Pengaruh Genotipa dan Kadar Aflatoksin dalam Ransum pada Karakteristik Awal Bertelur Itik Lokal

dokumen-dokumen yang mirip
INTERAKSI ANTARA BANGSA ITIK DAN KUALITAS RANSUM PADA PRODUKSI DAN KUALITAS TELUR ITIK LOKAL

Pengaruh Pemberian Pakan Terbatas terhadap Produktivitas Itik Silang Mojosari X Alabio (MA): Masa Pertumbuhan sampai Bertelur Pertama

PERTUMBUHAN STARTER DAN GROWER ITIK HASIL PERSILANGAN RESIPROKAL ALABIO DAN PEKING

Heterosis Persilangan Itik Tegal dan Mojosari pada Kondisi Sub-Optimal

Performans Produksi Telur Itik Talang Benih pada Fase Produksi Kedua Melalui Force Moulting

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN ITIK BALI SEBAGAI SUMBER PLASMA NUTFAH TERNAK (GROWTH CHARACTERISTICS OF BALI DUCK AS A SOURCE OF GERMPLASM) ABSTRACT

PROGRAM PEMBIBITAN ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN: SELEKSI PADA POPULASI BIBIT INDUK ITIK ALABIO

(PRODUCTIVITY OF Two LOCAL DUCK BREEDS: ALABIO AND MOJOSARI RAISED ON CAGE AND LITTER HOUSING SYSTEM) ABSTRACT ABSTAAK PENDAHULUAN

Kususiyah, Urip Santoso, dan Debi Irawan. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu

PERSILANGAN TIMBAL BALIK ANTARA ITIK ALABIO DAN MOJOSARI : PERIODE AWAL BERTELUR

Performans Pertumbuhan Itik Talang Benih Jantan dan Betina yang Dipelihara secara Intensif

PERFORMA PRODUKSI ITIK BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN

PRODUKTIVITAS ITIK ALABIO DAN MOJOSARI SELAMA 40 MINGGU DARI UMUR MINGGU

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

PROGRAM VILLAGEBREEDING PADA ITIK TEGAL UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI TELUR: SELEKSI ITIK TEGAL GENERASI PERTAMA DAN KEDUA ABTRACT ABTRAK

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK SIFAT-SIFAT PRODUKSI TELUR ITIK ALABIO

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH

Performan Pertumbuhan dan Produksi Karkas Itik CA [Itik Cihateup x Itik Alabio] sebagai Itik Pedaging

SELEKSI AWAL BIBIT INDUK ITIK LOKAL

Model Regresi Pertumbuhan Dua Generasi Populasi Terseleksi Itik Alabio

Performa Pertumbuhan Puyuh Petelur Betina Silangan... Henry Geofrin Lase

KELENTURAN FENOTIPIK SIFAT-SIFAT REPRODUKSI ITIK MOJOSARI, TEGAL, DAN PERSILANGAN TEGAL-MOJOSARI SEBAGAI RESPON TERHADAP AFLATOKSIN DALAM RANSUM

Pengaruh Pengaturan Waktu Pemberian Air Minum yang Berbeda Temperatur terhadap Performan Ayam Petelur Periode Grower.

Pengaruh Pemberian Pakan Terbatas Terhadap Produktivitas Itik Silang Mojosari x Alabio (MA): 2. Masa Bertelur Fase Kedua Umur Minggu

PERSILANGAN TIMBAL BALIK ANTARA ITIK TEGAL DAN MOJOSARI : I. AWAL PERTUMBUHAN DAN AWAL BERTELUR

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan September - Desember 2015 di

Bibit induk (parent stock) itik Mojosari muda

Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher)

THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON THE PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN STARTER PERIOD

KUALITAS TELUR ITIK ALABIO DAN MOJOSARI PADA GENERASI PERTAMA POPULASI SELEKSI

PRODUKSI TELUR ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN

Peking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur.

Bibit induk (parent stock) itik Alabio muda

KARAKTERISTIK UKURAN ORGAN DALAM KARKAS ITIK GENOTIPE PEKING x ALABIO DAN PEKING x MOJOSARI

Bibit niaga (final stock) itik Alabio dara

Bibit induk (parent stock) itik Alabio meri

PERSILANGAN AYAM PELUNG JANTAN X KAMPUNG BETINA HASIL SELEKSI GENERASI KEDUA (G2)

Bibit induk (parent stock) itik Mojosari meri

Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Bambu dan Litter

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN TERBATAS TERHADAP PENAMPILAN ITIK SILANG MOJOSARI X ALABIO (MA) UMUR 8 MINGGU

BAB III MATERI DAN METODE. berbeda terhadap tingkah laku burung puyuh petelur, dilaksanakan pada bulan

Performa Produksi Puyuh Petelur (Coturnix-coturnix Japonica) Hasil Persilangan..Wulan Azhar

Roesdiyanto, Rosidi dan Imam Suswoyo Fakultas Peternakan, Unsoed

Kususiyah, Urip Santoso, dan Rian Etrias

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI

CIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN ABSTRACT ABSTAAK

ANALISIS FEASIBILITAS USAHA TERNAK ITIK MOJOSARI ALABIO

Pengukuran Sifat Kuantitatif...Fachri Bachrul Ichsan.

Bibit niaga (final stock) itik Mojosari dara

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN BEBAS PILIH (Free choice feeding) TERHADAP PERFORMANS AWAL PENELURAN BURUNG PUYUH (Coturnix coturnix japonica)

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENAMPILAN PRODUKSI AYAM BROILER YANG DIBERI TEPUNG GAMBIR (Uncaria Gambir Roxb) SEBAGAI FEED ADDITIVE DALAM PAKAN.

Pengaruh Pemberian Pakan Terbatas terhadap Produktivitas Itik Silang Mojosari X Alabio (Ma): 1. Masa Bertelur Fase Pertama Umur Minggu

Bibit niaga (final stock) itik Alabio meri umur sehari

Efektifitas Berbagai Probiotik Kemasan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica)

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR

HUBUNGAN UMUR SIMPAN DENGAN PENYUSUTAN BOBOT, NILAI HAUGH UNIT, DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR ITIK TEGAL PADA SUHU RUANG SKRIPSI ROSIDAH

PENGARUH BANGSA ITIK ALABIO DAN MOJOSARI TERHADAP PERFORMAN REPRODUKSI (REPRODUCTIVE PERFORMANCE OF ALABIO AND MOJOSARI DUCKS) ABSTRACT ABSTAAK

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

PERUBAHAN WARNA KUNING TELUR ITIK LOKAL DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG DAUN KALIANDRA

PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN

THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN FINISHER PERIOD

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Performa Itik Albino Jantan dan Betina bedasarkan Pengelompokan Bobot Tetas

OPTIMALISASI TEKNOLOGI BUDIDAYA TERNAK AYAM LOKAL PENGHASIL DAGING DAN TELUR

Bibit niaga (final stock) itik Mojosari meri umur sehari

RESPONS KOMPOSISI TUBUH DOMBA LOKALTERHADAP TATA WAKTU PEMBERIAN HIJAUAN DAN PAKAN TAMBAHAN YANG BERBEDA

Performa Produksi Telur Turunan Pertama (F1) Persilangan Ayam Arab dan Ayam Kampung yang Diberi Ransum dengan Level Protein Berbeda

I. PENDAHULUAN. Protein hewani memegang peran penting bagi pemenuhan gizi masyarakat. Untuk

Pengaruh Lumpur Sawit Fermentasi dalam Ransum Terhadap Performa Ayam Kampung Periode Grower

RESPON PERTUMBUHAN ANAK ITIK JANTAN TERHADAP BERBAGAI BENTUK FISIK RANSUM (GROWTH RESPONSE OF MALE DUCK RESULTING FROM DIFFERENT SHAPE OF RATIONS)

PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS

Pengaruh Imbangan Hijauan-Konsentrat dan Waktu Pemberian Ransum terhadap Produktivitas Kelinci Lokal Jantan

RESPON PENGGANTIAN PAKAN STARTER KE FINISHER TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAN PERSENTASE KARKAS PADA TIKTOK. Muharlien

Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang 2. Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Bengkulu ABSTRAK

TINGKAT KEPADATAN GIZI RANSUM TERHADAP KERAGAAN ITIK PETELUR LOKAL

I PENDAHULUAN. dari generasi ke generasi di Indonesia sebagai unggas lokal hasil persilangan itik

PENDUGAAN UMUR BERDASARKAN PERGANTIAN BULU PADA ITIK BETINA LOKAL PERIODE INDUKAN SKRIPSI NOVI GIANTI LOKOLLO

KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH

BOBOT POTONG, BOBOT KARKAS DAN NON KARKAS DOMBA LOKAL YANG DIGEMUKKAN DENGAN PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT DAN HIJAUAN SKRIPSI AZIZ MEIARO H

EVALUASI PENGGUNAAN BUBUK BAWANG PUTIH (Allium sativum) TERHADAP KANDUNGAN LEMAK DARAH AYAM KAMPUNG YANG DIINFEKSI CACING Ascaridia galli

R. T. Hertamawati Jurusan Peternakan Politeknik Negeri Jember, Jember ABSTRAK. Kata kunci : pembatasan pakan, produksi telur, fase grower, puyuh

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL LUAR HALAMAN SAMPUL DALAM LEMBAR PENGESAHAN

BAB III METODE PENELITIAN. energi metabolis dilakukan pada bulan Juli Agustus 2012 di Laboratorium Ilmu

PERBANDINGAN PRODUKTIVITAS ITIK MOJOSARI DAN ITIK LOKAL PADA PEMELIHARAAN SECARA INTENSIF DI DKI JAKARTA

BAB III MATERI DAN METODE. Merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap Performa Burung Puyuh Betina Umur 16

PERFORMA PRODUKSI TELUR PUYUH (Coturnix coturnix japonica) YANG DI PELIHARA PADA FLOCK SIZE YANG BERBEDA

PENGARUH TINGKAT PROTEIN RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG, PERSENTASE KARKAS DAN LEMAK ABDOMINAL PUYUH JANTAN

PENGARUH PENAMBAHAN ECENG GONDOK (Eichornia crassipes) FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP PRODUKSI TELUR ITIK TEGAL

Performa, Persentase Karkas dan Nilai Heterosis Itik Alabio, Cihateup dan Hasil Persilangannya pada Umur Delapan Minggu

PERFORMAN PRODUKSI ITIK ALABIO (ANAS PLATHYRYNCHOS BORNEO) YANG DIBERI RANSUM KOMERSIL DENGAN TAMBAHAN KROMIUM (CR) ORGANIK

PENGARUH JENIS BURUNG PUYUH (Coturnix-coturnix japonica) DENGAN PEMBERIAN PAKAN KOMERSIAL YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN PRODUKSI PERIODE BERTELUR

PRODUKSI TELUR PERSILANGAN ITIK MOJOSARI DAN ALABIO SEBAGAI BIBIT NIAGA UNGGULAN ITIK PETELUR

THE EFFECT OF LIGHT COLOR ON FEED INTAKE, EGG PRODUCTION, AND FEED CONVERSION OF JAPANESE QUAIL (Coturnix-coturnix japonica) ABSTRACT

PERFORMA ITIK LOKAL (Anas Sp) YANG DIBERI TEPUNG DAUN KELOR (Moringa oleifera) PADA PAKAN DENGAN SISTEM PEMELIHARAAN INTENSIF

RESPON PENGGUNAAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus L. Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KOLESTEROL ITIK LOKAL SKRIPSI ALFIAN PUTRA DHIMAR NUGRAHA

HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam jangka waktu tertentu. Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh tingkat

I. PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan

KERAGAAN PRODUKSI TELUR PADA SENTRA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KOMODITAS UNGGULAN (SPAKU) ITIK ALABIO DI KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA, KALIMANTAN SELATAN

Transkripsi:

Pengaruh Genotipa dan Kadar Aflatoksin dalam pada Karakteristik Awal Bertelur Itik Lokal L. HARDI PRASETYO dan T. SUSANTI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 (Diterima dwan redaksi 23 Juli 2010) ABSTRACT PRASETYO, L.H. and T. SUSANTI. 2010. Effect of genotypes and aflatoxin levels in the diets on early laying characteristics of local ducks. JITV 15(3): 215-219. Layer ducks are known for their sensitivity to aflatoxin contamination in their diets, and this has been causing problem in egg productivity of local ducks due to feeding system practiced by traditional farmers. This study was aimed at exploring the level of sensitivity of Mojosari and Tegal ducks to different aflatoxin levels in their diets, especially on characteristics during early laying period. Three hundreds and nine female Mojosari ducks and 260 female Tegal ducks were used in this study. Two levels of aflatoxin in the diets, 0 and 150 ppb, were given to 4 week-old ducklings for 4 weeks. Observations were taken on age at first laying, body weight at first laying, and egg qualities as early indications of the egg production potentials. The results showed that different levels of aflatoxin in the diets only affected live weight at first laying, and not on age at first laying. The two genotypes differed significantly on egg weight, yolk weight, and shell weight. It is concluded that aflatoxin contamination in the diets during early growth did not really affect characteristics of early laying of Mojosari and Tegal ducks. Key Words: Local Ducks, Aflatoxin ABSTRAK PRASETYO, L.H. dan T. SUSANTI. 2010. Pengaruh genotipa dan kadar aflatoksin dalam ransum pada karakteristik awal bertelur itik lokal. JITV 15(3): 215-219. Itik dikenal sangat peka terhadap tingkat cemaran racun aflatoksin dalam ransum, dan hal ini sangat mengganggu produktivitas telur berbagai bangsa itik lokal karena sistem pemberian pakan yang masih tradisional. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kepekaan itik Mojosari dan itik Tegal terhadap kadar aflatoksin dalam ransum yang berbeda, khususnya pada berbagai karakteristik awal bertelurnya. Sebanyak 309 ekor itik Mojosari betina dan 260 ekor itik Tegal betina digunakan dalam penelitian ini. Dua jenis ransum dengan dua tingkat aflatoksin yang berbeda, yaitu 0 dan 150 ppb, diberikan kepada itik-itik tersebut mulai minggu ke-4 selama 4 minggu. Pengamatan dilakukan terhadap umur pertama bertelur, bobot hidup pertama bertelur, dan kualitas telur pertama sebagai indikasi awal potensi produksi telur itik-itik tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan kadar aflatoksin dalam ransum hanya berpengaruh pada bobot hidup pertama bertelur pada kedua bangsa itik, dan tidak berpengaruh terhadap umur pertama bertelur. Sedangkan kedua bangsa itik berbeda nyata dalam bobot telur, bobot kuning telur dan bobot kerabang telur. Disimpulkan bahwa paparan aflatoksin pada awal pertumbuhan itik lokal tidak terlalu berpengaruh pada karakteristik awal bertelur itik Mojosari dan itik Tegal. Kata Kunci: Itik Lokal, Aflatoksin PENDAHULUAN Berbagai bangsa itik lokal yang ada di Indonesia memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan pemeliharaan. Di antaranya, itik Mojosari dan itik Tegal termasuk jenis itik Jawa yang banyak digemari peternak baik di Pulau Jawa maupun di pulaupulau lain, karena potensi produksi dan daya adaptasinya. Potensi produksi telur yang tinggi tersebut sering terkendala oleh adanya cemaran racun aflatoksin dalam ransum yang dikonsumsi oleh itik petelur. Cemaran tersebut berasal dari racun yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus yang tumbuh pada bahan pakan itik, terutama pada biji-bijian, dan racun ini dapat menyebabkan aflatoksikosis pada itik. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa itik sangat peka terhadap serangan aflatoksin tersebut (BINTVIHOK et al., 2002b). Lebih lanjut BINTVIHOK et al. (2002b) menyatakan bahwa cemaran aflatoksin tersebut bahkan dapat meninggalkan residu pada hati, jaringan otot, dan juga pada kuning telur, dari ayam, itik, ataupun burung puyuh. Keracunan aflatoksin yang mematikan pada itik ditandai dengan luka pada hati, warna pucat kuning kehijauan, dan terhentinya pertumbuhan dan bahkan kematian. 215

JITV Vol. 15 No. 3 Th. 2010: 215-219 Penelitian mengenai pengaruh aflatoksin terhadap itik Khaki Campbell dan itik Alabio muda telah dilakukan oleh HETZEL dan SUTIKNO (1979), hasilnya menunjukkan bahwa kedua bangsa itik mengalami kerusakan hati dan kematian pada tingkat aflatoksin > 100 ppb. Namun demikian, dari penelitian tersebut dapat diketahui bahwa itik Alabio (lokal) ternyata lebih tahan terhadap serangan aflatoksin jika dibandingkan dengan itik Khaki Campbell (impor), yaitu dengan tingkat kematian yang lebih rendah pada tingkat aflatoksin 200 dan 400 ppb. Dosis maksimal aflatoksin B 1 yang dapat ditolerir itik hanyalah 30 ppb, jauh lebih rendah dari dosis yang dapat ditolerir ayam yaitu 200 ppb. Kepekaan ini ternyata sangat dipengaruhi oleh bangsa dan umur ternak, di mana anak unggas lebih peka dari yang dewasa dan unggas jantan lebih peka dari yang betina. Namun demikian, sejak periode tahun 70 an sampai awal 90 an belum ada lagi penelitian yang mengevaluasi kepekaan berbagai bangsa itik lokal di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepekaan itik Mojosari dan itik Tegal terhadap kadar aflatoksin dalam ransum yang berbeda, khususnya pada beberapa karakteristik awal bertelur itik-itik tersebut sebagai indikasi potensi produksi telur selanjutnya. Informasi ini diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan para peternak itik dalam menjaga keamanan bahan pakan yang akan diberikan kepada ternaknya. MATERI DAN METODE Sejumlah 309 ekor itik Mojosari betina dan 260 ekor itik Tegal betina yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil penetasan sendiri dan dipelihara di kandang Balai Penelitian Ternak. Anak itik dipelihara dalam kandang brooder sampai umur 5 minggu dan kemudian dipindahkan ke kandang liter sampai periode bertelur. Setelah umur 3 minggu, anak itik masingmasing bangsa dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok pertama memperoleh ransum kontrol () dan kelompok kedua memperoleh ransum mengandung aflatoksin 150 ppb (), selama 4 minggu, dan setelah itu kedua kelompok menerima ransum kontrol yang sama lagi. Pada saat itik berumur 18 minggu, ternak dipindah ke kandang individu untuk pengamatan produksi telur. Rancangan yang digunakan adalah pola faktorial 2 x 2 dengan Rancangan Acak Lengkap dan individu sebagai ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap umur pertama bertelur dan bobot hidup pertama bertelur pada seluruh individu itik. Pengamatan kualitas telur yang meliputi bobot telur, bobot kuning telur dan bobot kerabang telur sebagai indikasi tentang potensi produksi telur, diamati terhadap telur yang diambil secara acak sebanyak 10 butir dari masing- masing bangsa itik. Data dianalisis dengan menggunakan Sidik Ragam untuk melihat pengaruh genotipa dan pengaruh kadar aflatoksin dalam ransum. Sesuai dengan standar pemeliharaan itik petelur dan kebutuhan nutrisinya, ternak itik diberi pakan sesuai dengan tahapan pertumbuhan dan status fisiologisnya. Selama masa starter (umur 0 8 minggu), anak itik memperoleh ransum dengan kadar protein 20% dan energi metabolis 3000 Kkal/kg, dan masa grower (umur 8 18 minggu) dengan kadar protein 16% dan energi metabolis 2500 Kkal/kg. Sementara itu, selama masa bertelur (> 18 minggu), itik memperoleh ransum dengan kadar protein 18% dan energi metabolis 2800 Kkal/kg. Selama penelitian, pakan dan air minum diberikan secara ad libitum. HASIL DAN PEMBAHASAN Umur dan bobot hidup pertama bertelur Kedua bangsa itik yang memperoleh ransum dengan kandungan aflatoksin berbeda mulai bertelur pada kisaran umur 161 238 hari. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara bangsa itik dan kadar aflatoksin dalam ransum, baik pada umur pertama bertelur maupun bobot hidup pertama bertelur. maupun kadar aflatoksin dalam ransum tidak berpengaruh nyata terhadap umur pertama bertelur. Nilai rataan umur pertama bertelur baik untuk itik Mojosari dan itik Tegal disajikan pada Tabel 1. umur pertama bertelur itik Mojosari dan itik Tegal berturut-turut adalah 201 dan 208 hari dan nilai ini jauh lebih besar dari rataan umur pertama bertelur itik Mojosari dan itik Tegal pada penelitian sebelumnya (PRASETYO, 2007) yaitu sebesar 182,3 hari pada itik Mojosari dan 171,8 hari pada itik Tegal. Hasil penelitian PRASETYO dan SUSANTI (2000) menunjukkan bahwa umur pertama bertelur itik Mojosari adalah sebesar 171,7 hari. Umur pertama bertelur secara langsung menunjukkan umur dewasa kelamin itik, dan sifat ini sangat berpengaruh terhadap produksi telur itik yang bersangkutan. Semakin cepat dewasa kelamin akan menyebabkan semakin tinggi produksi telur namun dengan ukuran telur yang cenderung lebih kecil. Secara genetis, sifat ini dapat dipergunakan untuk membentuk populasi dengan dewasa kelamin yang cepat namun dengan ukuran telur yang relatif sama. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian PURBA et al. (2004) yang melaporkan bahwa umur pertama bertelur itik Mojosari (yang telah terseleksi) adalah sebesar 151,8 hari, jauh lebih muda jika dibandingkan dengan hasil penelitian ini yang menggunakan itik Mojosari yang belum diseleksi. 216

Tabel 1. umur pertama bertelur (hari) itik Mojosari dan itik Tegal pada ransum dengan kadar aflatoksin berbeda Mojosari 206 + 23 196 + 18 201 + 21 Tegal 211 + 19 204 + 23 208 + 21 209 + 21 200 + 20 Nilai rataan bobot hidup pertama bertelur itik Mojosari dan itik Tegal yang mendapat ransum dengan kandungan aflatoksin berbeda dapat dilihat pada Tabel 2. tidak berpengaruh nyata pada bobot hidup pertama bertelur, sedangkan kadar aflatoksin dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P < 0,01), namun demikian tidak terlihat adanya interaksi antara bangsa itik dan kadar aflatoksin dalam ransum. Itik Mojosari maupun itik Tegal yang menerima ransum dengan kadar aflatoksin 150 ppb () memiliki bobot hidup pertama bertelur yang lebih berat dari pada yang menerima ransum kontrol (). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian aflatoksin sampai dengan kadar 150 ppb pada itik umur 3 minggu tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan itik lokal. Berbeda dengan pendapat BINTVIHOK (2007) yang menyatakan bahwa itik muda khususnya sangat peka terhadap cemaran aflatoksin, pada penelitian dengan itik Peking. Kemungkinan ini dapat terjadi jika cemaran aflatoksin tersebut pada usia muda justru berhasil menggertak gen-gen tertentu yang mendorong pertumbuhan yang lebih cepat, karena memang secara umum diketahui bahwa cekaman (stres) pada tingkat tertentu akan dapat menggertak beberapa gen untuk lebih aktif. Hal ini mungkin merupakan keunggulan dari itik lokal di Indonesia. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa bobot hidup pertama bertelur itik Mojosari adalah sebesar 1663,5 gram, dan nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh PURBA et al. (2004) yaitu bobot hidup pertama bertelur sebesar 1610,8 g. Hal ini sejalan dengan hasil yang diperoleh pada umur pertama bertelur, karena makin panjang umur pertama bertelur maka bobot hidup pertama bertelur juga akan lebih berat. Hasil ini memperkuat pendapat selama ini bahwa bobot hidup menentukan umur pertama bertelur. Kualitas telur Pengamatan terhadap kualitas telur menunjukkan bahwa perbedaan kadar aflatoksin dalam ransum tidak berpengaruh terhadap bobot telur, bobot kuning telur dan bobot kerabang telur, dan begitu juga tidak terlihat adanya interaksi antara bangsa itik dengan kadar aflatoksin dalam ransum. Namun demikian, bobot telur, bobot kuning telur dan bobot kerabang telur di antara kedua bangsa itik terlihat berbeda nyata (P < 0,05). Nilai-nilai rataan bobot telur disajikan pada Tabel 3. Itik Tegal memiliki bobot telur (55,9 g) yang lebih berat dari pada bobot telur itik Mojosari(54,7 g). Hasil ini sejalan dengan yang diperoleh PRASETYO dan KETAREN (2005), walaupun nilai rataannya berbeda yaitu 70,8 dan 69,0 g masing-masing untuk itik Tegal dan itik Mojosari. Bobot telur itik Tegal dan itik Mojosari ini juga berbeda dengan yang dihasilkan oleh PRASETYO (2007) yaitu berturut-turut 70,4 dan 68,9 g. Perbedaan nilai rataan ini mungkin karena perbedaan komposisi ransum yang digunakan dalam kedua penelitian tersebut. Jika ditinjau dari bobot kuning telur, maka terlihat bahwa itik Tegal memiliki bobot kuning telur yang lebih berat dari pada bobot kuning telur itik Mojosari, dan hal ini sejalan dengan hasil pada bobot telur. Nilai rataan bobot kuning telur disajikan pada Tabel 4, dan terlihat bahwa bobot kuning telur itik Tegal adalah seberat 16,4 g dan itik Mojosari seberat 15,9 g. Nilainilai rataan ini jauh lebih kecil dari yang diperoleh PRASETYO (2007). Pengamatan terhadap bobot kerabang telur menunjukkan bahwa itik Tegal memiliki bobot kerabang yang lebih berat dari itik Mojosari. Tabel 5 memperlihatkan bahwa nilai rataan bobot kerabang telur itik Tegal dan Mojosari berturut-turut adalah seberat 5,7 dan 5,5 g. Nilai-nilai rataan ini lebih rendah dari yang diperoleh PRASETYO (2007) yaitu seberat 6,2 Tabel 2. bobot hidup pertama bertelur (g) itik Mojosari dan itik Tegal pada ransum dengan kadar aflatoksin berbeda Mojosari 1636,6 + 50,4 1690,3 + 60,8 1663,5 + 61,3 Tegal 1651,3 + 37,6 1672,7 + 56,0 1662,0 + 47,8 1643,9 + 44,3 a 1681,8 + 58,2 b a,b : Nyata berbeda pada taraf 5% 217

JITV Vol. 15 No. 3 Th. 2010: 215-219 dan 6,3 g untuk itik Tegal dan itik Mojosari. Hasil penelitian yang dilaporkan oleh ARIFIN et al. (2004) menyebutkan bahwa kadar aflatoksin dalam ransum berpengaruh terhadap kadar kalsium darah, namun dalam penelitian ini kadar aflatoksin tidak berpengaruh terhadap bobot kerabang telur. Dampak utama dari keracunan aflatoksin pada itik adalah pada rusaknya jaringan hati seperti dilaporkan oleh HETZEL dan SUTIKNO (1979) dan Bintvihok et al. (2002b). Akan tetapi, HETZEL dan SUTIKNO (1979) Tabel 3. bobot telur (g) itik Mojosari dan itik Tegal yang diberi ransum dengan kadar aflatoksin berbeda Mojosari 54,4 + 2,0 54,9 + 1,3 54,7 + 1,6 a Tegal 56,6 + 1,1 55,2 + 2,0 55,9 + 1,8 b 55,5 + 1,9 55,1 + 1,6 Tabel 4. bobot kuning telur (g) itik Mojosari dan itik Tegal yang diberi ransum dengan kadar aflatoksin berbeda Mojosari 15,7 + 0,7 16,1 + 0,6 16,0 + 0,6 a Tegal 16,6 + 0,4 16,2 + 0,9 16,4 + 1,1 b 16,2 + 0,7 16,1 + 0,7 Tabel 5. bobot kerabang telur (g) itik Mojosari dan itik Tegal yang diberi ransum dengan kadar aflatoksin berbeda Mojosari 5,5 + 0,2 5,6 + 0,2 5,5 + 0,2 a Tegal 5,8 + 0,2 5,6 + 0,3 5,7 + 0,2 b 5,6 + 0,2 5,6 + 0,2 juga melaporkan bahwa itik Alabio mengalami kerusakan hati parah pada level aflatoksin > 200 ppb namun dengan proporsi yang jauh lebih rendah dari itik Khaki Campbell. Hal ini mendukung kenyataan bahwa itik lokal Indonesia lebih mampu beradaptasi terhadap cekaman akibat keracunan aflatoksin, seperti yang dihasilkan pada penelitian ini. BINTVIHOK et al. (2002b) menyajikan hasil-hasil pengamatan residu aflatoksin pada hati, jaringan otot dan telur, dan menyimpulkan bahwa residu pada hati adalah yang tertinggi, namun kadar residu menurun setelah pemaparan dihentikan. Residu pada telur sama atau lebih rendah dari residu pada hati, namun setelah 11 hari dihentikannya pemaparan, kadar residu sudah sangat rendah, 5,83 + 2,56 ppb. Dalam penelitian ini kadar residu aflatoksin dalam telur tidak diamati. Selanjutnya BINTVIHOK et al. (2002a) menyatakan bahwa penambahan 0,05% esterified glucomannan dalam ransum dapat mengurangi secara efektif tingkat keracunan aflatoksin pada anak itik. KESIMPULAN Penelitian ini tidak berhasil mengungkap kepekaan itik lokal terhadap cemaran aflatoksin dalam ransum pada awal masa pertumbuhan, kecuali pada bobot hidup pertama bertelur. Hal ini menunjukkan bahwa pemaparan anak itik terhadap aflatoksin selama 4 minggu sejak umur 3 minggu tidak berpengaruh terhadap sifat-sifat awal produksi telur baik pada itik Tegal maupun itik Mojosari. Kenyataan ini menunjukkan kemungkinan adanya daya adaptasi atau toleransi yang kuat dari itik lokal terhadap cemaran aflatoksin dalam ransum sebesar 150 ppb pada awal pertumbuhan, jika pemaparan terhadap aflatoksin hanya pada periode tertentu yang terbatas. DAFTAR PUSTAKA ARIFIN, Z., S. RACHMAWATI, DARMONO dan A. SAFUAN. 2004. Pengaruh aflatoksin B1 terhadap kandungan kalsium dan magnesium dalam serum itik. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 4 5 Agustus 2004. Puslitbangnak, Bogor. hlm. 634 637. BINTVIHOK, A., W. BANLUNARA dan T. KAEWAMATAWONG. 2002a. Aflatoxin detoxification by esterified glucomannan in ducklings. Thai J. Health Res. 16: 135-148. BINTVIHOK, A., S. THIENGNIN, K. DOI dan S. KUMAGAI. 2002b. Residues of aflatoxin in the liver, muscle and eggs of domestic fowls. J. Vet. Med. Sci 64: 1037 1039. BINTVIHOK, A. 2007. New insights to controlling mycotoxin danger in ducks. Feed Tech. 6: 28 29. HETZEL, D.J.S. dan I. SUTIKNO. 1979. The effect of aflatoxins on the performance of ducks. Proc. of the Second 218

Poultry Science and Industry Seminar. Bogor, 21 23 Mei 1979. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak, Bogor. hlm. 154. PRASETYO, L.H. 2007. Heterosis persilangan itik Tegal dan Mojosari pada kondisi sub-optimal. JITV 12: 22-26. PRASETYO, L.H. dan P.P. KETAREN. 2005. Interaksi antara bangsa itik dan kualitas ransum pada produksi dan kualitas telur itik lokal. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 13 September 2005. Puslitbangnak, Bogor. hlm. 811 816. PRASETYO, L.H. dan T. SUSANTI. 2000. Persilangan timbal balik antara itik Alabio dan Mojosari: periode awal bertelur. JITV 5: 210 214. PURBA, M., L.H. PRASETYO, P. S. HARDJOSWORO dan R.D. EKASTUTI. 2004. Produktivitas itik Alabio dan Mojosari selama 40 minggu dari umur 20 60 minggu. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 4-5 Agustus 2004. Puslitbangnak, Bogor. hlm. 639-645. 219