4/8/2013. Mahkamah Pidana Internasional

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. 1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam Pasal 17 Statuta Roma

Bab IX MEKANISME PENEGAKAN HUKUM HUMANITER

INTERNATIONAL MILITARY TRIBUNAL NUREMBERG

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Humaniter Internasional bertujuan untuk memanusiawikan perang agar korban

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

KERTAS KERJA Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional Tahun 2008

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB II SEJARAH PEMBENTUKAN, STRUKTUR DAN YURIDIKSI INTERNATIONAL CRIMINAL COURT. Dalam bab ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai International

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

: KRISDIANA KATIANDAGHO

A. LATAR BELAKANG MASALAH

MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL, KEADILAN BAGI GENERASI MENDATANG

BAB VI PENUTUP. 1. Imunitas Kepala Negara dalam Hukum Internasional. Meski telah diatur dalam hukum internasional dan hukum kebiasaan

MAKALAH INDONESIAN HUMAN RIGHTS LEGISLATION. Oleh: Ifdhal Kasim Ketua Komnas HAM RI, Jakarta

MENGENAL ICC. Mahkamah Pidana International. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional. Seri Buku Saku

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN. tuntutan. Jadi peradilan internasional diselenggarakan untuk mencegah pelaku

Mendorong Komitmen Indonesia Meratifikasi Statuta Roma untuk Memperkuat Perlindungan Hak Asasi Manusia

BAB I PENDAHULUAN. enforcement system (sistem penegakan langsung) dan indirect enforcement

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC)

Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965

UU Pengadilan Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan

PELAKSANAAN INTERVENSI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONFLIK BERSENJATA NON INTERNASIONAL DI DARFUR

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN KEJAHATAN TERHADAP GENDER DALAM HUKUM INTERNASIONAL. pemeriksaan dan pengumpulan data, informasi, dan temuan lainnya untuk

ABSTRAK. Kata kunci : Yurisdiksi, Mahkamah Pidana Internasional, Komplementaris, Negara Bukan Peserta

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

Keywords : Iconoclast, International Law, International Criminal Court

law will aply to offences actually committed of they contain an international (hukum pidana

KONTEKS SOSIAL, EKONOMI, POLITIK DAN HUKUM PENGAJARAN HAK ASASI MANUSIA 1

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DAN MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) Zulkarnain 1 * Abstract

SILABUS DAN SATUAN ACARA PERKULIAHAN. Dr. SRI LESTARININGSIH, SH. MH. Dr. NURINI APRILIANDA, SH. MH. BAMBANG SUDJITO, SH. MH.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

BAB III PENEGAKAN HUKUM ATAS KEJAHATAN PERANG

Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Tentang Pengadilan HAM Internasional 1

URGENSI INDONESIA MENJADI NEGARA PIHAK STATUTA ROMA BAGI PERLINDUNGAN HAM DI INDONESIA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia KERTAS POSISI. tentang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

HUKUM INTERNASIONAL PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PERTEMUAN XXVII, XXVIII & XXIX. By Malahayati, SH, LLM

Perlindungan Korban dan Saksi Di Pengadilan Pidana Internasional Dalam Upaya Penegahan HAM. Rudi Natamihardja

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hukum Pidana Internasional. Tolib Effendi

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai. perlindungan pihak ICRC ditinjau dari Konvensi Jenewa 1949 dan

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga KEBERLAKUAN STATUTA ROMA 1998 PADA NEGARA YANG BELUM MERATIFIKASI

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

D R A F T. NASKAH AKADEMIS dan RANCANGAN UNDANG-UNDANG tentang

Prinsip "Jus Cogens" dalam Hukum Internasional

KAJIAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT MENURUT UU NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM O L E H :

BAB I PENDAHULUAN. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International. Criminal Court) merupakan upaya masyarakat internasional dalam

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

Lex et Societatis, Vol. II/No. 8/Sep-Nov/2014

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

: Public International Law: Contemporary Principles and Perspectives Penulis buku : Gideon Boas Penerbit :

PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

TINJAUAN MATA KULIAH...

BAB III KEJAHATAN KEMANUSIAAN SEBAGAI KEJAHATAN INTERNASIONAL. A. Tinjauan Umum mengenai Kejahatan Internasional

HUKUM INTERNASIONAL DAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

RISALAH SIDANG PERKARA NO. 3/PUU-V/2007 PERIHAL PENGUJIAN UU NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP UUD 1945 ACARA PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KATA PENGANTAR. Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena

LEGALITAS PENGGUNAAN BOM CURAH (CLUSTER BOMB) PADA AGRESI MILITER ISRAEL KE PALESTINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAM HAM DI INDONESIA 1

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RESUME SKRIPSI. Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak. bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 006/PUU-IV/2006 Perbaikan Tgl 25 April 2006

Training Metode Pendekatan Pengajaran, Penelitian, Penulisan Disertasi dan Pencarian Bahan Hukum HAM Bagi Dosen-Dosen Hukum HAM

BAB I PENDAHULUAN. manusia harus bertanggungjawab terhadap apa yang diperbuatnya. 8

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP KEJAHATAN TERORISME YANG MELEWATI BATAS-BATAS NASIONAL NEGARA-NEGARA

BAB IV PENUTUP. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 7, yang meliputi ; adalah persoalan yang serius dan extraordinary, maka juga perlu

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

YURISDIKSI DAN "ADMINISSmILITY" PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL'

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah kejahatankejahatan

Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia Oleh : Abdul Hakim G Nusantara

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

KEDUDUKAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM MENGADILI PERKARA KEJAHATAN KEMANUSIAAN. Rubiyanto ABSTRACT

TANGGUNG JAWAB INDIVIDU TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA DI WILAYAH ITURI REPUBLIK KONGO

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

BAB IV PERANAN DAN IMPLEMENTASI PERAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT DI REPUBLIK DEMOKRATIK KONGO

Semnas Sipendikum FH UNIKAMA 2017

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada Periode Sebelum dan Sesudah Berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Tesis Fakultas Hukum Indonesia:1999) hal.3.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008

Transkripsi:

Mahkamah Pidana Internasional

Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC) didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998, ketika 120 negara yang berpartisipasi dalam United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court mengadopsi Statuta Roma tersebut. Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional mengatur kewenangan untuk mengadili kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian internasional. Kejahatan yang dimaksud terdiri dari empat jenis, yaitu the crime of genocide (kejahatan genosida), crimes against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), war crimes (kejahatan perang), dan the crime of aggression (kejahatan agresi). Berbeda dengan mahkamah internasional sebelumnya yang sifatnya ad hoc, seperti International Criminal Tribunal for fomer Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan yang permanen (Pasal 3(1) Statuta Roma). Mahkamah ini hanya berlaku bagi kejahatan yang terjadi setelah Statuta Roma berlaku (Pasal 24 Statuta Roma).

Proses Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional Tahun 1950 PBB melalui Majelis Umum membentuk sebuah panitia yang diberi nama Committee on International Criminal Jurisdiction, dimana panitia ini bertugas untuk menyiapkan sebuah Statuta Mahkamah Pidana Internasional. Panitia ini menyelesaikan tugasnya setahun kemudian tetapi kurang mendapatkan perhatian dari anggota PBB. Permasalahan ini tenggelam seiring dengan konfrontasi politik dan ideologi selama perang dingin. Tetapi dipertengahan tahun 1980-an, Pemi Mahkamah Pidana Internasional n Uni Sovyet, Gorbachev memunculkan kembali ide pendirian Mahkamah Pidana Internasional terutama ditujukan kepada gerakan melawan terorisme. Tahun 1989 ide untuk mendirikan Mahkamah Pidana Internasional kembali digulirkan dengan usulan delegasi Trinidad dan Tobago mengatasnamakan enam negara lainnya di wilayah Karibia pada Sidang Komite IV Majelis Umum PBB yang membidangi masalah hukum. Usulan Trinidad dan Tobago adalah untuk mengaktifkan kembali kerja International Law Commission (ILC) untuk menyusun kembali rancangan Statuta Mahkamah Pidana Internasional berkaitan dengan usaha untuk memberantas perdagangan narkotika internasional dan usulan ini ditanggapi dengan baik oleh Majelis Umum PBB

Proses Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (cont.) Pada tahun 1992, Majelis Umum PBB sekali lagi mengeluarkan resolusi untuk meminta ILC menyusun rancangan Statuta Mahkamah Pidana Internasional. Baru pada tahun 1994, ILC menyelesaikan tugasnya menyusun rancangan Statuta Mahkamah Pidana Internasional dan kemudian untuk membahasnya dibentuklah sebuah komite yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB dengan nama Ad Hoc Committe on the Establishment of International Criminal Court. Saat itu juga ILC merekomendasikan sebuah konferensi diplomatik untuk mempertimbangkan dan mengadopsi rancangan statuta tersebut namun tertunda dikarenakan masih terjadi pertentangan dalam rancangan tersebut. Selanjutnya pada tahun 1995, Komite Ad Hoc diganti dengan Preparatory Committe on the Establihment of International Criminal Court yang mempersiapkan segala sesuatu bagi pembentukan ICC. Termasuk didalamnya persiapan menyelenggarakan konferensi diplomatik PBB atau United Nations Conference of Plenipotentiaries on The Establishment of an International Criminal Court, di Roma, Italia tanggal 15-17 Juli 1998 yang dihadiri 120 negara yang kemudian mengadopsi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional.

Yurisdiksi Mahkamah Mahkamah Pidana Internasional mempunyai yuridiksi untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan ketika: Kejahatan dilakukan di wilayah yang telah meratifikasi Statuta Roma. Kejahatan dilakukan oleh warga negara yang telah meratifikasi Statuta Roma. Negara yang belum meratifikasi statuta Roma telah memutuskan untuk menerima yuridiksi pengadilan atas kejahatan tersebut; Kejahatan dilakukan dalam situasi yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional dan Dewan Keamanan PBB sudah mengajukan situasi tersebut ke muka Pengadilan berdasarkan bab 7 Piagam PBB.

Masa Berlaku Yurisdiksi ICC Pengadilan hanya memiliki yuridikasi untuk kejahatan yang dilakukan setelah 1 Juli 2002, ketika Statuta Roma diberlakukan. Negara Pihak yang meratifikasi/aksesi Statuta Roma setelah 1 Juli 2002 boleh memilih masa berlakunya yurisdiksi Mahkamah: apakah sejak 1 Juli 2002 atau sejak tanggal ratifikasi/aksesi

Triggering Mechanism Statuta Roma menjabarkan kasus-kasus apa saja yang dapat dibawa ke Penadilan: Propio Motu: Jaksa Penuntut Pengadilan dapat memulai investigasi dalam keadaan dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, berdasarkan informasi dari berbagai sumber, termasuk para korban dan keluarga. Namun, hanya Pengadilan yang memberlakukan yuridiksi atas kejahatan dan individu tersebut State Referrals: Negara yang telah meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan, tetapi hanya Pengadilan yang memberlakukan yuridiksi. UNSC Resolution: Dewan Keamanan PBB dapat meminta Pengadilan untuk menginvestigasi situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah dilakukan. Tidak seperti metode 1 dan 2, ICC akan memberlakukan yuridiksi ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan situasi tersebut ke Jaksa Penuntut, meskipun kejahatan tersebut terjadi di wilayah negara yang belum meratifikasi Statuta Roma atau telah dilakukan suatu bangsa di negara tersebut.

Proses Pengadilan Di dalam masing-masing situasi tersebut di atas, semua tergantung Jaksa Penuntut, bukan Negara Pihak atau Dewan Keamanan, untuk memutuskan apakah investigasi akan dilakukan Jaksa Penuntut harus meminta kewenangan dari Majelis Pra-Peradilan (Pre-Trial Chamber) baik untuk melakukan penyelidikan maupun penuntutan dan permintaan tersebut dapat digugat oleh negara. Jaksa Penuntut harus mengajukan kasusnya kepada Pre-Trial Chamber yang akan memutuskan apakah benar kasus tersebut memenuhi syarat untuk masuk dalam yurisdiksi mahkamah dan apakah ada reasonable ground untuk melanjutkan ke tahap berikutnya. Setelah admissibility of merit diputuskan oleh Pre-Trial Chambers, barulah kasus dilimpahkan ke persidangan melalui Registrar (panitera) dan Jaksa Penuntut Umum dapat melanjutkan ke tahap investigasi.

The End 9