaruh Dana Bagi Hasil Terhadap Pendapatan Daerah Sebelum dan Sesudah adanya Desentralisasi BPHTB Berlakunya UU PDRD maka skema bagi hasil menjadi tidak berlaku lagi. Pengalihan BPHTB akan berdampak juga pada penerimaan Dana Bagi Hasil, 10

penerimaan DBH terhadap pendapatan daerah sebelum dan sesudah desentralisasi ditunjukkan pada Tabel 4.2. Kesimpulannya pengalihan BPHTB sebagai pajak pusat menjadi pajak daerah tentunya tidak hanya berdampak pada PAD dan pendapatan daerah tetapi juga akan berdampak pada penerimaan DBH. Tabel 4.2 Penerimaan DBH Terhadap Pendapatan Daerah Bulan Pendapatan Daerah (Rp) Dana Bagi Hasil (Rp) Januari 115.741.093.287 1.598.952.637 Sebelum Februari 118.583.803.801 5.723.756.261 Maret 100.389.829.095 7.187.913.326 April 88.626.758.597 8.195.601.256 Mei 70.981.714.965 6.143.183.545 Juni 167.619.070.608 5.559.508.547 Juli 113.106.426.014 16.007.845.523 Agustus 117.886.819.354 20.385.691.054 September 144.142.551.830 43.768.689.463 Oktober 128.312.904.731 9.656.513.080 November 117.362.742.194 10.466.500.648 Desember 142.849.996.272 35.018.663.018 Jumlah 1.425.603.710.748 169.712.818.358 Sesudah Januari 147.590.568.103 550.084.000 Februari 100.903.327.914 1.980.073.971 Maret 120.804.938.751 7.251.188.870 April 110.703.075.237 2.629.561.636 Mei 150.213.048.394 3.764.175.394 Juni 140.445.023.449 8.538.517.986 Juli 158.661.764.078 7.205.073.783 Agustus 157.529.757.056 20.160.319.261 September 173.385.014.249 36.357.399.888 Oktober 182.479.999.065 4.953.523.795 November 180.219.183.018 5.916.983.040 Desember 215.162.935.181 24.091.913.232 Jumlah 1.838.098.634.495 123.398.814.856 Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung, 2010-2011 11

Pengaruh BPHTB Terhadap Penerimaan Pendapatan Daerah Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Desentralisasi BPHTB secara tidak langsung akan menambah penerimaan pendapatan daerah Kabupaten Badung dalam melaksanakan pembangunan daerah. Penerimaan BPHTB terhadap pendapatan daerah sebelum dan sesudah desentralisasi ditunjukkan pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 menjelaskan bahwa penerimaan BPHTB terhadap pendapatan daerah sesudah adanya desentralisasi cenderung lebih besar daripada sebelum adanya desentralisasi, hal ini dikarenakan alokasi penerimaan BPHTB setelah adanya desentralisasi meningkat menjadi 100% untuk Daerah yang bersangkutan. 12

Tabel 4.3 Penerimaan BPHTB Terhadap Pendapatan Daerah Bulan Pendapatan Daerah (Rp) BPHTB (Rp) Sebelum Januari 115.741.093.287 519.305.085 Februari 118.583.803.801 5.013.239.907 Maret 100.389.829.095 5.494.047.201 April 88.626.758.597 36.381.567.356 Mei 70.981.714.965 3.823.984.350 Juni 167.619.070.608 2.795.724.821 Juli 113.106.426.014 10.469.995.155 Agustus 117.886.819.354 6.596.207.889 September 144.142.551.830 10.341.950.492 Oktober 128.312.904.731 5.207220.744 November 117.362.742.194 7.717.048.209 Desember 142.849.996.272 17.602.281.763 Jumlah 1.425.603.710.748 111.962.572.972 Sesudah Januari 147.590.568.103 540.523.000 Februari 100.903.327.914 8.739.583.265 Maret 120.804.938.751 12.021.878.415 April 110.703.075.237 12.957.050.445 Mei 150.213.048.394 15.133.569.450 Juni 140.445.023.449 12.623.476.555 Juli 158.661.764.078 15.248.851.632 Agustus 157.529.757.056 18.655.113.645 September 173.385.014.249 23.787.573.951 Oktober 182.479.999.065 16.152.792.903 November 180.219.183.018 26.322.964.799 Desember 215.162.935.181 56.821.513.962 Jumlah 1.838.098.634.495 219.004.892.022 Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Badung, 2010-2011 Uji Hipotesis Pengaruh Desentralisasi BPHTB Terhadap Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Untuk mengetahui bagaimana pengaruh desentralisasi BPHTB terhadap penerimaan PAD perlu dilakukan pengujian hipotesis sebagai berikut Desentralisasi 13

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap penerimaan PAD di Dispenda Kabupaten Badung. Hipotesis tersebut akan diuji dengan menggunakan uji statistik analisis regresi sederhana tanpa menggunakan variabel dummy dan analisis korelasi. Analisis regresi Persamaan regresi estimasi penerimaan PAD setiap bulan di Dispenda Kabupaten Badung dari hasil perhitungan minitab adalah: Ŷ = a + bx Ŷ = 8,56 + 0,922X Berdasarkan model regresi yang terbentuk, dapat diinterpretasikan hasilnya sebagai berikut. 1) Pengujian terhadap koefisien regresi. BPHTB menunjukkan koefisien regresi positif sebesar 8,56. Nilai b positif dan tanda positif menunjukkan bahwa hubungan antara variabel X dan variabel Y bersifat searah. 2) BPHTB (X) memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap PAD Kabupaten Badung, karena tingkat signifikansi sebesar 0,013 (0,026/2) lebih kecil daripada tingkat signifikansi yang dipilih (α = 5%). Apabila dilihat dari t hitung (X) yang didapatkan sebesar 2,39 dan nilai t tabel sebesar 1,812, maka didapatkan hasil t hitung > t tabel. Analisis Korelasi Dari hasil perhitungan diatas, nilai koefisien korelasi (r) desentralisasi BPHTB yang diperoleh adalah 0,643, maka dapat disimpulkan terdapat hubungan korelasi 14

kuat antara variabel X dengan variabel Y. Pengaruh Dana Bagi Hasil Terhadap Pendapatan Daerah Sebelum dan Sesudah adanya Desentralisasi BPHTB Untuk mengetahui bagaimana pengaruh Dana Bagi Hasil terhadap pendapatan daerah sesudah adanya desentralisasi BPHTB perlu dilakukan tersebut akan diuji dengan menggunakan uji statistik analisis regresi yang menggunakan variabel dummy dan analisis korelasi. Analisis regresi Persamaan regresi estimasi penerimaan pendapatan daerah setiap bulan di Dispenda Kabupaten Badung dari hasil perhitungan adalah: Ŷ = a + b 1 X + b 2 D + e Ŷ = 10,30 + 1,15X + 3,88D Berdasarkan model regresi yang terbentuk, dapat diinterpretasikan hasilnya sebagai berikut. 1) Pengujian terhadap koefisien regresi. DBH (X) tidak signifikan pada tingkat 5%, karena tingkat signifikansi sebesar 0,0635 (0,127/2) lebih besar dari α yang dipilih. Waktu desentralisasi (D) memiliki tingkat signifikansi sebesar 0,002 lebih kecil daripada tingkat signifikansi yang dipilih (α = 5%). Apabila dilihat dari t hitung (X) yang didapatkan sebesar 1,42 dan nilai t tabel sebesar 1,812, maka didapatkan hasil t hitung < t tabel. 2) Pengujian terhadap pengaruh DBH (X) dan waktu desentralisasi (D) terhadap penerimaan daerah Kabupaten Badung. Hasil perhitungan menunjukkan 15

tingkat signifikansi sebesar 0,003 pada tingkat signifikansi α = 5%, dapat disimpulkan bahwa DBH dan waktu desentralisasi berpengaruh terhadap pendapatan daerah Kabupaten Badung Analisis Korelasi Dari hasil perhitungan diatas, nilai koefisien korelasi (r) DBH yang diperoleh adalah 0,656, maka dapat disimpulkan terdapat hubungan korelasi kuat antara model regresi estimasi DBH dan besarnya pendapatan daerah Kabupaten Badung. Tetapi Hubungan yang terdapat pada analisis korelasi ini dianggap tidak signifikan karena nilai signifikansi > 0,05. Pengaruh BPHTB Terhadap Penerimaan Pendapatan Daerah Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Untuk mengetahui bagaimana pengaruh desentralisasi BPHTB terhadap penerimaan pendapatan daerah perlu dilakukan pengujian akan diuji dengan menggunakan uji statistik analisis regresi yang menggunakan variabel dummy dan analisis korelasi. Analisis regresi Persamaan regresi estimasi penerimaan pendapatan daerah setiap bulan di Dispenda Kabupaten Badung dari hasil perhitungan di atas adalah: Ŷ = a + b 1 X + b 2 D + e Ŷ = 10,90 + 1,01X + 2,54D Berdasarkan model regresi yang terbentuk, dapat diinterpretasikan hasilnya sebagai berikut. 16

1) Pengujian terhadap koefisien regresi. BPHTB (X) signifikan pada tingkat 5%, karena tingkat signifikansi sebesar 0,026 (0,052/2) lebih kecil dari α yang dipilih. Artinya, pada α = 5%, BPHTB (X) memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap pendapatan daerah Kabupaten Badung atau H 2 diterima. Waktu desentralisasi (D) memiliki tingkat signifikansi sebesar 0,047 lebih kecil daripada tingkat signifikansi yang dipilih (α = 5%). Apabila dilihat dari t hitung (X) yang didapat sebesar 2,06 dan nilai t tabel sebesar 1,812, maka didapatkan hasil t hitung > t tabel. 2) Pengujian terhadap pengaruh BPHTB (X) dan waktu desentralisasi (D) terhadap pendapatan daerah Kabupaten Badung. Hasil perhitungan menunjukkan tingkat signifikansi sebesar 0,005 pada tingkat signifikansi α = 5%, dapat disimpulkan bahwa BPHTB dan desentralisasi BPHTB berpengaruh terhadap pendapatan daerah Kabupaten Badung. Analisis Korelasi Dari hasil perhitungan diatas, nilai koefisien korelasi (r) desentralisasi BPHTB yang diperoleh adalah 0,628, maka dapat disimpulkan terdapat hubungan korelasi kuat antara model regresi estimasi BPHTB dan besarnya pendapatan daerah Kabupaten Badung. Hubungan yang terdapat pada analisis korelasi ini dianggap signifikan karena nilai signifikansi < 0,05. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis regresi, penerimaan BPHTB terhadap PAD sesudah desentralisasi di Kabupaten Badung memiliki pengaruh positif yang signifikan 17

(tingkat signifikansi < ) atau H 1 diterima. Hasil koefisien korelasi (r) desentralisasi BPHTB yang diperoleh adalah 0,643, maka dapat disimpulkan terdapat hubungan korelasi kuat antara model regresi estimasi BPHTB dan besarnya PAD Kabupaten Badung. Sedangkan tanda positif dari nilai koefisien korelasinya menunjukkan bahwa antara kedua variabel mempunyai hubungan yang bersifat searah. Pengaruh Dana Bagi Hasil terhadap pendapatan daerah Kabupaten Badung sebelum dan sesudah desentralisasi BPHTB tidak memiliki pengaruh yang signifikan (tingkat signifikansi > ) atau H 0 diterima. Skema pengalihan ini dapat dilihat Gambar 2.2 dan 2.3. Hasil koefisien korelasi (r) DBH yang diperoleh adalah 0,656, maka dapat disimpulkan terdapat hubungan korelasi kuat antara model regresi estimasi DBH dan besarnya pendapatan daerah Kabupaten Badung. Sedangkan tanda positif dari nilai koefisien korelasinya menunjukkan bahwa antara kedua variabel mempunyai hubungan yang bersifat searah. Tetapi Hubungan yang terdapat pada analisis korelasi ini dianggap tidak signifikan karena nilai signifikansi > 0,05. Pengaruh BPHTB terhadap pendapatan daerah Kabupaten Badung sebelum dan sesudah desentralisasi memiliki pengaruh positif yang signifikan (tingkat signifikansi < ) atau H 2 diterima. Hasil koefisien korelasi (r) desentralisasi BPHTB yang diperoleh adalah 0,628, dapat disimpulkan terdapat hubungan korelasi kuat antara model regresi estimasi BPHTB dan besarnya pendapatan daerah Kabupaten Badung. Tanda positif dari nilai koefisien korelasinya menunjukkan bahwa antara kedua variabel mempunyai hubungan yang bersifat searah. 18

V. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa desentralisasi BPHTB memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap penerimaan daerah Kabupaten Badung, ini terbukti dari hasil analisis regresi dan korelasi sebagai berikut. a. Secara statistik, desentralisasi BPHTB memiliki pengaruh positif yang signifikan pada PAD Kabupaten Badung. Dapat dilihat dari koefisien regresi sebesar 8,56 dengan signifikansi sebesar 0,013. Nilai koefisien korelasi (r) desentralisasi BPHTB yang diperoleh adalah 0,643, maka dapat disimpulkan terdapat hubungan korelasi yang kuat. b. Secara statistik, DBH tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada pendapatan daerah Kabupaten Badung. Dapat dilihat dari koefisien regresi sebesar 10,30 dengan signifikansi sebesar 0,0635. Nilai koefisien korelasi (r) adalah 0,656, maka dapat disimpulkan terdapat hubungan yang korelasi kuat. Tetapi Hubungan ini dianggap tidak signifikan karena nilai signifikansi > 0,05. c. Secara statistik, BPHTB memiliki pengaruh positif yang signifikan pada pendapatan daerah Kabupaten Badung. Dapat dilihat dari koefisien regresi sebesar 10,90 dengan signifikansi sebesar 0,026. Nilai koefisien korelasi (r) adalah 0,628, maka dapat disimpulkan terdapat hubungan korelasi yang kuat. 19

Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis mengajukan saran, untuk lebih meningkatkan lagi penerimaan BPHTB yang sudah dilimpahkan kepada daerah, sehingga ketergantungan terhadap pemerintah pusat bisa dikurangi. Wajib pajak juga harus selalu diingatkan betapa pentingnya membayar pajak khususnya untuk sektor BPHTB. Pemerintah sebaiknya juga meningkatkan pengendalian dan koordinasi atas pelaksanaan pemungutan BPHTB. Bagi penelitian selanjutnya agar menganalisis desentralisasi BPHTB dengan jangka waktu yang lebih panjang antara 3-5 tahun. DAFTAR RUJUKAN Departemen Dalam Negeri. 2000. Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 18 Tahun 1997. Jakarta.. 2004. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Jakarta.. 2004. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta.. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta. Direktorat Jenderal Pajak. 2000. Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Jakarta.. 2008. Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta. Mardiasmo. 2009. Perpajakan. Yogyakarta: CV. Andi Offset. Pemerintah Kabupaten Badung. 2010. Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Badung 20