PERAN LEMBAGA SOSIAL BUDAYA LOKAL TERHADAP KELANGGENGAN KEBUN BIBIT DESA (KBD) (Kasus KBD pada MKRPL Desa Tawang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang) Wahyudi Hariyanto, dan Nur Fitriana Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah qwahyudi@gmail.com ABSTRAK Keberlanjutan pemanfaatan lahan pekarangan yang ditanami beberapa komoditas pangan unggulan yang prospektif sangat bergantung kepada ketersediaan bibit di lapangan. Kebun Bibit Desa (KBD) merupakan tempat utuk menyediakan bibit beberapa komoditas yang ditanam di lahan pekarangan termaksud. Sehingga kebutuhan akan benih dapat terpenuhi secara kontinu setelah panen. Pengelolaan KBD sangat ditentukan oleh partisipasi masyarakat setempat, sedangkan partisipasi masyarakat dapat diukur dari keberadaan lembaga sosial budaya yang eksis di wilayah desa tersebut. Makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi lembaga sosial budaya yang ada dalam satu desa yang diprediksi mempunyai keterkaitan erat dengan partisipasi masyarakat dalam mensukseskan kegiatan/program pemerintah. Pengkajian dilaksanakan di Desa Tawang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang pada Bulan Mei-Agustus 2012. Pengumpulan data menggunakan metode survey dengan teknik wawancara mendalam dengan informan kunci. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil pengkajian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara jumlah lembaga sosial budaya yang ada di desa dengan partisipasi masyarakat dalam mengelola KBD. Terdapat 5-7 lembaga sosial yang pernah eksis di desa tersebut, namun kegiatannya mengalami pasang surut. Disarankan lembaga sosial yang sudah ada dapat dipertahankan sebagai lembaga lokal yang dapat dijadikan wahana komunikasi dalam mendukung perkembangan dan pengelolaan KBD. Kata kunci: kelembagaan sosial, KBD, langgeng PENDAHULUAN Ketersediaan bibit di KBD merupakan kunci keberlanjutan produksi pertanian di lahan pekarangan. Sedangkan aktivitas produksi di KBD sangat bergantung kepada partisipasi masyarakat setempat. Kegiatan Sosial Budaya (KSB) sebagai social capital merupakan investasi untuk meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan pembangunan di perdesaan. Modal sosial dapat diukur melalui kegiatan sosial budaya seperti yang ditemukan oleh Nugroho (1997) bahwa penduduk perkotaan lebih banyak melaksanakan KSB yang bersifat individual seperti menonton televisi, film, membaca koran/majalah dan olah raga. Sebaliknya penduduk pedesaan lebih menyukai KSB yang bersifat sosial seperti menonton kesenian, mendengar ceramah agama, dan menjadi anggota organisasi sosial. Perbedaan ini memberikan penilaian bahwa pedesaan mempunyai ciri masyarkat yang cenderung bersifat sosial dibandingkan perkotaan yang individual. Peran social capital yang tercermin dari KSB merupakan kunci keberhasilan dalam pengelolaan KBD, namun persoalannya lembaga sosial budaya yang merupakan wadah dari KBD kini mulai melemah eksistensinya, bahkan beberapa organisasi tidak lagi eksis, karena permasalahan internal organisasi yang melatar belakanginya. Forum organisasi yang tumbuh di desa seperti organisasi keagamaan, kerukunan warga atau sejenisnya sebenarnya mampu menjadi saluran komunikasi. Sharing antar individu maupun lembaga bagi lahirnya manfaat bersama merupakan modal sosial yang perlu di jaga dan dilestarikan sebagai Stock social capital karena merupakan cermin partisipasi. Partisipasi masyarakat pedesaan yang sudah mulai melemah Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis 349
perlu diperbaiki dan dibangun dengan strategi pendekatan yang sesuai. Ada dua macam pendekatan program yang ditawarkan oleh Joyo Winoto (1995) yaitu (a) Self-help approuach sebagai pendekatan yang mementingkan kepada proses dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan, dan (b) technical approuch atau pendekatan yang mementingkan hasil dan keterlibatan agen pembangunan untuk merumuskan segala sesuatu yang dibutuhkan masyarakat. Kedua pendekatan yang ditawarkan sama-sama mementingkan peran serta masyarakat dan agen pembangunan sebagai kunci keberhasilan program maupun kegiatan. Kedua pendekatan tersebut perlu diimplementasikan dalam membangun KBD. Keberadaan KBD yang merupakan bagian dari kegiatan MKRPL hingga sekarang pelaksanaannya masih berjalan dengan baik sebagai penyedia bibit bagi masyarakat perdesaan. Kontinuitas pasokan bibit selama ini memang masih bergantung kepada pemerintah dalam bentuk bantuan bibit, di samping pendampingan teknis yang diberikan oleh penyuluh pendamping, peneliti dan teknisi BPTP dalam rangka pengawalan program MKRPL. Menjadi pertanyaan apakah keberlanjutan KBD masih dapat lestari jika bantuan dan pendampingan teknis dihentikan mengingat KBD sebenarnya sudah ada sejak lama, namun dalam banyak kasus mengalami kegagalan karena kelembagaannya kurang kuat. Tulisan ini mencoba melihat dukungan kelembagaan sosial budaya yang ada di daerah penelitian yang tercermin dalam beberapa kegiatan sosial budaya masyarakat dalam berbagai bentuk kegiatan termasuk dalam mengelola Kebun Bibit Desa.. METODE Penelitian dilakukan di Desa Tawang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan salah satu lokasi program MKRPL yang mengelola KBD untuk menyediakan bibit bagi anggota kelompok maupun di luar anggota. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei yaitu dengan melihat indikatorindikator tententu yang dominan mencerminkan keterlibatan dalam mengelola KBD, seperti partisipasi, jaringan sosial, jaringan ekonomi, dan kepercayaan antar anggota. Pendekatan yang dilakukan menggunakan FGD (Focus Group discussion) yang dilakukan kepada beberapa anggota organisasi sosial budaya yang terlibat dalam kegiatan KBD. Hasil dari diskusi tersebut, berupa ungkapan pengalaman individu, rumah tangga yang terkait dengan kegiatan pemanfaatan lahan pekarangan dan pengalaman dalam bermasyarakat. Hasil wawancara dan diskusi terfokus tersebut selanjutnya dituangkan dalam bentuk naratif yang bersifat deskriptif kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan sosial budaya merupakan modal sosial yang didalamnya terkandung norma-norma dan kepercayaan sosial yang mendorong munculnya sebuah kolaborasi untuk kepentingan bersama. Social capital sendiri menurut Ahmad (2000) mengacu pada keuntungan dan kesempatan yang didapatkan seseorang di dalam masyarakat melalui keanggotaan dalam entitas sosial tertentu seperti paguyuban, kelompok arisan, asosiasi dan jamaah ta lim. Adanya keterkaitan antara aktivitas di KBD dengan organisasi sosial budaya yang ada merupakan nilai plus yang harus dipertahankan bahkan ditingkatkan sebagai suatu modal sosial. Keterkaitan KSB dan KBD merupakan wujud partisipasi masyarakat dengan lembaga lokal yang tercermin dari kebiasaan bertemu mereka dalam membicarakan tentang berbagai persoalan sosial kemasyarakatan termasuk dalam merencanakan dan mengimplementasi suatu kegiatan usaha. Mereka saling share tentang topik/kegiatan yang menjadi keinginan bersama termasuk dalam mengelola KBD untuk kepentingan usahatani di lahan pekarangan. Kegiatan Sosial Budaya (KSB) Masyarakat Lokal Kelembagaan sosial yang ada di lokasi penelitian yang tergambar dari KSB masingmasing individu diantaranya adalah kelompoktani, wanitatani, pengajian (majlis ta lim), KRPL, PKK, olahraga, dan kesenian reog. Kelompok-kelompok tersebut mempunyai dukungan yang bervariasi terhadap kegiatan KBD. Dukungan yang diberikan biasanya dalam bentuk partisipasi dari individu-individu yang juga menjadi anggota organisasi di luar KRPL, walaupun jenis dan tingkat partisipasinya sangat 350 Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012
variatif. Wujud dukungan yang diberikan masyarakat dapat berupa uang, tenaga, waktu, konsumsi, maupun pemikiran dan ide atau gagasan. Beberapa OSB (Organisasi Sosial Budaya) lokal setempat merupakan kekuatan sosial yang mampu memberikan harapan bagi kelangsungan KBD. Bentuk partisipasi (apapun wujudnya) merupakan tindakan nyata dukungan OSB dalam membangun KBD, karena KBD memerlukan pengelolaan yang kontinu dengan dukungan masyarakat setempat sebagai stock social capital. Peran stock social capital sangat berpengaruh terhadap keberhasilan dan keberlangsungan KBD baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang. Perlu diketahui bahwa sebenarnya KBD sudah ada sejak dahulu. Walaupun dengan nama yang berbeda, tetapi substansinya sama yaitu sebagai penyedia bibit. Akan tetapi keberadaan KBD tidak semuanya langgeng, tetapi pasang surut. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya program/kegiatan yang berkaitan dengan pembibitan yang dilakukan oleh pemerintah pada masa lalu. Apabila masih ada pembinaan dan pendampingan teknis maka keberadaan kebun bibit masih terlihat, namun setelah selesainya program umumnya kebun bibit tidak berjalan, dan akhirnya bubar. Keadaan ini disebabkan karena kelembagaan yang terlibat dalam pengelolaan kebun bibit kurang kuat sehingga kegiatan yang bersifat kolektif dan harus dijalankan dengan semangat kolektif pula, tidak mampu bertahan. Untuk itu keberadaan OSB lokal ikut berpengaruh dalam membangun KBD. Keberadaan OSB tersebut mempunyai peran yang signifikan dalam pemberdayaan masyarakat dan perananya dapat bermanfaat dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada karena pada prinsipnya mereka saling berinteraksi dan secara psikologis mereka telah membentuk suatu jaringan sosial yang mempunyai ikatan kuat. Oleh karenanya jumlah OSB yang ada dapat menjadi tolok ukur keberhasilan dalam membangun KBD. Di samping itu OSB dapat dimaknai sebagai stock social capital yang mampu menjadi pendorong dalam memotivasi inidividu yang terlibat dalam pengelolaan KBD sehingga terbangun sebuah KBD yang langgeng. Hasil identifikasi di lokasi penelitian, ternyata ada beberapa OSB yang sudah tidak aktif lagi karena beberapa alasan diantaranya adalah lambannya regenerasi dikarenakan adanya arus urbanisasi yang sangat kuat di kalangan generasi muda untuk mencari pekerjaan di perkotaan. Adapun KSB yang masih rutin kegiatannya adalah yasinan (majlis ta lim) baik laki-laki maupun perempuan, PKK, KWT, dan kelompok olah raga. Forum-forum tersebut mampu menjadi saluran komunikasi untuk saling sharing bagi lahirnya manfaat bersama, seperti yang sudah dilakukan dalam kegiatan KBD. Kendala yang muncul dalam melanggengkan KBD adalah kurangnya tenaga kerja pertanian. Kelangkaan tenaga kerja biasanya harus bersamaan dengan kegiatan tanam maupun panen padi. Pada saat itulah tenaga kerja pertanian terakumulasi di lahan sawah, sebagai usaha pokok masyarakat. Sedangkan usahatani di lahan pekarangan merupakan usaha sampingan yang semula tidak di perhitungkan sebagai sumber pendapatan maupun berperan untuk menambah kebutuhan pangan dan gizi keluarga. Dengan demikian tenaga kerja yang dibutuhkan untuk KBD tidak terakomodasi dengan baik. Hal ini berakibat ketersediaan bibit mengalami kekosongan. Untuk itu pengelolaan organisasi/lembaga sosial yang mendukung KBD harus baik. Penguatan kelembagaan KBD menjadi sebuah persyaratan yang harus dilakukan apabila KBD dapat langgeng dan bisa menjadi andalah masyarakat sekitar dalam menyediakan bibit untuk usahatani di lahan pekarangan. Membangun Kelembagaan KBD dengan Dukungan Social Capital Kelompok MKRPL merupakan embrio organisasi yang memfokuskan diri kepada pengelolaan lahan pekarangan. Lembaga dibentuk dengan tujuan membangun agar KBD dapat melakukan aktivitas perbibitan, dan menyediakan bibit secara kontinu sepanjang waktu. Tujuan ini perlu didukung oleh organisasi/lembaga sosial budaya yang ada di desa tersebut untuk bersama-sama membangun persepsi yang sama (social equality) tentang pentingnya KBD dan keberlanjutannya secara lestari. Pada hakekatnya kegiatan KBD di lokasi penelitian didukung oleh berbagai organisasi sosial budaya yang sudah ada di wilayah desa tersebut. Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis 351
Tabel 1. Kelembagaan Sosial Budaya Yang Pernah Ada Sebagai Stock Social Capital Dalam Mendukung Kegiatan KBD Di Desa Tawang, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang Jenis Lembaga Sosial Nama Organisasi Jumlah Pertanian Kelompoktani, Wanitatani, Gapoktan 11 kelompok, @ 20-30 orang Kepemudaan Karang Taruna 30-50 orang Keagamaan Tahlilan, Majlis Ta lim 30-40 orang Kewanitaan PKK, Dawis 20-30 orang Olah Raga Bola Volley, Sepak Bola 30-50 orang Kesenian Reog, Karawitan 15-20 orang Ekonomi Koperasi, Lembaga Keuangan Mikro 50-70 orang Sumber : Data primer (2012) Hasil wawancara terhadap beberapa informan kunci bisa menjadi gambaran bahwa individu-individu yang mengelola KBD merupakan individu-individu yang mempunyai kegiatan/aktivitas di luar KBD seperti menjadi anggota organisasi yasinan/majlis ta lim, kesenian, PKK, olah raga, dan kepemudaan. Lembaga lokal yang sudah terbentuk lebih dahulu dapat menjadi modal sosial dalam membangun lembaga KBD yang kuat. Pada dasarnya kelembagaan lokal terbangun berdasarkan norma atau aturan-aturan sosial yang telah berkembang secara tradisional atas budaya lokal sebagai komponen dan pedoman pada beberapa jenis/tingkatan lembaga sosial yang saling berinteraksi dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Beberapa lembaga sosial budaya yang tumbuh di lokasi penelitian menunjukkan bahwa masyarakat desa tersebut mempunyai modal sosial yang tinggi. Berdasarkan pengalaman empirik, masyarkat yang mempunyai modal sosial yang tinggi perkembangannya cenderung lebih cepat dibandingkan dengan masyarakat yang mempunyai modal sosial rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu-individu yang tergabung dalam kelompok KRPL yang mengelola KBD merupakan individu yang jama keanggotaannya dalam organisasi lokal setempat. Individu tersebut memegang peranan cukup penting dalam organisasinya masing-masing karena mereka berperan dalam hubungan yang bersifat herarki. Masyarakat yang kaya akan modal sosial akan menunjang keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan (Colleta dan Cullen, 2000). Hal ini berlaku pada kondisi sebaliknya yaitu apabila stok sosial kapitalnya sedikit maka akan mengarah kepada disfungsi sosial sehingga akan mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan tersebut dalam mengelola suatu kegiatan termasuk KBD. Stock social capital yang ada (Tabel. 1) tidak dengan sendirinya mendukung kegiatan KBD secara total dan sukarela. Untuk itu perlu intervensi komunikatif. Menurut Leeuwis (2009) intervensi ini perlu dilakukan karena masyarakat tidak terisolasi secara individu, mereka menjadi bagian jaringan social multiple, mereka berkomunikasi langsung atau tidak langsung dengan beragam aktor misalnya tetangga, pemimpin agama, pedagang, pasangan, peneliti, dan penyuluh yang berhubungan dengan isu-isu tetentu. Dari sumber-sumber ini mereka menerima informasi yang kadang kontradiktif dan mengalami tekanan yang berbeda. Supaya efektif, maka menjadi penting bagi pembina maupun pendamping (peneliti, penyuluh, teknisi, dinas teknis terkait) untuk dapat menyesuaikan dengan cara mereka berbicara tentang isu tertentu. Organisasi-organisasi yang terlibat dalam intervensi komunikatif tidak beroperasi secara diam. Mereka bekerja dengan masalah, kawasan, dan komunitas yang juga peduli tentang organisasi lain, walupun mungkin dengan cara yang berbeda. Jadi intervensi komunikatif terjadi dalam suatu lingkungan dimana organisasiorganisasi lain dapat juga berperan aktif. Karena pada hakekatnya perubahan dan inovasi tergantung pada mobilisasi efektif terhadap jaringan (dukungan) luas dalam praktik yang nyata. KESIMPULAN Kebun Bibit Desa yang diinisiasi melalui kegiatan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari merupakan kegiatan yang memerlukan dukungan 352 Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012
beberapa kelembagaan sosial budaya yang ada di desa setempat. Karena individu-individu yang tergabung dalam kegiatan KBD adalah juga individu yang menjadi anggota pada kelompok/organisasi sosial budaya yang lain. Beberapa kelembagaan lokal yang ada merupakan kelembagaan yang individuindividunya mepunyai tingkat partisipasi yang tinggi dalam mensukseskan program kegiatan. Adanya beberapa kelembagaan lokal yang masih eksis di desa tersebut dipandang sebagai stock social capital yang dapat mendorong keberhasilan dalam pengelolaan KBD. Karena pada prinsipnya kegiatan sosial budaya masyarakat dapat diukur dari tingkat partisipasinya. DAFTAR PUSTAKA Colletta, N.J. dan M.L. Cullen, 2000. The Nexus Between Violent Conflict, Social Capital and Social Cohesion: Case Study from Cambodia and Rwanda. Wordbank Joyo Winoto, 1995. "Pengentasan Kemiskinan". Makalah disajikan dalam Lokakarya Pengentasan Kemiskinan, Pontianak 22 Mei 1995. Leeuwis, C. 2009. Komunikasi untuk Inovasi Pedesaan Berfikir Kembali Tentang Penyuluhan Pertanian. Kanisius. Yogyakarta. Nugroho, 1997. " Modal Sosial dan Perkembangan Kota." Jakarta: Prisma Nomor 6 (Juni-Juli 1997, hal. 3-13. Nugroho, I., dan R. Dahuri. 2012. Pembangunan Wilayah Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. LP3ES, Jakarta. Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis 353