ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III

dokumen-dokumen yang mirip
WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG HASIL RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG BERSIFAT MULTILATERAL

BAB IV PENUTUP. sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

INTERNASIONAL ; BAGIAN 2

URGENSI PENGGANTIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015

Bola Panas Putusan Pengujian Undang-Undang Pengesahan Piagam ASEAN oleh: Ade Irawan Taufik *

Ni Ketut: Wewenang Mahkamah Konstitusi. Article history: Submitted 28 October 2014; Accepted 11 January 2015; Available Online 31 January 2015

TEORI / AJARAN TTG HUBUNGAN H.I. DGN. H.N.: TEORI DUALISME, MONISME DAN PRIMAT HI

2. Perundingan: Merupakan tahap awal yang dilakukan oleh kedua pihak yang berunding mengenai kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian internasional.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Chapter Five. Pelaksanaan Perjanjian Internasional. Article 26 Vienna Convention on Treaty

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

HUKUM PERJANJIAN. Aspek Hukum dalam Ekonomi Hal. 1

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

I.PENDAHULUAN. Perkembangan kehidupan bersama bangsa-bangsa dewasa ini semakin tidak mengenal batas

Lex Administratum, Vol.I/No.3/Jul-Sept/2013

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

BAB I PENDAHULUAN. hukum dikenal adanya kewenangan uji materiil (judicial review atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah melahirkan sebuah

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA)

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

BAB III SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 57/PUU-XV/2017

BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

Pengujian Peraturan. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Fitra Rizki Yudhaputra. S1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya,

I. PEMOHON Perkumpulan Tukang Gigi (PTGI) Jawa Timur yang dalam hal ini di wakili oleh Mahendra Budianta selaku Ketua dan Arifin selaku Sekretaris

Pasal 38 Statuta MI, sumber-sumber HI:

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XIV/2016 Pembatalan Perda Oleh Gubernur dan Menteri

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 69/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

Chapter Three. Pembuatan Perjanjian Internasional. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 11 (1)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 48/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016

Poin-poin Kunci: Introduction

RechtsVinding Online

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

URGENSI MENYEGERAKAN PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 17 Juli 2016; disetujui: 15 September 2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004).

Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini:

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

DINAMIKA PETAHANA DAN PENCALONANNYA DALAM PILKADA Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 04 Mei 2016; disetujui: 26 Mei 2016

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

VIENNA CONVENTION ON THE LAW OF TREATIES 1969

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma Dalam Undang-Undang Oleh: Muchamad Ali Safa at (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL ARIE AFRIANSYAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

: Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study Penulis buku : Dr. iur. Damos Dumoli Agusman : PT. Remaja Rosda Karya

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

RINGKASAN PUTUSAN.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB V PENUTUP. 1. Permohonan pengujian judicial review diajukan oleh Machica. kekuatan hukum dengan segala akibatnya. Machica dan putranya,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 20/PUU-X/2012 Tentang Peralihan Saham Melalui Surat Kesepakatan Bersama

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pada deskripsi dan analisis yang telah dilakukan diperoleh

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XIII/2015 Penyalahgunaan Wewenang oleh Pejabat

PENGHARMONISASIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DIREKTORAT JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Penguatan Kerangka Hukum Efek Syariah Melalui Revisi Undang-Undang Pasar Modal Oleh: Muhammad Faiz Aziz *

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Richard T. Schaefer dan Robert P. Lamm adalah sejumlah besar orang yang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I);

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN Nomor 88/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 54/PUU-X/2012 Tentang Parliamentary Threshold dan Electoral Threshold

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RechtsVinding Online

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

BAB I PENDAHULUAN (UUD NRI Tahun 1945) terutama pada Pasal 18 ayat (4) yang menyatakan,

BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi

KUASA HUKUM Munathsir Mustaman, S.H., M.H. dan Habiburokhman, S.H., M.H. berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 18 Desember 2014

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 45/PUU-XV/2017 Kewajiban Pengunduran Diri Bagi Anggota DPR, DPD dan DPRD Dalam PILKADA

Transkripsi:

52 BAB III Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU- IX/2011 terhadap Kekuatan Mengikat Hasil Ratifikasi Charter of The Association of Southeast Asian Nations 3.1 Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 terhadap Kekuatan Mengikat Hasil Ratifikasi Charter of The Association of Southeast Asian Nations Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/ 2011 terkait dengan pengujian perjanjian internasional menyatakan menolak permohonan seluruhnya. Hal tersebut tidak berakibat terhadapa kekuatan mengikat perjanjian internasional dikarenakan tidak ada pengujian norma terhadap perjanjian internasional tersebut. Kekuatan mengikat perjanjian internasional tentu tidak lepas dari asas-asas pelaksanaan dari hukum perjanjian internasional. Asas tersebut diantara lain adalah asas free consent, asas itikad baik (good faith), asas pacta sunt servanda selain itu juga terdapat asas lain yang tidak kalah pentingnya yaitu asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt, asas non-retroactive, dan jus cogens. 59 Asas free consent muncul ketika negara pihak atau peserta sedang merundingkan dan menyepakati serta meratifikasi naskah perjanjian. 60 Asas ini merupakan asas kebebasan dari pihak dalam mengajukan aspirasinya maupun 59 I Wayan P., Hukum Perjanjian Internasional : Bagian 2, Mandar Maju, Bandung, 2005, h. 261. 60 Ibid., h. 262. 52

53 melakukan tindakan dalam pembuatan perjanjian internasional. Jika salah satu pihak mendapat tekanan dalam proses pembuatan perjanjian internasional, maka dapat menimbulkan akibat hukum seperti batalnya (void) ataupun tidak sahnya perjanjian internasional. 61 Asas good faith memiliki pengertian bahwa para pihak harus memiliki itikad baik dari proses awal pembuatan perjanjian internasional hingga proses entry into force serta pelaksanaan perjanjian internasional. Asas yang selanjutnya adalah asas pacta sunt servanda, asas ini menekankan pada kewajiban para pihak untuk menaati isi perjanjian. 62 Hal ini ditekankan kembali pada Pasal 26 Konvensi Wina 1961 yang menyatakan bahwa Every treaty in force is binding upon the parties to it, and must be performed by them in a good faith. Asas yang tidak kalah penting lainnya adalah asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt, yang mengandung makna bahwa suatu perjanjian internasional hanya memberikan hak dan membebani kewajiban terhadap para pihak yang terikat pada perjanjian itu. Dengan kata lain pihak ketiga yang tidak terikat dalam perjanjian ini tidak dibebani kewajiban maupun hak yang disepakati dalam perjanjian tersebut. Asas yang terakhir adalah asas non-retroactive yang memiliki arti suatu kaidah hukum tidak berlaku surut. Hal ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 28 Konvensi Wina 1961 yang menyatakan sebagai berikut: Unless a different intention appears from the treaty or is otherwise established, its provision do not bint a party in relation to any act or fact which took place or any situation which 61 Ibid. 62 Ibid.

54 ceased to exist before the date of the entry ito force of the treaty with respect to the party. Pasal 28 tersebut dapat diartikan sebagai bahwa perjanjian internasional tidak dapat berlaku retroaktif, tapi dapat berlaku retroaktif jika diperuntukkan untuk itu atau tujuan perjanjian internasional tersebut menyatakan demikian. Beberapa asas yang telah disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian internasional yang dibuat oleh Indonesia dengan negara lain hanya mengikat para pihak saja. Pembuatan ASEAN Charter yang menjadi para pihak adalah Indonesia sebagai negara, maka untuk megikat warga negaranya secara langsung dibutuhkan instrumen lebih lanjut yang memuat norma perjanjian internasional tersebut untuk mudah diterapkan di masyarakat. Lalu bagaimana jika amar Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menerima permohonan untuk menguji undang-undang hasil ratifikasi piagam ASEAN tersebut? Lalu bagaimana dengan keberlakuan perjanjian internasional itu sendiri, apakah akan gugur dengan sendirinya atau hanya gugur kewajibannya bagi Indonesia. Maka dari itu perlu dilihat bagaimana hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional. Dalam hubungan hukum nasioal dan hukum internasional terdapat 2 teori yaitu paham dualisme dan paham monisme. 3.1.1 Paham Dualisme Menurut paham atau teori dualisme, hukum interasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda secara

55 intrinsik. 63 Hukum internasional bersumber kepada kehendak bersama atau kesepakatan negara-negara sementara hubungan nasional bersumber pada kehendak negara dan kekuasaan negara. Hukum Internasional dilandasi prinsip dasar pacta sunt servanda, sedangkan hukum nasional dilandasi prinsip dasar bahwa peraturan perundnag-undangan harus ditaati. 64 Akibatnya, diperlukan suatu transformasi dari hukum internasional menjadi hukum nasional berdasarkan peraturan perundangundangan agar kaidah dalam hukum internasional tersebut dapat berlaku dan tunduk pada peraturan perundang-undangan nasional suatu negara. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan pernyataan di atas: 1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional. Jika sumber hukumnya berbeda maka dapat berakibat pada proses penerapan nantinya; 63 Isplancius Ismail, September 2013, Penerapan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 dalam Hukum Nasional Indonesia (Studi tentang Urgensi dan Prosedur Ratifikasi Protokol Tambahan), Jurnal Dinamika Hukum Vol. 13 No. 3, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=260956&val=7042&title=penerapan%20 KONVENSI%20JENEWA%201949%20DAN%20PROTOKOL%20TAMBAHAN%201977%20 DALAM%20HUKUM%20NASIONAL%20INDONESIA%20(Studi%20tentang%20Urgensi%20 dan%20prosedur%20ratifikasi%20protokol%20tambahan%201977), 24 Desember 2014 64 Ibid., h. 368

56 2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional subjeknya adalah negara. Dalam Perjanjian internasional, individu bukanlah subjek hukum internasional, melainkan negara. Seperti yang dibahas pada subbab sebelumnya mengenai asas pacta sunt servanda, dalam perjanjian internasional yang ikut membuat perjanjian adalah negara, bukan individu maka dari itu yang terikat secara langsung oleh perjanjian tersebut adalah negara. 3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional. Jika hukum nasional dapat melakukan yurisdiksinya tanpa perlu kesepakatan antara para pihak sedangkan untuk mahkamah internasional harus membutuhkan kesepakatan para pihak untuk setuju dan mengakui yurisdiksi mahkamah internasional tersebut, baru Mahkamah Internasional dapat melaksanakan yurisdiksinya kepada sengketa tersebut; 4. Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional. Pengawasan dari masyarakat

57 internasional tidaklah intense seperti pengawasan hukum nasional pada suatu negara, maka dari itu jika hukum nasional suatu negara tidak selaras dengan hukum nasional, masyarakat internasional kecil kemungkinannya untuk mengetahui hal tersebut. 65 3.1.2 Paham Monisme Paham monisme menganggap bahwa hukum internasional dan hukum nasional merupakan satu sistem hukum pada umumnya. Semua ketentuan hukum merupakan kesatuan sistem yang terdiri dari ketentuan hukum yang mengikat negara, individu maupun kesatuan bukan negara. 66 Hukum nasional dan hukum internasional secara keseluruhan merupakan dari sistem hukum universal yang mengikat manusia baik secara individual maupun secara kolektif. Hukum Internasional mengikat individu secara kolektif sedangkan hukum nasional mengikat individu secara perorangan. 67 Jadi untuk pemberlakuan hukum internasional dalam suatu negara tidak diperlukan adanya proses transformasi seperti ratifikasi. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, paham monisme melahirkan perangkat hukum yang mempunyai hubungan hierarkhis. 68 Dari situ lahir dua pendapat yaitu paham monisme dengan primat hukum nasional dan paham monisme dengan primat hukum internasional. Paham monisme dengan primat hukum internasional beranggapan bahwa hukum 56-57 65 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni : Jakarta, 2003, h. 66 Isplancius Ismail, Loc. Cit, h. 368 67 Ibid. 68 Mochtar Kusumaatmadja, Op. CIt, h.56

58 Internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham monisme dengan primat hukum nasional beranggapan bahwa hukum internasional merupakan kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri. 69 Setelah melihat paham mengenai hubungan hukum nasional dan hukum internasional pada suatu negara, dapat diambil kesimpulan bahwa Indonesia menganut paham dualisme. Hal tersebut didukung dengan adanya Pasal 11 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa : (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dnegan negara lain. (2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dalam membuat perjanjian internasional membutuhkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk pengesahan perjanjian internasional, sesuai dengan ciri-ciri paham dualisme yang menyatakan perlu adanya transformasi kaidah hukum internasional melalui persetujuan organ nasional negara tersebut. Hal ini juga didukung dengan adanya Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang menyatakan bahwa 69 Ibid., h. 61

59 Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Pasal tersebut menjelaskan bahwa perjanjian internasional baru dapat disahkan jika ditransformasikan kepada peraturan perundang-undangan nasional berupa undang-undang atau keputusan presiden. Setelah diubah dalam bentuk perundang-undangan nasional, baru kaidah internasional tersebut mengikat secara nasional. Prinsip yang dianut Indonesia mengenai hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional menjadi agak kabur karena adanya Putusan Mahkamah Konstitusi yang dalam konklusinya menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang dalam melakukan pengujian undang-undang hasil ratifkasi perjanjian internasional. Hal ini menandakan bahwa di sisi lain Indonesia juga menganut primat hukum monisme karena materi perjanjian internasional dalam undang-undang pengesahan tersebut dapat langsung diuji karena dianggap langsung berlaku dengan undang-undang pengesahan tanpa adanya undang-undang yang mentrasformasiikan materi perjanjian internasional kedalam hukum nasional. 70 Jika amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 mengabulkan maka perjanjian internasional tersebut langsung gugur. Dengan adanya amar yang menyatakan MK berwenang dan mengabulkan 70 Dian Utami Mas Bakar, Pengujian Konstitusional Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2013, h. 146

60 permohonan pemohon semakin memperjelas bahwa Indonesia juga menganut paham monisme primat hukum nasional yang berakibat bahwa hukum nasional memiliki kedudukan lebih tinggi dari hukum internasional. Sehingga hukum internasional dapat dipatahkan atau digugurkan oleh lembaga nasional suatu negara. DPR memiliki kewenangan untuk memberi persetujuan atas rancangan perjanjian internasional dengan kriteria tertentu, hal ini sesuai dengan Pasal 11 UUD NRI 1945 NRI 1945. Selain memberi persetujuan, DPR mempunyai kewenangan untuk menolak pengesahan suatu perjanjian internasional. Sedangkan peran Presiden adalah organ yang dapat mengajukan pengesahan suatu perjanjian internasional, bahkan Presiden tidak perlu meminta persetujuan DPR dalam beberapa kriteria perjanjian internasional. Presiden hanya perlu mengesahkannya dalam bentuk Keputusan Presiden yang sekarang diganti dengan Peraturan Presiden. Namun dalam hal ini belum jelas bagaimana kedudukan hasil pengesahan perjanjian internasional tersebut, untuk Piagam ASEAN tersendiri setelah diratifikasi belum dapat diterapkan secara langsung karena memiliki norma yang umum. Maka dari itu diperlukan instrumen lebih lanjut agar dapat diterapkan dalam masyarakat. Selanjutnya Harjono yang menegaskan bahwa: 71 71 Harjono, Aspek-Aspek Yuridis Pembuatan Perjanjian Internasional dalam Sistem UUD 1945, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994

61 Perjanjian Internasional tidak hanya melahirkan hak dan kewajiban terhadap warga negara tersendiri tetapi juga mungkin menimbulkan hak dan kewajiban bagi warga negara asing. Agar supaya asas resiprocity dapat terjamin, dengan demikian warga Indonesia maupun pemerintah negara Indonesia juga dijamin hak-hakya oleh negara lain yang ditimbulkan oleh perjanjian internasional, maka dari kajian teoritis dipandang perlu memberikan imunitas terbatas kepada Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden yang berisi perjanjian internasional sebagai objek perngujian materiil Mahkamah Agung. Seperti yang diungkapkan oleh Harjono, setelah Indonesia meratifikasi harusnya Indonesia melaksanakan perjanjian internasional tersebut, karena perjanjian internasional tersebut telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Agar pelaksanaan asas resiprocity dapat dijalankan dan hak-hak warga negara Indonesia juga dijamin oleh negara lain. Contohnya asas Resiprositas adalah asas resiprositas dalam pelaksanaan putusan arbitrase. Asas resiprositas (reciprocity) adalah asas timbal balik antar negara. Asas resiprositas mengenai pelaksanaan putusan arbitrase yang diatur dalam Pasal 1 ayat 3 Konvensi New York Tahun 1958 yang menyatakan any state may on the basis of reciprocity declare that it will apply the conventio to the recognition and enforcement of awards made only in the territory of another contratcting state... Sesuai asas ini, maka penerapan pengakuan dan pelaksanaan putusan Arbitrase Asing dalam suatu negara adalah atas permintaan dari negara lain, hanya dapat diterapkan apabila diantara negara-negara yang bersangkutan telah ada hubungan ikatan bilateral maupun multilateral. Negara peserta dapat menolak jika kedua negara tidak memiliki hubungan bilateral maupun multilateral. 72 Jika dikaitkan dengan asas resiprositas dalam pelaksanaan perjanjian internasional adalah bahwa perjanjian internasional ini menjadi 72 Arsensius, Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing Menurut Keppres No. 3 Tahun 1981 tentang Ratifikasi Convention on The Records and Enforcement of Foreign Arbitral Awards di Negara Indonesia, Jurnal Universitas Tanjung Pura Nomor 75, 2009, h. 3

62 landasan dari adanya asas resiprositas. Maka dari itu negara-negara harus melaksanakan kewajibannya seperti yang dicantumkan dalam perjanjian internasional, jika tidak maka negara lain akan melakukan hal yang sama atau dapat meminta pertanggung jawaban negara tersebut. Indonesia diharapkan memiliki asas resiprositas tersebut dan tidak dengan seenaknya menguji undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional dan menyatakan undang-undang tersebut tidak berlaku. Padahal semenjak dilakukannya entry into force maka saat itulah Indonesia telah dibebani hak dan kewajiban. Perlunya imunitas terhadap produk pengesahan perjanjian internasional dirasa perlu karena seperti yang dibahas dalam bab sebelumnya bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berhak menguji undangundang hal demikian juga sama dengan Mahkamah Agung tidak dapat menguji keputusan presiden/peraturan presiden yang merupakan hasil pengesahan perjanjian internasional. Maka dari itu bentuk pengesahan ini perlu dilindungi dari proses pengujian dari Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Namun dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang tersebut, maka memberikan keambiguan dalam sistem pengujian perundang-undangan. Kriteria undang-undang yang diuji menjadi semakin luas dan akhirnya makin

63 membuka peluang masyarakat untuk menguji undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional yang lain dan akhirnya hal ini akan berefek pada tingkat kepercayaan masyarakat internasional bahwa Indonesia tidak memiliki ketegasan dalam partisipasinya di perjanjian internasional karena setiap perjanjian internasional yang disahkan dapat diuji dan diubah oleh Indonesia sendiri. Padahal untuk merubah norma dalam perjanjian internasional, bukanlah kewenangan lembaga internal suatu negara. Namun butuh persetujuan negara anggota perjanjian internasional yang lain, Salah satu cara untuk mengubah norma adalah melalui amandemen perjanjian internasional. Amandemen perjanjian internasional diatur dalam Part IV Article 39-41 Konvensi Wina 1969. Peraturan amandemen suatu perjanjian internasional hampir sama dengan ketentuan reservasi, hal ini dijelaskan pada article 39 Konvensi Wina 1969. Contohnya dalam PIAGAM ASEAN untuk melakukan amandemen menurut Pasal 48 ayat (3) Piagam ASEAN, Amandemen Piagam yang telah disepakati secara konsensus oleh Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN wajib diratifikasi oleh seluruh Negara-Negara Anggota sesuai dengan Pasal 47. Disini dijelaskan bahwa untuk merubah suatu norma dalam perjanjian internasional membutuhkan kesepakatan secara konsensus di Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN.

64 3.2 Pengujian Keputusan Presiden Hasil Ratifikasi Perjanjian Internasional Bentuk hukum Keputusan Presiden yang memuat hasil ratifikasi pengesahan perjanjian internasional merupakan hasil dari adanya Surat Presiden 2816/HK/1960 terkait pembuatan perjanjian internasional. 73 Dalam pembuatan Keputusan Presiden hasil ratifikasi perjanjian internasional memiliki prosedur tertentu. Proses ratifikasi dengan keputusan presiden adalah sebagai berikut: 1. Departemen luar negeri mengajukan permohonan ratifikasi perjanjian internasional dengan keppres kepada secretariat Negara, disertai copy naskah perjanjian sebanyak 30(tiga puluh) copy plus 1 (satu) yang tekah di Certified True Copy. 2. Setelah dipelajari Sekertaris Negara, selanjutnya diteruskan kepada Presiden melalui tingkatan hierarkinya, yaitu mulai Bagian Ratifikasi kepada Kepala Biro Hukum, kemudian ke Deputi Eselon 1, diteruskan kepada s/sesneg (Dulu ada Mensesneg). Setelah itu diberikan kepada presiden ketika diproses untuk diteruskan kepada presiden disertai dengan RKP (Rancangan Keppres). Memo-memo beserta ampresnya(amanat presiden) untuk ditandatangani oleh presiden. Isi dari ampres tersebut ditujukan kepada ketua DPR, yang memberitahukan bahwa Pemerintah Indonesia telah mengesahkan perjanjian internasional tersebut dengan keppres, agar diketahui oleh DPR. 73 Harjono, Loc. Cit, h. 112

65 3. Terhadap RKP yang telah ditandatangani oleh presiden dan telah menjadi keppres, diserahkan kembali ke Bagian Ratifikasi Sekneg melalui hierarki yang sama seperti sebelumnya dan dituangkan ke dalam Lembaga Negara oleh Sekneg, untuk kemudian didistribusikan kepada Daftar A dan Daftar B. Daftar A terdiri dari lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara, dan Daftar B adalah departemen departemen / instansi terkait. Pendistribusian ini disertai dengan autentifikasi yang dikeluarkan oleh kepala Biro Hukum. 74 Di dalam disertasinya A. Hamid. S, Attamini menyatakan Keputusan Presiden dapat berisi penetapan dan dapat berisi pengaturan. 75 Dalam hubungannya dengan perjanjian internasional yang dituangkan dalam bentuk hukum Keputusan Presiden dapat juga berisi sebuah penetapan dan pengaturan. Untuk dapat membedakannya, materi muatan Keputusan Presiden dapat dibedakan antara: (1) yang berisi pengaturan yang berasal dari pendelegasian Peraturan Pemerintah, dan (2) berfungsi pengaturan yang mandiri. 76 Untuk dapat membedakan antara keduanya diajukan suatu perhitungan matematis rumus = a-b = x. Dalam formula rumus tersebut a = seluruh materi muatan peraturan perundang-undangan negara yang wewenang pembentukkannya berada dalam kekuasaan Presiden Republik Indonesia, b = materi UU/Perpu, materi muatan Peraturan Pemerintah, serta materi muatan Keputusan Presiden berfungsi pengaturan dari Peraturan Pemerintah, sedangkan x = sisa dari kedua materi muatan peraturan perundang negara yang merupakan lingkup Keputusan Presiden berfungsi pengaturan yang mandiri. 77 74 Implementasi Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia Setelah Berlakunya UU Nomor 24 Tahun 2000, Jurnal Universitas Semarang, Nomor 60 Tahun XV, Januari-Maret 2003, h. 6-7 75 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggara Negara, Fakultas Pasca Sarjana UI, h. 227 76 Ibid., h.23 77 Harjono, Loc. Cit, h. 113

66 Ternyata selain materi muatan sisa yang disebutkan dalam rumus diatas, terdapat materi muatan lain yang diperintahkan oleh Surat Presiden maupun dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yaitu Keputusan Presiden yang memuat hasil ratifikasi perjanjian internasional. Keputusan Presiden dalam fungsinya sebagai pengaturan mandiri berdasarkan UUD NRI 1945 secara langsung, maka diperlukan sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Terdapat 2 cara sinkronisasi yaitu dengan dasar tidak bertentangan dengan asas peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan yang kedua masih tetap berada dalam lingkungan yang dibenarkan oleh asas-asas dan norma-norma hukum lain yang berlaku. 78 Harjono menjelaskan lebih lanjut bahwa usaha sinkrinisasi dapat dilakukan dengan dua cara: (1) preventif, yaitu usaha awal sebelum Keputusan Presiden diterbitkan, (2) represif, yaitu dilakukan pada pasca penerbitan suatu Keputusan Presiden. 79 Usaha preventif yang dimaksudkan dalam upaya sinkronisasi ini adalah upaya reservation. 80 Usaha represif menimbulkan adanya mekanisme pengujian terhadap Keputusan Presiden. Pengujian hasil ratifikasi perjanjian internasional tidak hanya terjadi pada undang-undang saja namun juga dapat terjadi pada bentuk hukum yang lain yaitu Keputusan Presiden maupun Peraturan Presiden. Jika hal ini terjadi tentunya haruslah ada lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengujinya. Jika mengacu pada Undang-Undang Dasar Pasal 24A ayat (1) yang 78 A. Hamid S., Loc. Cit, h. 292 79 Harjono, Loc. Cit, h. 115 80 Dian Utami Mas Bakar, Loc.Cit, h. 142

67 menyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undangundang, maka yang berwenang adalah Mahkamah Agung karena kedudukan hierarkhi Keputusan Presiden (yang sekarang diubah menjadi Peraturan Presiden) berada dibawah Undang-Undang. Namun untuk menguji Keputusan Presiden yang bermuatan hasil ratifikasi perjanjian internasional bukanlah hal yang mudah, karena Mahkamah Agung memiliki kemampuan pengujian dalam tingkat kasasi dan uji materiil terhadap undang-undang. Maka dari itu sama halnya dengan undang-undang maka kedudukan Keputusan Presiden maupun Peraturan Presiden seharusnya diatur tersendiri. Karena efek perjanjian internasional ini tidak hanya berlaku bagi warga negara Indonesia saja namun juga berefek pada warga negara asing. Selain itu juga perlunya perlindungan maupun imunitas terhadap Keputusan Presiden terhadap uji materiil di Mahkamah Agung. 3.3 Mekanisme Perlindungan Hukum Bagi Rakyat atas Pengesahan Perjanjian Internasional Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi perlindungan hukum terhadap rakyatnya. Perlindungan hukum rakyat yang sedang strategis diperbicarakan adalah adanya mekanisme pengaduan konstitusional (constitutional complaint). 81 CC dikenal sebagai salah satu elemen penting guna 81 Simon Butt, Rachmita Harahap, dkk, Masa Depan Mahkamah Konstitusi RI: Naskah Konferensi Mahkamah Konstitusi dan Pemajuan Hak Konstitusional Warga, Pustaka Masyarakat Setara, Jakarta, 2013, h. 288.

68 mewujudkan gagasan negara hukum yang demokratis dalam praktik karena ia dikonsepsikan sebagai bagian dari upaya memberikan perlidungan maksimum terhadap hak-hak konstitusional warga negara. CC dapat diberikan pengertian sebagai pegaduan atau gugatan yang diajuka oleh perorangan ke MK terhadap perbuatan (atau kelalaian) suatu lembaga publik yang mengakibatkan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional orang yang bersangkutan dirugikan. 82 CC dapat diterima oleh MK, jika semua jalan penyelesaian melalui proses peradilan yang tersedia bagi persoalan tersebut telah tidak ada lagi (exhausted). CC dapat berupa permohonan individual maupun sekelompok warga masyarakat yang mendalilkan dugaan pelanggaran hak konstitusional yang dialaminya kepada MK. 83 Kasus pengujian UU hasil ratifikasi perjanjian internasional ini berujung pada bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang dalam melakukan pengujian undang-undang tersebut karena UU tersebut bukanlah UU bentuk legislasi DPR dengan persetujuan bersama Presiden seperti yang tertuang pada Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945 melainkan UU hasil pembentukan dengan negara lain yang disahkan dengan wewenang yang yang lebih berat dibebankan pada kekuasaan eksekutif. Upaya untuk perlindungan masyarakat dalam hal ini hanya ada untuk upaya preventif yaitu berupa adanya pedoman delegasi yang dibuat oleh DPR dan departemen terkait sebelum delegasi ikut berunding dalam pembuatan perjanjian 82 Simon Butt, Rachmita Harahap, dkk, Op. Cit, h. 289. 83 Ibid.

69 internasional. Upaya represif belum ada jika suatu saat UU hasil ratifikasi perjanjian internasional melanggar hak konstitusional warga negara Indonesia. Upaya represif tersebut tidak ada karena MK dalam hal ini tidak berwenang dalam menangani kasus pengujian undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional. Seharusnya ada upaya untuk perlindunga hukum bagi masyarakat, maka dari itu perlunya ada kewenangan constitutional complaint (CC) pada MK karena dengan itu hak-hak dasar warga negara tetap terlindungi. Adanya kewenangan CC ini hubungannya dengan pengujian undang-undang hasil ratifikasi perjanjian internasional adalah jika ada CC maka jika DPR maupun Presiden lalai dalam pengesahan perjanjian internasional tanpa terlebih dahulu mengecheck apakah dapat merugikan hak konstitusional masyarakat maka dapat diajukan ke MK. Upaya selanjutnya setelah perkara tersebut dapat diajukan ke MK maka MK dalam amar putusannya dapat membuat lembaga negara tersebut entah DPR atau Presiden untuk mengajukan amandemen maupun mengundurkan diri atau penarikan diri dari perjanjian internasional. Jika Mahkamak Konstitusi tetap berpendirian teguh untuk hanya menjalankan kewenangannya di judicial review maka hak-hak konstitusional warga negara tidak dapat dilindungi.