BAB I PENDAHULUAN. Albrecht et al., (2014) menyatakan bahwa kecurangan (fraud) melibatkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Fraud merupakan topik yang hangat dibicarakan di kalangan praktisi maupun

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tuanakotta (2010: 106) terdapat tiga sikap dan tindak-pikir yang selalu

BAB I PENDAHULUAN. membahas mengenai hasil yang ingin dicapai. Selanjutnya, dengan tercapainya

BAB I PENDAHULUAN. tim audit. Auditor dituntut untuk mampu memberikan hasil pemeriksaan yang

BAB I PENDAHULUAN. good governance dan clean governance di Indonesia semakin meningkat. Melihat

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dalam rangka mewujudkan good governance di lingkungan pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Tindak kecurangan ini berkembang pesat ditengah-tengah perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. menemukan temuan yang memuat permasalahan, yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Audit yang berkualitas dapat membantu mengurangi penyalahgunaan dana

BAB I PENDAHULUAN. indonesia, karena dampak nyata kegiatan korupsi dapat menimbulkan high cost

BAB I PENDAHULUAN. Sistematika penulisan menjelaskan mengenai tahapan-tahapan penulisan laporan

BAB I PENDAHULUAN. keuangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak dapat dibendung dan

BAB I PENDAHULUAN. karena karena terjadinya krisis ekonomi di Indonesia serta maraknya tingkat

BAB I PENDAHULUAN. proses terciptanya akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan di daerah.

BAB I PENDAHULUAN. besarnya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) semakin lama

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan pelaksanaan akuntabilitas sektor publik terhadap terwujudnya

BAB I PENDAHULUAN. keterpurukan karena buruknya pengelolaan keuangan (Ariyantini dkk,2014).

BAB I PENDAHULUAN. dikuatkan dan diatur oleh perundang-undangan yang berlaku. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian mengenai kualitas audit penting agar auditor dapat mengetahui

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. isu yang strategis untuk dibahas. Salah satu topiknya adalah menyangkut Tindak

BAB I PENDAHULUAN. (error) dan kecurangan (fraud). Fraud diterjemahkan dengan kecurangan sesuai

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang telah ditetapkan, dan ketentuan. Selain itu, pengawasan intern atas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pemberian informasi kepada publik dalam rangka pemenuhan hak publik.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Auditor pemerintahan merupakan pihak yang sangat berperan dalam pengawasan dan

BAB I PENDAHULUAN. kinerja aparat birokrasi menurun. Terungkapnya banyak kasus-kasus korupsi baik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan ekonomi pada saat ini, persaingan antara para pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan

BAB I PENDAHULUAN. diketahui karena banyaknya pemberitaan-pemberitaan di media masa mengenai

Andri Williyanto Prawira Sitorus SE.,Ak

BAB I PENDAHULUAN. kronis bangsa. Hampir disemua lini pemerintahan terjadi perilaku korupsi, dan

BAB I PENDAHULUAN. Isu tentang sistem pengendalian internal pemerintahan (SPIP) mendapat

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Teknis Daerah Provinsi Sumatera Barat. Diumumkan dalam Lembaran

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

BAB I PENDAHULUAN. Kantor Berita Nasional Antara dalam websitenya, sehingga memboroskan anggaran 30 hingga 40 persen.

BAB I PENDAHULUAN. Kecurangan pada pemerintahan, baik pusat dan daerah sudah kerap kali

PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PROGRAM KERJA PENGAWASAN INTERNAL

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup orang banyak, maka sudah sepantasnya pemerintah dapat memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan masyarakat akan terwujudnya pemerintahan yang baik (good

BAB I PENDAHULUAN. mengatasi masalah tersebut melalui berbagai cara, salah satunya dengan

BAB I PENDAHULUAN. secara berlapis-lapis, seperti BPK, BPKP, Inspektorat Jenderal, Inspektorat

BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya krisis ekonomi di Indonesia ternyata disebabkan oleh buruknya

BAB I PENDAHULUAN. mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan

BAB I PENDAHULUAN. korupsi baik di level pusat maupun daerah menjadi penyebab utama hilangnya

BAB I PENDAHULUAN. tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien, serta sesuai dengan rencana,

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjukkan titik terang, untuk mendorong perubahan dalam tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Tuntutan pelaksanaan akuntabilitas sektor publik terhadap

Fraud yang terjadi pada kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pemeriksaan laporan keuangan/auditing secara umum adalah suatu proses

BAB 1 PENDAHULUAN. perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Melalui

BAB I PENDAHULUAN. meyakini kualitas pekerjaannya. Dalam penyelenggaraanya good governance

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. governance dalam hal ini menjadi suatu hal yang tidak dapat ditawar-tawar lagi

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai wujud pertanggungjawaban daerah atas otonomi pengelolaan keuangan

BAB I PENDAHULUAN. perilaku organisasi yang mencerminkan kejujuran dan etika yang dikomunikasikan

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan pemberantasan. Tidak hanya terjadi pada pemerintah pusat, fraud juga

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan yang sangat pesat tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Good Government Governance di Indonesia semakin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. Semakin meningkatnya tuntutan masyarakat atas penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. governance dan penyelenggaraan organisasi sektor publik yang efektif, efisien,

BAB I PENDAHULUAN. Guna menunjang profesionalisme sebagai akuntan publik, maka auditor dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, disebutkan bahwa negara

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan bahwa setiap perusahaan yang berbentuk perseroan terbuka, bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. birokrasi pemerintah (Yogi dan M. Ikhsan, 2006). Jika kualitas pelayanan publik

INFORMASI KINERJA. No Tujuan Capaian Kinerja

BAB I PENDAHULUAN. ini adalah semakin menguatnya tuntutan masyarakat terhadap pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan jaman dan era globalisasi yang begitu pesat menjadi suatu

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang bersih dan bebas KKN menghendaki adanya. mendukung terciptanya kepemerintahan yang baik (good governance),

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. halnya dengan kejahatan yang terjadi di bidang ekonomi salah satunya adalah

BERITA DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN

SATUAN PEMERIKSAAN INTERN PADA BADAN LAYANAN UMUM. Muhadi Prabowo Widyaiswara Madya Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. yaitu pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan atau audit. Audit pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Nepotisme). Banyaknya kasus korupsi yang terjadi akhir-akhir ini menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini pemerintah dituntut untuk mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dalam perwujudan good government governance di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. tujuan organisasi dan sesuai dengan kode etik auditor. Tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Auditor merupakan profesi yang mendapat kepercayaan dari publik untuk

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan tentang pentingnya penelitian dilakukan. Bab ini meliputi

INSPEKTORAT MENJADI APIP YANG EFEKTIF

BAB I PENDAHULUAN. Pada sistem pemerintahan yang ada di Indonesia, setiap pemerintah daerah

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan suatu pengawas intern untuk meminimalisir penyimpangan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I PENDAHULUAN. keuangan pemerintah masih menemukan fenomena penyimpangan informasi laporan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik, atau biasa disebut good governance. Untuk mencapainya

BAB I PENDAHULUAN. good governance dan clean government. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. T Pengaruh faktor..., Oktina Nugraheni, FE UI, 2009.

BAB I PENDAHULUAN. publik dalam rangka pemenuhan hak publik. Untuk pengertian good governance,

BAB I PENDAHULUAN. dibentuk dengan tugas melaksanakan pengawasan intern (internal audit) di lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. membawa kepada suatu perubahan adalah reformasi akan perwujudan dan

BAB I PENDAHULUAN. menolak hasil dengan memberikan rekomendasi tentang tindakan-tindakan

BAB I PENDAHULUAN. strategis APIP tersebut antara lain: (i) mengawal program dan kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadinya krisis ekonomi di

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. mengamanatkan bahwa setiap kepala daerah wajib menyampaikan laporan

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Albrecht et al., (2014) menyatakan bahwa kecurangan (fraud) melibatkan semua cara yang dapat digunakan untuk melakukan penipuan dengan tujuan agar seseorang mendapatkan keuntungan yang lebih dari orang lain melalui representasi yang salah. Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) yang merupakan salah satu asosiasi anti fraud global yang berada di Amerika mengkategorikan fraud ke dalam tiga kelompok, yaitu korupsi (corruption), penyalahgunaan aset (asset misappropriation) dan penyimpangan pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting). Pada tahun 2014 ACFE melaporkan bahwa kecurangan yang paling umum terjadi adalah penyalahgunaan aset (57,7%), korupsi (9,8%) dan penyimpangan laporan keuangan (1,8%). Di Indonesia, kecurangan banyak dijumpai pada pengelolaan keuangan negara/daerah. Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada periode 2004 s/d 2015 (31 Desember 2015) penanganan korupsi lebih banyak ditemukan di lingkungan Kementerian/Lembaga sebanyak 204 perkara, di Instansi Pemerintah Kabupaten/Kota sebanyak 107 perkara, dan di Pemerintah Provinsi sebanyak 72 perkara. Dilihat dari jabatan pelaku tindak pidana korupsi ini, pelakunya terdiri dari pejabat eselon I, II, III (123 orang), swasta (128 orang), Anggota DPR/DPRD (101 orang), dan Bupati/Walikota/Wakil Bupati sebanyak 49 orang (KPK, 2015). Adapun tindakan kecurangan yang sering melekat di 1

2 instansi pemerintah antara lain perjalanan dinas fiktif, rekayasa pengadaan barang/jasa, rekayasa biaya perizinan, pungutan tidak resmi, penyalahgunaan wewenang karena jabatan/kedudukan, manipulasi pencatatan, penghilangan dokumen dan adanya kontribusi pihak swasta yang tidak dipertanggungjawabkan secara tidak benar, tidak wajar dan tidak legal. Terpublikasinya kasus tindakan kecurangan di masyarakat, membuat auditor menjadi sorotan termasuk auditor internal pemerintah. Padahal auditor merupakan ujung tombak dari pelaksanaan pengawasan intern pemerintah. Pengawasan intern dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolak ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yan baik. Pengawasan intern dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), yang terdiri dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal pada Kementerian/Kementerian Negara, Inspektorat Utama/Inspektorat Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota. Inspektorat daerah merupakan salah satu APIP yang melaksanakan tugas pengawasan fungsional/operasional terhadap pelaksanaan kegiatan yang dijalankan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Menurut Lisa dan Barry (1997) dalam Gamar dan Djamhuri (2015) senada dengan penelitian Dewi dan

3 Apandi (2012) menyatakan bahwa auditor internal berfungsi membantu manajemen dalam pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian kecurangan. Dengan mengoptimalkan peran dan fungsinya sebagai quality assurance dan consultant, auditor internal mestinya memiliki posisi yang lebih mudah mendeteksi tindakan kecurangan dikarenakan auditor internal melekat dalam sebuah organisasi yang bertugas untuk melakukan pengawasan. Semestinya dengan kapasitasnya APIP mampu menjadi benteng pertahanan pertama dalam upaya pencegahan dan pendeteksian kecurangan di instansi pemerintah (BPKP, 2013). Kenyataannya peran auditor dalam mengungkapkan kecurangan masih rendah. Hasil penelitian ACFE (2014) menyatakan bahwa deteksi kecurangan yang dapat diungkapkan oleh auditor internal sekitar 18,5% dan auditor eksternal 1,9%. Deteksi korupsi terbesar diketahui karena ada yang membocorkan (tips) sebesar 45,1% dan yang terungkap oleh manajemen review sebesar 15,3%. Masyarakat menuntut penerapan dan terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) menuju pemerintahan yang bersih dan bebas KKN (clean government). Hal ini menjadi tantangan bagi para auditor internal yang memiliki tanggung jawab untuk memberi keyakinan bahwa pemerintah berjalan efektif. Auditor internal harusnya dapat memberikan hasil pemeriksaan yang berkualitas, mampu mengamankan dan menyelamatkan kekayaan negara/daerah serta menuntun pelaksanaan pemerintahan agar efektif, efisien dan ekonomis. Inspektorat seharusnya mampu mendeteksi adanya situasi atau peristiwa yang kemungkinan mengindikasikan adanya kecurangan atau ketidakpatutan dengan cepat dan manajemen mampu merespon dan

4 menindaklanjuti adanya kelemahan tersebut secara tepat sehingga bisa diperbaiki dan tidak terulang kembali (Russel dan Regel, 1996 dalam Gamar dan Djamhuri, 2015). Profesi sebagai auditor dapat dimiliki oleh seseorang yang berjenis kelamin pria maupun wanita. Isu gender tidak terlepas dari profesi sebagai auditor terutama apabila berkaitan dengan performa kerja seseorang. Gender adalah sifat dan perilaku yang dikaitkan pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk secara sosial dan budaya. Persoalan adanya ketidakadilan, ketidaksetaraan dan diskriminasi gender yang selama ini pun masih menimpa kaum wanita. Walaupun kaum wanita lebih menunjukkan performa kerja yang lebih baik daripada kaum pria. Antara pria dan wanita memiliki perbedaan reaksi emosional dan kemampuan membaca orang lain (Robbins, 2006 dalam Sabrina dan Januarti, 2012). Auditor internal wanita rata-rata lebih skeptis dibandingkan dengan auditor internal pria (Fullerton, 2005). Seorang auditor internal pemerintah dalam menjalankan tugasnya berpedoman pada standar audit yang ditetapkan oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : PER/05/M.PAN/03/2008 tentang Standar Audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah. Dalam standar umum disebutkan bahwa auditor harus mempunyai pengetahuan, keterampilan dan kompetensi lainnya yang diperlukan untuk melaksanakan tanggungjawabnya. Keterampilan biasanya didapat dari pengalaman empiris atas pekerjaan atau jabatan yang diembannya. Auditor yang memiliki pengalaman tentunya akan lebih terampil dalam melaksanakan pengawasan. Selain pengalaman faktor

5 pengetahuan pun sangat dibutuhkan. Pengetahuan adalah sesuatu yang dapat dipelajari. Auditor diharapkan memiliki keinginan yang selalu ingin belajar sendiri (otodidak) maupun melalui pendidikan formal. Pada kenyataannya, auditor memiliki pengalaman dan pengetahuan yang berbeda. Dalam melaksanakan tanggung jawab pemeriksaannya, auditor dituntut untuk menggunakan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama (Standar Audit APIP Seksi 2300). Kecurangan akan sangat sulit untuk dideteksi karena pelaku kecurangan akan menyembunyikan tindakan kecurangannya, oleh sebab itu dibutuhkan adanya sikap skeptis untuk mencari informasi atau bukti audit yang lebih banyak dalam mendukung pemeriksaan (Lobbecke et al., 1989 dalam Koroy, 2008). Skeptisisme didefinisikan sebagai sikap yang mencakup pikiran yang mempertanyakan dan menilai kritis bukti-bukti audit. Dalam penelitiannya Fullerton (2004) menyatakan bahwa jika auditor internal memiliki tingkat skeptisisme yang tinggi akan memiliki keinginan untuk mencari informasi terkait timbulnya gejala kecurangan. Jika auditor lebih skeptis maka auditor akan mengetahui keberadaan adanya kecurangan pada tahap perencanaan audit yang akhirnya mengarah pada peningkatan pendeteksian kecurangan pada tahap-tahap berikutnya (Carpenter et al., 2002). Dalam penelitiannya Hasanah (2010) menyatakan bahwa salah satu penyebab ketidakmampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan adalah minimnya sikap skeptis yang dimilikinya. Auditor dengan pengalaman audit yang minim atau belum pernah menemukan kecurangan akan sulit untuk mampu mendeteksi kecurangan dibandingkan dengan auditor dengan pengalaman yang banyak dan sudah pernah

6 menemukan tindakan kecurangan. Tirta dan Sholihin (2004) menyatakan bahwa pengalaman yang dimiliki auditor akan membantu auditor dalam meningkatkan pengetahuannya mengenai kekeliruan dan kecurangan. Pengalaman yang dimiliki auditor memungkinkan untuk mampu mendeteksi kecurangan dengan mengidentifikasi dan mencari penyebab adanya kecurangan. Banyak orang percaya bahwa semakin pengalaman seseorang dalam pekerjaannya, maka hasil pekerjaannya pun akan semakin baik (Bouman dan Bradley, 1997 dalam Masrizal, 2010). Dengan pengalamannya auditor seharusnya lebih memperhatikan informasi-informasi relevan yang diterimanya (Suraida, 2005). Sejalan dengan pernyataan Kusharyanti (2003) yang mengatakan bahwa untuk melakukan tugas pengauditan, auditor memerlukan pengetahuan pengauditan (umum dan khusus), pengetahuan mengenai bidang pengauditan, akuntansi dan industri klien. Auditor harus memiliki dan meningkatkan pengetahuan mengenai metode dan teknik audit serta segala hal yang menyangkut pemerintahan seperti organisasi, fungsi, program dan kegiatan pemerintahan (BPKP, 2008). Auditor juga harus menjalani pelatihan yang cukup dengan mengikuti kegiatan seminar, simposium, lokakarya, dan kegiatan penunjang keterampilan lainnya. Kecurangan yang melibatkan para pucuk pimpinan dan pejabat di pemerintahan daerah menyebabkan kerugian daerah. Menurut Transparency International, skor Indonesia dalam Corruption Perceptions Index Tahun 2014 sebesar 34 yang menempati Indonesia pada urutan ke 117 dari 175 negara. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) yang merilis ranking provinsi-

7 provinsi di Indonesia yang paling berpotensi terjadi korupsi dan kerugian negara berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester II Tahun 2011 menyatakan bahwa Bengkulu merupakan provinsi peringkat ke-10 terkorupsi dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Dalam IHP tercatat untuk 33 provinsi di Indonesia ditemukan kerugian negara sebesar Rp. 4,1 triliun dengan kasus korupsi sebanyak 9.703, kerugian tersebut terjadi dari tahun anggaran 2005 sampai dengan tahun anggaran 2011. Bengkulu tercatat tingkat kerugiannya sebesar Rp.123,9 milyar dari 257 kasus (detik.com, 2012). Untuk di Sumatera, Bengkulu berada pada posisi ke empat terbesar kerugian negara setelah provinsi Aceh, Sumatera Utara dan Riau. Secara umum, permasalahan yang mengakibatkan kerugian daerah terbanyak ditemukan dalam pengelolaan Belanja Modal dan Belanja Barang dan Jasa. Menurut hasil pemeriksaan BPK Semester I Tahun 2015 menemukan 10.154 temuan, permasalahan yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 2,26 triliun, yang berpotensi kerugian sebesar Rp. 11,51 triliun, dan kekurangan penerimaan sebesar Rp. 7,85 triliun. Temuan BPK dalam pengelolaan belanja modal dan belanja barang dan jasa, antara lain untuk ketidaksesuaian pekerjaan dengan kontrak tetapi pembayaran pekerjaan belum dilakukan sebagian atau seluruhnya (78,84 milyar); aset berupa tanah, kendaraan, dan aset lainnya dikuasai pihak lain (369,28 milyar); aset berupa mesin, peralatan dan aset lainnya tidak diketahui keberadaannya (616,58 milyar) dimana terdapat aset yang tidak dapat ditelusuri di Kabupaten Kepahiang sebesar 26,22 milyar; piutang/pinjaman atau dana bergulir yang berpotensi tidak tertagih (311,14 milyar), rekanan belum

8 melaksanakan kewajiban pemeliharaan barang hasil pengadaan yang telah rusak selama masa pemeliharaan (3,06 milyar); dan potensi kerugian daerah lainnya sebanyak 31,28 milyar (IHPS, 2015). Dugaan adanya kasus kecurangan di Bengkulu menurut data infokorupsi.com antara lain kasus korupsi dana bantuan sosial APBD Anggaran 2012 dan 2013 sebesar Rp.11 milyar, kasus ini menetapkan 15 orang tersangka. Kasus korupsi pengadaan 4.000 traktor tangan senilai Rp.75 milyar pada tahun 2007 hingga tahun 2009. Penyelewengan dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan sekitar Rp.21,3 milyar. Proyek pembangunan jembatan Muara Dua yang ditemukan kerugian sebanyak Rp.7,9 milyar pada tahun 2011. Tindak pidana korupsi yang menimpa pimpinan daerah atas kasus pembayaran honor Tim Pembina RSUD sebesar Rp.5,6 milyar pada tahun 2011 (liputan6, 2015). Beberapa peneliti terdahulu telah pernah melakukan penelitian tentang kemampuan mendeteksi kecurangan. Masrizal (2010) melakukan penelitian untuk melihat pengaruh pengalaman dan pengetahuan audit terhadap pendeteksian temuan kerugian daerah yang menyimpulkan bahwa pengalaman dan keterampilan auditor secara simultan berpengaruh signifikan terhadap temuan kerugian daerah pada saat audit operasional. Rafael (2013) meneliti tentang pengaruh pengalaman audit, keahlian, etika, dan skeptisisme profesional terhadap kemampuan auditor internal dalam mendeteksi kecurangan, yang menyimpulkan bahwa pengalaman dan skeptisisme profesional berpengaruh signifikan terhadap kemampuan dalam mendeteksi kecurangan. Novita (2015) yang melakukan

9 penelitian terhadap pengalaman, beban kerja dan pelatihan terhadap skeptisisme dan kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan, menyimpulkan bahwa pengalaman dan pelatihan akan mempengaruhi skeptisisme dan peningkatan kemampuan untuk mendeteksi kecurangan. Penelitian sejenis juga pernah dilakukan oleh Noviyanti (2008), Hasanah (2010) dan Anggriawan (2014) terhadap pengalaman dan skeptisisme profesional, yang menyatakan bahwa pengalaman dan skeptisisme profesional berpengaruh positif terhadap tanggung jawab auditor dalam mendeteksi kecurangan. Sedangkan penelitian Elvi (2015) terhadap pengalaman, pengetahuan dan skeptisisme profesional menyimpulkan bahwa pengalaman dan pengetahuan berpengaruh terhadap kemampuan mendeteksi kecurangan tetapi skeptisisme profesional tidak berpengaruh terhadap kemampuan mendeteksi kecurangan. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan inilah maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap auditor yang ada pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu. Peneliti ingin mencoba membuktikan pengaruh gender dan persepsi auditor tentang pengalaman audit dan pengetahuan audit terhadap kemampuan mendeteksi kecurangan dengan skeptisisme profesional sebagai variabel intervening. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

10 1. Apakah gender berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu? 2. Apakah gender berpengaruh terhadap skeptisisme profesional pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu? 3. Apakah gender berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan melalui skeptisisme profesional sebagai variabel intervening pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu? 4. Apakah persepsi auditor tentang pengalaman audit berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu? 5. Apakah persepsi auditor tentang pengalaman audit berpengaruh terhadap skeptisisme profesional pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu? 6. Apakah persepsi auditor tentang pengalaman audit berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan melalui skeptisisme profesional sebagai variabel intervening pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu? 7. Apakah persepsi auditor tentang pengetahuan audit berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu? 8. Apakah persepsi auditor tentang pengetahuan audit berpengaruh terhadap skeptisisme profesional pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu?

11 9. Apakah persepsi auditor tentang pengetahuan audit berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan melalui skeptisisme profesional sebagai variabel intervening pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu? 10. Apakah persepsi auditor tentang skeptisisme profesional berpengaruh terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang akan dibahas, peneliti melakukan penelitian ini dengan tujuan : 1. Untuk memberikan bukti empiris pengaruh gender terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu. 2. Untuk memberikan bukti empiris pengaruh gender terhadap skeptisisme profesional pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Bengkulu. 3. Untuk menguji apakah skeptisisme profesional memediasi pengaruh gender terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu. 4. Untuk memberikan bukti empiris pengaruh persepsi auditor tentang pengalaman audit terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu.

12 5. Untuk memberikan bukti empiris pengaruh persepsi auditor tentang pengalaman audit terhadap skeptisisme profesional pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu. 6. Untuk menguji apakah skeptisisme profesional memediasi pengaruh persepsi auditor tentang pengalaman audit terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu. 7. Untuk memberikan bukti empiris pengaruh persepsi auditor tentang pengetahuan audit terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu. 8. Untuk memberikan bukti empiris pengaruh persepsi auditor tentang pengetahuan audit terhadap skeptisisme profesional pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu. 9. Untuk menguji apakah skeptisisme profesional memediasi pengaruh persepsi auditor tentang pengetahuan audit terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu. 10. Untuk memberikan bukti empiris pengaruh persepsi auditor tentang skeptisisme profesional terhadap kemampuan dalam mendeteksi kecurangan pada Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu.

13 1.4 Manfaat Penelitian Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, antara lain : 1. Untuk menambah wawasan dan pemahaman auditor dalam meningkatkan skeptisisme profesional dan meningkatkan kemampuan dalam mendeteksi kecurangan. 2. Dapat bermanfaat bagi auditor di Inspektorat Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu dalam memberikan sumbangan pemikiran agar dapat meningkatkan kinerja auditor internal Inspektorat dalam penugasan pemeriksaan di masa yang akan datang serta meningkatkan pengawasan dalam mendeteksi kecurangan. 3. Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya terkait dengan gender, pengalaman audit, pengetahuan audit, skeptisisme profesional dan kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. 1.5 Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini disusun dalam beberapa bagian dalam sistematika penyajian sebagai berikut : a. Bab I Pendahuluan : memberikan gambaran tentang latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

14 b. Bab II Tinjauan Pustaka : berisi kajian teori yang berhubungan dengan topik pembahasan, review penelitian terdahulu serta kerangka pemikiran dan hipotesis. c. Bab III Metode Penelitian : meliputi desain penelitian, operasionalisasi variabel, populasi dan sampel, data serta metode analisa. d. Bab IV Hasil dan Pembahasan : berisi hasil dan pembahasan hasil penelitian. e. Bab V Penutup : berisi ringkasan dari hasil penelitian, implikasi dan saran untuk penyempurnaan penelitian.