BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan perubahan peraturan perundangan yang mendasari pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

PENDAHULUAN. yang sangat besar, terlebih lagi untuk memulihkan keadaan seperti semula. Sesuai

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di berbagai aspek kehidupan. Salah satu dari perubahan tersebut adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

EFEK MEMILIKI PENDAPATAN DAERAH, PENGALOKASIAN DANA UMUM, DAN DANA KHUSUS PADA BELANJA MODAL DI KOTA DAN KABUPATEN SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya desentralisasi fiskal. Penelitian Adi (2006) kebijakan terkait yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 terjadi perubahan di

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitan. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5 memberikan definisi

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia Berdasarkan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri atas Laporan Perhitungan

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran dearah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. semenjak diberlakukannya Undang-Undang N0. 22 tahun 1992 yang di revisi

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. bernegara di Republik Indonesia. Salah satu dari sekian banyak reformasi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1999 dan UU no. 25 tahun 1999 yang dalam perkembangannya kebijakan ini

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI

BAB I PENDAHULUAN. Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 (revisi menjadi UU No.

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif dan publik.

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. sektor publik yang nantinya diharapkan dapat mendongkrak perekonomian rakyat

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

1 UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, desentralisasi fiskal mulai hangat dibicarakan sejak

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Dokumen anggaran daerah disebut juga

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kebijakan ini merupakan tantangan dan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. Bagi daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya yang dapat diandalkan, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam, kebijakan ini disambut baik, mengingat lepasnya campur tangan pemerintah akan memberikan kesempatan yang lebih cepat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Hakekat otonomi adalah adanya kewenangan daerah, bukan pendelegasian (Saragih dalam Anggiat, 2009: 2). Daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi pemerintah pusat, tetapi benar-benar mempunyai keleluasaan untuk meningkatkan kreatifitas dalam mengembangkan potensi yang selama era sentralisasi bisa dikatakan terpasung. Konsep otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab telah membentuk sistem baru bagi pemerintahan di daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan bahwa daerah lebih mengerti dan mengetahui kebutuhan masyarakat di daerahnya. Otonomi daerah membuka peluang, tantangan dan kendala terutama kepada daerah kabupaten dan kota untuk 1

2 lebih leluasa mengelola pembangunan di daerahnya masing-masing sesuai dengan aspirasi masyarakat. Salah satu peluang, tantangan dan kendala yang dihadapi daerah adalah masalah kesiapan sumber-sumber pembiayaan atau kemampuan daerah menyelenggarakan urusan rumah tangga secara mandiri. Seiring dengan diterapkannya otonomi daerah mengakibatkan ketidakstabilan kesiapan pemerintah Kabupaten/Kota utamanya dalam hal keuangannya karena kinerja keuangan menjadi tolak ukur kesiapan pemerintah Kabupaten/Kota (Bambang Haryadi dalam Bernanda Gatot, 2008: 2). Hal ini memang menjadi konsekuensi logis daerah otonomi daerah yakni pemerintah daerah harus lebih mandiri dari segala hal termasuk dari segi keuangan. Pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang dilakukan pemerintah daerah setempat dalam rangka meningkatkan tingkat kepercayaan publik. Pergesaran ini ditujukan untuk peningkatan investasi modal dalam bentuk aset tetap, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik, karena aset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya anggaran belanja modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Belanja modal didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, pemerintah daerah seharusnya mengubah komposisi belanjanya. Selama

3 ini belanja daerah lebih banyak digunakan untuk belanja rutin yang relatif kurang produktif. No Tabel 1.1 Tabel Realisasi Balanja Modal Kabupaten/Kota di Jawa Barat, Tahun 2007-2009 (dalam Juta Rupiah) Belanja Modal (Dalam Juta Rupiah) Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 1 Kab. Bandung 370,894 180,480 178,237 2 Kab. Bekasi 416,359 148,106 714,611 3 Kab. Bogor 340,918 366,016 560,606 4 Kab. Ciamis 308,616 312,876 163,994 5 Kab. Cianjur 202,577 222,114 254,617 6 Kab. Cirebon 158,255 140,036 134,776 7 Kab. Garut 218,555 249,645 140,303 8 Kab. Indramayu 217,127 216,436 212,444 9 Kab. Karawang 194,035 171,100 209,902 10 Kab. Kuningan 111,644 74,213 21,009 11 Kab. Majalengka 201,555 149,482 102,299 12 Kab. Purwakarta 78,310 72,290 132,612 13 Kab. Subang 193,917 199,216 165,794 14 Kab. Sukabumi 188,218 149,046 114,953 15 Kab. Sumedang 99,994 104,144 76,343 16 Kab. Tasikmalaya 227,325 211,679 247,503 17 Kota Bandung 232,008 344,715 528,673 18 Kota Bekasi 308,046 304,885 282,381 19 Kota Bogor 113,016 91,191 137,369 20 Kota Cirebon 90,168 94,379 86,044 21 Kota Depok 170,023 233,911 206,481 22 Kota Sukabumi 68,837 82,066 125,557 23 Kota Tasikmalaya 105,770 109,899 93,757 24 Kota Cimahi 100,878 101,204 99,886 25 Kota Banjar 152,937 100,904 116,191 26 Kab. Bandung Barat - 77,879 125,409 Sumber : Laporan Realisasi Anggaran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun Anggaran 2006-2008 (diolah) Dari tabel di atas dapat terlihat pertumbuhan belanja modal yang terjadi di kabupaten/kota di Jawa Barat. Pada tahun 2009 memang terlihat terjadi

4 peningkatan pada beberapa kabupaten/kota namun tidak sedikit pula kabupaten/kota yang mengalami penurunan belanja modal. Adapun daerah yang mengalami peningkatan belanja modal yakni Kab. Bekasi, Kab. Bogor, Kab. Cianjur, Kab. Karawang, Kab. Purwakarta, Kab. Tasikmalaya, Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Banjar dan Kab. Bandung Barat. Sedangkan daerah yang mengalami penurunan belanja modal, yakni Kab. Bandung, Kab. Ciamis, Kab. Cirebon, Kab. Garut, Kab. Indramayu, Kab. Kuningan, Kab. Majalengka, Kab. Subang, Kab. Sukabumi, Kab. Sumedang, Kota Bekasi, Kota Cirebon, Kota Tasikmalaya dan Kota Cimahi. Masih adanya daerah yang mengalami penurunan belanja modal menunjukan adanya penurunan belanja yang sifatnya produktif pada daerah yang bersangkutan. Dari perbandingan persentase belanja modal terhadap total belanja daerah pada tahun 2009, belanja modal mencapai angka 11,18% dari total belanja daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat, sedangkan sisanya yaitu sebesar 88,82% adalah belanja diluar belanja modal. Hal ini menunjukan pengeluaran untuk belanja yang bersifat produktif yaitu belanja modal masih terbilang kecil apabila dibandingkan dengan pengeluaran terhadap belanja lain selain belanja modal, seperti belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja bagi hasil dan atau belanja bantuan keuangan. Kebijakan yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU ini merupakan penyempurnaan UU No 22 tahun 1999 dan UU No 25 tahun 1999).

5 Diberlakukannya undang-undang ini memberikan peluang bagi daerah untuk menggali potensi lokal dan meningkatkan kinerja keuangannya dalam rangka mewujudkan kemandirian daerah. Dalam penciptaan kemandirian daerah, pemerintah daerah harus beradaptasi dan berupaya meningkatkan mutu pelayanan publik dan perbaikan dalam berbagai sektor yang berpotensi untuk di kembangkan menjadi sumber PAD. Dalam upaya peningkatan kemandirian daerah pemerintah daerah dituntut untuk mengoptimalkan potensi pendapatan yang dimiliki dan salah satunya memberikan proporsi belanja modal yang lebih besar untuk pembagunan pada sektor-sektor yang produktif di daerah. Untuk itulah maka pemerintah daerah harus memanfaatkan peluang yang ada ataupun menggali potensi-potensi baru dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai suatu wujud nyata otonomi. Pengembangan dan penggalian potensi PAD sebenarnya sudah merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak, mengingat PAD sangat mendukung terwujudnya pelaksanaan otonomi yang utuh, nyata dan bertanggungjawab di daerah kabupaten atau kota. Hal ini berarti jika terjadi peningkatan PAD akan membawa kearah kemajuan perekonomian daerah yang akan berdampak pada peningkatan pembangunan di daerah. Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah (Mardiasmo, 2002: 132). Pajak daerah dan retribusi daerah selama ini merupakan

6 sumber pendapatan daerah yang dominan, oleh karena itu perlu ditingkatkan penerimaannya. Berdasarkan alur pikir teori keuangan daerah, penerimaan pajak pada umumnya digunakan untuk membiayai jasa layanan yang bersifat murni publik (public goods), sedangkan penerimaan retribusi umumnya digunakan untuk membiayai jasa pelayanan yang bersifat semi publik (semi public goods) di mana komponen manfaat individunya relatif lebih besar. Menurut Mardiasmo (dalam Anggiat 2009: 3) mengatakan bahwa saat ini masih banyak masalah yang dihadapi pemerintah daerah terkait dengan upaya meningkatkan penerimaan daerah. Keterbatasan infra struktur seperti sarana dan prasarana yang tidak mendukung untuk investasi menimbulkan pertanyaan bagaimana sebenarnya alokasi PAD terhadap anggaran belanja modal, apakah karena PAD yang rendah atau alokasi yang kurang tepat? Studi Abdullah (dalam Anggiat 2009: 4) menemukan adanya perbedaan preferensi antara eksekutif dan legislatif dalam pengalokasian spread PAD ke dalam belanja sektoral. Alokasi untuk infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tapi alokasi untuk belanja modal justru mengalami penurunan. Abdullah (dalam Anggiat 2009: 4) menduga power legislatif yang sangat besar menyebabkan diskresi atas penggunaan spread PAD tidak sesuai dengan preferensi publik. Abdullah & Halim (2004: 10) menemukan bahwa sumber pendapatan daerah berupa PAD dan dana perimbangan berpengaruh terhadap belanja daerah secara keseluruhan. Meskipun proporsi PAD maksimal hanya sebesar 10% dari total pendapatan daerah, kontribusinya terhadap

7 pengalokasian anggaran cukup besar, terutama bila dikaitkan dengan kepentingan politis. (Abdullah & Halim, 2004: 10). Tabel 1.2 Tabel Realisasi PAD Kabupaten/Kota di Jawa Barat, Tahun 2007-2009 (dalam Juta Rupiah) No Kabupaten/Kota Pendapatan Asli Daerah (Dalam Juta Rupiah) 2007 2008 2009 1 Kab. Bandung 147,631 144,660 151,496 2 Kab. Bekasi 196,320 249,064 200,653 3 Kab. Bogor 265,371 307,634 309,226 4 Kab. Ciamis 54,712 44,847 46,561 5 Kab. Cianjur 69,278 77,905 87,867 6 Kab. Cirebon 100,693 101,513 116,133 7 Kab. Garut 76,880 83,306 91,429 8 Kab. Indramayu 47,705 56,771 68,615 9 Kab. Karawang 121,415 131,785 115,412 10 Kab. Kuningan 43,508 42,825 52,748 11 Kab. Majalengka 46,021 47,722 53,530 12 Kab. Purwakarta 50,324 59,429 67,084 13 Kab. Subang 55,690 64,034 68,801 14 Kab. Sukabumi 66,799 87,402 87,562 15 Kab. Sumedang 69,493 88,256 90,533 16 Kab. Tasikmalaya 34,725 47,194 37,671 17 Kota Bandung 287,249 314,627 374,712 18 Kota Bekasi 171,045 189,493 229,532 19 Kota Bogor 79,819 97,768 89,223 20 Kota Cirebon 58,605 63,454 70,926 21 Kota Depok 86,347 112,772 88,872 22 Kota Sukabumi 49,464 65,263 57,237 23 Kota Tasikmalaya 58.605 63,849 60,880 24 Kota Cimahi 55,851 64,965 74,163 25 Kota Banjar 23,616 23,782 24,400 26 Kab. Bandung Barat - 33,617 35,508 Sumber : Laporan Realisasi Anggaran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun Anggaran 2006-2008 (diolah) Dari tabel 1.2, terlihat peningkatan PAD yang terjadi pada kabupaten/kota di Jawa Barat pada tahun 2009. 19 daerah kabupaten/kota di Jawa Barat mengalami peningkatan PAD, penurunan PAD hanya terjadi di tujuh daerah saja, yaitu Kab. Bekasi mengalami penurunan sebesar Rp. 48.411.000.000,00, Kab.

8 Karawang sebesar Rp. 16.373.000.000,00, Kab. Tasikmalaya Rp. 9.523.000.000,00, Kota Bogor Rp. 8.545.000.000,00, Kota Depok Rp. 23.900.000.000,00, Kota Sukabumi Rp. 8.026.000.000,00 dan Kota Tasikmalaya mengalami penurunan sebesar Rp. 2.969.000.000,00. Hal ini menunjukan adanya pertumbuhan positif PAD tada tahun 2008 pada kabupaten/kota di Jawa Barat. Namun menurut Setiaji (dalam Anggiat, 2009: 4) mengatakan bahwa perbedaan pertumbuhan PAD tidak diikuti dengan kenaikan kontribusi PAD terhadap anggaran belanja modal dan peningkatan PAD tidak sebanding dengan peningkatan total belanja Pemerintah Daerah. Dengan itu pertumbuhan PAD yang terjadi tidak dapat dijadikan tolak ukur peningkatan kontribusinya (PAD) terhadap belanja daerah dan belanja modal pada khususnya. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal dan adanya kebutuhan pendanaan daerah yang cukup besar, pemerintah memberikan dana perimbangan dan salah satu komponen dana ini yang memberikan kontribusi terbesar adalah Dana Alokasi Umum. Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya di dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Anggiat, 2009: 16). Konsekuensi akibat penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah mengakibatkan perlunya perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang menyebabkan terjadinya transfer yang cukup signifikan di dalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dan pemerintah daerah secara leluasa dapat menggunakan dana tersebut untuk

9 memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat atau untuk keperluan lain yang mungkin tidak penting. No Tabel 1.3 Tabel Realisasi DAU Kabupaten/Kota di Jawa Barat, Tahun 2007-2009 (dalam Juta Rupiah) Dana Alokasi Umum (Dalam Juta Rupiah) Kabupaten/Kota 2007 2008 2009 1 Kab. Bandung 1,351,912 1,001,542 1,080,216 2 Kab. Bekasi 430,417 525,366 618,238 3 Kab. Bogor 962,196 1,062,589 1,112,000 4 Kab. Ciamis 775,730 857,303 858,188 5 Kab. Cianjur 757,052 824,504 840,790 6 Kab. Cirebon 730,886 793,934 828,679 7 Kab. Garut 911,801 1,002,248 1,012,059 8 Kab. Indramayu 610,891 682,130 706,786 9 Kab. Karawang 622,602 689,522 722,111 10 Kab. Kuningan 550,002 586,884 638,788 11 Kab. Majalengka 555,540 642,722 642,722 12 Kab. Purwakarta 370,015 454,475 454,475 13 Kab. Subang 560,645 618,600 666,936 14 Kab. Sukabumi 759,683 827,153 855,802 15 Kab. Sumedang 551,711 608,993 629,007 16 Kab. Tasikmalaya 718,561 789,565 801,713 17 Kota Bandung 828,295 965,519 989,246 18 Kota Bekasi 522,199 590,144 630,404 19 Kota Bogor 359,576 397,367 439,254 20 Kota Cirebon 304,470 340,669 358,971 21 Kota Depok 381,095 427,136 456,937 22 Kota Sukabumi 285,095 278,944 287,531 23 Kota Tasikmalaya 373,869 410,131 418,874 24 Kota Cimahi 270,848 305,009 339,007 25 Kota Banjar 274,356 191,153 209,611 26 Kab. Bandung Barat - 486,211 566,578 Sumber : Laporan Realisasi Anggaran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun Anggaran 2006-2008 (diolah)

10 Pada tabel 1.3, terlihat pertumbuhan DAU tahun 2009. Secara keseluruhan kabupaten/kota di Jawa Barat mengalami peningkatan DAU, dan tidak ada daerah yang mengalami penurunan. Hanya pada daerah Kab. Majalengka dan Kab. Purwakarta yang tidak mengalami peningkatan DAU, realisasi DAU tahun 2009 pada dua daerah tersebut sama besar dengan tahun sebelumnya. Peningkatan realisasi DAU yang terjadi pada hampir semua daerah menunjukan masih adanya ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana transfer dari pemerintah pusat, khususnya DAU. Dalam beberapa tahun berjalan, proporsi DAU terhadap penerimaan daerah masih yang tertinggi dibanding dengan penerimaan daerah yang lain termasuk PAD (Adi dalam Cristy dan Adi, 2009), ini menunjukkan masih tingginya ketergantungan pemerintah daerah terhadap pasokan dana dari pemerintah pusat saat ini. Namun demikian, dalam jangka panjang, ketergantungan semacam ini harus menjadi semakin kecil. Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan oleh Holtz-Eakin et.al., (dalam Darwanto, 2007: 12) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat antara dana perimbangan dengan belanja pemerintah daerah. Secara spesifik mereka menegaskan bahwa variabel-variabel kebijakan pemerintah daerah dalam jangka pendek disesuaikan (adjusted) dengan transfer yang diterima, sehingga memungkinkan terjadinya respon yang non-linier dan asymmetric.

11 No Tabel 1.4 Tabel Komposisi DAU pada Pos Dana Perimbangan Kabupaten/Kota di Jawa Barat, Tahun 2009 (dalam Juta Rupiah) Dana Perimbangan (Tahun 2009) Kabupaten/Kota Dana Bagi Hasil Pajak/ Bagi Hasil Bukan Pajak Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus 1 Kab. Bandung 109,358 1.080,216 29,388 2 Kab. Bekasi 387,073 618,238 28,437 3 Kab. Bogor 209,858 1,112,000 61,470 4 Kab. Ciamis 57,245 858,188 104,122 5 Kab. Cianjur 102,689 840,790 101,257 6 Kab. Cirebon 66,550 828,679 49,054 7 Kab. Garut 74,552 1,012,059 102,035 8 Kab. Indramayu 179,956 706,786 45,506 9 Kab. Karawang 182,281 722,111 52,623 10 Kab. Kuningan 48,479 638,788 39,313 11 Kab. Majalengka 92,031 642,722 39,796 12 Kab. Purwakarta 107,753 454,475 45,455 13 Kab. Subang 153,180 666,936 81,438 14 Kab. Sukabumi 73,593 855,802 105,026 15 Kab. Sumedang 55,856 629,007 40,770 16 Kab. Tasikmalaya 56,802 801,713 77,536 17 Kota Bandung 333,064 989,246 40,908 18 Kota Bekasi 238,682 630,404 15,065 19 Kota Bogor 95,730 439,254 21,019 20 Kota Cirebon 47,826 358,971 33,873 21 Kota Depok 141,338 456,937 19,293 22 Kota Sukabumi 29,526 287,531 40,088 23 Kota Tasikmalaya 46,889 418,874 40,445 24 Kota Cimahi 44,520 339,007 31,747 25 Kota Banjar 26,749 209,611 31,070 26 Kab. Bandung Barat 52,640 566,578 19,130 Sumber : Laporan Realisasi Anggaran Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun Anggaran 2006-2008 (diolah) Tabel diatas menunjukan porsi DAU pada pos dana perimbangan yang diterima pemerintah daerah pada tahun 2009, masih tertinggi dibandingkan dana

12 perimbangan lainya, yaitu dana bagi hasil pajak/ bagi hasil bukan pajak dan dana alokasi khusus. Dengan pertimbangan komposisi tersebut penulis mengambil DAU sebagai variabel yang akan diteliti beserta variabel lainya, yakni PAD dan Belanja Modal. Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian sebelumnya. Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah dilaksanakan oleh Bernanda Gatot Tri Bawono (2008) dengan judul Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah (Studi Empirik di Wilayah Propinsi Jabar dan Banten). Penelitian ini membuktikan bahwa besarnya belanja daerah dipengaruhi jumlah dana alokasi umum yang diterima dari pemerintah pusat. Dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa dana alokasi umum dan pendapatan asli daerah berpengaruh secara signifikan terhadap belanja daerah. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya teletak pada variabel dependent-nya yaitu Belanja Modal, dan periode yang digunakan adalah tahun 2007-2009 pada daerah Jawa Barat, Sehingga skripsi ini berjudul : Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Belanja Modal (Studi Pada Kabupaten/Kota di Jawa Barat)

13 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang ada, maka rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut : 1) Bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum secara parsial terhadap Belanja Modal pada kabupaten /kota di Jawa Barat? 2) Bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum secara simultan terhadap Belanja Modal pada kabupaten /kota di Jawa Barat? 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Adapun maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahan yang lebih mendalam mengenai pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum serta belanja modal pemerintah daerah. 1.3.2. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah, untuk mengetahui; 1) Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum secara parsial terhadap Belanja Modal pada kabupaten/kota di Jawa Barat. 2) Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum secara simultan terhadap Belanja Modal pada kabupaten/kota di Jawa Barat.

14 1.4. Kegunaan Penelitian Suatu penelitian sudah selayaknya memiliki kegunaan baik untuk penulis maupun pihak lain yang memerlukan. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: 1.4.1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu referensi serta masukan atau pertimbangan untuk mengembangkan keilmuan akuntansi, khususnya mengenai mata kuliah akuntansi sektor publik terutama dalam bahasan tentang Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum serta Belanja Modal pemerintah daerah. 1.4.2. Kegunaan Praktis Adapun kegunaan praktis dari penelitian ini adalah sebagai bahan pertimbangan bagi Pemda dalam melakukan belanja modal dalam upaya meningkatkan pelayanan publik.