BAB I PENDAHULUAN. hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

I. PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 1980-an peranan ekspor minyak dan gas (migas) terus

I. PENDAHULUAN. menonjol terutama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi pada periode

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam yang

BABI PENDAHULUAN merupakan salah satu prod uk dari industri pengolahan kayu hilir

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

BAB I PENDAHULUAN. pesat sesuai dengan kemajuan teknologi. Dalam era globalisasi peran transportasi

I PENDAHULUAN Latar Belakang

PROFIL INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA UTARA IWAN RISNASARI, S. HUT PROGRAM ILMU KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional saat ini dihadapkan pada tantangan berupa kesenjangan

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan industri memiliki peran yang penting sebagai motor penggerak

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor kehutanan di Indonesia secara komersial dan besar-besaran

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA. Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D.

Dewasa ini lndustri kehutanan di lndonesia telah berkembang pesat. sejaian dengan era industrialisasi yang sedang berkembang, disatu sisi

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi bukanlah merupakan hal yang baru bagi kita. Globalisasi

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

I. PENDAHULUAN. seperti China Asia Free Trade Area (CAFTA) dapat memperparah keadaan krisis

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan perekonomian suatu negara tentunya tidak terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembangunan jangka panjang, sektor industri merupakan tulang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV. GAMBARAN UMUM. yang yang hanya memiliki luas Ha sampai Ha saja.

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini

I. PENDAHULUAN. alam. Meskipun minyak bumi dan gas alam merupakan sumber daya alam

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Industri pengolahan kayu merupakan industri yang mengolah kayu atau

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

Pengaruh Pasar Terhadap Industri Kehutanan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

PENDAHULUAN. mengalami keruntuhan (keadaan gawat) dan mempengaruhi sektor lainnya di seluruh

HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA EKSPOR NON MIGAS TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TAHUN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Strategi yang pertama sering dikatakan sebagai strategi inward looking,

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang gencargencarnya

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat

BAB 1 PENDAHULUAN. Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam

BAB I PENDAHULUAN. dalam membangun perekonomian. Pembangunan ekonomi diarahkan

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara sedang berkembang selalu berupaya untuk. meningkatkan pembangunan, dengan sasaran utama adalah mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

I. PENDAHULUAN. di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya &an. hektar terdiri dari hutan permanen, yang menghasilkan pepohonan seperti teak,

I. PENDAHULUAN. Industri tekstil bukanlah merupakan sebuah hal baru dalam sektor

BAB I PENDAHULUAN. Industri pertekstilan merupakan industri yang cukup banyak. menghasilkan devisa bagi negara. Tahun 2003 devisa ekspor yang berhasil

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Bila pada tahun 1969 pangsa sektor pertanian primer

BAB 3 KONDISI PERDAGANGAN LUAR-NEGERI INDONESIA DENGAN KAWASAN ASEAN

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB 1 PENDAHULUAN. dan liberalisasi perdagangan barang dan jasa semakin tinggi intensitasnya sehingga

Sektor kehutanan merupakan sektor yang memberikan kontribusi pang

BAB I PENDAHULUAN. Proses globalisasi yang bergulir dengan cepat dan didukung oleh kemajuan

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor yang berkembang pesat dalam pertanian Indonesia. Jenis tanaman yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui, dalam kata lain cadangan migas Indonesia akan semakin menipis.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. besar banyak yang mengalami kebangkrutan dan kehancuran karena. terjadinya pergeseran komposisi produk nasional.

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. GAMBARAN UMUM. 4.1 Gambaran Umum Perekonomian di Negara-negara ASEAN+3

I. PENDAHULUAN. Ekonomi merupakan salah satu sektor yang memainkan peranan yang sangat

Ketika cakar Sang Naga kian kuat mencengkeram

Latar Belakang. Furnitur kayu Furnitur rotan dan bambu 220 Furnitur plastik 17 Furnitur logam 122 Furnitur lainnya 82 Sumber: Kemenperin 2012

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Keberhasilan atau tidaknya pembangunan ekonomi di suatu negara

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Dalam hal luasnya, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke-3 setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo dan hutan-hutan ini memiliki kekayaan hayati yang unik. Tipe-tipe hutan utama di Indonesia berkisar dari hutan-hutan Dipterocarpaceae dataran rendah yang selalu hijau di Sumatera dan Kalimantan, sampai hutan-hutan Monsoon musiman dan padang savana di Nusa Tenggara, serta hutan-hutan non-dipterocarpaceae dataran rendah dan kawasan Alpin di Irian Jaya (Papua). Indonesia juga memiliki hutan Mangrove (bakau) yang terluas di dunia. (Departemen Kehutanan, 2007). Berdasarkan hasil-hasil penelitian, hutan dan perairan Indonesia memiliki kekayaan alam hayati yang tinggi, tercermin dengan keanekaragaman ekosistem, jenis satwa dan flora. Sejauh ini kekayaan tersebut diindikasikan dengan jumlah mamalia 515 jenis (12% dari jenis mamalia dunia), 511 jenis reptilia (7,3% dari jenis reptilia dunia), 1.531 jenis burung (17% dari jenis burung dunia), 270 jenis amphibi, 2.827 jenis binatang tak bertulang dan 38.000 jenis tumbuhan. Peran sektor kehutanan dalam pengembangan wilayah telah tercatat mampu mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi regional daerah pedalaman terpencil, antara lain tercermin dari sumbangan terhadap infrastruktur daerah khususnya dalam membuka sarana transportasi dan sarana pendidikan di wilayah pedalaman. Dengan demikian sektor kehutanan secara langsung maupun

2 tidak langsung telah membantu terwujudnya proses integrasi sosial kultural berbagai komunitas. (RPPK, 2005). Hutan memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia yaitu sebagai sistem penyangga kehidupan. Hutan memiliki beragam manfaat, baik manfaat ekologis, manfaat ekonomis maupun manfaat sosial. Manfaat ekonomis hutan dalam perekonomian negara tidak dapat dipandang remeh. Selama lebih dari tiga dekade, sumber daya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional dan berkontribusi dalam bentuk peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah. Salah satu bentuk pemanfaatan hutan dari sisi ekonomis adalah dengan berdirinya industri pengolahan kayu. Indonesia adalah negara terpenting penghasil berbagai kayu bulat tropis, kayu gergajian, kayu lapis dan hasil kayu lainnya, serta pulp untuk pembuatan kertas. Lebih dari setengah hutan negara ini dialokasikan untuk produksi kayu. Luas hutan Indonesia mencapai 120,35 juta hektar yang terbagi dalam hutan konservasi 20,20 juta hektar, hutan lindung 33,52 juta hektar, hutan produksi 59,25 juta hektar dan hutan produksi konversi 8,08 juta hektar. (Departemen Kehutanan, 2007). Dari aspek ekonomi, sektor kehutanan memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian Indonesia. Nilai ekspor industri hasil hutan (plywood, furniture dan pulp) pada waktu tahun 1980-an sebesar US$ 200 juta (dua ratus juta dollar Amerika) per tahun, kemudian meningkat menjadi lebih dari US$ 9 milyar (sembilan milyar dollar Amerika) per tahun pada tahun 1990-an.

3 Sampai dengan awal tahun 1990-an sektor kehutanan memberikan kontribusi terhadap pendapatan nasional ke-2 terbesar setelah migas dan urutan ke-3 di bawah migas dan tekstil sejak 1990-an. (Nurrochmat, 2005). Pada tahun 1997 saat Indonesia mengalami krisis, total output dari aktivitas kehutanan adalah sekitar US$ 20 milyar (dua puluh milyar dollar Amerika) atau sekitar 10% dari PDB Indonesia. (World Bank, 2001). Dari sisi penghasil devisa, sektor kehutanan termasuk salah satu sektor terbesar sebagai penghasil devisa. Tahun 2000 misalnya, sektor kehutanan mampu menghasilkan devisa sebesar US$ 8,5 milyar atau 17,71% dari nilai ekspor non migas. Dari devisa sebesar itu, diperoleh dari ekspor kayu lapis sebesar US$ 3,5 milyar, pulp dan kertas US$ 3 milyar, serta lain-lain US$ 1,8 milyar. (Sinar Harapan, 2002). Industri pengolahan kayu merupakan barometer peningkatan perekonomian nasional dan faktor kunci dalam upaya meningkatkan penerimaan negara dari sektor kehutanan. Pada akhir dekade 1960-an strategi peningkatan pendapatan nasional mulai melirik sektor kehutanan sebagai andalan baru yang memiliki potensi komersial tinggi, pembangunan sektor kehutanan mulai bangkit diawali dengan kegiatan penebangan kayu secara besar-besaran. Praktik-praktik eksploitatif terhadap sumber daya hutan telah dilakukan sejak diterbitkannya UU No.5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Ketentuan Tentang Kehutanan. Berbagai fasilitas dan kemudahan diprioritaskan untuk mendorong tercapainya tujuan menjadikan industri pengolahan kayu sebagai primadona kontributor riil sektor non migas terhadap pembangunan ekonomi nasional. Kran

4 ekspor kayu bulat ditutup guna menjamin ketersediaan pasokan bahan baku bagi industri pengolahan kayu dalam negeri, dengan harapan Indonesia dapat mengekspor produk olahan yang bernilai tambah (value added) yang dapat bersaing dengan produk olahan luar negeri dan pada akhirnya dapat memberikan kontribusi signifikan bagi penerimaan negara. (ICW & Greenomics, 2004). Industri kehutanan mulai mengalami perkembangan luar biasa dalam waktu singkat. Kemajuan industri pekayuan Indonesia ini tentunya merupakan kabar baik bagi kita, namun kalau kita selami lebih dalam nasib industri perkayuan Indonesia tak semanis apa yang diuraikan di atas. Berbagai kendala dihadapi oleh industri perkayuan Indonesia yang mana lambat laun akan mematikan industri perkayuan tersebut. Sektor kehutanan yang pernah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah, dewasa ini sedang menghadapi berbagai permasalahan. Salah satu masalah tersebut adalah berkaitan dengan ekspor kayu olahan khususnya kayu lapis yang kian merosot. Hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi dalam waktu belakangan ini sudah menjadi perhatian berbagai kalangan. Perdagangan internasional khususnya ekspor diyakini merupakan lokomotif penggerak dalam pertumbuhan ekonomi. Ekspor merupakan agregat output yang sangat dominan dalam perdagangan internasional. Suatu negara tanpa adanya jalinan kerjasama dengan negara lain akan kesulitan memenuhi kebutuhannya sendiri. Ekspor harus tumbuh jika Indonesia ingin menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan. Pertumbuhan lapangan kerja pada industri berorientasi

5 ekspor, jelas menguntungkan kaum miskin karena sebagian besar memanfaatkan keunggulan komparatif seperti Indonesia yang mempunyai tenaga kerja berlimpah. Akan tetapi sejak krisis, ekspor Indonesia mengalami kemandegan. Sebagai perbandingan, rata-rata pertumbuhan ekspor non migas Indonesia selama tahun 1990-1996 sebesar 16% per tahun. Sementara setelah krisis, ekspor dalam kategori ini mengalami penurunan hingga hanya mencapai 3% per tahun. Bahkan hingga akhir tahun 2003, nilai riil ekspor non migas masih lebih rendah dibandingkan pada tahun 1996. Penurunan tajam justru terjadi pada produkproduk dimana Indonesia secara tradisional memiliki keunggulan komparatif seperti karet, minyak sawit, kayu lapis dan industri padat karya seperti furniture, kain, kursi dan alas kaki. (Indonesia Policy Briefs, 2004). Selama tahun 1980-an, peran Indonesia berubah drastis dalam bisnisbisnis kayu lapis dunia, dari pelaku kecil menjadi mendominasi 70% ekspor total kayu lapis tropis. Lonjakan ini dicapai melalui subsidi terhadap industri kayu lapis, larangan ekspor kayu gelondongan dan memasarkan kayu lapis secara agresif. (CIFOR, 1998). Menurut informasi International Tropical Timber Organization (ITTO), tahun 2002 Indonesia menjadi pemasok utama pasar kayu lapis tropis dunia. Ekspor kayu lapis Indonesia pada tahun tersebut mencapai 5,82 juta m 3 atau 49% dari total ekspor dunia. Perkembangan industri ini meningkat pesat ketika pemerintah melarang ekspor kayu bulat pada tahun 1985. Dalam perkembangan selanjutnya, industri pengolahan kayu terutama kayu lapis menjadi

6 salah satu penyumbang devisa terbesar di sektor non migas bersama dengan industri tekstil. Dewasa ini industri kayu lapis Indonesia menghadapi berbagai kendala yang menghambat perkembangannya, diantaranya adalah kesulitan pasokan bahan baku; beralihnya konsumen ke produk substitusi kayu lapis hardwood ; maraknya illegal logging dimana kayunya digunakan oleh negara competitior untuk memproduksi kayu lapis dengan harga yang lebih murah; non tariff barrier dalam bentuk isu lingkungan yang diterapkan negara konsumen, banyaknya pungutan resmi dan pungutan liar, kondisi perkonomian dan sebagainya. Dapat kita lihat berdasarkan tabel 1.1 di bawah ini, pertumbuhan volume ekspor kayu lapis Indonesia dari tahun 1997 hingga 2007 terus mengalami penurunan yang signifikan, meskipun terjadi kenaikan di tahun 2001 namun selebihnya pertumbuhannya negatif. Begitupun dengan nilai ekspornya yang pada tahun 1993 pernah mencapai nilai sekitar US$ 4 milyar, namun pada tahun 2007 merosot menjadi hanya sekitar US$ 1,5 milyar, atau telah terjadi penurunan tajam sekitar 62,5 % (US$ 2,5 milyar). Ekspor kayu olahan Indonesia pada masa krisis ekonomi (1997) mencapai nilai sebesar US$ 20 milyar, angka ini setara dengan 10% PDB, dengan demikian ekspor komoditi dari sektor kehutanan ini memegang peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Industri kayu olahan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, 5 juta tenaga kerja langsung, diserap oleh industri ini dan menjadi gantungan hidup 24 juta penduduk Indonesia. (CIFOR, 2000 dan BPS, 2004).

7 Tabel 1.1 Ekspor Kayu Lapis Indonesia Tahun 1988-2007 Tahun Volume Ekspor Pertumbuhan Nilai Ekspor Pertumbuhan (m 3 ) (%) (ribu US$) (%) 1988 6.371.900-2.122.827-1989 8.038.800 26,16 2.704.493 27.40 1990 8.243.700 2,55 2.724.931 0.76 1991 8.635.300 4,75 3.230.214 18.54 1992 9.761.000 13,04 3.239.282 0.28 1993 9.627.000-1,37 4.227.191 30.50 1994 8.223.000-14,58 3.723.408-11.92 1995 8.376.000 1,86 3.786.000 1.68 1996 8.564.000 2,24 3.603.610-4.82 1997 8.500.000-0,75 3.416.225-5.20 1998 7.424.000-12,66 2.083.863-39.00 1999 6.290.800-15,26 2.256.324 8.28 2000 5.154.000-18,07 1.988.928-11.85 2001 6.336.000 22,93 1.837.915-7.59 2002 5.826.000-8,05 1.748.309-4.88 2003 5.091.929-12,60 1.662.910-4.88 2004 4.004.600-21,35 1.576.900-5.17 2005 3.406.000-14,95 1.374.670-12.82 2006 3.087.000-9,37 1.506.681 9.60 2007 2.768.800-10,31 1.543.780 2.46 Jumlah 133.729.829-65,79 50.358.461-8.64 Rata-rata 6.686.491-3,46 2.517.923-0.45 sumber : FAO STAT, diolah Dari sisi permintaan (impor), impor kayu lapis dunia cenderung meningkat pada periode 1992-2002 meskipun ada sedikit penurunan pada tahun 1998 dan tahun 2001. Pasar terbesar untuk kayu lapis selama periode 1998-2002 adalah Jepang, China, USA, Taiwan dan Korea Selatan. Impor Jepang untuk kayu lapis mencapai 33% dari total impor dunia pada tahun 1998 dan meningkat menjadi 43% pada tahun 2002. Importir kayu lapis terbesar lainnya adalah China dan USA meskipun China secara bertahap mengurangi impor dari 2.084.000 m 3 pada tahun

8 1998 menjadi hanya 570.000 m 3 pada tahun 2002. Permintaan dunia terhadap produk kayu olahan sebenarnya masih tinggi dan stabil, bahkan FAO meramalkan bahwa pada tahun 2010 kebutuhan kayu lapis dunia akan menjadi 320,4 juta m 3, ini berarti terjadi peningkatan sebesar 256% dari kebutuhan kayu lapis pada tahun 1990. Sehingga Indonesia memiliki peluang bagus untuk memperbanyak tanaman kayu guna memenuhi kebutuhan kayu dunia tersebut. (Dephut & ITTO, 2004). Akan tetapi peluang ini nampaknya tidak dapat dimanfaatkan oleh industri kayu lapis Indonseia. Data Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) menunjukkan selama tahun 2008 jumlah perusahaan kayu lapis yang masih aktif beroperasi sebanyak 40 pabrik dari total 120 pabrik. Pada 2007, ekspor kayu lapis mencapai 1,8 juta m 3 atau senilai US$ 1,5 milyar, turun dibandingkan dengan 2006 sebanyak 2 juta m 3 senilai US$ 2 milyar. Ironisnya, industri kayu dan hasil hutan justru berkembang pesat di negara-negara competitor seperti China dan Malaysia yang tidak mempunyai bahan baku kayu sendiri. Produksi kayu lapis atau plywood Indonesia semakin merosot sehingga tak mampu lagi menguasai pasar dunia. Seiring ketidakmampuan memenuhi target ekspor, Indonesia bahkan mulai mengandalkan impor kayu lapis dari China. Ironis, karena semula China merupakan importir terbesar kayu lapis Indonesia. Menurut data Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) pada 1992 volume ekspor kayu lapis Indonesia ke China mencapai 1,6 juta m 3. Namun, pada 2005 China dan Malaysia justru menjadi penguasa pasar kayu lapis di dunia, menggeser posisi Indonesia. (Suara Pembaruan, 2007). Hal ini dapat dilihat pada tabel 1.2 di bawah ini.

9 Tabel 1.2 Ekspor Kayu Lapis Indonesia, Malaysia dan China Tahun 1998-2007 Tahun Indonesia Malaysia China 1998 7.424.000 3.631.000 839.601 1999 6.290.800 3.340.000 443.601 2000 5.154.000 3.421.000 1.102.601 2001 6.336.000 3.517.000 1.267.501 2002 5.826.000 3.614.000 2.104.901 2003 5.091.929 3.951.000 2.352.901 2004 4.004.600 4.349.000 4.614.901 2005 3.406.000 4.537.000 5.852.901 2006 3.087.000 4.958.000 8.555.901 2007 2.768.800 4.863.000 10.159.901 Jumlah 49.389.129 40.181.000 37.294.710 Rata-rata 4.938.913 4.018.100 3.729.471 sumber : FAO STAT, (data dalam meter kubik) Industri kayu lapis Indonesia yang dulu menjadi primadona ekspor non migas, atau pernah mencapai puncak nilai ekspor 1,6 juta m 3 (1992) ke China, sekarang malah terbalik sebagai penerima pasokan kayu lapis dari China. Pada tahun 2000 ekspor kayu lapis Indonesia menyumbang 30% dari ekspor kayu lapis dunia. Selama periode tahun 1999-2004 nilai ekspor kayu lapis Indonesia menurun sebesar 30,11% sedangkan ekspor kayu lapis Malaysia dan China meningkat sebesar 33,78 % dan 910,88 %. (Husnaila, 2006). Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa industri kayu lapis Indonesia menghadapi permasalahan yang serius, ini terindikasi dengan kian merosotnya ekspor kayu lapis Indonesia di pasar internasional. Dari latar belakang tersebut maka akan dilakukan penelitian dengan judul : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKSPOR KAYU LAPIS INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL PERIODE 1988-2007.

10 1.2 Perumusan Masalah Lingkup permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh harga internasional kayu lapis terhadap ekspor kayu lapis Indonesia di pasar internasional periode 1988-2007? 2. Bagaimana pengaruh kurs rupiah terhadap ekspor kayu lapis Indoneisa di pasar internasional periode 1988-2007? 3. Bagaimana pengaruh pajak ekspor terhadap ekspor kayu lapis Indonesia di pasar internasional periode 1988-2007? 4. Bagaimana harga internasional kayu lapis, kurs rupiah dan pajak ekspor secara bersama-sama berpengaruh terhadap ekspor kayu lapis Indonesia di pasar internasional periode 1988-2007? 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui bagaimana pengaruh harga internasional kayu lapis terhadap ekspor kayu lapis Indonesia di pasar internasional periode 1988-2007. 2. Mengetahui bagaimana pengaruh kurs rupiah terhadap ekspor kayu lapis Indonesia di pasar internasional periode 1988-2007. 3. Mengetahui bagaimana pengaruh pajak ekspor terhadap ekspor kayu lapis Indonesia di pasar internasional periode 1988-2007. 4. Mengetahui bagaimana harga internasional kayu lapis, kurs rupiah dan pajak ekspor secara bersama-sama berpengaruh terhadap ekspor kayu lapis Indonesia di pasar internasional periode 1988-2007.

11 1.3.2 Kegunaan Penelitian A. Kegunaan Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memperkaya wawasan, pengetahuan dan ilmu yang berkaitan dengan bahasan yang diteliti khusunya perkembangan ilmu ekonomi internasional. Lebih khususnya lagi berkenaan dengan ekspor kayu lapis. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi keterkaitan antara ilmu ekonomi dengan perdagangan internasional. B. Kegunaan Praktis Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan peningkatan produksi kayu lapis Indonesia agar dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun pasar internasional sehingga dapat menciptakan pendapatan nasional serta mampu menghadapi liberalisasi perdagangan dunia. Apalagi dengan telah berlakunya China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA). Sehingga dengan demikian fungsi asli hutan sebagai penyangga kehidupan tetap terpelihara namun juga dapat memetik manfaat ekonomisnya.