KONSEP DIRI OLEH : Raras Sutataminingsih, M.Si.,psikolog FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN TEORI. seseorang karena konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam

Bab II Tinjauan Teori

BAB II LANDASAN TEORI. berhubungan dengan orang lain. Stuart dan Sundeen (dalam Keliat,1992).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dukungan sosial timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat orang- orang yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendefinisian dan klarifikasi istilah dilakukan di awal penelitian dengan

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kali oleh seorang psikiater asal Inggris bernama John Bowlby pada tahun 1969.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. terutama bagi masyarakat kecil yang hidup di perkotaan. Fenomena di atas

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas kehidupan, terutama

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. Tinjauan Pustaka

Fenomenologi Intuitif Carl Rogers: Psikolog (Aliran Humanisme) D. Tiala (pengampu kuliah Psikoterapi dan Konseling Lintas Budaya)

BAB I PENDAHULUAN. Individu disadari atau tidak harus menjalani tuntutan perkembangan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA TENTANG KONSEP DIRI REMAJA PUTRI YANG MEMILKI IBU TIRI. jangka waktu yang singkat, konsep diri juga bukan merupakan pembawaan

BAB II LANDASAN TEORI. Fitts (1971) Konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Fase perkembangan tersebut meliputi masa bayi, masa kanak-kanak,

Studi Komparatif Mengenai Konsep Diri Anggota Senior dan Anggota Junior pada Komunitas Cosplay di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki hak untuk dapat hidup sehat. Karena kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

KEBUTUHAN HARGA DIRI DAN KONSEP DIRI NIKEN ANDALASARI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN ANTARA SELF BODY IMAGE DENGAN PEMBENTUKAN IDENTITAS DIRI REMAJA. Skripsi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Teori Komunikasi MODUL PERKULIAHAN. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Tentang Teori-Teori Dalam Konteks Komunikasi Antar Pribadi

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB II KAJIAN TEORI. 2.1 Konsep Diri Pengertian Konsep Diri. Hurlock (1990) mengemukakan, konsep diri merupakan inti dari pola

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun

Perkembangan Sepanjang Hayat

MAKALAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN KONSEP DIRI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pada seseorang, tanpa adanya kepercayaan diri akan banyak. atribut yang paling berharga pada diri seseorang dalam kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. pada kesiapannya dalam menghadapi kegiatan belajar mengajar.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang dan Masalah. 1. Latar Belakang. Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya menyiapkan manusia

TINJAUAN PUSTAKA. A. Hasil Belajar. Seluruh pengetahuan, keterampilan, kecakapan dan perilaku siswa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya maupun mengenai diri mereka sendiri. dirinya sendiri dan pada late childhood semakin berkembang pesat.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB I PENDAHULUAN. beradaptasi di tengah kehidupan masyarakat yang lebih luas.

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA REMAJA. Naskah Publikasi. Diajukan kepada Fakultas Psikologi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Interaksi Sosial. Walgito (2007) mengemukakan interaksi sosial adalah hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar tahun dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Etos Kerja. kepribadian, serta cara mengekspresikan, memandang, meyakini dan cara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berlian Ferdiansyah, 2014

BAB V PENUTUP. Penelitian yang bejudul Konsep Diri Pada Penderita Tumor Jinak

BAB I PENDAHULUAN. di dalam mempertahankan hidupnya. Hal ini terbukti dari salah satu seni di

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. tersebut sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup setiap orang, yang berguna

BAB I PENDAHULUAN. 20 tahun sampai 30 tahun, dan mulai mengalami penurunan pada usia lebih dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keyakinan, pandangan, dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

INDRA KAMARA PATTIMAHU Universitas Gunadarma

MENGEMBANGKAN SELF CONCEPT SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN CONCEPT ATTAINMENT

BAB I PENDAHULUAN. mempelajari dan menjalani kehidupan. Era ini memiliki banyak tuntutantuntutan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian kecerdasan emosional

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

II. LANDASAN TEORI. serta menukarkan produk yang bernilai satu sama lain (Kotler dan AB. Susanto,

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu yang hidup di dunia ini pasti selalu berharap akan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II KAJIAN TEORITIK

Transkripsi:

KONSEP DIRI OLEH : Raras Sutataminingsih, M.Si.,psikolog FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009/2010

DAFTAR ISI I. PENGERTIAN KONSEP DIRI... 1 II. DIMENSI KONSEP DIRI.... 5 III. ASPEK - ASPEK KONSEP DIRI... 17 IV. SUB-VARIABEL LAIN DALAM KONSEP DIRI...... 19 V. KONSEP DIRI POSITIF DAN NEGATIF...... 21 VI. KONSEP DIRI DAN KEPRIBADIAN...... 28 DAFTAR PUSTAKA... 34

KONSEP DIRI Oleh : Raras Sutatminingsih, M.Si.,psikolog I. PENGERTIAN KONSEP DIRI Pengertian umum dari konsep diri dalam psikologi adalah konsep pusat (central construct) untuk dapat memahami manusia dan tingkah lakunya serta merupakan suatu hal yang dipelajari manusia melalui interaksinya dengan dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan nyata di sekitarnya. William H. Fitts (1971) meninjau konsep diri secara fenomenologis. Fitts mengatakan bahwa konsep diri nerupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam ia berinteraksi dengan lingkungannya. Definisi yang diberikan Fitts mengenai konsep diri adalah : "... the self as seen, perceived, and experienced by him. This is the perceived self or the individuals self concept (Fitts, 1971 : 3). Fitts juga mengemukakan bahwa konsep diri mempunyai pengaruh yang kuat terhadap tingkah laku seseorang. Oleh karena itu, dengan mengetahui konsep diri seseorang maka akan lebih memudahkan untuk meramalkan dan memahami tingkah lakunya. Fitts menjelaskan bahwa jika individu mempersepsikan dirinya, berreaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi pada dirinya, maka hal ini menunjukkan

suatu kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya sebagaimana ia lakukan terhadap obyek-obyek lain yang ada di dalam kehidupannya. Jadi, diri yang dilihat, dihayati, dan dialami seseorang itu disebut konsep diri. George Herbert Mead (1972 : 186-199) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan produk sosial yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi pengalaman-pengalaman psikologis. Pengalaman-pengalaman psikologis ini merupakan hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisiknya dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang-orang penting (significant others) disekitarnya. Mead juga mengemukakan bahwa setiap individu memiliki pemahaman tertentu tentang penilaian orang lain terhadap dirinya, dan individu tersebut akan bertingkah laku sesuai dengan penilaian umum. Pernyataan ini senada dengan John Kinch (1963 dalam Fitts, 1971 : 12-13) yang mengemukakan bahwa konsep diri terbentuk melalui interaksi sosial dan konsep diri ini mempengaruhi tingkah laku seseorang. Menurutnya, konsep diri seseorang didasarkan pada persepsi dari reaksi-reaksi orang lain terhadap dirinya. Dari beberapa pengertian konsep diri yang telah dikemukakan, dapat dinyatakan secara gamblang bahwa konsep diri merupakan pandangan dan sikap individu terhadap dirinya sendiri. Pengertian ini senada dengan Burns (1993) yang mengemukakan bahwa konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri.

Cawagas (1983 dalam Pudjijogyanti, 1988 : 2) juga mengemukakan hal yang sama bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik pribadinya, motivasinya, kelemahannya, kepandaiannya, kegagalannya, dan lain sebagainya. Dua orang peneliti dan penulis utama yang mengkaji dan memberikan sumbangan besar dalam pengembangan studi konsep diri, Rogers (1951) dan Staines (1954) dalam Burns (1993 : 72) menyatakan defenisi konsep diri yang sejalan. Rogers menyatakan bahwa konsep diri disusun dari unsur-unsur seperti persepsi-persepsi dari karateristik-karateristik dan kemampuan-kemampuan seseorang; hal-hal yang dipersepsikan dan konsep-konsep tentang diri yang ada hubungannya dengan orang-orang lain dan dengan lingkungannya; kualitas-kualitas nilai yang dipersepsikan yang dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman dan obyek-obyek; dan tujuan-tujuan serta ide-ide yang dipersepsikan sebagai mempunyai valensi positif atau negatif. Jadi menurut Rogers, konsep diri dengan kata lain adalah gambaran yang terorganisasikan yang berada di dalam kesadaran baik sebagai tokoh atau dasar, dari diri dan diri yang berkaitan (self in relationship), bersama-sama dengan nilai-nilai positif dan negatif yang dihubungkan dengan kualitas-kualitas dan hubungan-hubungan sebagaimana mereka dipersepsikan sebagai hidup atau ada dimasa lalu, sekarang, atau dimasa yang akan datang. Staines dalam defenisinya juga menempatkan konsep diri ke dalam bidang studi tentang sikap yang dibangun dari pengalaman-pengalaman seorang individu. Konsep diri menurutnya adalah suatu sistem yang sadar dari hal-hal

yang dipersepsikan, konsep-konsep, dan evaluasi-evaluasi mengenai diri individu sebagaimana dia tampak bagi dirinya sendiri. Termasuk di dalamnya suatu kognisi respons yang evaluatif yang dibuat oleh individu itu terhadap aspek-aspek yang dipersepsikan dan dipahami tentang dirinya sendiri; suatu pemahaman tentang gambaran yang diduga oleh orang-orang lain mengenai dia; dan suatu kesadaran dari suatu diri yang dievaluasikan, yang merupakan gagasannya tentang pribadi sebagaimana dia inginkan dan dimana dia harus bertingkah laku. Pengharapan yang dinginkan dari setiap individu mengenai dirinya masing-masing juga menentukan, sampai batas tertentu, bagaimana individu akan bertingkah laku dalam kehidupannya. Bila individu berpikir bahwa ia mampu dalam banyak hal, maka cenderung individu tersebut akan meraih sukses. Sebaliknya, bila individu berpikir bahwa ia gagal dalam banyak hal, maka sebenarnya individu tersebut menyiapkan dirinya untuk gagal. Dengan kata lain, konsep diri merupakan ramalan yang dipersiapkan untuk diri sendiri. Konsep diri menurut Calhoun (1990 : 90) adalah gambaran tentang diri individu itu sendiri, yang terdiri dari pengetahuan tentang dirinya, pengharapannya, dan penilaian terhadap dirinya. Pengetahuan tentang diri setiap individu adalah merupakan informasi yang dimiliki individu tersebut tentang dirinya, misalnya usianya, jenis kelaminnya, penampilannya, dan sebagainya. Pengharapan bagi setiap diri individu adalah merupakan gagasan individu tersebut tentang kemungkinan menjadi apa ia kelak. Sedangkan penilaian individu tentang dirinya sendiri adalah merupakan pengukuran yang dilakukan individu sendiri tentang keadaan dirinya, yang dibandingkannya dengan apa yang menurut ia dapat

dan seharusnya terjadi pada dirinya. Penilaian diri ini menentukan tingkat harga dirinya, yang pada akhirnya akan menentukan perilakunya. Semakin baik setiap individu menghargai dirinya, semakin positif pula konsep diri yang dimilikinya. Begitu juga sebaliknya, semakin tidak baik setiap individu menghargai dirinya maka semakin negatif pula konsep diri yang dimilikinya. Akhir dari konsep diri ini semua, apakah itu positif atau negatif, adalah berbentuk perilaku yang positif atau negatif. II. DIMENSI KONSEP DIRI Konsep diri adalah pandangan dari diri setiap individu tentang dirinya sendiri. Potret diri mental ini, menurut Calhoun (1990 : 67) memiliki 3 dimensi, yaitu (1) pengetahuan individu tentang dirinya sendiri, (2) pengharapan individu terhadap dirinya sendiri, dan (3) penilaian individu tentang dirinya sendiri. Dimensi pertama dari konsep diri, yaitu pengetahuan individu tentang dirinya tersebut menempatkan setiap individu ke dalam kelompok atapun katagori-katagori sosial tertentu. Dalam benak setiap individu, terdapat satu daftar julukan yang menggambarkan dirinya. Misalnya berapa usianya, kebangsaannya, sukunya, pekerjaannya, keadaan fisiknya, dan sebagainya. Dengan demikian, konsep diri setiap individu dapat diazas dasarkan dari keseluruhan pengetahuan daftar julukan dirinya yang menempatkannya ke dalam kelompok ataupun katagori-katagori sosial tertentu. Misalnya menjadi kelompok usia, kelompok bangsa, kelompok suku, kelompok pekerjaan, kelompok keadaan fisik, dan sebagainya. Dalam pengertian luas, setiap individu juga

mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok sosial lainnya, yang akhirnya akan menambah luas pengetahuan tentang daftar julukan dari dirinya. Julukan-julukan yang terdapat dalam setiap daftar pengetahuan julukan diri setiap individu dapat diganti oleh individu itu setiap saat. Tetapi, sepanjang individu masih mengidentifikasikan dirinya dengan suatu kelompok ataupun katagori sosial tertentu, maka kelompok tersebut akan memberikan individu tersebut sejumlah pengetahuan atau informasi lain, yang pada akhirnya akan dimasukkan individu tersebut ke dalam potret diri mentalnya. Akhirnya, dalam membandingkan dirinya dengan anggota kelompoknya ataupun katagori sosialnya, setiap individu menjuluki dirinya sendiri dengan istilah-istilah kualitas. Misalnya individu mengkatagorikan dirinya, dengan membandingkan dirinya dengan orang lain dalam kelompok ataupun katagori sosialnya, sebagai orang yang sudah dewasa, berbangsa Indonesia, bersuku Batak, pekerjaan sebagai pegawai negeri, mempunyai fisik yang sehat, dan sebagainya. Seperti sebagian besar julukan diri setiap individu, apakah khusus dirinya atau kelompok/katagori sosialnya, kualitas yang diberikan individu terhadap dirinya sendiri adalah tidak permanen (Markus dan Kunda, 1986 dalam Calhoun, 1990 : 67). Setiap individu dapat saja mengubah tingkah lakunya atau individu juga dapat mengubah kelompok pembanding dari dirinya. Misalnya sebagai contoh, bila seorang individu memberi julukan kepada dirinya sebagai seorang yang lemah dan gagal dalam kehidupannya akibat cacat tubuh (misalnya, dua jari tangan kanannya putus) yang dideritanya, dengan kelompok pembanding masyarakat yang ada di lingkungan tempat tinggalnya (dalam hal ini semuanya

normal). Namun, jika individu tersebut memasuki suatu kelompok ataupun katagori sosial lainnya (misalnya ikut sebagai anggota kelompok penyandang cacat tubuh), maka ia memandang julukan yang diberikannya terhadap kualitas dirinya berubah. Dalam hal ini menjadi baik atau positif. Hal ini dikarenakan, individu tersebut mendapatkan bahwa kecacatan tubuhnya sebagai identitas kegagalannya ternyata masih jauh lebih baik dari cacat-cacat tubuh yang dimiliki oleh orang lain dalam kelompoknya. Pada saat individu mempunyai satu set pandangan tentang siapa dirinya, individu tersebut juga mempunyai satu set pandangan lain, yaitu tentang kemungkinan dirinya menjadi apa di masa mendatang dari hidup yang dijalaninya (Rogers, 1959 dalam Calhoun 1990 : 71). Set pandangan yang lain ini merupakan dimensi kedua dari aspek konsep diri yang disebut dengan harapan atau cita-cita diri. Setiap individu mempunyai pengharapan bagi dirinya sendiri. Pengharapan ini merupakan diri ideal, yaitu cita-cita diri atau suatu angan-angan individu tentang apa yang diinginkannya dari dirinya. Diri ideal yang terdapat pada setiap individu adalah berbeda. Pengharapan bagi setiap individu adalah tujuan yang membangkitkan kekuatan serta mendorong setiap individu menuju masa depan dan memandu kegiatan individu dalam perjalanan hidupnya. Satu hal yang pasti, setelah individu mencapai tujuannya, maka akan muncul cita-cita atau pengharapan lain/baru. Dalam pengertian ini terlihat bahwa dimensi kognitif dari diri tentang "saya adalah..." tidak pernah berdiri sendiri dalan konsep diri. Secara ajeg hal itu diukur dengan dimensi harapan, yaitu "saya dapat menjadi...".

Dimensi ketiga dari konsep diri adalah penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Dalam artian, setiap individu adalah berkedudukan sebagai penilai tentang dirinya sendiri setiap hari. Menurut Epstein (1973 dalam Calhoun, 1990 : 71), penilaian yang dilakukan setiap individu terhadap dirinya sendiri setiap hari akan diukur dengan mengajukan pertanyaan apakah diri bertentangan dengan (1) "saya dapat menjadi" apa, yaitu pengharapan bagi diri individu itu sendiri (dimensi pengharapan) dan (2) "saya seharusnya menjadi apa", yaitu standart individu bagi dirinya sendiri. Hasil pengukuran dari dua pertanyaan ini disebut dengan rasa Perasaan harga diri menurut Brisset (1972 dalam Burns, 1993 : 71) mencakup 2 proses psikologis yang mendasar, yaitu (1) proses evaluasi diri dan (2) proses harga diri. Masing-masing saling melengkapi satu sama lainnya dan Brisset berpendapat bahwa harga diri adalah lebih fundamental bagi manusia daripada evaluasi diri, meskipun kedua unsur dari perasaan harga diri ini perlu melibatkan penempatan sebagai apa seorang individu atau apa yang sedang dilakukan oleh seorang individu ke dalam konteks ataupun memberikan dirinya sendiri dan aktifitas-aktifitasnya dengan suatu acuan. Perasaan harga diri di dalam hubungannya dengan evaluasi diri mengacu kepada pembuatan suatu penilaian kesadaran berkenaan dengan arti dan nilai pentingnya seorang individu atau segi-segi dari seorang individu. Terdapat 3 (tiga) titik acuan utama yang muncul berhubungan dengan dimensi penilaian diri. Pertama, perbandingan dari citra diri sebagai dikenal (dimensi pengetahuan) dengan citra diri yang ideal (dimensi harapan) atau gambaran jenis pribadi yang

diinginkan oleh seorang individu. Jenis perbandingan ini menurut James (1890 dalam Burns, 1993 : 70) adalah tentang perasaan harga diri sebagai rasio antara hasil-hasil yang sebenarnya dan aspirasi-aspirasi, yang merupakan suatu pernyataan dari titik acuan yang utama di dalam evaluasi diri dan aktualisasi dari cita-cita. Titik acuan kedua dari evaluasi diri melibatkan internalisasi dari penilaian masyarakat. Hal ini mengandaikan bahwa evaluasi diri ditentukan oleh keyakinan-keyakinan individu mengenai bagaimana orang lain mengevaluasi dirinya. Konseptualisasi dari perasaan harga diri ini, dikembangkan mula-mula oleh Cooley (1912, melalui apa yang disebutnya "the looking glass self") dan Mead (1972 : 186), melalui pernyataannya "mind as the individual importation of the social process"). Titik acuan terakhir dari dimensi evaluasi diri adalah melibatkan individu yang bersangkutan mengevaluasi dirinya sendiri sebagai seorang individu yang relatif sukses ataupun relatif gagal di dalam melakukan apa yang diminta oleh identitasnya. Dalam hal ini, masyarakat memberikan kesempatan-kesempatan bagi pengembangan perasaan harga diri. Tetapi untuk meyakinkan hal ini, diisyaratkan pada satu tingkat terhadap individu bahwa hal itu hanya dapat dicapai dengan jalan menyesuaikan diri kepada apa-apa yang diberikan oleh masyarakat. Harga diri (self worth) adalah perasaan bahwa diri itu penting dan efektif dan melibatkan pribadi yang sadar akan dirinya sendiri. Sedangkan gagasan-gagasan dari evaluasi diri, menyiratkan bahwa perasaan harga diri

seorang individu berasal dari pemilikan sifat-sifat yang sesuai dengan standart-standart tertentu dan penghargaan untuk memenuhi aspirasi-aspirasinya sendiri dari orang-orang lain, yang merupakan perasaan harga diri baginya. Pada pihak lain, harga diri adalah lebih fundamental dimana melibatkan suatu pandangan dari diri seorang individu sebagai penguasa dari tindakan-tindakannya, suatu perasaan kompeten yang intrinsik yang pada akhirnya tergantung pada dukungan dari luar atau masyarakat. Jadi, harga diri menjadi sebuah konsep yang agak samar-samar, berada lebih di dalam kekuasaan diri sebagai pengenal atau yang mengalami. Karenanya, perasaan harga diri dalam operasionalnya untuk tujuan-tujuan pengukuran dipandang paling baik sebagaimana evaluasi diri, yaitu dengan menyatakan secara tidak langsung atau berorientasi fenomenologi. Dalam hal ini, apakah evaluasi tersebut subyektif dengan melibatkan penilaian seorang individu terhadap prestasinya ataupun interpretasi seorang individu terhadap penilaian dirinya sendiri yang dibuat oleh orang-orang lain, kedua-duanya berhubungan dengan cita-cita/harapan yang mengarah kepada diri sendiri dan standart-standar yang secara budaya dipelajari. Dalam dimensi penilaian, tidaklah menjadi soal apakah suatu standart diri itu masuk akal atau pengharapan itu realistis. Sebagai contoh, jika standart diri seorang mahasiswa untuk prestasi akademiknya adalah mendapatkan nilai A semuanya, maka nilai rata-rata B+ (yang untuk mahasiswa lain mungkin standart dan menjadi sumber dari rasa harga diri yang tinggi), akan menyebabkan rasa harga diri yang rendah bagi dirinya. Akibat yang paling sering muncul dalam realita kehidupan adalah bahwa terdapatnya ketidakajegan dimensi penilaian dalam kehidupan manusia, akan

menimbulkan permasalahan-permasalahan psikis dalam kehidupannya. Di sini, terlihat bahwa ketiga dimensi dari konsep diri yang ada pada setiap individu merupakan komponen dasar yang sangat kuat dalam menentukan setiap perilaku individu. Perspektif yang senada mengenai dimensi dari konsep diri dikemukakan Fitts (1971 : 12-21), dimana Fitts seperti juga Rogers menganggap bahwa diri adalah sebagai suatu obyek sekaligus juga sebagai suatu proses, yang melakukan fungsi persepsi, pengamatan serta penilaian. Keseluruhan kesadaran mengenai diri yang diobservasi, dialami serta dinilai ini adalah konsep diri. Berdasarkan pendapatnya itu, Fitts membagi konsep diri ke dalam 2 (dua) dimensi pokok, yaitu : 1. Dimensi Internal, yang terdiri dari : a. Diri sebagai obyek/identitas (identity self) b. Diri sebagai pelaku (behavior self) c. Diri sebagai pengamat dan penilai (judging self) 2. Dimensi Eksternal, yang terdiri dari : a. Diri fisik (physical self) b. Diri moral-etik (moral-ethical self) c. Diri personal (personal self) d. Diri keluarga (family self) e. Diri sosial (social self) Kesemua dimensi dan bagian-bagiannya secara dinamis menurut Fitts adalah berinteraksi dan berfungsi secara menyeluruh menjadi konsep diri. Untuk

lebih memahami maksud dari kedua dimensi konsep diri ini, berikut dijelaskan satu persatu. Dimensi internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal (internal frame of reference) adalah bila seorang individu melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia batinnya sendiri atau dunia dalam dirinya sendiri terhadap identitas dirinya, perilaku dirinya, dan penerimaan dirinya. Kerangka acuan internal atau yang disebut juga dimensi internal ini oleh Fitts dibedakan atas 3 (tiga) bentuk, yaitu : 1. Diri identitas (identity self). Identitas diri ini merupakan aspek konsep diri yang paling mendasar. Konsep ini mengacu pada pertanyaan "siapakah saya?", dimana di dalamnya tercakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri oleh individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya. Misalnya, "saya Iskandar" dan kemudian sejalan dengan bertambahnya usia dan interaksi individu dengan lingkungannya, akan semakin banyak pengetahuan individu akan dirinya sendiri, sehingga individu tersebut akan dapat melengkapi keterangan dirinya dengan hal-hal yang lebih kompleks, seperti : "saya Iskandar", "saya seorang ayah dari dua orang anak", saya bekerja sebagai seorang pegawai negeri", dan sebagainya. Selanjutnya setiap elemen dari identitas diri akan mempengaruhi cara individu mempersepsikan dunia fenomenalnya, mengobservasinya, dan menilai dirinya sendiri sebagaimana ia berfungsi.

Pada kenyataannya, identitas diri berkaitan erat dengan diri sebagai pelaku. Identitas diri sangat mempengaruhi tingkah laku seorang individu, dan sebaliknya identitas diri juga dipengaruhi oleh diri sebagai pelaku. Sejak kecil, individu cenderung untuk menilai atau memberikan label pada orang lain maupun pada dirinya sendiri berdasarkan tingkah laku atau apa yang dilakukan seseorang. Dengan kata lain, untuk dapat menjadi sesuatu seringkali seseorang harus melakukan sesuatu, dan dengan melakukan sesuatu, seringkali individu harus menjadi sesuatu. 2. Diri pelaku (behavioral self). Diri pelaku merupakan persepsi seorang individu tentang tingkah lakunya. Diri pelaku berisikan segala kesadaran mengenai "apa yang dilakukan oleh diri". Selain itu, bagian ini sangat erat kaitannya dengan diri sebagai identitas. Diri yang adekuat akan menunjukkan adanya keserasian antara diri identitas dengan diri pelakunya, sehingga ia dapat mengenali dan menerima baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku. Kaitan keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilai. 3. Diri pengamat/penilai (judging self). Diri penilai ini berfungsi sebagai pengamat, penentu standart serta pengevaluasi. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri, identitas dengan diri pelaku. Manusia cenderung untuk senantiasa memberikan penilaian terhadap apa yang dipersepsikannya. Oleh karena itu, label-label yang dikenakan kepada dirinya bukanlah semata-mata menggambarkan dirinya, tetapi dibalik itu juga

sarat dengan nilai-nilai. Selanjutnya, penilaian inilah yang kemudian lebih berperan dalam menentukan tindakan yang akan ditampilkannya. Diri penilai menentukan kepuasan seseorang individu akan dirinya atau seberapa jauh ia dapat menerima dirinya sendiri. Kepuasan diri yang rendah akan menimbulkan harga diri (self esteem) yang miskin dan akan mengembangkan ketidakpercayaan yang mendasar kepada dirinya, sehingga menjadi senantiasa penuh kewaspadaan. Sebaliknya, bagi individu yang memiliki kepuasan diri yang tinggi, kesadaran dirinya akan lebih realistis, sehingga lebih memungkinkan individu yang bersangkutan untuk melupakan keadaan dirinya dan lebih memfokukan energi serta perhatiannya ke luar diri, yang pada akhirnya dapat berfungsi secara lebih konstruktif.diri sebagai penilai erat kaitannya dengan harga diri (self esteem), karena sesungguhnya kecenderungan evaluasi diri ini tidak saja hanya merupakan komponen utama dari persepsi diri, melainkan juga merupakan komponen utama pembentukan harga diri. Penghargaan diri pada dasarnya didapat dari 2 (dua) sumber utama, yaitu (1) dari diri sendiri dan (2) dari orang lain. Penghargaan diperoleh bila individu berhasil mencapai tujuan-tujuan dan nilai-nilai tertentu. Tujuan, nilai, dan standart ini dapat berasal dari internal, eksternal, maupun keduanya. Umumnya, nilai-nilai dan tujuan-tujuan pada mulanya dimasukkan oleh orang lain. Penghargaan hanya akan didapat melalui pemenuhan tuntutan dan harapan orang lain. Namun, pada saat diri sebagai pelaku telah berhubungan dengan tingkah laku aktualisasi diri, maka penghargaan juga dapat berasal dari diri individu itu sendiri. Oleh karena itu, walaupun harga diri (self esteem)

merupakan hal yang mendasar untuk aktualisasi diri, aktualisasi diri juga penting untuk harga diri. Penjelasan mengenai ketiga bagian dari dimensi internal, memperlihatkan bahwa masing-masing bagian mempunyai fungsi yang berbeda namun ketiganya saling melengkapi, berinteraksi, dan membentuk suatu diri (self) serta konsep diri (self concept) secara utuh dan menyeluruh. Dimensi kedua dari konsep diri adalah apa yang disebut dengan dimensi eksternal. Pada dimensi eksternal individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktifitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain yang berasal dari dunia di luar diri individu. Sebenarnya, dimensi eksternal merupakan suatu bagian yang sangat luas, misalnya diri individu yang berkaitan dengan belajar. Namun, yang dikemukakan oleh Fitts adalah bagian dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang. Bagian-bagian dimensi eksternal ini, dibedakan Fitts atas 5 (lima) bentuk, yaitu : 1. Diri fisik (physical self). Diri fisik, menyangkut persepsi seorang individu terhadap keadaan dirinya secara fisik. Dalam hal ini, terlihat persepsi seorang individu mengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, dan kurus). 2. Diri moral-etik (moral-ethical self). Diri moral, merupakan persepsi seseorang individu terhadap dirinya sendiri, yang dilihat dari standart pertimbangan nilai-moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seorang individu mengenai hubungannya dengan Tuhan,

kepuasan seorang individu akan kehidupan agamanya, dan nilai-nilai moral yang dipegang seorang individu, yang meliputi batasan baik dan buruk. 3. Diri pribadi (personal self). Diri pribadi, merupakan perasaan atau persepsi seorang individu terhadap keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungannya dengan individu lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauhmana seorang individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejumlah mana seorang individu merasakan dirinya sebagai pribadi yang tepat. 4. Diri keluarga (family self). Diri keluarga, menunjukkan pada perasaan dan harga diri seorang individu dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian diri ini menunjukkan seberapa jauh seorang individu merasa adekuat terhadap dirinya sendiri sebagai anggota keluarga dan terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya selaku anggota dari suatu keluarga. 5. Diri sosial (social self). Diri sosial, merupakan penilaian seorang individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Pembentukan penilaian individu terhadap bagian-bagian dirinya dalam dimensi eksternal ini, sangat dipengaruhi oleh penilaian dan interaksinya dengan orang lain. Seorang individu tidak dapat begitu saja menilai bahwa ia memiliki diri fisik yang baik, tanpa adanya reaksi dari individu lain yang menunjukkan bahwa secara fisik ia memang baik dan menarik. Demikian pula halnya, seorang individu tidak dapat mengatakan bahwa ia memiliki diri pribadi yang baik, tanpa

adanya tanggapan atau reaksi dari individu lain di sekitarnya yang menunjukkan bahwa ia memang memiliki pribadi yang baik. Hubungan antar dimensi dalam konsep diri (dimensi internal dan eksternal), dapat dijelaskan dengan menggunakan analogi. Misalkan, total dari diri (self) sebagai suatu keseluruhan adalah sebuah apel. Apel tersebut dapat dibagi-bagi secara horisontal maupun secara vertikal, yang pada setiap potongan akan mengandung bagian dari potongan bagian lainnya. Dengan demikian dapat diartikan, bahwa setiap bagian dari dimensi internal akan mengandung bagian-bagian dari dimensi eksternal, demikian pula sebaliknya. Interaksi yang terjadi di dalam bagian-bagian dan antar bagian pada dimensi internal, eksternal, ataupun keduanya, berkaitan erat dengan integrasi serta efektifitas keberfungsian diri secara keseluruhan sebagai suatu keutuhan. Seorang individu yang terintegrasi dengan baik, akan menunjukkan derajat konsistensi interaksi yang tinggi, baik di dalam bagian-bagian dari dirinya sendiri (intra personal communication) maupun dengan individu-individu lain (interpersonal communication). III. ASPEK - ASPEK KONSEP DIRI Selain membagi konsep diri menjadi 2 (dua) dimensi (internal dan eksternal), Fitts (1970 : 12-21) juga membedakan konsep diri menjadi 4 (empat) aspek diri. Aspek diri ini nerupakan bagian dari diri yang dapat dilihat oleh orang lain pada diri seorang individu, sedangkan dimensi diri (seperti yang telah

dikemukakan), adalah bagian dari diri yang hanya dapat diketahui oleh diri individu yang bersangkutan sendiri. Aspek-aspek dari diri (self) tersebut menurut Fitts adalah sebagai berikut. 1. Aspek pertahanan diri (self defensiveness). Pada saat seorang individu menggambarkan atau menampilkan dirinya, terkadang muncul keadaan yang tidak sesuai dengan diri yang sebenarnya. Keadaan ini terjadi dikarenakan individu memiliki sikap bertahan dan kurang terbuka dalam menyatakan dirinya yang sebenarnya. Hal ini dapat terjadi, dikarenakan individu tidak ingin mengakui hal-hal yang tidak baik di dalam dirinya. Aspek pertahanan diri ini, membuat seorang individu mampu untuk "menyimpan" keburukan dari dirinya dan tampil dengan baik sesuai yang diharapkan oleh lingkungan dari dirinya. 2. Aspek penghargaan diri (self esteem). Berdasarkan label-label dan simbol-simbol yang ada dan diberikan pada dirinya, seorang individu akan membentuk penghargaan sendiri terhadap dirinya. Semakin baik label atau simbol yang ada pada dirinya, maka akan semakin baik pula penghargaan yang diberikannya pada dirinya sendiri. Demikian pula bila individu memiliki label-label atau simbol-simbol yang kurang baik pada dirinya, maka penilaian tersebut akan diinternalisasikannya dan membentuk penghargaan diri yang kurang baik pada dirinya sendiri. 3. Aspek integrasi diri (self integration).

Aspek integrasi ini menunjukkan pada derajat integrasi antara bagian-bagian dari diri (self). Semakin terintegrasi bagian-bagian diri dari seorang individu, maka akan semakin baik pula ia akan menjalankan fungsinya. 4. Aspek kepercayaan diri (self confidence). Kepercayaan diri seorang individu berasal dari tingkat kepuasannya pada dirinya sendiri. Semakin baik penilaian seorang individu terhadap dirinya, maka semakin percaya ia akan kemampuan dirinya. Dengan kepercayaan diri yang baik, maka seorang individu akan semakin percaya diri di dalam menghadapi lingkungannya. Dari uraian yang telah dikemukakan mengenai dimensi diri maupun aspek diri, terlihat bahwa diri (self), baik sebagaimana yang dilihat seorang individu sendiri maupun oleh individu lainnya, adalah terdiri dari beberapa bagian. Bagian-bagian dari diri inilah yang saling berinteraksi dan berintegrasi sehingga membentuk suatu konsep diri yang utuh. IV. SUB-VARIABEL LAIN DALAM KONSEP DIRI Selain dari sub variabel konsep diri mengenai tingkat penghargaan diri yang meliputi dimensi internal dan eksternal serta aspek-aspek dari diri seperti yang telah dikemukakan, Fitts (1971 : 23) juga mengemukakan terdapatnya pula sub-variabel lain yang mengukur aspek lain dari konsep diri yang terdiri atas : 1. Aspek kritik diri. Aspek dari kritik diri ini menggambarkan sikap "keterbukaan" diri dalam menggambarkan diri pribadi. Aspek ini diukur dengan menggunakan

pertanyaan-pertanyaan yang bersifat merendahkan dan kurang menyenangkan mengenai diri seorang individu, tetapi dinyatakan secara halus sehingga pada umumnya individu akan mau mengakui sebagai suatu kebenaran bagi dirinya sendiri. Derajat keterbukaan dari diri yang terlalu rendah, menunjukkan sikap defensif individu. Individu yang normal memiliki derajat kritik diri yang tinggi, namun derajat yang terlalu tinggi (di atas 99%) justru menunjukkan individu yang kurang defensif dan kemungkinan memiliki kelainan psikologis. 2. Aspek variabilitas. Aspek variabilitas dari diri ini adalah menggambarkan derajat integritas dan konsistensi persepsi seorang individu tentang dirinya sendiri, dari satu bagian diri ke bagian diri lainnya. Derajat variabilitas yang tinggi, menunjukkan diri yang terintegrasi. Sedangkan derajat yang terlalu rendah, menunjukkan adanya kekakuan pada diri seorang individu. Derajat variabilitas yang optimal berada di bawah rata-rata, namun di atas persentil 1 (satu). 3. Aspek distribusi. Aspek distribusi dari diri ini adalah menggambarkan keyakinan diri atau kemantapan seorang individu dalam menilai dirinya. Derajat distribusi yang tinggi, menunjukkan rasa pasti seorang individu dalam menilai dirinya sendiri. Sedangkan derajat distribusi yang rendah, menunjukkan keraguan seorang individu terhadap dirinya atau kekaburan dalam mengenali dirinya.

V. KONSEP DIRI POSITIF DAN NEGATIF Pandangan seorang individu terhadap dirinya sendiri, yang diperolehnya dari informasi melalui interaksinya dengan orang-orang lain, yang dikenal dengan konsep diri, kiranya akan jatuh di antara dua kutub. Kutub pertama adalah konsep diri positif dan kutub yang satunya lagi adalah konsep diri negatif. Dengan mengetahui kedua perbedaan dari pengertian konsep diri tersebut, kiranya akan lebih membantu dan memberi kemampuan dalam penilaian ke arah mana condongnya konsep diri seorang individu. Penempatan nilai yang tinggi pada sifat rendah hati yang dilakukan seorang individu, dapat diasumsikan bahwa suatu konsep diri yang benar-benar positif adalah suatu kuantitas yang agak berbahaya bagi dirinya. Bagaimanapun juga, jika seorang individu merasa bahwa segala sesuatu tentang dirinya sendiri sempurna, tidakkah individu ini mungkin akan menjadi angkuh? Bagaimana pula jika seorang individu sangat mencintai dirinya sendiri, tidakkah individu ini mungkin akan memanfaatkan orang lain untuk memenuhi keinginannya sendiri? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini adalah bahwa pada dasarnya, konsep diri yang positif bukanlah terletak pada kebanggaan yang besar tentang diri, tetapi lebih didasarkan kepada bentuk penerimaan diri. Dalam hal ini diyakini bahwa kualitas penerimaan diri ini lebih mungkin mengarah kepada kerendahan hati dan kedermawanan daripada kepada keangkuhan dan keegoisan. Wicklund dan Frey (1980 dalam Calhoun, 1990 : 73) menyatakan pendapatnya bahwa yang menjadikan penerimaan diri kepada bentuk konsep diri positif adalah dikarenakan seorang individu dengan konsep diri positif mengenal

dirinya dengan baik sekali. Tidak seperti konsep diri yang terlalu kaku atau terlalu longgar, konsep diri yang positif lebih bersifat stabil dan bervariasi. Menurut Chodorkoff (1954 dalam Calhoun, 1990 : 73), konsep diri positif ini berisi berbagai "kotak kepribadian", sehingga seorang individu dapat menyimpan informasi tentang dirinya sendiri, baik itu informasi yang negatif maupun yang positif. Jadi, seorang individu dengan konsep diri positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri. Misalnya, seorang individu yang cacat tubuh masih kompeten sebagai seorang ahli hukum atau seorang politikus, tetapi tidak kompeten sebagai seorang perwira polisi; Sebagai seorang staf pengajar, saya mempunyai status sosial yang baik tapi tidak baik dalam penghasilan (materi ekonomi); Saya sangat mencintai kedua orang tua saya, tapi kini mereka telah tiada. Contoh-contoh ini kiranya memberi pengertian dan menjelaskan bahwa secara mental seorang individu yang memiliki konsep diri positif dapat menyerap semua informasi, sehingga dengan demikian tidak satupun dari informasi tersebut merupakan ancaman bagi dirinya. Pengertian konsep diri positif yang dimiliki seorang individu adalah adanya kemampuan cakupan yang luas dari diri untuk dapat menampung seluruh pengalaman mentalnya, sehingga evaluasi tentang dirinya sendiri menjadi positif. Individu dapat menerima dirinya sendiri secara apa adanya. Dalam hal ini, tidak berarti bahwa seorang individu yang memiliki konsep diri positif tidak pernah kecewa terhadap dirinya sendiri atau bahwa dia gagal mengenali kesalahannya sebagai suatu kesalahan. Namun, dia merasa tidak perlu meminta maaf atau merasa bersalah untuk eksistensinya. Dengan menerima dirinya sendiri, seorang

individu yang memiliki konsep diri positif juga dapat menerima orang lain. Hal ini kiranya senada dengan ungkapan dari para leluhur, "cubitlah dirimu sendiri sebelum kamu mencubit orang lain", yang kiranya dapat diinterpretasikan sebagai cinta pada diri sendiri adalah prasyarat untuk dapat mencintai orang lain. Dalam dimensi pengharapan dari diri, seorang individu dengan konsep diri positif, merancang tujuan-tujuan yang sesuai dan realistis dalam penilaian dirinya. Seperti semua individu, secara berkala kadang-kadang seorang individu dengan konsep diri yang positif dapat saja berkhayal menjadi bintang rock atau memenangkan kejuaraan tinju kelas berat atau menerima penghargaan nobel, dan sebagainya. Tetapi, tujuan yang benar-benar dirancang seorang individu dengan konsep diri yang positif untuk dirinya sendiri adalah realistis. Artinya, individu dengan konsep diri positif tersebut telah melakukan penilaian diri yang baik dan karena itu ia memiliki kemungkinan besar untuk dapat mencapai tujuannya tersebut. Di samping tujuan yang realistis tersebut berharga bagi dirinya, sehingga kalau individu tersebut berhasil mencapainya maka hal itu akan dapat dijadikannya sebagai alasan untuk memuji dirinya sendiri. Hal yang lebih penting dari dimensi pengharapan yang realistik tentang pencapaian dari seorang individu dengan konsep diri yang positif adalah pengharapannya tentang kehidupannya sebagai seorang individu, yaitu idenya tentang apa yang diberikan oleh kehidupan kepadanya dan bagaimana seharusnya dirinya mendekati dunia. Pada bidang inilah, konsep diri yang positif mungkin lebih banyak menjadi modal yang lebih berharga dibanding dengan dimensi diri yang lainnya.

Titik pusat dari pengertian konsep diri yang positif adalah adanya cakupan yang luas dan cukup beragam dari diri seorang individu untuk mengasimilasikan seluruh pengalamannya. Dalam pengertian ini juga terkandung bahwa segala sesuatu informasi baru, bukanlah sesuatu yang merupakan ancaman bagi dirinya sehingga tidak menimbulkan kecemasan baginya. Dengan kata lain, seorang individu dengan konsep diri yang positif dapat menghadapi kehidupan di depannya. Hal ini membedakannya dengan seorang individu yang memiliki konsep diri negatif, dimana kehidupannya dijalani dalam suatu benteng pertahanan diri. Seorang individu dengan konsep diri yang positif, dapat tampil ke depan secara bebas. Baginya, hidup adalah suatu proses penemuan. Ia mengharapkan, kehidupannya dapat membuat dirinya tertarik, dapat memberinya kejutan, dan memberinya penghargaan. Dengan demikian, seorang individu dengan konsep diri yang positif akan bertindak dengan berani dan spontan serta memperlakukan individu lain dengan hangat dan hormat. Oleh karena seorang individu dengan konsep diri positif menghadapi kehidupannya dengan cara-cara yang telah dikemukakan, kehidupannya akan terasa menyenangkan, penuh kejutan, dan penuh penghargaan. Jadi, konsep diri yang positif adalah bagian dari hubungan yang melingkar antar bagian-bagian dari dalam diri seorang individu yang berdimensi konstruktif. Kutub lain dari konsep diri, selain yang positif adalah kutub konsep diri yang negatif. Pada konsep diri yang negatif, dimensi diri yang terdiri atas pengetahuan, evaluasi, dan pengharapan dari seorang individu tentang dirinya sendiri adalah sangat sedikit dan kurang realistis.

Pada konsep diri negatif, dapat dibedakan dalam 2 (dua) jenis, yaitu (1) pandangan seorang individu tentang dirinya sendiri yang benar-benar tidak teratur dimana individu tersebut tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Dalam arti ini, individu dengan konsep diri yang negatif ini, benar-benar tidak tahu siapa dirinya, apa kekuatan dan kelemahannya, atau apa yang dia hargai dalam hidupnya. Menurut Erikson (1968 dalam Calhoun 1990 : 72), kondisi ini umum dan normal di antara banyak para remaja. Konsep diri para remaja kerapkali menjadi tidak teratur untuk sementara waktu dan ini terjadi pada saat transisi dari peran anak ke peran orang dewasa. Tetapi, pada orang dewasa hal ini mungkin dianggap sebagai suatu tanda ketidakmampuan penyesuaian diri. Jenis konsep diri negatif yang ke 2 (dua) hampir merupakan lawan dari pengertian konsep diri negatif yang pertama. Pada jenis konsep diri negatif yang ke 2 (dua) ini, malah konsep diri itu terlalu stabil dan terlalu teratur. Dengan kata lain, konsep diri negatif yang kedua ini bersifat kaku. Hal ini dimungkinkan, karena seorang individu dengan konsep diri yang negatif seperti ini, biasanya dididik dengan sangat keras. Akibatnya, individu ini menciptakan citra diri bagi dirinya, yang tidak mengijinkan adanya penyimpangan dari seperangkat hukum besi yang ada dalam pikirannya. Cara hidup seperti ini adalah merupakan cara hidup yang dianggapnya tepat. Pada kedua jenis konsep diri negatif, informasi baru tentang diri yang dialami seorang individu hampir pasti menjadi penyebab kecemasan dan rasa ancaman terhadap dirinya. Tidak satupun dari kedua konsep diri negatif cukup bervariasi untuk menyerap berbagai macam informasi tentang diri. Setiap hari,

pikiran individu mengalami proses pemilihan yang ketat tentang berbagai macam dorongan, ingatan, dan tanggapan yang semuanya itu merefleksi pada dirinya. Jadi, supaya individu memahami dan menerima dirinya sendiri, konsep diri seorang individu harus dilengkapi dengan "kotak kepribadian" yang cukup luas, yang dapat menyimpan bermacam-macam fakta yang berbeda tentang dirinya sendiri. Dengan kata lain, suatu konstruk konsep diri, idealnya adalah harus luas dan tersusun dengan teratur. Individu dengan konsep diri yang tidak teratur atau konsep diri yang sempit, benar-benar tidak memiliki kategori mental yang dapat dikaitkannya dengan informasi yang bertentangan mengenai dirinya (Sullivan, 1953 dalam Calhoun, 1990 : 72). Oleh karena itu, individu dengan konsep diri negatif, selalu mengubah terus menerus konsep dirinya atau individu tersebut melindungi konsep dirinya yang kaku, dengan cara mengubah ataupun menolak semua informasi baru yang bertentangan dengan citra dirinya yang telah ditetapkannya. Dalam kaitannya dengan dimensi evaluasi diri, seorang individu dengan konsep diri yang negatif menurut definisinya meliputi penilaian negatif terhadap dirinya sendiri. Apapun pribadi itu, individu dengan konsep diri negatif ini tidak pernah cukup baik. Apapun yang diperolehnya, tampaknya tidak berharga bila dibandingkan dengan apa yang diperoleh oleh orang lain - (seperti yang dikatakan dengan tegas oleh Ralph Waldo Emerson, pada saat kehilangan semangat, "setiap pekerjaan tampaknya mengagumkan bagiku, kecuali pekerjaan yang dapat saya kerjakan" dalam Calhoun, 1990 : 72). Hal ini merupakan penuntun ke arah kelemahan emosional. Menurut Dobson dan Shaw (1987 dalam Calhoun, 1990 :

72), melalui hasil penelitiannya menunjukkan bahwa konsep diri negatif yang dimiliki seorang individu, seringkali berhubungan dengan depresi klinis. Dalam hal ini menurut mereka, individu dengan konsep diri negatif mungkin akan mengalami kecemasan secara ajeg, dikarenakan menghadapi informasi tentang dirinya sendiri yang tidak dapat diterimanya dengan baik dan yang mengancam konsep dirinya. Dalam kasus ini, depresi atau kecemasan dan kekecewaan emosional akan mengikis harga diri yang menyebabkan munculnya sebuah kekecewaan emosional yang lebih parah dan seterusnya bak sebuah lingkaran setan. Untuk dapat menjelaskan dimensi dari seorang individu yang memiliki konsep diri negatif, Rotter (1954 dalam Calhoun, 1990 : 73) memaparkan contoh sebagai berikut. Seorang siswa dengan konsep diri negatif dapat memasuki dan lulus dengan pas-pasan kursus yang terkenal muda, atau dia dapat menentukan beberapa tujuan yang sangat tinggi (misalnya semua bernilai A), dan tentu saja dia gagal untuk mencapainya. Dalam kedua hal tersebut, sebenarnya individu tersebut telah menjebak dirinya sendiri dan menghantam harga dirinya, baik dengan jalan mencapai suatu tujuan yang tak seorang pun, termasuk dirinya, menganggapnya sebagai suatu keberhasilan, atau dengan gagalnya untuk mencapai cita-citanya. Dalam kedua kejadian tersebut, mungkin yang sedang terjadi adalah pembenaran ramalannya sendiri bahwa ia percaya dirinya tidak dapat mencapai suatu apapun yang berharga. Individu ini merancang pengharapannya sedemikian rupa, sehingga dalam kenyataannya ia tidak mencapai suatu apapun yang berharga. Kegagalan ini, sebaliknya merusak harga dirinya yang sudah rapuh,

yang kemudian membuat kekakuan atau ketidakteraturan citra dirinya lebih parah. Dengan kata lain, suatu lingkaran setan mengenai penghancuran diri akan terus memperparah konsep dirinya menjadi negatif. VI. KONSEP DIRI DAN KEPRIBADIAN Asumsi dasar mengenai tingkah laku dalam perspektif psikologi adalah bahwa tingkah laku bukanlah sesuatu yang selalu tampak sebagaimana tampilannya. Tidak terdapat suatu hubungan yang mutlak antara tingkah laku tertentu dengan penyebabnya. Untuk dapat memahami hubungan antara suatu tingkah laku dengan penyebabnya, terlebih dahulu harus diketahui dan dipahami sesuatu mengenai seorang individu dan situasi dimana tingkah laku itu muncul. Sesuatu mengenai individu yang harus diketahui dan dipahami ini adalah mengarah kepada kepribadian sebagai suatu hal yang dapat membantu dalam memahami tingkah laku. Tingkah laku biasanya merujuk pada suatu pola, organisasi, dan integrasi dalam mencapai tujuan yang dimaksudkan oleh seorang individu. Hal yang melakukan fungsi organisasi dan integrasi dari suatu tingkah laku seorang individu adalah konsep dirinya sendiri. Konsep diri merupakan "pusat" dari kepribadian. Jika kepribadian dianalogikan dalam bentuk suatu roda, maka konsep diri merupakan pusat roda dan sifat-sifat (traits) dari seorang individu adalah jarijarinya. Dengan demikian, kepribadian dapat dikatakan merupakan suatu kesatuan yang utuh, lebih dari sekedar penjumlahan dan konsep diri menjalankan fungsi organisasi dan integrasi dari aspek-aspek dalam kepribadian. Selain itu,

perkembangan konsep diri juga sejalan dengan perkembangan fungsi-fungsi kepribadian pada umumnya. Fitts (1971) mengemukakan bahwa konsep diri adalah sebagai suatu keseluruhan kesadaran atau persepsi mengenai diri yang diobservasi, dialami, dan dinilai oleh seorang individu. Dengan demikian, sudah tentu setiap individu akan memiliki perincian yang sangat banyak dan bervariasi mengenai dirinya. Menurut Fitts, untuk dapat memahami kepribadian seorang individu tidak perlu untuk mengetahui secara tepat perincian gambaran dirinya, karena pasti akan sangat bervariasi. Akan lebih penting dan bermanfaat menurut Fitts jika lebih memfokuskan pada "emotional tone" dari gambaran diri seorang individu tersebut. Bobot emosional atau nilai penghargaan akan lebih banyak berpengaruh terhadap terjadinya perbedaan-perbedaan dalam kepribadian setiap individu yang pada akhirnya membeda-bedakan setiap individu dalam bertingkahlaku. Sebagai contoh, "saya memiliki cacat tubuh", "fisik saya tidak normal", dan sebagainya akan membawa suatu bobot emosional tertentu, bahkan untuk hal yang netral sekalipun, seperti "rumah saya di..." terkandung bobot emosional tertentu. Jadi, cara bagaimana individu "merasakan" tentang dirinyalah yang akan mewarnai persepsinya terhadap dunia yang dilakoninya. Pendapat Fitts sejalan dengan pendapat Burns (1993 : 66) yang mengemukakan bahwa pada dasarnya konsep diri merupakan sikap terhadap diri sendiri dari seorang individu. Sebagai suatu sikap, maka konsep diri tersebut memiliki 4 (empat) komponen penting yaitu (1) keyakinan atau pengetahuan (komponen kognitif), (2) emosional (komponen afektif), (3) evaluasi, dan (4)

predisposisi untuk berespon (komponen konatif). Jadi, di dalam konsep diri terdapat unsur-unsur dimana setiap individu memiliki sistem evaluasi serta perasaan-perasaan emosional dan juga kecenderungan-kecenderungan untuk pro atau kontra terhadap suatu obyek sosial yaitu diri sendiri, sama halnya dengan sikap. Namun, di dalam sikap terhadap diri sendiri (konsep diri) terdapat beberapa sifat khas yang berbeda dengan sifat dari sikap terhadap objek-objek sosial lainnya, yaitu (1) tidak ada referensi yang berlaku sama, dimana dalam hal ini setiap individu akan memiliki sikap terhadap dirinya sendiri yang unik, karena obyeknya satu dengan lainnya adalah berbeda dan (2) setiap individu akan termotivasi untuk memiliki sikap yang sama terhadap dirinya sendiri, yaitu sikap yang positif. Dari apa yang telah dikemukakan, terangkum bahwa konsep diri sebagai persepsi seorang individu terhadap dirinya sendiri, yang meliputi gambaran, penilaian, serta keyakinan terhadap diri sendiri secara menyeluruh, terlihat bukan hanya berisi "gambaran kepribadian" mengenai diri, tetapi juga memiliki kandungan evaluasi-evaluasi serta emosi-emosi mengenai diri. Dalam hubungannya dengan kepribadian, Rosenberg (1965 dalam Burns, 1993 : 73) menyatakan tidak ada perbedaan yang kualitatif di dalam karakteristik sikap-sikap terhadap diri dan sikap-sikap terhadap obyek-obyek lainnya (misalnya : sabun, sup, daerah pinggiran kota, dan sebagainya). Argumen ini mengambil titik pangkalnya kepada realitas bahwa individu mempunyai sikap-sikap terhadap banyak obyek. Beberapa dari obyek ini dapat berupa bukan

manusia dan dapat juga berupa individu-individu, dimana yang paling penting adalah diri individu itu sendiri. Secara lebih mendasar, Rosenberg (1965 dalam Burns, 1993 : 74-76) menyatakan bagaimanapun ada aspek-aspek dari konsep diri yang membedakan sikap-sikap diri dari sikap-sikap terhadap obyek lainnya. Kualitas-kualitas yang membedakan ini terletak pada : 1. Obyek acuan yang berbeda. Untuk menjelaskan hal ini, Rosenberg memberikan contoh : jika seorang individu berpendapat bahwa Picasso itu hebat, sedangkan individu yang lainnya berpendapat tidak hebat, maka kedua individu ini saling tidak sependapat. Tetapi bila seorang individu menganggap dirinya cerdas, sedangkan individu lainnya menganggap dirinya bodoh, maka kedua orang ini saling sependapat. Contoh ini memberikan pengertian bahwa masing-masing individu melihat pada obyek-obyek secara berlainan, tergantung pada aspek-aspek konsep dirinya masing-masing. 2. Setiap individu didorong untuk mempunyai sikap yang sama terhadap diri. Hal ini terutama sekali terhadap kutup yang menyenangkan atau positif dari diri. Hal ini tampaknya menjadi ciri-ciri yang paling penting dari sikap-sikap diri setiap individu, yaitu individu lebih suka mempunyai hal-hal yang positif atau yang menyenangkan dari dirinya. 3. Obyek adalah penting bagi setiap individu, meskipun ada sejumlah besar variasi dalam kadar nilai pentingnya yang dilekatkan kepada obyek tersebut oleh individu secara subyektif. Rosenberg mengutip pernyataan

Murphy (1947) yang menyatakan bahwa apapun diri itu, dia tetap menjadi pusat dan titik sadar, sebuah standart perbandingan, dan suatu kenyataan yang pokok. Tidak dapat dihindari lagi bahwa hal-hal tersebut akan mengambil tempat sebagai suatu penilai yang tertinggi dari diri. 4. Diri adalah refleksi, karena itu sikap dan obyek yang dipunyai oleh seorang individu adalah sama. Sebagai contoh, "saya tidak suka terhadap diri saya sendiri" dan "saya berusaha membersihkan diri saya sendiri" memberikan pengertian bahwa individu tersebut berlaku baik sebagai subyek maupun sebagai obyek. Hal ini merupakan 2 (dua) aspek) yang dibedakan dari diri yang global, diri sebagai I atau pengenal dan diri sebagai Me atau dikenal. 5. Komitmen emosional dari setiap individu akan menentukan pembentukan sikapnya terhadap obyek. Emosi-emosi tertentu seperti kesombongan, kecongkakan, malu, putus asa, dan aib hanya ditimbulkan dalam hubungannya dengan obyek-obyek yang melibatkan diri atau ego. Emosi-emosi ini sebagian besar menerangkan mengapa sikap-sikap diri mempunyai nilai-nilai yang penting dan besar bagi penentuan sikap dan kesehatan mental seorang individu. 6. Sumber-sumber pengaruh yang dimiliki setiap individu berbeda-beda dalam mempengaruhi sikap-sikap dirinya dan yang mempengaruhi sikap-sikapnya terhadap banyak obyek lainnya. Sebagai contoh, komunikasi antarpribadi lebih mempengaruhi sikap-sikap diri dibandingkan dengan komunikasi massa. Komunikasi antarpribadi lebih