Dilema Pelayanan Negara: Anggaran vs Rakyat Pada saat ini penduduk berbagai daerah di Indonesia menyaksikan berbagai aktivitas pelayanan negara yang kurang berpihak kepada rakyat. Padahal kekuasaan negara di tangan rakyat. Harga barang publik yang terus meningkat, penggusuran PKL, masih banyak terjadi kemiskinan-pengangguran adalah sedikit contoh pelayanan yang kurang berpihak kepada rakyat. Di tengah penduduk timbul berbagai pertanyaan, Apa yang membelenggu negara dari melayani rakyat? Mengapa belenggu tersebut harus lebih diperhatikan daripada melayani rakyat? Bisakah dilakukan suatu penyelarasan antara melayani belenggu tersebut dengan melayani rakyat? Tulisan ini menjawab berbagai pertanyaan tersebut dengan menggunakan perspektif akidah dan hukum syara Islam. Kepentingan Anggaran Sumber utama pendapatan negara adalah pungutan, khususnya pajak. Pada pemerintah pusat terdapat pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, BPHTB, bea masuk dan pajak perdagangan internasional. Adapun salah satu sumber pendapatan asli daerah adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Berkaitan dengan pajak yang diterima pemerintah Indonesia, selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2005, menurut statistik BPS, jumlah pendapatan pajak dalam negeri mencapai Rp 331595 milyar, pada tahun 2006 mencapai Rp 395784 milyar dan pada tahun 2007 mencapai Rp 494592 milyar. Banyak kelemahan pungutan, khususnya pajak, sebagai sumber utama pendapatan negara. Salah satunya adalah pemaknaan bahwa penggunaan pajak yang sudah terkumpul di negara masih terkait dengan pembayar pajak. Para pemikir kapitalis bahkan meyakini pemikiran love it or leave it, yaitu Cintailah negara/daerah (karena pungutan digunakan sesuai dengan kepentingan Anda) atau tinggalkan negara/daerah (karena pungutan digunakan tidak sesuai kepentingan Anda). Kelemahan lain adalah penggunaan utama berbagai pajak adalah untuk memberikan gaji dan tunjangan kepada eksekutif dan legislatif. Berdasarkan ideologi kontrak sosial, rakyat mengontrak kerja eksekutif dan legislatif. Sebagai imbalan, rakyat membayar kepada eksekutif dan legislatif dalam bentuk pajak. Memang pajak yang telah terkumpul dapat digunakan untuk membangun berbagai infrastruktur, namun pajak terkumpul tersebut juga harus digunakan untuk memberikan gaji dan tunjangan kepada eksekutif dan legislatif. Kedua hal tersebut merupakan kelemahan, sebab berpotensi menyebabkan diskriminasi dalam pelayanan negara kepada rakyat. Legislatif dan eksekutif akan mendahulukan membuat peraturan, kebijakan dan pelayanan yang terkait dengan (dan yang mempermudah) pembayar pajak terbanyak. Di Indonesia pembayar pajak terbanyak adalah pengusaha. Pada tahun 2003 pengusaha menyumbang pajak dalam negeri sekitar 60,3%, pada tahun 2004, 60,5% dan pada tahun 2005, 60,9%. Legislatif dan eksekutif menyadari bahwa mereka digaji dan mendapatkan berbagai tunjangan yang berasal dari pajak kepada pengusaha. Jika legislatif dan eksekutif tidak memperhatikan kepentingan pengusaha, maka pengusaha akan lari ke negara/daerah lain. Jika pengusaha lari ke negara/daerah lain pajak diterima negara/daerah hanya sedikit. Jika pendapatan negara sedikit, gaji dan tunjangan eksekutif dan legislatif juga sedikit. Tentu saja eksekutif dan legislatif tidak menginginkan mendapatkan gaji dan tunjangan berjumlah kecil. Untuk itu eksekutif dan legislatif membuat peraturan yang pro pengusaha, sehingga pengusaha merasa nyaman di daerah tersebut dan bersedia membayar pajak kepada negara. Selanjutnya, eksekutif dan legislatif mendapatkan gaji dan tunjangan yang memadai.
Inilah yang sering membelenggu negara dari pelayanan kepada rakyat. Desain anggaran menyebabkan negara tahu siapa sebenarnya yang menggaji dan memberikan tunjangan. Walaupun negara dipilih oleh rakyat, namun yang paling banyak menggaji negara adalah pengusaha. Padahal jika pengusaha tidak terlayani, maka pengusaha akan lari berpindah ke tempat lain yang berakibat pendapatan yang diterima eksekutif dan legislatif berkurang drastis. Dampaknya, jika terdapat dikotomi pelayanan negara kepada pengusaha atau kepada rakyat, negara akan memilih pelayanan kepada pengusaha. Negara terbelenggu logika dan teknik berpikir mengenai pelayanan yang berasaskan pemikiran love it or leave it dan kontrak sosial. Seberapa pun penderitaan rakyat, namun prioritas pelayanan tetap kepada pembayar pajak terbanyak, dalam hal ini pengusaha. Dana Internasional Sebagai Sumber Pembiayaan Anggaran? Dilema pelayanan menjadi lebih kompleks dan susah diselesaikan jika sumber pembiayaan anggaran berasal dari hutang luar negeri. Pelayanan negara terpolarisasi antara pelayanan kepada pemilik hutang luar negeri dan pengusaha di satu sisi dan di sisi lain pelayanan kepada rakyat. Polarisasi tersebut mengutamakan pelayanan kepada pemilik hutang luar negeri sebab hutang luar negeri yang masuk dalam anggaran negara berjumlah banyak. Para kapitalis internasional telah menyiapkan pengawalan sehingga uang yang mereka tanam pada anggaran negara memberikan hasil yang optimal. Pengawalan tersebut ada 2 bentuk. Pertama, membuat mekanisme bottom-up. Seolah-olah negara tersebut yang membutuhkan hutang luar negeri dan menemui para kapitalis dengan membawa blue print perencanaan pembangunan di negara tersebut. Padahal penyusunan blue print dilakukan oleh orang-orang dalam negeri maupun luar negeri yang sudah memahami keinginan ideologis maupun ekonomis dari para kapitalis internasional. Kedua, membentuk forum internasional. Jika dahulu forum internasional tersebut bersifat multilateral seperti IGGI yang diperbaiki menjadi CGI, sekarang mereka menggunakan forum bilateral. CGI hanya dipergunakan seperlunya saja. Diperkirakan perubahan dari forum multilateral menjadi bilateral disebabkan di antara mereka sendiri terjadi persaingan tajam untuk mengeruk keuntungan dari hutang yang mereka tanamkan. Memang beberapa tahun terakhir ini hutang luar negeri yang terdapat pada anggaran mengalami penurunan. Hutang luar negeri yang terdapat pada anggaran pada tahun 2004 sebanyak Rp 23778,9 milyar dan tahun 2005 sebanyak Rp 20193,6 milyar. Bandingkan dengan hutang pemerintah pada tahun 2002 mencapai sekitar Rp 742000 milyar. Namun hal ini tidak bisa dibaca sebagai penurunan pelayanan terhadap internasional dan peningkatan pelayanan negara kepada rakyat. Ada dua argumentasi. Pertama, jumlah hutang luar negeri masih cukup banyak dibandingkan jumlah pajak. Jadi, walaupun jumlah hutang dalam anggaran mengalami penurunan, namun saham hutang luar negeri dalam anggaran masih cukup banyak dibandingkan saham rakyat. Mungkin saham hutang luar negeri setara dengan saham pengusaha. Namun negara tidak mengalami dikotomi dalam pelayanan kepada kapitalis internasional yang memberikan hutang luar negeri dan pengusaha yang memberikan pajak. Hal itu disebabkan para pengusaha, baik secara langsung maupun tidak langsung, banyak mendapatkan dana dari kapitalis internasional. Para pengusaha mendapatkan modal internasional melalui pasar saham atau mendapatkan kredit dari konsorsium bank internasional. Konsekuensinya, terdapat ketundukan para pengusaha dalam negeri terhadap para kapitalis internasional. Tentu saja hal ini memudahkan negara dalam pelayanan kepada pengusaha. Negara cukup melayani para kapitalis internasional dan tidak perlu khawatir tidak melayani pengusaha dalam negeri, sebab
dengan melayani para kapitalis internasional pada hakikatnya sedang melayani para pengusaha. Kedua, pada saat ini sedang dibuka mekanisme lain dalam saham kepada anggaran negara. Pada saat ini telah dibuka lebar-lebar mekanisme surat hutang negara. Para kapitalis internasional yang dahulu memberikan hutang melalui mekanisme forum multilateral dan bilateral sekarang dapat memberikan hutang dengan cara membeli surat hutang negara. Mekanisme surat hutang negara memberikan pilihan kepada para kapitalis internasional dalam berpartisipasi pada anggaran negara. Jika melalui forum multilateral dan bilateral menguntungkan, maka mereka berpartisipasi melalui forum tersebut. Adapun jika melalui surat hutang negara lebih menguntungkan, maka mereka berpartisipasi melalui surat hutang negara. Oleh karena itu, berkurangnya hutang yang berasal dari forum multilateral dan bilateral tidak berarti berkurangnya pelayanan negara terhadap kapitalis internasional dan meningkatnya pelayanan kepada rakyat. Pelayanan negara terhadap kapitalis internasional tetap diprioritaskan sebab mereka berpartisipasi melalui surat hutang negara. Pada tahun 2004, 2005, dan 2006, pembelian surat hutang negara sebesar Rp 8225,3 milyar, Rp 22085,8 milyar dan Rp 24886,3 milyar. Jika dalam pembelian surat hutang negara, terdapat porsi pembelian oleh para kapitalis internasional, dapat dibayangkan kuasa mereka atas anggaran negara. Masuknya dana internasional pada anggaran menyebabkan negara terbelenggu di dalam melayani rakyat. Pada faktanya legislatif banyak menghasilkan peraturan dan undang-undang yang sebenarnya mencontek berbagai konvensi internasional. Adapun peraturan dan undang-undang yang tidak mencontek ditempatkan pada prioritas bawah. Salah satu contohnya adalah rancangan UU APP yang tidak pernah mulus menjadi peraturan sedangkan berbagai ratifikasi peraturan undang-undang yang berasal dari konvensi PBB mudah sekali ditetapkan oleh legislatif. Hal ini tidak bermakna RUU APP benar, sedangkan ratifikasi berbagai konvensi PBB salah atau ratifikasi Konvensi PBB benar, sedangkan RUU APP salah. Maknanya tidak seperti itu. Makna yang dituju adalah legislatif memprioritaskan pelayanan kepada kapitalis internasional daripada memprioritaskan pelayanan kepada rakyat disebabkan adanya partisipasi kapitalisme dalam anggaran negara. Jadi yang membelenggu negara dari pelayanan kepada rakyat adalah dana kapitalisme internasional yang masuk pada anggaran. Demikian juga negara lebih memprioritaskan kebijakan penegakan HAM, pemberantasan terorisme, pemberantasan korupsi, menghindari AIDS dan flu burung, atau pengentasan kemiskinan karena dorongan dana internasional yang sudah masuk ke anggaran negara. Negara tidak melihat realitas yang hakiki dalam pelayanan kepada rakyat. Hal ini tidak bermakna bahwa di dalam pelayanan kepada rakyat boleh menghalalkan segala cara. Makna yang dituju adalah eksekutif memprioritaskan pelayanan kepada kapitalis internasional daripada memprioritaskan pelayanan kepada rakyat disebabkan adanya partisipasi kapitalisme dalam anggaran negara. Jadi yang membelenggu negara dari pelayanan kepada rakyat adalah dana kapitalisme internasional yang masuk pada anggaran. Bagaimana Menyelaraskan? Ada yang menyarankan supaya rakyat membayar pajak lebih banyak. Yang menyarankan tersebut berasumsi bahwa rakyat bersaing dengan pengusaha untuk mendapatkan pelayanan dari negara. Selama ini rakyat membayar pajak lebih sedikit dibandingkan pengusaha. Bahkan banyak rakyat yang tidak mau membayar pajak. Jika rakyat membayar pajak lebih banyak daripada pengusaha, maka negara akan memprioritaskan melayani rakyat. Sayangnya, saran peningkatan pembayaran pajak ini tidak dapat diterapkan sebab memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut :
1. Berpotensi merubah kekuasaan di tangan rakyat menjadi kekuasaan di tangan uang. 2. Berpotensi melegalkan diskriminasi pelayanan negara. 3. Hanya menguntungkan kapitalis internasional. Ada juga yang menyarankan membiarkan semuanya berjalan secara alamiah. Keselarasan akan berjalan dengan sendirinya. Berbagai ketidakselarasan hanyalah keadaan sesaat yang pada akhirnya menuju keselarasan. Apalagi terdapat efek menetes ke bawah (trickle down effect). Keberpihakan negara kepada pengusaha tidak perlu dipermasalahakan sebab akan berlanjut pada keberpihakan pengusaha kepada pekerja, masyarakat dan lingkungan dalam bentuk corporate social responsibility. Saran ini juga tidak dapat diterapkan sebab memiliki beberapa kelemahan : 1. Menyebabkan tanggung jawab negara dalam pelayanan kepada rakyat berpindah kepada pengusaha. 2. Kemauan dan kemampuan pengusaha dan corporate social responsibility dalam melayani rakyat sangat lemah. Solusi yang lain adalah merubah anggaran negara menjadi berbentuk baitul mal sebab baitul mal tidak berlandaskan pada pemikiran love it or leave it dan kontrak sosial. Landasan pemikiran baitul mal adalah hukum pemilikan berdasarkan akidah dan hukum syara Islam. Negara memang memungut zakat dari wajib zakat. Namun tidak berarti zakat yang terkumpul pada anggaran negara menjadi milik negara atau digunakan terkait dengan kebutuhan wajib zakat. Harta zakat, walaupun berasal dari wajib zakat dan terkumpul pada anggaran negara, namun milik 8 asnaf sebagaimana disebutkan dalam Al Qur an surat At Taubah ayat 60. Jadi kaum fakir, miskin, amil (pejabat) zakat, orang yang punya hutang, mualaf, budak, orang yang kehabisan bekal, dan orang yang melakukan fii sabilillah adalah pemilik harta zakat. Mereka berhak menggunakan harta zakat untuk menyelesaikan persoalan yang mereka alami. Sedangkan negara dan wajib zakat tidak berhak menggunakan harta zakat. Demikian juga di dalam baitul mal terdapat harta milik umum yang berasal dari pertambangan, sumber daya alam dan fasilitas listrik, air, atau telepon. Namun bukan berarti negara boleh mengklaim bahwa harta milik umum tersebut milik negara dan menggunakannya untuk kepentingan negara. Tidak seperti itu. Harta milik umum dalam baitul mal dipergunakan untuk membangun berbagai fasilitas yang dibutuhkan masyarakat seperti sekolah, rumah sakit, jalan raya, pelabuhan, bendungan, lapangan, transportasi masal, hingga masjid tempat ibadah. Pendek kata, harta milik umum dipergunakan untuk membiayai kebutuhan bersama yang muncul di tengah masyarakat. Adapun harta yang menjadi milik negara, seperti harta rampasan perang, jizyah dan kharaj, usyur, khumus, dan rikaz dapat digunakan negara untuk berbagai kepentingan negara. Negara dapat mensubsidi sektor primer (pertanian dan pertambangan), sektor sekunder (perdagangan, industri manufaktur) atau sektor lainnya menggunakan harta negara dalam rangka pertumbuhan ekonomi. Namun diharapkan negara peka terhadap ketimpangan ekonomi yang terjadi. Jika terjadi ketimpangan ekonomi, negara diharapkan menggunakan harta milik negara tersebut untuk menyelesaikan masalah ketimpangan ekonomi. Hal itu sesuai dengan firman Allah swt. dalam surat Al Hasyr ayat 7, Supaya harta jangan hanya beredar di antara orang kaya saja. Melalui baitul mal tidak terjadi permasalahan dikotomi antara pelayanan negara kepada pengusaha dengan kepada rakyat. Hal itu disebabkan baitul mal tidak berlandaskan pemikiran love it or leave it dan kontrak sosial. Baitul mal juga tidak perlu melayani para kapitalis internasional sebab pembiayaan anggaran sama sekali tidak melibatkan mereka. Semua penggunaan harta dalam anggaran disesuaikan dengan pemilikannya. Harta zakat digunakan oleh pemilik zakat, harta milik umum untuk kepentingan bersama dan harta milik negara untuk kepentingan negara dalam melayani rakyatnya. Pembagian dan porsi anggaran
tidak didasarkan pada musyawarah dan lobi wakil rakyat / DPR bersama pemerintah, tetapi berdasarkan hukum pemilikan. Biaya sosial Perubahan Semua pilihan yang akan diambil mengandung biaya sosial. Jika pilihannya masyarakat adalah membayar pajak sebanyak-banyaknya, maka mengandung biaya masyarakat menjadi miskin sedangkan harapan rakyat mendapatkan pelayanan lebih dari pengusaha belum tentu diraih. Adapun jika memilih membiarkan semuanya berjalan sebagaimana adanya, maka rakyat tidak akan mendapatkan pelayanan memadai dari negara. Adapun pilihan mengubah anggaran menjadi baitul mal, walaupun merupakan pilihan ideal juga mengandung biaya. Perubahan tersebut akan menyangkut reformasi berbagai aspek kehidupan, tidak hanya aspek anggaran. Jika reformasi berbagai aspek kehidupan tidak terjadi, sedangkan anggaran berbentuk baitul mal, maka akan mengakibatkan pemikiran leave it or leave it dan kontrak sosial diterapkan melalui sistem baitul mal. Hal itu akan berakibat dikotomi pelayanan negara kepada pengusaha dan rakyat dengan prioritas kepada pengusaha diterapkan melalui sistem baitul mal. Suatu biaya sosial yang sangat mahal. Oleh karena itu, agar biaya sosial menjadi minimal, maka perubahan anggaran menjadi baitul mal harus bersama-sama dengan reformasi seluruh aspek kehidupan. Reformasi anggaran harus mengakar dan satu paket dengan reformasi seluruh aspek kehidupan. Inilah yang harus dilakukan oleh umat Islam. Apalagi jika memperhatikan manfaat yang bakal diperoleh berupa Islam sebagai rahmat bagi seluruh dunia dan keridaan Allah swt. di akhirat.