BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan manusia tersebut salah satunya adalah kematangan sosial.

dokumen-dokumen yang mirip
PENDIDIKAN SISWA BERKEBUTUAN KHUSUS. Kuliah 1 Adriatik Ivanti, M.Psi

PENDIDIKAN KHUSUS DAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori atau Konsep 1. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa yang berbeda

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Manusia merupakan mahluk individu karena secara kodrat manusia

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Judul. Perancangan Sekolah Luar Biasa Tunarungu Dengan Pendekatan Deafspace Guidelines

Bagaimana? Apa? Mengapa?

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

BAB I PENDAHULUAN. masih tanggung jawab orang tua. Kewajiban orang tua terhadap anak yaitu membesarkan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami masalah dalam belajar,

PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

PEMBELAJARAN KEBUTUHAN PENDIDIKAN KHUSUS Oleh: Drs. R. Zulkifli Sidiq, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. yang diciptakan oleh Tuhan yang memiliki kekurangsempurnaan baik dalam segi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP

BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

WALIKOTA PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. orang tua. Anak bisa menjadi pengikat cinta kasih yang kuat bagi kedua orang

BAB III METODE PENELITIAN

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan luar biasa

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang

1 Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK

AKTIVITAS PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF SEBAGAI PENGEMBANGAN KETERAMPILAN GERAK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) 1

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

Adaptif. Adaptif dapat diartikan sebagai, penyesuaian, modifikasi, khusus, terbatas, korektif, dan remedial.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Anak berkebutuhan khusus merupakan anak luar biasa yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. taraf kelainannya. American Association On Mental Deliciency (AAMD) dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat saling mengisi dan saling membantu satu dengan yang lain.

Karakteristik Anak Usia Sekolah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Hana Haniefah Latiefah, 2013

LAPORAN OBSERVASI LAPANGAN PERKEMBANGAN DAN PROSES PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasannya jauh dibawah rata rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

BAB I PENDAHULUAN. (Activity Daily Living/ADL) (Effendi,2008). tidak lepas dari bimbingan dan perhatian yang diberikan oleh keluarga,

TINJAUAN MATA KULIAH...

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS. DRS. MUHDAR MAHMUD.M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 157 TAHUN 2014 TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

Implementasi Pendidikan Segregasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KEMANDIRIAN ACTIVITY OF DAILY LIVING ANAK LOW VISION SEKOLAH DASAR KELAS IV DI SLB NEGERI A KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena itu mereka termasuk kedalam anak berkebutuhan khusus (Miller, 2005).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

PENJAS ADAPTIF. Yuyun Ari Wibowo

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan dijadikan sorotan oleh berbagai negara-negara di dunia saat

BAB II KAJIAN TEORI. merupakan suatu perkembangan keterampilan dan kebiasaan-kebiasaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan Usaha. merespon perubahan perubahan yang terkait secara cepat, tepat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. selalu berhubungan dengan tema tema kemanusiaan, artinya pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tujuan dalam pembangunan. Salah satu cara untuk meningkatkan

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan proses-proses sosial di dalam masyarakat (Bungin 2006: 48). Dalam lembaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kehidupan manusia (Ramawati, 2011). Kemampuan merawat diri adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan penelitian dan pengembangan serta akan diuraikan juga mengenai

PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I. sosialnya sehingga mereka dapat hidup dalam lingkungan sekitarnya. Melalui

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum masa remaja terbagi menjadi tiga bagian yaitu, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. I.1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak diharapkan tumbuh dan berkembang secara sehat, baik fisik,

BAB I PENDAHULUAN. Ai Nuraeni, 2014 Pembelajaran PAI Untuk Siswa Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

BAB I PENDAHULUAN. realitas diri dengan mengoptimalkan semua potensi kemanusiaan. (educational for all) yang tidak diskriminatif.

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI nomor 22 dan 23 tahun 2006.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan dan perlindungan dari orang lain. Tanpa bantuan dari orang lain dan lingkungan sosial maka manusia tidak mudah dalam mencapai tingkat normal, dari kebutuhan manusia tersebut salah satunya adalah kematangan sosial. Kematangan sosial adalah kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas secara mandiri serta ikut serta dalam melakukan kegiatan sosial. Hal tersebut seiring dengan pernyataan Doll (1965:10) bahwa kematangan sosial seseorang tampak dalam perilakunya. Perilaku tersebut menunjukkan kemampuan individu dalam mengurus dirinya sendiri dan partisipasinya dalam aktifitas-aktifitas yang mengarah pada kemandirian sebagaimana layaknya orang dewasa. Selain itu kematangan sosial adalah kemampuan untuk mengerti orang lain dan bagaimana bereaksi terhadap situasi sosial yang berbeda (Goleman, 2007). Di mana manusia dituntut untuk mandiri dalam melakukan sesuatu dan mampu melakukan penerimaan sosial. Chaplin (1985:433) mendefinisikan kematangan sosial merupakan suatu perkembangan ketrampilan dan kebiasaan-kebiasaan individu yang menjadi ciri khas kelompoknya. Hal tersebut bisa berupa kegiatan menolong diri sendiri secara umum (self-help-general), mengarahkan pada diri sendiri 1

2 (self-direction), gerak (locomotion), pekerjaan (occupation), sosialisasi (socialization), dan komunikasi (communication) sebagaimana dinyatakan Doll sebagai kriteria kematangan sosial. Gassel (dalam Gunarsa, 1991:61) menyatakan bahwa kematangan sosial adalah proses instrinsik yang terjadi dengan sendirinya sesuai dengan potensi yang ada, dimana antara kematangan dan latihan ada proses belajar terdapat interaksi erat yang mempengaruhi kematangan sosial. Perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Anak dilahirkan belum bersifat sosial dalam arti dia belum memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan ini diperoleh anak melalui berbagai kesempatan atau pengalaman belajar bergaul dengan orang-orang di lingkungannya, baik orang tua, guru, saudara, teman sebaya atau orang dewasa lainnya. Gunarsa (1991:90) mengatakan, kematangan sosial dipengaruhi beberapa hal diantaranya a) perkembangan dan kematangan khususnya kematangan intelektual, sosial, dan emosi, b) faktor biologis dan fisiologis, c) keadaan lingkungan, terutama dalam hal ini adalah lingkungan rumah dan keluarga, d) faktor kebudayaan, adat istiadat dan agama, e) keadaan fisik dan faktor keturunan, konstitusi fisik meliputi sistem syaraf, kelenjar otot-otot serta kesehatan dan penyakit.

3 Begitu juga kematangan sosial bagi anak berkebutuhan khusus bukanlah yang mudah untuk dicapai karena keterbatasan indra dan intelektual merupakan hal yang fatal, terutama dalam memperoleh informasi untuk mengenal dan berpikir keberadaan mereka di lingkungan, yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan, proses belajar, dan penyesuaian diri sendiri serta penyesuaian dengan lingkungan sosialnya. Biasanya anak tersebut disebut Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah terbaru yang digunakan, dan merupakan terjemahan dari child with special needs yang telah digunakan secara luas di dunia internasional. Ada beberapa istilah lain yang pernah digunakan di antaranya anak cacat, anak tuna, anak berkelainan, anak menyimpang, dan anak luar biasa, ada satu istilah yang berkembang secara luas telah digunakan yaitu difabel, sebenarnya merupakan kependekan dari difference ability. Sejalan dengan perkembangan pengakuan terhadap hak asasi manusia termasuk anak-anak ini, maka digunakanlah istilah anak berkebutuhan khusus (Suparno dan Purwanto, 2007) Cakupan ABK sangat luas di dalamnya terdapat anak-anak yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ rendah, serta anak dengan gangguan permasalahan sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan. Menurut Heward (2003) ABK adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik, yang termasuk ke dalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. Istilah

4 lain bagi ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka. ABK biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya. Adapun klasifikasi yang diberikan oleh direktorat PSLB (dalam Suparno dan Purwanto 2007) adalah sebagai berikut: Tabel 1 Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus SLB Jenis SLB Jenis A Tunanetra I Gifted : Potensi Kecerdasan Istimewa (IQ > 125 ) B Tunarungu J Talented : Potensi Bakat Istimewa (Multiple Intelligences : language, logico mathematic, visuospatial, bodilykinesthetic, musical, interpersonal, intrapersonal, natural, spiritual) C D Tunagrahita C : Berkebutuhan khusus Ringan (IQ = 50-70) C1 : Berkebutuhan khusus Sedang (IQ = 25-50) C2 : Berkebutuhan khusus Berat (IQ < 25 ) Tunadaksa D : Tunadaksa Ringan D1 : Tunadaksa Sedang K Kesulitan Belajar (a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca, Dysgraphia/Tulis, Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/ Motorik) L Lambat Belajar ( IQ = 70 90 ) E Tunalaras M Autis F Tunawicara N Korban Penyalahgunaan Narkoba G Tunaganda O Indigo H HIV AIDS

5 Namun pada umumnya di SLB menangani anak berkebutuhan khusus A, B, C, D, E. Permasalahan yang sering muncul di lapangan pada beberapa orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus merasa under estimate sehingga tidak jarang mereka membatasi dalam pergaulannya dengan cara tidak boleh keluar rumah, membatasi teman, serta tidak boleh melakukan pekerjaan yang dianggap tidak mampu, padahal tidak demikian. Bagi orang tua di dalam rumah merupakan tempat yang pas untuk kegiatan anak berkebutuhan khusus, hal tersebut berimbas pada kematangan sosial, seperti anak cenderung sulit menyesuaikan diri, kurang mandiri, pengendalian emosi, serta partisipasi sosial. Alasannya takut anak-anaknya menjadi korban bullying, malu, dan lain-lain. Selain itu peneliti mendapat permasalahan di lapangan bahwasanya orang tua sangat khawatir, melindungi, dan mengasihi anakanya berlebihan dengan tidak boleh melakukan kegiatan yang memberatkan anaknya, padahal anak mampu seperti menggunting, menggupas dengan pisau, membeli jajan sendiri, menyuapi ketika makan. Hal demikian sangat berpengaruh pada kematangan sosialnya, yang biasanya anak matang sosial pada usia kronologisnya tetapi malah tidak sesuai. Perlindungan yang berlebihan bagi anak akan menjadi racun dalam perkembangannya. Anak cenderung bergantung dengan orang yang di dekatnya. Berangkat dari pembahasan di atas peneliti menggambil tiga macam ketunaan yakni tunanetra, tunarungu, dan tunagrahita. Tunanetra yakni individu yang mengalami gangguan pada indra penglihatan baik ketika bayi atau sesudahnya. Hal itu senada dengan Suparno dan Purwanto (2007) yang menyatakan bahwa anak tunanetra adalah anak-anak yang mengalami kelainan

6 atau gangguan fungsi penglihatan, yang dinyatakan dengan tingkat ketajaman penglihatan atau visus sentralis di atas 20/200 dan secara pedagogis membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajarnya di sekolah. Selain itu anak tunarungu adalah individu yang mengalami gangguan pada sistem pendengaran. Menurut pendapat lain tunarungu adalah kehilangan atau kekurangan pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangannya sehingga memerlukan bimbingan dan pendidikan secara khusus (Brananta, 1978:10). Sedangkan definisi tunagrahita, tahun 1961 American Asociation on Mental Deficiency (AAMD) dalam BP3PTKSM mendefinisikan tunagrahita atau retardasi mental sebagai kelalaian yang (1) meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (subaverage), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes individual, (2) muncul sebelum usia 16 tahun, dan (3) menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif. Ketiga kriteria tersebut harus ditemukan sebelum dinyatakannya tunagrahita atau retardasi mental. Kematangan sosial pada anak dengan tiga macam ketunaan menjadi pilihan menarik bagi peneliti karena anak dengan kekurangannya atau tidak akan menghadapi kehidupan selanjutnya, sehingga penting dalam mempersiapkan dengan melatih, membimbing, dan mendidik menjadi manusia yang mandiri. Menurut penelitian terdahulu, Pramudiati (2008) tentang kematangan sosial anak tunanetra. Hasil penelitian subjek mampu melaksanakan aspek kegiatan menolong diri sendiri secara umum (self-help-general), mengarahkan pada diri sendiri (self-direction), pekerjaan (occupation), sosialisasi

7 (socialization), dan komunikasi (communication). Sedangkan aspek yang tidak bisa dilakukan subjek adalah gerak (locomotion) Meskipun subjek mempunyai kekurangan dalam hal penglihatan tapi subjek mampu dalam melakukan komunikasi dan sosialisasi pada orang tua atau teman sebaya di lingkungan. Selain itu pada tunarungu, mengenai kematangan sosial siswa SMPLB-B Dharma Wanita Pare-Kediri yang tinggal di asrama oleh Dewi (2005). Hasil penelitiannya kematangan sosial SMPLB-B yang tinggal di asrama cenderung sama dengan anak normal yang usianya sama dengan mereka. yaitu mereka mencapai kematangan sosial dengan kategori SQ normal dan tinggi dimana kategori normal ditunjukkan bahwa kematangan sosial yang mereka capai sesuai dengan usia yang dimilikinya saat ini sedangkan untuk kategori tinggi menunjukkan bahwa subjek mencapai kematangan sosial di atas usianya saat ini. Meskipun mempunyai keterbatasan dalam hal berkomunikasi tapi berdasarkan hasil tes VSMS menunjukkan bahwa siswa SMPLB-B Dharma Wanita Pare-Kediri mempunyai kematangan sosial seperti yang dimiliki oleh anak normal. Sedangkan pada tunagrahita, Putrantara (2011) dengan judul kematangan sosial pada down syndrome Hasil penelitian Az memiliki usia kematangan sosial 6 tahun 3 bulan. Kematangan sosial yang di miliki AZ sedikit lebih rendah dari pada usia kronologis yaitu 7 tahun 1 bulan yang dimiliki, sedangkan usia mental AZ adalah 6 tahun 5 bulan. Sedangkan Nung memiliki usia kematangan sosial 5 tahun 3 bulan, artinya kematangan sosial yang dimiliki Nung setara dengan kematangan sosial anak usia 5 tahun 3 bulan. Kematangan sosial Nung jauh lebih rendah dibandingkan usia kronologis yang dimiliki (12 tahun 10 tahun) sedangkan usia

8 mental Nung adalah 3 tahun 7 bulan. Ternyata tingkat kematangan sosial yang dikuasai AZ dan Nung sebagai penderita Down Syndrome masih dibawah tingkat kematangan sosial yang ideal untuk kategori anak yang normal sesuai usia kronologisnya. Dinamika kematangan sosial antar tiga ketunaan sangat berbeda. Pada tunanetra secara emosional cenderung labil sehingga mudah tersinggung, dan curiga, dalam mempelajari lingkungan dengan menyentuh dan merasakan, tidak memiliki kendali yang sam terhadap lingkungan dan diri sendiri, berkomunikasi membutuhkan waktu yang lama dalam mengkombinasikan, melakukan interaksi terhadap lingkungan dengan menyentuh dan mendengar, penampilan ekspresi wajah kurang, intelegensinya tidak secara otomatis menjadikan rendah, mempunyai daya ingat yang kuat disebabkan memiliki konseptual yang baik, dan dalam bergerak/orientasi mobilitas sangat membutuhkan latian. (Delphie, 2006:114-17). potensi yang digali terkait indra pendengaran dan peraba, fokus yang dikembangkan pada aktivitas sehari-hari serta pekerjaan seperti memijat, menyanyi, bermain musik, berjualan, serta lainnya. Pada anak tunanetra cenderung kurang mampu mengontrol emosi karena sering dihinggapi perasaan tidak percaya dan curiga. Pada tunarungu secara fisiologis, emosi dan sosial sama dengan anak awas walaupun biasanya agak labil, anak dengan hambatan pendengaran biasanya berkesulitan dalam membaca, perkembangan bahasa dan berkomunikasi kurang sempurna, hidup dalam lingkungan terisolir sehingga butuh interaksi sosial dan perasaan diterima, memiliki kesulitan dalam melakukan gerak keseimbangan dan

9 koordinasi gerak tubuh, dan secara intelektual sama dengan ank normal karena keterbatasan berkomunikasi sehingga menjadi rendah (Delphie, 2006: 111-113). Aktivitas yang bisa dilatih pada kebiasaan sehari-hari bersifat visual, karena anak yang mengalami hambatan pendengaran mengkompensasikan pada pengligatannya, seperti menjahit, membuat roti, menganyam, mengetik, pada anak tunarungu ciri-ciri kematangan sosialnya cenderung kurang pada penyesuaian sosial karena terhambat pada komunikasi. Sedangkan pada tunagrahita dinamika kematangan sosialnya, dasar secara fisiologis, sosial, dan emosional sama dengan ank awas, mudah melakukan kesalahan, mempunyai perilaku tidak dapat mengatur diri sendiri, bermasalah dengan perilaku sosial, bermasalah dengan karakteristik belajar, bermasalah dengan komunikasi baik bahasa atau pengucapan, bermasalah dengan kesehatan fisik, dan mempunyai kelainan sensori dan gerak (Delphie, 2006:17). Untuk memaksimalkan potensi pada tunagrahita lebih difokuskan pada kegiatan ADL (Activity Daily living), seperti makan, minum, mandi, berpakaian, serta pada pekerjaan yang bersifat kontinyu misalnya menyapu, menanam, mencuci serta lainnya. Pada anak tunagrahita cenderung tidak mampu menyesuaikan sosial secara independen. Adanya gangguan pada macam-macam ketunaan di atas sangat menyulitkan anak untuk bisa mengembangkan potensinya dan belajar secara optimal, karena anak mengalami hambatan anak pada segi fisik, motorik, perilaku, akademik, kepribadian, dan sosialnya. Kegiatan tersebut tidak dapat dilaksanakan begitu saja melainkan dengan adanya bimbingan secara maksimal dan intensif

10 serta dukungan emosional dan penerimaan yang lebih besar dari lingkungan sosialnya. Berdasarkan dinamika permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka peneliti mendeskripsikannya ke dalam judul Perbandingan Kematangan Sosial Tunanetra, Tunarungu, dan Tunagrahita di SDLB Negeri Sengonagung Pasuruan. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tingkat kematangan sosial tunanetra di SDLB Negeri Sengonagung, Purwosari, Pasuruan? 2. Bagaimana tingkat kematangan sosial tunarungu di SDLB Negeri Sengonagung, Purwosari, Pasuruan? 3. Bagaimana tingkat kematangan sosial tunagrahita di SDLB Negeri Sengonagung, Purwosari, Pasuruan? 4. Bagaimana perbandingan kematangan sosial tunanetra, tunarungu, dan tunagrahita di SDLB Negeri Sengonagung, Purwosari, Pasuruan? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui tingkat kematangan sosial anak tunanetra di SDLB Negeri Sengonagung, Purwosari, Pasuruan 2. Untuk mengetahui tingkat kematangan sosial anak tunrungu di SDLB Negeri Sengonagung, Purwosari, Pasuruan

11 3. Untuk mengetahui tingkat kematangan sosial anak tunagrahita di SDLB Negeri Sengonagung, Purwosari, Pasuruan 4. Untuk mengetahui perbandingan kematangan sosial anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita di SDLB Negeri Sengonagung, Purwosari, Pasuruan D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Diharapkan penelitian ini memberikan pemahaman konsep teoritk tentang kondisi kematangan sosial anak tunanetra, tunarungu, dan tunagrahita, serta mendapatkan gambaran awal usaha-usaha yang dilakukan orang tua dalam membantu proses kematangan sosial anak mereka. 2. Manfaat Praktis a. Untuk orang tua, penelitian ini dapat memberikan informasi kepada orang tua tentang pentingnya memperhatikan anak serta diharapkan peka terhadap kebutuhan anak agar dapat melalui tahap-tahap tumbuh kembang sebagaimana mestinya terutama kematangan sosial baik anak tunanetra, tunarungu, maupun tunagrahita b. Untuk pendidik dan sekolah dimana anak tunanetra, tunarungu, dan tunagrahita ini bersekolah, guru atau terapis dapat mengetahui kematangan sosial anak apakah sudah sesuai dengan tugas perkembangan usia kronologis anak di sekolah, sehingga dapat dijadikan acauan dalam memperbaiki kegiatan yang menunjang

12 kematangan sosial. Selain itu pihak sekolah disarankan melakukan kegiatan preventif dan kuratif pada orang tua dengan cara memberikan pelatihan seperti pelatihan orang tuaku adalah terapisku dan melakukan konseling secara berkala kepada orang tua yang ditemukan anaknya mengalami hambatan pada salah satu ketunaan.