BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah merupakan salah satu dari tiga unsur mutlak yang harus dimiliki oleh suatu negara. Malcolm N.

dokumen-dokumen yang mirip
Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

merupakan masalah klasik yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. samudera Hindia dan samudera Pasifik dan terletak di antara dua benua yaitu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

MASALAH PERBATASAN NKRI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

TINJAUAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM NELAYAN TRADISIONAL INDONESIA. Jacklyn Fiorentina

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang memiliki struktur

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

commit to user BAB I PENDAHULUAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN HUKUM LAUT TERHADAP WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

MENEGOSIASIKAN BATAS WILAYAH MARITIM INDONESIA DALAM BINGKAI NEGARA KEPULAUAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah

BAB III METODE PENELITIAN

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Sejarah Perundingan Batas Maritim Indonesia Singapura

BAB I PENDAHULUAN. Ambalat adalah blok laut seluas Km2 yang terletak di laut

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan (archipelagic

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PRINSIP EQUITABLE DALAM PENETAPAN MARITIME BOUNDARY DELIMITATION ANTARA INDONESIA DENGAN SINGAPURA PASCA PENGESAHAN PERJANJIAN PERBATASAN TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. berkelahi di laut dan saling bakar kapal-kapal penangkap ikannya. 1

BAB I Pendahuluan. A. Latar belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kedaulatan penuh atas

Meskipun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh serta rekomendasi pihak manapun juga, tetapi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya,

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR

BAB I PENDAHULUAN. makhluk individu, negara juga memiliki kepentingan-kepentingan yang harus

SISTEMATIKA PEMAPARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. Persengketaan muncul akibat penerapan prinsip yang berbeda terhadap penetapan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2010 TENTANG TUNJANGAN OPERASI PENGAMANAN BAGI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Konferensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa III telah berhasil

STATUS PULAU BUATAN YANG DIBANGUN DI DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF TERHADAP PENETAPAN LEBAR LAUT TERITORIAL DAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

PELAKSANAAN PENDAFTARAN HAK ATAS TANAH BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan yang sedang dilaksanakan, baik sejak masa pemerintahan Orde Baru maupun masa reformasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah merupakan salah satu dari tiga unsur mutlak yang harus dimiliki oleh suatu negara. Malcolm N. Shaw dalam bukunya menyatakan sebuah badan hukum tanpa wilayah tidak dapat disebut sebagai negara (Malcolm N. Shaw, 2003 : 409). Unsur tradisional suatu negara yang tertuang dalam Pasal 1 Montevideo (Pan American) Convention on Rights and Duties of States of 1933: The state as a person of international law should posses the following qualifications: a permanent population; a defined territory; a government; and a capacity to enter into relations to other states. Unsur mutlak yang harus dimiliki suatu negara yang harus dipenuhi menurut Pasal 1 Montevideo tersebut adalah wilayah, pemerintah yang berdaulat dan rakyat. Wilayah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu darat, udara dan laut. Pasal 1 Konvensi Montevideo tersebut menjelaskan bahwa karakteristik negara sebagai subjek hukum internasional adalah mempunyai penduduk, mempunyai wilayah yang pasti (fixed territory) yang tidak ditentukan sebarapa luas, pemerintah yang berdaulat serta menguasai organ-organ pemerintahan dalam negeri dan terakhir adalah kemampuan suatu negara untuk menjalin hubungan internasional dengan negara lain. Menyangkut tentang wilayah, Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah laut sebesar dua pertiga total luas wilayahnya yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan perairan terbesar didunia (Abdul Alim, 2008 : 1). Secara geografis Indonesia merupakan negara maritim, yang memiliki luas laut sebesar 5,8 Juta km² yang terdiri dari laut teritorial dengan luas 0.8 juta km2, laut nusantara 2,3 juta km2 dan zona ekonomi eksklusif 2,7 juta km2. Disamping itu Indonesia memiliki sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (Abdul Alim, 2008 : 2). Sebelum tahun 1957 ketentuan hukum laut diatur oleh peraturan zaman Hindia Belanda yaitu Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie yang menetapkan bahwa pulau-pulau di wilayah nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut teritoial di sekeliling sejauh 1

3 mil dari garis pantai. Pengukuran jarak 3 mil didapat atas dasar jarak rata-rata yang dapat ditempuh tembakan peluru meriam pada zaman itu. Selain itu jarak 3 mil digunakan atas pemikiran pertanggungjawaban negara dalam mengelola teritorialnya agar tidak terlalu luas. Pengukuran Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie yang disebut dalam peraturan Hindia Belanda ini menimbulkan banyak permasalahan vital seperti dalam bidang politik, ekonomi maupun pertahanan dan keamanan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penghitungan 3 mil yang dihitung dari garis pangkal yang ditarik sepanjang pantai pada waktu keadaan air pasang surut (low water line) tersebut jelas menyisakan kantung-kantung laut terbuka di antara pulau wilayah Indonesia (Mochtar Kusumaatmadja, 2003: 7). Akibat terpisahnya daratan oleh kantungkantung laut bebas tersebut dinilai bisa merugikan aspek-aspek vital negara Indonesia. Dilihat dari segi keamanan dan pertahanan jelas membuat negara berkembang seperti Indonesia rapuh karena kantung-kantung tersebut dapat dilalui secara bebas oleh kapal militer negara lain sehingga menimbulkan kesulitan dalam melakukan pengawasan. Kapal-kapal pengawas pantai akan sulit untuk menjaga perairan Indonesia terhadap usaha-usaha penyelundupan, kegiatankegiatan subversif asing dan usaha-usaha pelanggaran hukum lainnya. Ruang udara yang berada diatas laut lepas otomatis juga merupakan kantung-kantung udara bebas diantara pulau-pulau Indonesia. Aspek ekonomi juga terancam karena negara-negara asing dengan kemajuan teknik penangkapan ikan dapat menghabiskan sumber-sumber ikan di laut sekitar pantai Indonesia. Segi politik juga berpengaruh karena ketentuan hukum laut yang lama sangat membahayakan keutuhan wilayah dan kesatuan nasional kita. Selama perairan antara pulau-pulau Indonesia masih merupakan bagian-bagian laut lepas maka selama itu pula bangsa Indonesia masih merasa terpisah-pisah satu sama lainnya. Keadaan yang demikian akan membantu usaha-usaha gerakan separatis yang membahayakan keutuhan wilayah dan kesatuan nasional. Selain itu pemerataan pembangunan jelas terhambat apabila Indonesia tidak memiliki kedaulatan penuh atas lautan yang melingkupi wilayahnya yang tersebar menjadi pulau-pulau (Boer Mauna, 2011:379-381). 2

Lahirnya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25 huruf (a) mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-Undang. Sadar akan kepentingan yang tertuang dalam UUD 1945 tersebut maka diperlukan suatu pemersatu seluruh tanah air Indonesia. Amanat untuk mempersatukan Indonesia tersebut dicerminkan dengan adanya Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957 yang menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State), sehingga laut-laut antar pulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas (Sahono Soebroto, 1983 : 61). Negara Republik Indonesia memperjuangkan konsep negara kepulauan dibekali semangat tinggi dari jiwa Undang-Undang dasar 1945 dan usaha tanpa henti akhirnya membuahkan hasil pada tanggal 13 Desember 1957 oleh menteri Luar Negeri Djuanda Kartawidjaja. Negara kepulauan atau archipelagic state yang dikemukakan dalam Deklarasi Djuanda 1957 tersebut menggunakan dasar perhitungan internasional yang modern serta metode point to point theory seperti yang telah diakui oleh Mahkamah Internasional sejak tahun 1951 pada perkara pengukuran lebar laut wilayah Norwegia. Konsep negara kepulauan yang dianut Indonesia sedikit berbeda dengan konsep pada negara Norwegia karena Indonesia menyatukan wilayah darat, laut dan udara menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Deklarasi Djuanda tersebut banyak ditentang oleh negara seperti Amerika, Australia, Jepang dan New Zealand karena merasa kepentingannya terganggu. Namun dengan dasar yang tepat dan kuat konsep negara kepulauan akhirnya diakui oleh dunia serta mendapat dukungan dari Uni Soviet pada waktu itu. Konsep negara kepulauan yang dicetuskan pada Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 diterima dunia internasional dan dimuat dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. UNCLOS 1982 merupakan rujukan hukum internasional tentang laut yang relevan dengan perkembangan yang ada sejauh ini. Kemudian deklarasi Djuanda dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982, bahwa Indonesia 3

adalah negara kepulauan. Berkat deklarasi ini UNCLOS 1982 mencantumkan mengenai negara kepulauan pada bagian IV serta penghitungan garis pangkal sejauh 12 mil yang mulai digunakan oleh Indonesia serta hukum laut internasional. Implikasi lain dari adanya pengaturan tersebut dalam UNCLOS 1982 adalah Indonesia termasuk negara yang mempunyai zona ekonomi eksklusif (ZEE) sangat luas bahkan menduduki peringkat tiga dunia yaitu sekitar 1.577.300 mil laut persegi (R.R Churchill dan A.V Lowe, 1999: 178). Perairan Indonesia yang bertambah sedemikian luas ternyata juga menimbulkan permasalahan yaitu batas wilayah dengan negara-negara tetangga. Pemerintah Indonesia berinisiatif membentuk peraturan tentang wilayah negara untuk mengatasi permasalahan batas wilayah dengan negara tetangga. Pasal 25 huruf (a) menghasilkan konsekuensi yang mengharuskan dibentuknya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Dalam Pasal 6 ayat (1) b Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara tersebut menyatakan: di laut berbatasan dengan Wilayah Negara: Malaysia, Papua Nugini, Singapura, dan Timor Leste. Keempat negara tersebut merupakan negara yang berbatasan langsung dengan laut teritorial Indonesia. Meskipun negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia telah disebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara namun masih ada beberapa yang belum ada kesepakatan wilayah laut dengan Indonesia. Negara yang belum ada kesepakatan dengan Indonesia antara lain adalah Malaysia, Papua Nugini, Singapura, Timor Leste, India, Australia, Vietnam, Filipina dan Republik Palau (http://indomaritimeinstitute.org/?p=1341 diakses pada tanggal 12 September 2013 pukul 14.25 WIB). Perselisihan yang timbul karena memang dari awal secara geografis Indonesia berhimpitan dengan negara tetangga. Selain itu perselisihan timbul karena mulai diadopsinya penghitungan laut teritorial seluas 12 mil yang menyebabkan wilayah laut Indonesia menjadi bersinggungan batas wilayah laut negara lain. Indonesia dengan bentuk kepulauannya juga membuat semakin sulit menentukan batas wilayah dengan 4

negara tetangga karena pengukuran batas wilayah negara kepulauan menggunakan pengukuran tidak sederhana. Banyak permasalahan wilayah laut Indonesia dengan negara tetangga. Permasalahan batas wilayah laut yang dialami oleh Indonesia sendiri beberapa diantaranya yaitu dengan Republik Sosialis Vietnam Pada 12 November 1982 yang mana Vietnam mengeluarkan sebuah statement yang disebut Statement on the Territorial Sea Base Line (http://indiependen.com/9-batas-laut-indonesiarawan-konflik/ diakses pada tanggal 22 September 2013 pukul 00.47 WIB). Kasus ini berawal dari Vietnam yang memuat sistem penarikan garis pangkal lurus yang radikal. Vietnam ingin memasukkan pulau Phu Quoc masuk ke dalam wilayahnya yang berada 80 mill laut dari garis batas darat antara Kamboja dan Vietnam. Sistem penarikan garis pangkal tersebut dilakukan menggunakan 9 turning point atau puncak. Di mana dua garis itu panjangnya melebihi 80 mil pantai, sedangkan tiga garis lain panjangnya melebihi 50 mil laut. Sehingga perairan yang dikelilinginya mencapai total luas 27.000 mil². Hal ini tidak sesuai dengan aturan UNCLOS 1982 karena Vietnam berusaha memasukkan pulau-pulau yang jaraknya sangat jauh dari titik pangkal. Kondisi tersebut menimbulkan tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sebelah utara Pulau Natuna. Selain itu sengketa wilayah laut yang dialami Indonesia yaitu dengan Malaysia (http://indiependen.com/9-batas-laut-indonesia-rawan-konflik/ diakses pada tanggal 23 September 2013 pukul 09.30 WIB). ZEE yang menjadi permasalahan karena Indonesia belum mempunyai kesepakatan dengan pihak Malaysia tentang ZEE, yang luasnya 200 mil dari garis dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya. Zona tersebut sangat vital bagi pengelolaan perikanan bagi kedua negara tersebut. Akibat belum adanya kesepakatan ZEE antara Indonesia dengan Malaysia di Selat Malaka sehingga sering terjadi penangkapan nelayan oleh kedua belah pihak. Hal demikian disebabkan karena Malaysia menganggap batas Landas Kontinen atau landas benuanya berada di Selat Malaka yang sekaligus merupakan 5

batas laut dengan Indonesia. Anggapan Malaysia tidak dibenarkan karena batas laut kedua negara harus ditentukan berdasarkan perjanjian bilateral sedangkan kesepakatan tentang zona tersebut belum terbentuk. Selain itu MoU RI dengan Malaysia yang ditandatangani pada 27 Oktober 1969 menetapkan Pulau Jara dan Pulau Perak sebagai acuan titik dasar dalam penarikan Garis Pangkal yaitu garis yang digunakan untuk menentukan batas-batas wilayah dari suatu negara kepulauan, sangat merugikan pihak Indonesia karena median line yang diambil dalam menentukan batas landas kontinen kedua negara tersebut cenderung mengarah ke perairan Indonesia. Selain itu terdapat juga sengketa antara Indonesia dengan Singapura yang disebabkan oleh sempitnya jarak antara batas laut teritorial Indonesia dengan Singapura. Perbatasan Indonesia dan Singapura terbagi menjadi tiga sektor yaitu bagian tengah yang telah disepakati pada tahun 1973, bagian barat tepatnya Pulau Nipa dengan Tuas disepakati pada 10 Maret tahun 2009 oleh pemerintah Indonesia dengan pemerintah Singapura yang sepakat menandatangani perjanjian batas wilayah maritim barat. Bagian timur yaitu Timur 1, Batam dengan Changi (landasan udara) dan Timur 2 antara Bintan Pedra Branca yang belum mencapai kesepakatan (http://www.setneg.go.id diakses pada tanggal 23 September 2013 pukul 10.55 WIB). Penentuan titik-titik koordinat pada batas laut teritorial Indonesia dan Singapura yaitu bagian Timur antara Kepulauan Riau (Batam) dengan Changi (landasan udara) didasarkan pada prinsip sama jarak (equidistance) antara dua pulau yang berdekatan. Prinsip sama jarak (equidistance) antara pulau yang berdekatan mengacu pada pasal 15 UNCLOS 1982. Titik-titik koordinat itu terletak di Selat Singapura. Bagian timur Batas Laut Wilayah Indonesia dan Singapura masih terdapat area yang belum mempunyai perjanjian perbatasan. Wilayah tersebut merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Wilayah yang merupakan perbatasan tiga wilayah tersebut terdapat wilayah yang disengketakan oleh Singapura dan Malaysia. Singapura dan malaysia bersengketa atas kepemilikan pulau Batu Putih. Pulau Batu Putih 6

tersebut terletak di sebelah utara Riau dimana wilayah tersebut juga merupakan penetapan titik Trijunction antara Indonesia, Singapura dan Malaysia tepatnya di Selat Johor. Singapura dan Malaysia sepakat untuk membawa permasalahan tersebut ke Mahkamah Internasional pada tahun 2003 yang hingga saat ini kasusnya belum diputus oleh Mahkamah Internasional. Sehingga berimplikasi pada terhambatnya proses penyelesaian batas wilayah laut Indonesia dengan Singapura. Sengketa batas wilayah laut bagian timur belum mencapai kesepakatan namun sudah timbul lagi permasalahan lain yaitu reklamasi pantai yang dilakukan Singapura. Akibat reklamasi tersebut perbatasan kedua negara mengalami perubahan yang dampaknya sangat merugikan Indonesia. Reklamasi pantai-pantai di Singapura menyebabkan daratan negara itu bertambah 12 km ke arah perairan Indonesia, sedangkan wilayah perairan Indonesia berkurang 6 km. Apabila tidak segera dihentikan, maka luas wilayah Indonesia akan terus berkurang dan Singapura akan memiliki daratan lebih luas daripada yang dimilikinya saat ini. Pulau Nipah di dekat Batam akan menjadi base point bagi Indonesia untuk menetapkan batas wilayah laut dengan Singapura. Dari pulau tersebut, akan ditarik garis pangkal ke pulau Karimun Kecil. Penghitungan batas wilayah kedua negara ini tidak membenarkan hasil reklamasi yang dilakukan Singapura. Indonesia menggunakan referensi titik dasar Indonesia di pulau Nipah dan garis pangkal kepulauan Indonesia yang ditarik dari pulau Nipa ke pulau Karimun kecil. Namun tergerusnya wilayah perairan Indonesia diperparah dengan menyempitnya wilayah daratan Indonesia. Pulau kecil di kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura tenggelam akibat eksplorasi pasir yang juga menyebabkan kerusakan pantai secara alamiah untuk memenuhi kebutuhan proyek reklamasi Singapura. Pemerintah Indonesia mengeluarkan larangan ekspor pasir kepada semua negara termasuk Singapura dengan memberlakukan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 02/M-DAG/PER/1/2007 menanggapi ancaman bertambahnya wilayah Singapura akibat reklamasi. Singapura menolak larangan 7

dengan menyatakan Indonesia tidak memiliki landasan untuk melarang ekspor pasir. Sengketa batas wilayah laut beserta konsekuensi-konsekuensi hukum akibat belum tercapainya kesepakatan batas laut teritorial dan reklamasi pantai Singapura sangat mempengaruhi integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Belum tercapainya kesepakatan kedua negara membuat keutuhan NKRI mudah terganggu sebab belum ada dasar hukum yang jelas untuk berbuat tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran pada batas wilayah laut Indonesia dengan negara tetangga. Berdasarkan uraian di atas, menimbulkan minat penulis untuk meneliti lebih lanjut tentang kasus batas laut teritorial Indonesia dengan Singapura dalam rangka penyelesaian perundingan batas laut teritorial, maka Penulis mengkaji kasus tersebut dalam sebuah penulisan hukum dengan judul PROBLEMATIKA PENETAPAN PERBATASAN LAUT TERITORIAL ANTARA INDONESIA DENGAN SINGAPURA DITINJAU DARI UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (UNCLOS) 1982. B. Rumusan Masalah Berdasarkan penjabaran dalam latar belakang dan mengacu dari judul penelitian hukum di atas, Penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: Problematika apa yang menghambat penetepan perbatasan wilayah laut teritorial antara Indonesia dengan Singapura ditinjau berdasarkan UNCLOS 1982? C. Tujuan Penelitian Setiap penelitian tentu mengandung tujuan yang ingin diperoleh. Tujuan penelitian yang baik adalah rumusannya operasional dan tidak berbelit-belit. Berdasar tujuan tersebut dapat diketahui metode dan teknik penelitian mana yang cocok untuk dipakai dalam penelitian itu (M. Subana dan Sudrajat, 2001 : 71). Tujuan yang menjadi capaian suatu penelitian ada dua macam, yaitu: tujuan subyektif dan objektif, yakni tujuan subyektif berasal dari Penulis sendiri sedangkan tujuan obyektif adalah tujuan yang berasal dari tujuan penelitian itu sendiri. Penulis bertujuan sebagai berikut: 8

1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui permasalahan yang menjadi hambatan penyelesaian batas wilayah laut antara Indonesia dengan Singapura pada bagian yang belum disepakati. 2. Tujuan Subjektif a. Untuk memberi wawasan, pengetahuan serta kemampuan analitis bagi penulis dalam bidang hukum pada dalam lingkup hukum internasional pada khususnya dan memberi manfaat bagi masyarakat dan civitas academica pada umumnya. b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar sarjana (stratum satu) hukum pada bidang hukum di Fakultas hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah sebuah penulisan hukum diharapkan dapat memberikan manfaat yang berguna bagi perkembangan ilmu hukum internasional itu sendiri juga dapat diterapkan dalam praktik kelak. Adapun manfaat yang diharapkan penulis adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum internasional pada khususnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan serta sebagai acuan terhadap penelitian sejenis dimasa mendatang. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan jawaban atas masalah yang diteliti, melatih mengembangkan pola pikir yang sistematis sekaligus untuk mengukur kemampuan dalam ilmu yang diperoleh. b. Memberi masukan dan pengetahuan kepada pihak-pihak terkait dengan masalah yang diteliti, juga kepada pihak yang berminat pada permasalahan yang sama. 9

c. Memberikan informasi pengetahuan hukum internasional kepada masyarakat pada umumnya dan pihak-pihak terkait pada khususnya sehingga seluruh warga negara Republik Indonesia mengetahui urgensi pentingnya mempertahankan wilayah dan kedaulatan negara. E. Metode Penelitian Secara bahasa metodologi berasal dari kata metode dan logi. Metode yang berarti cara melakukan sesuatu dengan teratur (sistematis), sedangkan logi artinya ilmu yang berdasarkan logika berpikir. Metodologi mempunyai makna ilmu tentang cara melakukan sesuatu dengan teratur (sistematis). Metodologi penelitian artinya ilmu tentang cara melakukan penelitian dengan teratur (sistematis) (Abdul Kadir Muhammad, 2004 : 57). Metodologi penelitian merupakan suatu unsur yang mutlak yang harus ada di dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 2008 : 8). Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 35). Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Mengacu pada penelitian permasalahan yang dibahas dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan penelitian hukum normatif atau doktrinal atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mempelajari bahan-bahan kepustakaan atau disebut juga data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa penelitian hukum doktrinal adalah penelitian hukum yang bersifat preskriptif bukan deskriptif sebagaimana ilmu sosial dan ilmu alam (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 33). Penulis menggunakan peraturan laut internasional UNCLOS 1982 dan teori-teori hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas yaitu penyelesaian sengketa batas laut teritorial antara Indonesia dengan Singapura. 10

2. Sifat Penelitian Penelitian hukum ini dikategorikan sebagai penelitian yang bersifat preskriptif. Sifat preskriptif ditegaskan oleh Peter Mahmud Marzuki yang menyatakan ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 22). Penelitian ini bersifat preskriptif karena berusaha menjawab isu hukum yang diangkat dengan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 35). Sifat preskriptif bisa diketahui dari keadaan senyatanya dan melihat aspek hukum terkait sengketa batas wilayah laut antara Indonesia dengan Singapura yang menjadikan UNCLOS 1982 sebagai pedoman penyelesaiannya. 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 93). Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan statue approach mengingat peraturan perundang-undangan yang dijadikan bahan utama dalam membahas isu hukum yang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan (statue approach) dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter mahmud Marzuki, 2009 : 93). Adapun Penggunaan pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang berlaku digunakan penulis sebagai dasar argumen. 4. Jenis Bahan hukum Jenis bahan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penelitian hukum tidak mengenal adanya data (Peter mahmud Marzuki, 2005 : 141). Yang termasuk bahan hukum 11

primer adalah perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan Undang-Undang dan putusan hukum. Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tidak resmi yang berkatian dengan hukum. Publikasi hukum tersebut meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 141). 5. Sumber Bahan hukum Bahan hukum primer adalah perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan Undang-Undang dan putusan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 141). a. Dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer yaitu: 1) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982; 2) Vienna Convention on the Law of Treaties 1969; 3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea; 4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1973 tentang Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura mengenai garis Batas Laut Wilayah kedua negara di selat Singapura; 5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia; 6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara; 7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Pengesahan Perjanjian Antara Republik Indonesia Dan Republik Singapura Tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara Di Bagian Barat Selat Singapura, 2009 (Treaty Between The Republic Of Indonesia And The Republic Of Singapore Relating To The Delimitation Of The Territorial Seas Of The Two Countries In The Western Part Of The Strait Of Singapore, 2009); 12

8) Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. b. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti: 1) Jurnal-jurnal hukum tentang wilayah laut dan perjanjian internasional; 2) Buku-buku;dan 3) Kamus hukum. 6. Teknik pengumpulan Bahan hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik studi pustaka atau collecting by library untuk mengumpulkan dan menyusun bahan hukum yang diperlukan (Lexy.J.Moeleong, 2009 : 216-217). Adapun teknik pengumpulan bahan hukum yang akan dipergunakan oleh penulis dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut : a. Studi dokumen atau bahan pustaka Penulis mengumpulkan, membaca dan mengkaji dokumen-dokumen, buku-buku, peraturan perundang-undangan, artikel dari media massa maupun jurnal, makalah, internet serta bahan-bahan lain yang berkaitan dengan dengan pokok bahasan penelitian. b. Trianggulasi Trianggulasi sumber juga dibutuhkan dalam menjamin keabsahan bahan hukum. Trianggulasi sumber maksudnya bahwa penulis menggunakan beragam sumber baik yang berupa buku, majalah, kamus, ensiklopedia maupun internet untuk memperoleh fakta-fakta (Bachtiar. S. Basri, 2010 : 46). 7. Teknik Analisis Data Bahan hukum yang telah penulis peroleh berupa dokumen-dokumen, perundang-undangan, buku-buku, literatur, artikel, internet maupun bahan hukum lainnya kemudian akan penulis analisis sehingga mampu menjawab permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Setelah penulis menganalisis 13

bahan-bahan hukum kemudian penulis baru dapat menyajikan bahasan yang sistematis demi menjawab permasalahan penelitian hukum ini. Penulis menggunakan teknik analisa metode silogisme dengan menggunakan pola berpikir deduktif. Deduktif merupakan cara berpikir yang bertolak dari prinsip-prinsip dasar untuk kemudian memberi objek yang akan diteliti. Sebagaimana silogisme yang diajarkan Aristoteles, penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 47). F. Sistematika Penulisan hukum Sistematika penulisan hukum disajikan guna memberi gambaran secara menyeluruh mengenai pembahasan yang akan dirumuskan sesuai dengan kaidah atau aturan baku penulisan suatu karya ilmiah. Adapun sistematika dalam penulisan hukum ini adalah: BAB I : PENDAHULUAN Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan metode penelitian terdiri dari jenis penelitian, sifat penelitian, pendekatan penelitian, jenis dan sumber bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum dan teknik analisis data, serta sistematika penelitian. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini menguraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori yang terdiri dari teori-teori yang relevan dengan penelitian hukum ini, antara lain: tinjauan mengenai wilayah negara, tinjauan mengenai garis pangkal, tinjauan mengenai negara kepulauan dan tinjauan mengenai perjanjian internasional. Kerangka pemikiran digunakan untuk memberi kemudahan dalam pemahaman dalam alur berpikir. 14

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penulis akan menguraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai problematika yang dihadapi dalam penetapan perbatasan wilayah laut teritorial antara Indonesia dengan Singapura ditinjau dari UNCLOS 1982. BAB IV : PENUTUP Dalam bab ini dikemukakan mengenai simpulan dari penelitian dan pembahasan serta saran-saran yang diajukan penulis sbegai tindak lanjut dari simpulan yang didapat. DAFTAR PUSTAKA Daftar pustaka berisi berbagai sumber pustaka yang menjadi referensi penulis dan dikutip dalam penulisan hukum ini. LAMPIRAN 15