BAB II. surat gugatan, membuktikan dalil-dalil gugatan, melakukan sita jaminan,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERCERAIAN KARENA ISTERI. A. Analisis terhadap Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim karena Isteri

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KEKUATAN KESAKSIAN TESTIMONIUM DE AUDITU DALAM HUKUM ACARA PERDATA

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN PERKARA CERAI GUGAT (Studi Putusan Nomor 0164/Pdt.G/2014/PA.Mlg)

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH

BAB IV ANALISIS. A. Tinjauan Yuridis terhadap Formulasi Putusan Perkara Verzet atas Putusan

BAB IV. ANALISIS HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TERHADAP PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BUKITTINGGI NOMOR:83/Pdt.P/2012/PA.Bkt

Bayyinah, yang artinya satu yang menjelaskan. Secara terminologis

ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

BAB IV. A. Analisis Terhadap Dasar Hukum yang Dijadikan Pedoman Oleh Hakim. dalam putusan No.150/pdt.G/2008/PA.Sda

BAB I PENDAHULUAN. kedudukan seseorang terdakwa apabila mendapatkan tuduhan dari seseorang.

BAB IV ANALISIS PERTANGGUNG JAWABAN PEMERIKSAAN TERSANGKA PENGIDAP GANGGUAN JIWA MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG CERAI TALAK

HUKUM ACARA PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

BAB I PENDAHULUAN. Secara bahasa syahadah artinya kesaksian, berasal dari kata musyahadah

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SAMPANG. NOMOR: 455/Pdt.G/2013.PA.Spg.

BAB II HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA TENTANG PEMBUKTIAN

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

PUTUSAN Nomor : 002/Pdt.G/2011/PA.Mto. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB IV ANALISIS HUKUMPIDANA ISLAM TERHADAP PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN RI

a. Hukum pembuktian bagian hukum acara perdata, diatur dalam:

BAB I PENDAHULUAN. kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap warga Negara.

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

HAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram )

BAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM PERMOHONAN IZIN POLIGAMI DALAM BUKU II SETELAH ADANYA KMA/032/SK/IV/2006

BAB II TINJAUAN UMUM POLIGAMI MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN PEMBUKTIAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMBATALAN PUTUSAN PA SURABAYA OLEH PTA SURABAYA

KRITERIA MASLAHAT. FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 6/MUNAS VII/MUI/10/2005 Tentang KRITERIA MASLAHAT

BAB IV ANALISIS JARI<MAH TA ZI<R TERHADAP SANKSI HUKUM MERUSAK ATAU MENGHILANGKAN TANDA TANDA BATAS NEGARA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Sudah menjadi sunnatullah, bahwa kehidupan di muka bumi ini diciptakan

BAB IV TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM NOMOR :191/PID.B/2016/PN.PDG

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL. Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia, khususnya di

RINGKASAN Bagi umat Islam yang mentaati dan melaksanakan ketentuan pembagian warisan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah swt.

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

P E N E T A P A N Nomor 0026/Pdt.P/2013/PA Slk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori atau Konseptual

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA

BAB IV. A. Analisis Hukum Islam terhadap Pasal 18 Ayat 2 Undang-Undang. memberikan pelayanan terhadap konsumen yang merasa dirugikan, maka dalam

KEDUDUKAN ALAT BUKTI TULISAN TERHADAP PENYELESAIAN PERKARA DI PENGADILAN. Rosdalina Bukido. Abstrak

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( )

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PROSES MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA DENGAN PROSES PERDAMAIAN DI MAHKAMAH SYARI AH KUCHING SARAWAK MALAYSIA

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

ف ض ل ه و ال له و اس ع ع ل ي م BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan disyariatkan oleh agama sejalan dengan hikmah manusia

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria atau seorang wanita, rakyat kecil atau pejabat tinggi, bahkan penguasa suatu

Pengasih dan Pembenci, keduanya hukumnya haram. Pertanyaan: Apakah hukumnya menyatukan pasangan suami istri dengan sihir?

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

TINJAUAN YURIDIS TENTANG SYARAT DAN PENERAPAN PENGGUNAAN PERSANGKAAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA BOBY PRASETYA / D.

Oleh: Shahmuzir bin Nordzahir

TINJAUAN YURIDIS TENTANG SYARAT DAN PENERAPAN PENGGUNAAN PERSANGKAAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA BOBY PRASETYA / D

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Akal Yang Menerima Al-Qur an, dan Akal adalah Hakim Yang Adil

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Allah Swt. menciptakan manusia di bumi ini dengan dua jenis yang

Dengan nama Allah yang maha pengasih, maha penyayang, dan salam kepada para Rasul serta segala puji bagi Tuhan sekalian alam.

BAB IV PENGGUNAAN SAKSI KELUARGA DALAM PROSES PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN MUTILASI DALAM PERSPEKTIF FIQIH MURAFA AT

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM ATAS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI SIDOARJO TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN ANAK DIBAWAH UMUR

P E N E T A P A N Nomor 20/Pdt.P/2013/PA Slk

Jawaban yang Tegas Dari Yang Maha Mengetahui dan Maha Merahmati

1 Abdul Manan, Penerapan, h R.Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor: Politea, 1995). h. 110.

BAB IV LAPORAN DAN ANALISIS. melaksanakan tugasnya guna menegakkan hukum dan keadilan harus memenuhi

Tafsir Depag RI : QS Al Baqarah 284

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA HUKUM ISLAM DAN UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PEMBULATAN HARGA

P U T U S A N Nomor 0009/Pdt.G/2015/PTA.Pdg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : XXX/Pdt.G/2012/PA.Ktbm

BAB IV. A. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh dalam Putusan No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO tentang Tindak Pidana Pembakaran Lahan.

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

PENGERTIAN TENTANG PUASA

PUTUSAN Nomor : 049/Pdt.G/2011/PA.Mto. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

P U T U S A N. Nomor: 39/Pdt.G/2011/PA.MTo. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Berkompetisi mencintai Allah adalah terbuka untuk semua dan tidak terbatas kepada Nabi.

BAB I PENDAHULUAN. ingin tahu, Man is corious animal. Dengan keistimewaan ini, manusia dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia selaku anggota masyarakat, selama masih hidup dan

BAB IV. tunduk dan patuh pada putusan yang dijatuhkan. 1

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

P U T U S A N Nomor : 028/Pdt.G/2011/PA.Mto. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

KOMPETENSI DASAR INDIKATOR:

P U T U S A N Nomor XXXX/Pdt.G/2016/PA.Ktbm DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. berpasang-pasangan termasuk di dalamnya mengenai kehidupan manusia, yaitu telah

BAB IV. A. Penerapan Perda Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Larangan Menggunakan

------Pengadilan Agama Poso yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu. pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan atas perkara Cerai Talak

BAB I PENDAHULUAN. menerima atau mendengarkan sumpah tersebut, apakah mempercayainya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

ب س م الل ه ال رح م ن ال رح ي م

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA

PUTUSAN Nomor : 042/Pdt.G/2011/PA.Mto. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

Bolehkah melaksanakan perkawinan seorang perempuan dengan seorang laki laki yang bapak keduanya saudara sekandung, yaitu seayah dan seibu?

BAB I PENDAHULUAN. badan peradilan untuk menjalankan fungsinya dalam menegakkan hukum

1. Pengertian Saksi. 2. Syarat syarat Saksi MAKALAH :

KEWENANGAN RELATIF KANTOR LELANG DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DEBITUR DI INDONESIA. Oleh : Revy S.M.Korah 1

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Notaris sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan

ب س م الله ال رح م ن ال رح یم

Transkripsi:

BAB II PEMBUKTIAN, KESAKSIAN, DAN KESAKSIAN UNUS TESTIS NULLUS TESTIS DALAM HUKUM ACARA PERDATA A. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Hukum acara perdata di dalamnya mengatur tentang bagaimana beracara di depan sidang pengadilan, misalnya bagaimana cara mengajukan surat gugatan, membuktikan dalil-dalil gugatan, melakukan sita jaminan, menjatuhkan putusan sela, dan sebagainya. 18 Pembuktian di depan sidang pengadilan, merupakan hal terpenting dalam hukum acara, karena pengadilan dalam menegakkan hukum dan keadilan tidak lain berdasarkan adanya suatu proses pembuktian dalam suatu perkara yang sedang disidangkan. Sebelum kita mengetahui lebih jauh tentang pembuktian sudah barang tentu kita harus mengetahui apa dulu yang dimaksud dengan pembuktian. Pembuktian menurut istilah bahasa arab berasal dari kata albayyinah yang artinya sesuatu yang menjelasakan. Sedangkan secara terminologis, pembuktian berarti memberi keterangan dengan dalil yang meyakinkan. 19 18 Gatot Supramono, Hukum Acara Pembuktian di Peradilan Agama, 13. 2006), 135. 19 Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama di Indonesia (Jakarta: Kencana, 22

23 2. Tujuan pembuktian Tujuan pembuktian ialah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa fakta/peristiwa yang diajukan itu benar terjadi, yakni dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak. 20 3. Asas-asas pembuktian Adapun yang menjadi dasar pembuktian dalam hukum acara perdata ini terfokus pada pasal 163 HIR, yang berbunyi: Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang tersebut harus membuktikan tidak adanya penggugat, tetapi tergugat terkadang juga harus membuktikan adanya kejadian itu telah terkandung dalam Pasal 163 HIR, yaitu bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu maka dia harus membuktikannya, dan ini bukan berarti yang harus membuktikan itu tidak hanya penggugat, tetapi tergugat juga terkadang harus membuktikannya. 21 20 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, 140. 21 R. Soesilo, RIB/ HIR Dengan Penjelasan, 119

24

25 4. Apa yang Harus Dibuktikan Hal yang harus dibuktikan adalah kejadian atau hak yang belum jelas atau yang menjadi sengketa dan juga relevan dengan pokok perkara. 22 Tentang hukumnya tidak perlu untuk dibuktikan, karena hakim yang akan menetapkan hukumnya. Peristiwa-peristiwa yang harus dibuktikan di muka sidang pengadilan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang disengketakan, sebab pembuktian merupakan cara untuk menyelesaikan sengketa. b. Peristiwa tesebut harus dapat diukur, terikat dengan ruang dan waktu. c. Peristiwa tersebut harus berkaitan dengan hak yang disengketakan, yaitu peristiwa yang menjadi sumber hak yang disengketakan. d. Peristiwa tersebut efektif untuk dibuktikan, yang merupakan salah satu rangkaian peristiwa itu. e. Peristiwa tersebut tidak dilarang oleh hukum dan kesusilaan.23 5. Hal-hal yang Tidak Perlu Dibuktikan a. Peristiwa yang dianggap tidak perlu diketahui oleh hakim atau dianggap tidak mungkin diketahui hakim, misalnya: 22 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, 143. 23 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, 230.

26 1) Putusan verstek. Dalam hal djatuhkan putusan verstek dengan tidak hadirnya tergugat setelah dipanggil secara patut, maka segala peristiwa yang didalilkan oleh penggugat harus dianggap benar. Dalam hal ini hakim cukup meneliti apakah panggilan telah dilaksanakan secara resmi dan patut, jika telah dilaksanakan secara resmi dan patut, maka dapat dijatuhkan putusan tanpa datangnya tergugat, dan dalil gugat penggugat tidak perlu dibuktikan lagi. 24 2) Hal mengakui gugatan penggugat. Jika tergugat mengakui dalil gugat dari penggugat, maka gugatan penggugat itu tidak perlu dibuktikan lagi. Segala gugatan penggugat dianggap telah terbukti, jadi tidak perlu dibuktikan lagi kebenaran dalil gugat penggugat lebih lanjut. 3) Telah dilakukan sumpah decissoir, sumpah yang bersifat menentukan, oleh karena itu jika sumpah decissoir telah dilaksanakan oleh salah satu pihak yang berperkara, maka pembuktian lebih lanjut tidak diperlukan lagi. Segala peristiwa dan kejadian yang menjadi pokok sengketa dianggap teah terbukti dan tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut. 4) Hal gugatan referte. Jika tergugat tidak mengakui dan juga tidak membantah dalil gugat penggugat atau mengkui tidak, menyanggah juga tidak, segala gugatan penggugat diserahkan sepenuhnya kepada 24 Ibid., 236.

27 hakim secara sepenuhnya dengan mengatakan terserah pada hakim, maka dalam hal ini tidak perlu ada pembuktian lagi. 25 b. Hakim secara ex officio dianggap mengenal peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Peristiwa-peristiwa tersebut adalah: 1) Peristiwa notoir atau biasa disebut dengan peristiwa yang diketahui umum. Karena kebanarannya telah diketahui masyarakat umum, sehingga tidak perlu pembuktian lagi. 2) Peristiwa yang diketahui oleh hakim yang memeriksa perkara, sehingga tidak perlu pembuktian lagi. c. Pengetahuan tentang pengalaman adalah kesimpulan berdasarkan pengetahuan umum. Ketentuan umum yang digunakan untuk menilai peristiwa yang diajukan atau yang telah dibuktikan, contohnya apabila peluru ditembakkan tembus mengenai kepala manusia, ia akan mati. Maka hal tersebut tidak memerlukan pembuktian. 26 6. Teori pembuktian dalam hukum acara perdata Banyak teori pembuktian dalam hukum acara perdata menurut pendapat para ahli, namun salah satu pendapat para ahli Prof. Sudikno Mertokousumo yang mengemukakan tiga teori, yaitu: a. Teori pembuktian bebas 25 Ibid., 237. 26 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, 132-134.

28 Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepadanya. b. Teori pembuktian negatif Menurut teori ini harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif, yaitu bahwa ketentuan ini harus membatasi pada larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim di sini dilarang dengan pengecualian c. Teori pembuktian positif Yaitu adanya ketetuan-ketentuan yang mengikat, tidak lain selain menurut ketentuan tersebut secara mutlak, seperti ditemui dalam pasal 165 HIR. Pasal 165 HIR sama dengan pasal 1870 BW yang pada pokonya menyatakan, suatu akta autentik memberikan di antara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya. Pendapat umum menghendaki teori pembuktian yang lebih bebas. Hasrat akan adanya kebebasan dalam hukum pembuktian ini dimaksudkan untuk memberi kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran. 27 27 Ibid, 141.

29 7. Macam-macam alat bukti Dipandang dari segi pihak-pihak yang berperkara (pencari keadilan), alat bukti adalah alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim di muka pengadilan. Dipandang dari segi pengadilan yang memeriksa perkara, alat bukti adalah alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh hakim untuk memutus perkara. Jadi alat bukti diperlukan oleh pencari keadilan ataupun pengadilan. 28 Alat bukti yang diakui oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pasal 164 HIR, pasal 284 RBg, dan pasal 1866 KUH Perdata adalah alat bukti surat (tulisan), alat butki saksi, persangkaan (dugaan), pengakuan, dan sumpah. 29 Dalam praktek masih terdapat satu macam alat bukti yang sering digunakan dalam persidangan yaitu pengetahuan hakim, adapun yang dimaksud dengan pengetahuan hakim adalah hal atau keadaan yang diketahuinya sendiri oleh hakim pada saat persidangan. Menurut HIR sesungguhnya masih ada lagi alat bukti lain, seperti misalnya hasil penyelidikan setempat atau hasil pemeriksaan orang ahli dan begitu pula hal- 28 Raihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, 151. 29 Soesilo, RIB/RBg dan Penjelasannya, 121.

30 hal yang diakui oleh umum, atau yang diketahui kebenarannya oleh kedua belah pihak. 30 a. Pembuktian dengan Surat (alat bukti tertulis) yang memuat tulisan untuk menyatakan pikiran seseorang sebagai alat bukti. Menurut bentuknya, alat bukti tertulis digolongkan menjadi dua jenis, yaitu surat akta dan bukan surat akta. Surat akta adalah surat yang bertanggal dan diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang digunakan untuk pembuktian. Surat akta digolongkan menjadi dua jenis, yaitu akta autentik dan akta tidak autentik. 31 1) Akta Otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut di tempat dimana akta itu dibuat. 32 2) Akta di bawah tangan adalah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum, yang mana akta itu dibuat dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. 33 30 R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasannya, 121. 31 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, 149-158. 32 Eddy O.S Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta : Erlangga, 2012), 82. 33 Ibid, 83.

31 b. Keterangan Saksi. Saksi ialah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tertentu. 34 Menjadi saksi dalam persidangan adalah kewajiban setiap warga negara. Dalam perkara perdata, jika bukti tulisan kurang cukup, pembuktian selanjutnya adalah dengan menggunakan saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang diajukan di muka sidang. 35 c. Persangkaan, ialah suatu kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal atau dianggap terbukti kearah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti, baik yang berdasarkan Undang- Undang atau kesimpulan yang di tarik oleh hakim. 36 Dari pengertian tersebut dapat diketahui kalau persangkaan itu bisa diambil dari Undang-Undang dan dari kesimpulan hakim. e. Pengakuan, ialah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain. Menurut Undang- Undang, suatu pengakuan yang dilakukan di depan hakim merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa 34 Gemala Dewi, SH., LL. M., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, 139. 35 Eddy O.S Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, 85. 36 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pengadilan Agama, 174.

32 yang diakui. 37 Pengakuan ada kalanya di depan sidang dan ada kalanya tidak di depan sidang. Pengakuan di depan sidang adalah merupakan alat bukti yang sempurna dan mengikat, jadi pihak lawan atau hakim tidak perlu membuktikan, lain lagi melainkan telah cukup untuk memutus dalam bidang persengketaan yang telah diakui tersebut. 38 Pengakuan yang tidak di depan sidang, hakim bebas untuk menilai, tidak mengikat dan bukan alat bukti yang sempurna, kecuali kalau pengakuan di luar sidang dulunya itu diulangi ucapannya di depan sidang, sekalipun pengakuan di luar sidang dahulunya itu diberikan di muka orang yang kini sebagai hakim yang menyidangkan perkara. 39 f. Sumpah, ialah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehnya. 40 Alat bukti sumpah tidak bisa berdiri sendiri, yang berarti bahwa hakim tidak bisa memutus hanya semata-mata berdasarkan kepada sumpah tanpa 1994), 183. 37 R. Subekti, Pokok -Pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, Cetakan 26, 38 Raihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, 180. 39 Ibid. 40 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata di Pengadilan Agama, 184.

33 disertai oleh alat bukti lainnya. Sumpah hanya merupakan salah satu alat bukti yang dapat diandalkan untuk pengambilan putusan terakhir. 41 8. Beban pembuktian Adapun pihak yang wajib membuktikan adalah para pihak yang berkepentingan. Para pihaklah yang wajib mengajukan alat-alat bukti dan hakim menetapkan kepada siapa dibebankan pembuktian. Pihak yang mempunyai beban pembuktian, mengandung resiko jika tidak berhasil maka ia akan dikalahkan. 42 Asas pembagian beban pembuktian tercantum dalam Pasal 163 H.I.R. (Pasal 283 R.Bg dan 1865 BW) yang berbunyi: Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu. Ini berarti bahwa kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang tergugat berkewajiban membuktikan bantahannya. 43 41 Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama di Indonesia, 141. 42 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata di Peradilan Agama, 137. 43 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, 141-142.

34 Penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran bantahan tergugat, demikian pula sebaliknya tergugat tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan oleh penggugat. Kalau penggugat tidak dapat membuktikan peristiwa yang diajukan, maka ia harus dikalahkan, sedangkan kalau tergugat tidak dapat membuktikan bantahannya, maka ia harus pula dikalahkan. Jadi, beban pembuktian itu bukan terletak pada hakim, melainkan pada masing-masing pihak yang berperkara baik penggugat maupun tergugat. Dengan demikian, para pihaklah yang wajib membuktikan segala peristiwa, kejadian atau fakta yang disengketakan itu dengan mengajukan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. 44 B. Kesaksian Menurut Hukum Acara Perdata 1. Pengertian saksi Kata saksi juga berarti kesaksian atau bukti kebenaran. Kesaksian artinya keterangan atau bukti pernyataan yang diberikan oleh orang yang melihat, atau keterangan, atau pernyataan yang diberikan saksi. 45 Sedangkan menurut syara pada umumnya yang diutarakan adalah definisi kesaksian. 44 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, 131. 2005), 157 45 Pro. H. Hilman Hadikusuma, S.H., Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: P.T. Alumni,

35 Kesaksian menurut bahasa arab adalah asy-syaha>dah ialah mengemukakan kesaksian untuk menetapkan hak atas diri orang lain. 46 Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri oleh orang seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain. Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya sendiri dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya. Karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan. Kesaksian bukanlah suatu alat bukti yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi. 47 Kesaksian yang dapat dikemukakan di depan pengadilan hanyalah terbatas pada apa yang telah dilihatnya atau yang telah dialaminya sendiri. Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi tidak boleh berupa hasil kesimpulan yang ditarik apa yang dilihatnya dari suatu peristiwa tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan HIR Pasal 171, yaitu: a. Dalam tiap-tiap penyaksian harus disebut segala sebab pengetahuan saksi. 46 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqey, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putera, 1997), 139 47 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, 180-181.

36 b. Perasaan atau sangka yang istimewa, yang terjadi karena kata akal tidak dipandang sebagai penyaksian. 48 Dan sesuai pula dengan ketentuan Pasal 301 HIR yang berbunyi: a. Tiap-tiap penyaksian yang diberikan harus memperkatakan kejadian yang sungguh, yang didengar, dilihat atau yang dirasa oleh saksi itu sendiri, lagi pula harus disebutkan dalam penyaksian itu sebab-sebab hal itu jadi diketahui. b. Kira atau sangka yang istimewa, yang disusun dengan kata akal saja bukan penyaksian. 49 Senada dengan hal ini juga disebutkan dalam Pasal 1907 KUH Perdata, yang berbunyi : Pendapat-pendapat maupun perkiraan-perkiraan khusus, yang diperoleh dengan jalan pikiran, bukan kesaksian. 50 Dengan mengetahui apa yang dimaksud dengan kesaksian, maka dapatlah dikemukakan bahwa pengertian saksi ialah orang yang mempertanggungjawabkan kesaksian dan mengemukakan, karena dia menyaksikan suatu peristiwa, yang ia lihat (dialaminya sendiri), tanpa mengada-ada atau pun menarik kesimpulan dalam memberikan kesaksian. 48 Tresna, Komentar HIR, 151. 49 Ibid, 242. 50 Subekti dan Tjiro Sudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2001), 482.

37 Kesaksian di pengadilan dapat terjadi dikarenakan anjuran para pihak yang berperkara atau berdasarkan panggilan hakim karena jabatannya. Hakim dapat memaksa memanggil saksi untuk didengar keterangannya di muka sidang, dan jika pada waktu yang ditentukan saksi tersebut tidak hadir ia dapat diambil dan dibawa ke sidang oleh polisi. 51 2. Sumber Hukum tentang Saksi Agama Islam dalam menetapkan landasan hukum adanya saksi sifatnya sangat mengikat, karena hal ini mengingat urgensi kesaksian itu dalam hal untuk menyingkap kebenaran-kebenaran yang masih belum jelas, serta bisa dipakai sebagai alat bukti untuk menetapkan suatu hak untuk menetapkan landasan hukum sebagai kewajiban dalam suatu perkara, maka sudah barang tentu masalah jumlah saksi sangat diperhatikan dan disyari atkan oleh Islam. Adanya dalil-dali yang menetapkan keharusan adanya saksi atau keharusan bagi seorang saksi untuk menyampaikannya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat An-Nisa> ayat 135: ي ا ا ي ه ا ال ذ ين ا م ن وا ك ون وا ق و ام ين ب ال ق س ط ش ه د اء ل ل ه و ل و ع ل ى ا ن ف س ك م ا و ال و ال د ي ن و الا ق ر ب ين ا ن ي ك ن غ ن ي ا ا و ف ق ير ا ف الل ه ا و ل ى ب ه م ا ف لا ت ت ب ع وا ال ه و ى ا ن ت ع د ل وا و ا ن ت ل و وا ا و ت ع ر ض وا ف ا ن الل ه ك ان ب م ا ت ع م ل ون خ ب ير ا Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benarbenar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu 51 Pror. H. Hilman Hadikusuma, S. H., Bahasa Hukum Indonesia, 158

38 sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan. 52 Hukum menjadi saksi adalah fardhu ain. Oleh karena itu, manakala seseorang dipanggil untuk dijadikan saksi dalam suatu perkara maka ia wajib memenuhi panggilan itu sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqa>rah ayat 283:...و لا ت ك ت م وا الش ه اد ة و م ن ي ك ت م ه ا ف ا ن ه ا ث م ق ل ب ه Artinya:...Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. 53 Maksud dari ayat diatas adalah barang siapa yang dipanggil oleh hakim untuk diminta keterangan sebagai saksi dalam suatu perkara agar perkara itu jelas masalahnya, maka saksi-saksi wajib memenuhi panggilan tersebut. Jika ia enggan memberikan keterangan kesaksiannya padahal ia tahu duduk masalahnya, maka ia termasuk orang yang berdosa di hadapan Allah SWT. Sedangkan di dalam Undang-undang dan hukum acara perdata di Indonesia juga diatur masalah dasar-dasar saksi sebagai alat bukti. Dalam hal ini diatur oleh Pasal 1895 KUH Perdata menyebutkan bahwa Pembuktian 52 Depag Republik Indonesia, Al-Qur an dan Terjemahannya, 144. 53 Ibid, 59

39 dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal di mana itu tidak dikecualikan oleh Undang-undang. 54 Dalam HIR juga disebutkan pada Pasal 164, yaitu mengenai alat-alat bukti salah satunya adalah saksi. Dan dapat dirangkum dari pasal 169-172 HIR dihubungkan dengan isi pasal 1905-1908 BW tentang dasar kekuatan pembuktian dengan saksi: a. Keterangan dari seorang saksi saja, tanpa ada alat bukti yang lain tidak dianggap pembuktian yang cukup (pasal 169) HIR jo Pasal 1905 BW). b. Jika kesaksian berbagai orang mengenai berbagai peristiwa terlepas satu sama lainnya yang masing-masing berdiri sendiri tapi semua itu di dalam hubungannya satu sama lain menguatkan suatu peristiwa tertentu, maka terserah kepada hakim untuk menilainya sebagaimana dikehendaki oleh keadaan (Pasal 170 HIR jo Pasal 1906 BW) c. Pendapat-pendapat maupun perkiraan-perkiraan khusus yang diperoleh dari pemikiran bukanlah kesaksian. Oleh karena tiap-tiap kesaksian itu harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana diketahuinya hal-hal yang diterangkan (Pasal 171 HIR jo Pasal 1907 BW). d. Dalam mempertimbangkan suatu kesaksian atau nilai suatu kesaksian, hakim harus memberikan perhatian khusus pada persamaan kesaksiankesaksian dengan apa yang diketahui dari lain sumber tentang hal yang 54 Subekti dan Tjiro Sudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 481.

40 menjadi perkara. Pada alasan-alasan yang kiranya telah mendorong para saksi untuk mengutarakan perkaranya dan berbagai cara, baik pada cara hidup, kesusilaan adan kedudukan para saksi peda umumnya serta pada segala apa saja yang mungkin ada pengaruhnya terhadap lebih atau kurang dapat dipercayanya para saksi itu (pasal 172 HIR jo Pasal 1908 BW). Dengan adanya dasar-dasar hukum tersebut di atas, maka jelas bahwa persaksian itu perlu ada dalam hal untuk menjelaskan duduk persoalan suatu perkara atau peristiwa. 3. Syarat-syarat Saksi Dalam perundang-undangan sendiri belum diatur secara jelas mengenai persyaratan saksi sebagai alat pembuktian di pengadilan, hanya saksi dibedakan dengan syarat-syarat formil dan materil, yaitu: a. Syarat formil saksi adalah: 1) Berumur 15 tahun ke atas. 2) Sehat akalnya. 3) Tidak ada hubungan saudara dan keluarga semenda menurut keturunan lurus, kecuali Undang-undang menentukan lain. 4) Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak meskipun sudah bercerai.

41 5) Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah, kecuali Undang-undang menentukan lain. 6) Menghadap ke persidangan. 7) Mengangkat sumpah menurut agamanya. 8) Berjumlah sekurang-kurangnya dua orang untuk kesaksian suatu peristiwa atau dikuatkan dengan alat bukti lain, kecuali mengenai perzinahan. 9) Dipanggil masuk ke ruang sidang satu demi satu. 10) Memberikan keterangan secara lisan. b. Syarat materil saksi adalah: 1) Menerangkan apa yang dilihat, ia dengar, dan ia alami sendiri. 2) Diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwanya. 3) Bukan merupakan pendapat atau kesaksian saksi sendiri. 4) Saling bersesuaian satu sama lain. 5) Tidak bertentangan dengan akal sehat. 55 Berkenaan dengan persyaratan formil terhadap saksi dari pasal 145 HIR dan pasal 1912 KUH Perdata menjelaskan, yaitu tidak diterimanya seseorang sebagai saksi yang belum mencapai usia 15 tahun dan orang-orang yang tidak berpikiran sehat. 56 55 Mukti Arto, Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, 165-166. 56 Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung : Mandar Maju, 1989), 72.

42 4. Orang yang ditolak sebagai saksi Orang yang tidak boleh di dengar sebagai saksi menurut hukum perdata (BW) ialah: a. Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus. b. Istri atau suami dari salah satu pihak, meskipun sudah bercerai. c. Anak-anak yang tidak diketahui benar apakah sudah cukup umurnya 15 tahun ataukah belum. d. Orang gila, meskipun ia kadang-kadang mempunyai ingatan terang. Akan tetapi kaum keluarga sedarah dan semenda tidak dapat ditolak sebagai saksi dalam perkara perselisihan kedua belah pihak khusus dalam masalah berikut: a. Status menurut hukum perdata. b. Tentang perjanjian kerja, atau c. Tentang perceraian karena adanya perselisihan suami istri. Bahkan orang-orang yang berhak mengundurkan diripun tidak boleh mengundurkan untuk memberikan kesaksian dalam perkara-perkara tersebut di atas (Pasal 145 HIR). 57 Dalam Undang-undang juga disebutkan bahwa saksi dari pihak keluarga dalam perkara perceraian dengan alasan syiqoq yakni Undang-Undang No.7 tahun 1989 pasal 76 ayat (1) yang berbunyi: 57 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan, 163.

43 Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqoq maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri. Tidak semua keterangan saksi bernilai sebagai alat bukti yang sah, ada beberapa bagian keterangan saksi yang tidak boleh dinilai dan dimasukkan sebagai alat bukti, yaitu hal-hal sebagai berikut: a. Pendapat pribadi saksi Pendapat pribadi saksi adalah tidak dibenarkan sebagai alat bukti keterangan saksi. Oleh karena itu, harus dikeluarkan atau dikesampingkan dari penilaian pembuktian. Jika hal ini dilanggar hakim berarti salah menerapkan hukum pembuktian dan putusan akan dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi. b. Dugaan saksi Yaitu keterangan saksi yang berisi dugaan, dugaan manusia pada umumnya didasarkan pada daya tangkap panca indera, sehingga akuratnya suatu dugaan tergantung pada daya tangkap panca indera manusia yang dimiliki seseorang. c. Kesimpulan pendapat saksi Membenarkan keterangan saksi yang berisi suatu kesimpulan pendapat dari apa yang disaksikannya dalam suatu peristiwa bisa mengakibatkan saksi mengambil kedudukan dan fungsi, serta

44 kewenangan hakim. Selain itu keterangan akan melenceng dari garis objektif ke arah pendapat subjektif. Kemudian, kesimpulan seseorang mengenai suatu peristiwa yang disaksikannya tidak selamanya benar, tetapi bisa keliru, sehingga tidak memberikan suatu kepastian. d. Perasaan pribadi saksi Keterangan saksi yang diberikan berdasarkan perasaan sangat cenderung dipengaruhi dengan kata sanubari atau getaran jiwa seseorang, sehingga yang menonjol dalam keterangan yang diberikan berdasar perasaan kehilangan makna fungsi panca indera pengelihatan dan pendengaran. e. Kesan pribadi saksi Kesan merupakan hasil yang diperoleh dari suatu pengalaman atau pendengaran, kesan dianggap sebagai impression, yaitu hasil yang diperoleh seseorang dari pengalaman dan pengamatan suatu peristiwa, namun suatu kesan terkadang lebih cenderung mengarah kepada penilaian subjektif sesuai dengan latar belakang kultur yang berada disekitar kehidupan orang yang bersangkutan. Oleh karen itu, keterangan saksi yang berisi kesan atas peristiwa yang disaksikannya

45 hampir sama dengan pendapat pribadi saksi. Oleh karena itu, harus disingkirkan sebagai alat bukti. 58 5. Kewajiban Saksi Ada tiga kewajiban bagi seorang yang dipanggil sebagai saksi yaitu: a. Kewajiban untuk menghadap Kewajiban untuk menghadap di persidangan pengadilan dapat disimpulkan dari pasal 140-141 HIR, yang menentukan adanya sanksi bagi saksi yang tidak mau datang setelah dipanggil dengan patut. Apabila pada hari yang telah ditetapkan saksi yang telah dipanggil tidak datang, maka ia dihukum untuk membayar biaya yang telah dikeluarkan sia-sia dan ia akan dipanggil sekali lagi. Kalau setelah dipanggil untuk kedua kali ia tidak juga datang menghadap, maka untuk kedua kalinya ia dihukum untuk membayar biaya yang telah sia-sia dikeluarkan dan dihukum pula untuk mengganti kerugian yang diderita oleh para pihak karena ketidak hadirannya saksi dan disamping itu hakim dapat memerintahkan agar saksi dibawa oleh polisi ke pengadilan. 59 Apabila saksi yang bertempat tinggal di luar wilayah hukum Pengadilan Negeri yang memanggil, maka tidak ada kewajiban baginya untuk datang. Tetapi pendengaran saksi ini dilimpahkan kepada 58 Dr. Ahmad Mujahidin,M.H. Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), 190 59 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, 174.

46 Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal saksi. Pada hari sidang yang telah ditetapkan para saksi dipanggil untuk masuk di ruang sidang satu demi satu. 60 b. Kewajiban untuk bersumpah Kewajiban untuk bersumpah menurut agama yang dianutnya, dengan ancaman jika tidak mau bersumpah maka dapat ditahan sampai saksi tersebut bersedia memenuhinya. 61 c. Kewajiban untuk memberi keterangan Kewajiban untuk memberikan keterangan yang benar, dengan ancaman jika tidak mau, dapat ditahan sementara sampai saksi tersebut bersedia memberikan keterangan yang benar, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 148 HIR dan Pasal 176 RBg. Jika saksi-saksi yang dipanggil memberikan keterangan tidak benar setelah disumpah, maka dapat dituntut karena melakukan sumpah palsu. 62 6. Variasi alat bukti saksi Hukum asal saksi sebagai alat bukti, ukup dua orang lelaki sebagaimana sudah dijelaskan, tetapi dalam beberapa jenis perkara, tampaknya alat bukti itu bervariasi, seperti berikut ini: 60 Ibid, 175. 61 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, 175 62 Ibid., 176.

47 a. Dalam perkara zina atau tuduhan zina, saksinya emapt oang lelaki yang beragama Islam. b. Pembuktian saksi dengan wasiat harta dalam perjalanan (musafir) oleh dua orang laki-laki beragama Islam, atau oleh seorang laki-laki bersama dua orang perempuan beragama Islam semua, atau boleh dua orang lelaki bukan beragama Islam, atau oleh seorang lelaki bersama dua orang perempuan yang semuanya bukan beragama Islam. c. Pembuktian perkara hudud selain zina, termasuk hudud qisas badan atau qisas jiwa, dengan dua orang saksi lelaki yang beragama Islam. 63 d. Pembuktian saksi yang cukup oleh seorang lelaki bersama dua orang perempuan yang beragama Islam, yaitu dalam perkara harta benda, perkawinan, wasiat, hibah, waqaf, iddah, perwakilan, perdamaian, pengakuan, pembebasan dan lain-lain yang sejenis itu, yang pada umunya bersifat hak keperdataan. 64 e. Pembuktian dengan seorang saksi ditambah sumpah dari pihak yang memiliki saksi itu (al-yamin ma a asy-syahid). Ini pernah dilakukan oleh Rasululloh SAW. Dalam hal seorang telah mengaku Islam dengan seorang saksi dengan sumpahnya. 63 Raihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, 162. 64 Ibid, 163.

48 f. Ada pula ahli hukum (fuqoha) yang membolehkan pembuktian dengan seorang saksi saja, yaitu dalam kesaksian awal bulan Ramadhan. 65 7. Kekuatan pembuktian Apabila saksi telah memenuhi syarat formil dan materil, maka ia mempunyai nilai pembuktian bebas. Hakim bebas untuk menilai kesaksian itu sesuai dengan nuraninya. Hakim tidak terikat dengan keterangan saksi. Hakim dapat mempertimbangkan dengan cukup berdasarkan argumen yang kuat. Jika kesaksian itu berasing-asing dan tersendiri dari beberapa orang, tentang beberapa kejadian dapat menguatkan suatu perkara yang tertentu oleh karena kesaksian itu berkesesuaian dan berhubung-hubung, maka diserahkan pada pertimbangkan buat menghargai kesaksian yang berasingasing itu sedemikian kuat, sehingga menurut keadaan (Pasal 170 HIR). Dalam hal menimbang harga kesaksian hakim harus menumpahkan perhatian sepenuhnya tentang permufakatan dari saksi-saksi, cucoknya kesaksian dari yang diketahui dari tempat lain tentang perkara yang diperselisihkan, tentang sebab-sebab yang mungkin ada pada saksi itu untuk menerangkan dengan cara begini dan begitu. Tentang perilakuan atau adat 65 Ibid, 164.

49 dan kedudukan saksi, dan pada umunya segala hal yang dapat menyebabkan saksi itu dapat dipercaya atau tidak (Pasal 172 HIR). 66 C. Kesaksian Unus Testis Nullus Testis 1. Pengertian unus testis nullus testis Kesaksian seorang saksi tidak dianggap kesaksian ini sering diformulasikan dalam kalimat unus testis nullus testis dan ini berlaku di hukum pembuktian baru di Negeri Belanda. 67 Ajaran atau asas unus testis nullus testis di atur dalam Pasal 169 HIR atau Pasal 1905 KUHPerdata yang berbunyi Keterangan seorang saksi tanpa ada alat bukti lain di dalam hukum tidak dapat dipercaya. Tegasnya untuk membuktikan suatu peristiwa hukum, baik dalam konteks pidana maupun perdata, dibutuhkan minimal dua orang saksi. 68 Suatu peristiwa dianggap tidak terbukti jika hanya didasarkan pada keterangan seorang saksi saja. 69 Saksi yang hanya seorang diri belum dapat dijadikan dasar pembuktian, melainkan hanya bernilai sebagai bukti permulaan. Oleh sebab itu harus disempurnakan dengan alat bukti yang lain, seperti sumpah atau yang lainnya. Dengan demikian, nilai pembuktian 66 Ibid, 168. 67 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 648. 68 Eddy O.S Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, 45. 69 Prof. Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008), 136.

50 keterangan saksi tidak terletak pada banyaknya, tetapi kualitasnya. 70 Hakim dilarang menetapkan suatu peristiwa sebagai terbukti hanya berdasarkan keterangan seorang saksi yang berdiri sendiri tanpa didukung alat bukti lain. 71 2. Kekuatan yuridis kesaksian unus testis nullus testis dalam hukum acara perdata Kekuatan pembuktian dari kesaksian seorang saksi saja tidak boleh dianggap sebagai sempurna oleh hakim. Gugatan harus ditolak kalau penggugat dalam mempertahankan dalilnya hanya mengajukan seorang saksi tanpa alat bukti lain. Keterangan seorang saksi saja, kalau dapat dipercaya oleh hakim, bersama dengan satu alat bukti lainnya baru dapat merupakan alat bukti yang sempurna, misalnya dengan persangkaan atau pengakuan tergugat. Hakim dapat pula membebani sumpah pada salah satu pihak itu hanya mengajukan seorang saksi saja dan tidak ada alat bukti lainnya. 72 70 Eddy. O.S. Hiariej. Teori dan Hukum Pembuktian, 61. 71 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan, 169. 72 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, 171.