BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil hutan bukan kayu merupakan produk selain kayu yang dihasilkan dari bagian pohon atau benda biologi lain yang diperoleh dari hutan, berupa barang (good product) maupun jasa (services product) dan konservasi. Produk berupa barang seperti produk minyak-minyakan, getah, rotan, bambu, penyamak, lak, madu, obat-obatan, sedangkan jenis jasa dan konservasi meliputi pariwisata dan jasa ekologis. Untuk hasil hutan bukan kayu nabati bisa dikelompokkan kedalam kelompok rotan, kelompok bambu dan kelompok bahan ekstraktif. Kelompok bahan ekstraktif menghasilkan produk ekstraktif yang diperoleh dari proses ekstraksi, pengepresan dan destilasi (penyulingan), dan hasil akhirnya dapat berupa minyak-minyakan, getahgetahan, dan ekstrak lain seperti bahan penyamak, bahan pewarna, dan alkaloid. Setiap produk ini diambil dari berbagai sumber tanaman seperti daun, kulit kayu, hasil ekskresi (getah) dan lain sebagainya. Produk ekstraktif khususnya minyak atsiri, telah menjadi komoditi yang sangat penting di dunia sehingga telah diperdagangkan secara global dengan nilai yang besar. Minyak atsiri yang dikenal juga dengan nama minyak eteris atau minyak terbang (essential oil, volatile oil) dihasilkan dari ekstraksi setiap bagian dalam tanaman. Minyak tersebut mudah menguap pada suhu kamar tanpa mengalami dekomposisi, mempunyai rasa getir (pungent taste), berbau wangi sesuai dengan bau tanaman penghasilnya, umumnya larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air (Sumitra dan Wijandi, 2003). 1
Kebutuhan dunia akan minyak atsiri dari waktu ke waktu semakin meningkat. Menurut Untung (2009), setiap tahun konsumsi minyak atsiri dunia beserta turunannya naik sekitar 8-10%. Hal itu juga terjadi di Indonesia yang merupakan salah satu produsen minyak atsiri dunia, dan di negara-negara produsen lain seperti India, Thailand, dan Haiti. Pemicu kenaikan itu antara lain meningkatnya kebutuhan minyak atsiri untuk industri parfum, kosmetik, dan kesehatan. Selain itu, produk-produk olahan minyak atsiri ternyata belum dapat digantikan oleh bahan-bahan sintetis. Indonesia sebagai salah satu pemasok minyak atsiri belum sepenuhnya bisa mencukupi permintaan tersebut. Sebagai ilustrasi, permintaan domestik akan minyak kayu putih, produksi dalam negeri belum bisa dipenuhi, sehingga masih harus mengimpor minyak atsiri lain seperti ekaliptus sebagai tambahan kekurangan minyak kayu putih tersebut. Hal ini menyebabkan industri minyak atsiri nasional antara lain memilih minyak ekaliptus asal Cina, dengan pertimbangan produksinya lebih banyak, lebih terstandarisasi dan lebih murah harganya. Melihat keadaan tersebut maka usaha untuk mengatasinya antara lain dengan mengembangkan sentra sentra minyak atsiri sehingga kebutuhan dalam negeri maupun dunia dapat semakin terpenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia berperan dalam mengembangkan pasaran minyak atsiri dunia. Indonesia sebenarnya mempunyai banyak peluang untuk mengembangkan minyak atsiri jenis-jenis baru sebagai alternatif untuk pemenuhan kebutuhan minyak atsiri dunia (Kemala, 1999 dalam Hadipoentyanti, 2015). Salah satu dari beberapa tanaman menghasilkan minyak atsiri, yang berpotensi dikembangkan adalah minyak atsiri dari daun ekaliptus. Tanaman 2
ekaliptus memiliki multi manfaat yang diambil dari kulit maupun daunnya. Kulit kayu Eucalyptus alba mengandung 30-32% zat penyamak dan daunnya mengandung 0,3% minyak atsiri (Anonimus 1975 dalam Godinho, 1991). Daun ekaliptus menghasilkan minyak atsiri, potensial dipergunakan sebagai bahan baku dalam industri, misalnya dalam industri parfum, kosmetik, essense, industri farmasi dan flavoring agent. Tanaman ekaliptus tersebar dibeberapa wilayah Indonesia, dan paling banyak terdapat di Indonesia bagian timur seperti Nusa Tenggara Timur dan Irian Jaya. Jenis pohon Eucalyptus alba di masyarakat Timor dikenal dengan nama lokal Huek. Minyak ekaliptus sendiri belum banyak di produksi di Indonesia karena kayunya masih sebagai produk utama, padahal potensi tanamannya luas sehingga minyak ekaliptus bisa dijadikan komoditi baru dalam perdagangan minyak atsiri. Tanaman ekaliptus yang digunakan sebagai minyak baik di panen pada usia 5-30 tahun, kemudian batang pohonnya juga bisa diolah menjadi pulp. Menurut Kasmudjo (2014), kandungan minyak atsiri seperti minyak ekaliptus umumnya hasil minyaknya meningkat terus seiring dengan pertumbuhan tanaman atau umur tanamannya, tetapi sampai umur tertentu kandungan minyak akan cenderung berkurang. Dalam penelitian minyak ekaliptus yang dilakukan oleh Sulistyo (2008) dengan faktor umur dan penyimpanan daun Eucalyptus urophylla, hanya menunjukkan perbedaan nyata pada faktor umur saja, baik pada rendemen maupun pada kualitasnya (bobot jenis, indeks bias, kelarutan dalam alkohol, dan kadar sineol). Pada penelitian minyak atsiri lainnya yang menggunakan bahan kayu manis dengan faktor ukuran bahan dan lama penyulingan oleh Sumangat dan Ma mun (2003) menunjukkan bahwa 3
ukuran bahan dengan lama penyulingan berpengaruh nyata pada rendemen, bobot jenis, dan indeks bias. Ukuran bahan berpengaruh nyata pada putaran optik. Perlakuan ukuran bahan dan lama penyulingan serta kombinasinya berpengaruh nyata terhadap kelarutan dalam alkohol 70%. Dengan dasar informasi tersebut, perlu adanya penelitian untuk mengetahui kualitas serta hasil rendemennya terhadap hasil pengolahan atau destilasi minyak atsiri tersebut. Untuk mendapatkan rendemen dan kualitas minyak ekaliptus yang memadai bisa dilakukan variasi perlakuan awal sebelum pemasakan daun, misalnya perajangan daun, karena dengan perlakuan awal penyimpanan daun hasilnya tidak berbeda nyata. Perajangan daun bertujuan untuk memudahkan penguapan minyak atsiri dari bahan, memperluas permukaan suling dari bahan dan memperpendek jarak penguapan. Dari perajangan ini diharapkan daun dapat mengeluarkan minyak lebih banyak, sehingga rendemennya dapat meningkat pasca perajangan, serta memiliki kualitas yang lebih baik. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dilakukan penelitian dengan judul Pengaruh Variasi Umur Tanaman dan Perajangan Daun Terhadap Rendemen dan Kualitas Minyak Ekaliptus (Eucalyptus alba Reinw. ex. Bl). Penelitian ini menggunakan daun ekaliptus yang diperoleh di Hutan Pendidikan Wanagama I Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. 4
1.2.Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian adalah : 1. Mengetahui pengaruh umur tanaman (22 tahun dan 29 tahun) terhadap rendemen dan kualitas minyak yang dihasilkan dari penyulingan daun tanaman ekaliptus (Eucalyptus alba Reinw. ex. Bl). 2. Mengetahui pengaruh variasi perajangan daun (tidak dirajang, dirajang kasar dan dirajang halus) terhadap rendemen dan kualitas minyak yang dihasilkan dari penyulingan daun tanaman ekaliptus (Eucalyptus alba Reinw. ex. Bl). 3. Mengetahui ada atau tidaknya interaksi antara umur dan variasi perajangan terhadap rendemen dan kualitas minyak ekaliptus yang dihasilkan, guna memberikan informasi potensi minyak atsiri tegakan Eucalyptus alba Reiwn. ex. Bl yang berada di Hutan Pendidikan Wanagama I. 1.3. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang rendemen dan kualitas (Eucalyptus alba Reinw. ex. Bl) pada umur tertentu dengan perlakuan perajangan yang tepat. Selain itu penelitian ini diharapkan juga mampu memberikan informasi penting terkait dengan potensi hasil sulingan minyak Eucalyptus alba Reinw. ex. Bl yang berada di Hutan Pendidikan Wanagama I, sehingga kedepan dapat lebih di daya gunakan. 5