Mazhab syafii sangat dikenal kehati-hatiannya dalam mengeluarkan hukum. Begitu halnya dalam penentuan arah kiblat, agar terhindar dari unsur kesalahan, maka perlu menentukan arah yang pasti Perubahan fatwa yang dibuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang arah kiblat sebenarnya tidak perlu dijadikan polemik. Hadirnya fatwa MUI no 5 tahun 2010 adalah revisi terhadap fatwa sebelumnya yang dikeluarkan MUI no 3 tahun 2010. Terlebih lagi yang harus difahami oleh umat Islam Indonesia, bahwa fatwa tersebut merupakan anjuran. Sebab, pada dasarnya arah kiblat untuk Indonesia yang dulunya mengarah ke Barat, sekarang juga sama. Hanya saja lebih spesifik perlu ditentukan arah Barat mana yang dimaksud. Pada fatwa no 3 disebutkan bahwa; (1) Kiblat bagi orang shalat dan dapat melihat Ka bah adalah menghadap ke bangunan Ka bah (ainul ka bah). (2) Kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka bah adalah arah Ka bah ( jihat al-ka bah). (3). Letak georafis Indonesia yang berada di bagian Timur Ka bah/mekah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah Barat. 1 / 5
Sementara pada fatwa no 5 disebutkan tidak ada perbedaan pada poin satu dan dua, yang beda hanya pada poin tiga. Dikatakan sebelumnya karena letak geografis Indonesia berada di bagian Timur ka bah/mekkah, maka kiblatnya ke arah Barat. Sedangkan pada fatwa no 5 lebih terperinci mengatakan arah Barat yang dimaksud adalah Barat Laut dengan kemiringan bervariasi sesuai dengan posisi kawasan masing-masing. Ini dilihat karena Indonesia letaknya tidak pas Timur Ka bah, tapi agak ke Selatan. Makanya arah kiblat yang paling tepat adalah Barat Laut. Dengan dikeluarkan revisi fatwa ini diharapkan bisa menjadi acuan bagi Muslim Indonesia dalam penentuan arah kiblat ketika hendak melaksanakan shalat. Namun yang jadi persoalan, bagaimana dengan kiblat yang sudah ada di masjid-masjid atau mushala. Apakah serta merta harus dibongkar dan dirubah mihrab nya. Atau cukup merubah arah shaf dengan sedikit condong ke kanan. Atau membiarkan seperti yang ada. Menurut hemat penulis tidak perlu mengubah arah shaf apalagi sampai membongkar masjid dan menata ulang mihrabnya. Karena untuk membongkarnya malah akan mempersulit. Mengubah shaf juga akan membuat ruangan masjid tidak bisa dimanfaatkan dengan efesien. Sebab pada awalnya setiap shaf telah didisain sesuai dengan bangunan masjid, dan jika itu diubah maka tidak lagi sejajar melainkan posisinya harus miring. Penulis melihat tuntutan perubahan kiblat ini tidak terlepas dari pemahaman (mazhab) mayoritas Muslim di Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia dan umumnya Asia tenggara bermazhab syafii, oleh karenanya tuntutan kepastian arah kiblat ini juga lebih ketat bersumber dari mazhab syafii. 2 / 5
Mazhab syafii sangat dikenal kehati-hatiannya dalam mengeluarkan hukum. Hampir semua produk hukum yang dikeluarkan oleh mazhab ini berpedoman pada sikap kehati-hatian (ahwath / ihtiyathi ). Prinsipnya, lebih baik mengantisipasi agar tidak terjadi kesalahan hukum dengan berjaga-jaga dari pada harus menetapkan hukum yang pas-pasan. Sebagai contoh, perihal membatalkan wudu bagi lawan jenis yang bukan mahram adalah bersentuhan kulit tanpa pembatas. Sebenarnya bukan tidak menyakini sentuhan yang dimaksud adalah jima, namun untuk lebih berhati-hati maka kalangan syafii lebih memilih sentuhan biasa juga membatalkan wudu. Begitu halnya dalam penentuan arah kiblat ini. Agar terhindar dari unsur kesalahan, maka dianggap perlu bagi kalangan syafii untuk menentukan arah yang pasti. Hingga keluarlah ketentuan bahwa yang menjadi patokan arah kiblat itu adalah bangunan fisik ka bah ( ainul ka bah) baik yang di dalam Masjidilharam/Makkah ataupun yang di luarnya. Itu artinya, dalam penentuan kiblat harus melalui pengukuran yang akurat dan seteliti mungkin. Sampai bisa dipastikan, kalau letak Indonesia di bagian Timur Ka bah, berarti kiblatnya adalah Barat. Dan harus lebih detail, jika letaknya di bagian Timur agak Selatan, berarti kiblatnya adalah Barat Laut. Sementara itu, bagi kalangan selain mazhab syafii seperti; Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah 3 / 5
mereka berpendapat bahwa kiblat bagi orang yang melaksanakan shalat di luar Masjidilharam/Makkah cukup hanya mengarah pada ka bah ( jihat al ka bah). Itu artinya, satu negara berada di bagian Timur maka kiblat nya adalah arah Barat. Baik itu Barat Laut ataupun Barat Daya Yang terpenting bisa diyakini bahwa arah Barat benar mengarah pada ka bah. Mereka berlandaskan hadis yang diriwayatkan oleh at Tirmidzi : antara Timur (masyriq) dan Barat (maghrib) adalah kiblat. Penjelasan selanjutnya bisa dilihat dalam kitab Fiqh ala mazahib al arbaah Abdurraham al Jaziri dan Fiqh Islam wa adillatuhu Wahbah Zuhaili. Adapun penjelasan yang menyatakan patokan kiblat harus tertuju pada fisik ka bah (ishabatul ainil ka bah ) seperti yang dinukil dari kitab al umm imam syafii di dalam kitab majmu syarh al muhadzzab imam Nawawi. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwasannya nabi Muhammad Saw masuk ke dalam Ka bah. Namun tidak shalat di dalamnya, kemudian beliau keluar dan shalat dua rakaat menghadap Ka bah, lalu berkata inilah qiblat. Dari hadis ini difahami di manapun posisinya, arah kiblat harus tepat tertuju pada bagunan Ka bah. Penutup 4 / 5
Islam adalah agama yang menghendaki kemudahan untuk umatnya dan tidak menghendaki kesukaran. Oleh karenanya perbedaan hukum yang muncul satu sama lain sebaiknya disikapi dengan bijak. Meskipun pemahaman mayoritas yang berkembang menuntut satu hukum, bukan berarti tidak boleh mengambil hukum yang lain. Sepanjang hukum yang ada bersumber dari landasan al Quran dan Hadis maka boleh saja diterapkan. Tentunya dalam menyikapi perubahan-perubahan hukum haruslah dengan bijaksana. Terutama bagi ulama dan para ustadz harus memberi keterangan yang lengkap mengenai hukum-hukum yang ada. Dengan demikian masyarakat tidak bingung dan salah langkah. Wallahu a lam bisshawab. ( Fery Ramadhansyah : Penulis adalah Pengajar di YPSA, alumnus Univ. Al Azhar Mesir ) 5 / 5