KEBIJAKAN PRODUKSI DAN PEREDARAN PRODUK PERTANIAN HASIL REKAYASA GENETIKA (PRG) DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
MENTERI PERTANIAN, MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, MENTERI KESEHATAN, DAN MENTERI NEGARA PANGAN DAN HORTIKULTURA, KEPUTUSAN BERSAMA

TEKNOLOGI PAKAN REKAYASA GENETIK PERLU PRINSIP KEHATI-HATIAN

Pelabelan Pangan Produk Rekayasa Genetik

SEJAUH MANA KEAMANAN PRODUK BIOTEKNOLOGI INDONESIA?

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 20/Permentan/OT.140/2/2010 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU PANGAN HASIL PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Jaminan Mutu Pangan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2005 TENTANG KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

Mengantisipasi Pangan Transgenik Friday, 08 September 2006

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2005 TENTANG KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2005 TENTANG KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGKAJIAN KEAMANAN PANGAN PRODUK REKAYASA GENETIK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2005 TENTANG KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PERMENTAN/SR.130/5/2009 TAHUN 2009 TENTANG PUPUK ORGANIK, PUPUK HAYATI DAN PEMBENAH TANAH

Andang I.S Keamanan pangan rekayasa genetik.

Pengembangan Kelembagaan Pangan di Indonesia Pasca Revisi Undang-Undang Pangan. Ir. E. Herman Khaeron, M.Si. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI

pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju kehidupan yang lebih

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3482); 3. Undang-Undang Nomor 5 Tah

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GMO. Genetically Modified Organism (GMO): Peraturan dan Keresahan Pangan di Indonesia

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

TENTANG PENGUJIAN, PENILAIAN, PELEPASAN DAN PENARIKAN VARIETAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN,

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42

1 Universitas Indonesia

PENGKAJIAN KEAMANAN PAKAN PRODUK REKAYASA GENETIK

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pengkajian. Keamanan. Pangan. Produk. Rekayasa Genetik. Pedoman.

I. PENDAHULUAN. rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

Mengenal Sistem Pangan Organik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

MEMPOSISIKAN KEMBALI BULOG SEBAGAI GARDA DEPAN KETAHANAN PANGAN PADA SUBSISTEM DISTRIBUSI

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN PETANI TERHADAP PRODUK REKAYASA GENETIKA

MATERI BIOTEKNOLOGI MODERN JAGUNG TRANSGENIK. Disusun Oleh : NURINSAN JUNIARTI ( ) RISKA AMELIA ( )

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 38/Permentan/OT.140/8/2006 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA Keamanan Pangan

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 05/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEAMANAN PANGAN PRODUK PETERNAKAN DITINJAU DARI ASPEK PASCA PANEN: PERMASALAHAN DAN SOLUSI (ULASAN)

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pangan nasional. Menurut Irwan (2005), kedelai mengandung protein. dan pakan ternak serta untuk diambil minyaknya.

VT.tBVV^ WALIKOTA BANJARMASIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN TENTANG PERLINDUNGAN PANGAN

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,

PERBANDINGAN PERTUMBUHAN PRODUKSI PANGAN DAN PERTUMBUHAN PENDUDUK PADA WILAYAH KABUPATEN DI PROVINSI SUMATERA BARAT

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

Aspek Legal Produk Rekayasa Genetik

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/Permentan/LB.070/8/2016 TENTANG PENGKAJIAN KEAMANAN PAKAN PRODUK REKAYASA GENETIK

The First Food Technology Undergraduate Program Outside of North America Approved by the Institute of Food Technologists (IFT)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Ne

BAB I. PENDAHULUAN. pembangunan Nasional. Ketersediaan pangan yang cukup, aman, merata, harga

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010

BIODIVERSITY & BIOSAFETY Ir. Sri Sumarsih, MP. Weblog: Sumarsih07.wordpress.com Website: agriculture.upnyk.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PANDUAN PERMOHONAN IZIN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PENELITIAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 38/Permentan/OT.140/8/2006 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 038 TAHUN 2016

Riset untuk Kemandirian Pangan yang Berkelanjutan. FK UNLAM, Banjarmasin, 4 November 2012

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA

PENGETAHUAN Pangan Rekayasa Genetika HARAPAN. PENERIMAAN Pangan Rekayasa Genetika

WALIKOTA TASIKMALAYA

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan primer bagi setiap manusia. Sebagai kebutuhan primer, maka

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 253/Kpts/OT.140/4/2004 TENTANG

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PROSPEK TANAMAN PANGAN

SOSIALISASI PERATURAN KEPALA BADAN POM BIDANG PANGAN 2011

RANCANGAN KELEMBAGAAN PANGAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan. [10

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

5. Cekaman Lingkungan Biotik: Penyakit, hama dan alelopati 6. Stirilitas dan incompatibilitas 7. Diskusi (presentasi)

I. PENDAHULUAN. pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah setelah

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02/Permentan/SR.120/1/2014 TENTANG PRODUKSI, SERTIFIKASI, DAN PEREDARAN BENIH BINA

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian antara lain: menyediakan pangan bagi seluruh penduduk,

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

KEBIJAKAN PRODUKSI DAN PEREDARAN PRODUK PERTANIAN HASIL REKAYASA GENETIKA (PRG) DI INDONESIA Dewa K.S. Swastika 1 dan Hardinsyah 2 1 Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 2 Fakultas Ekologi Manusia, IPB, Jl. Raya Pajajaran Bogor ABSTRACT Providing sufficient food at an affordable price is an important problem for the developing countries, including Indonesia. Lack of food could results into a social, economic and political instability of the country, and finally causes the fall of the government. That is the main reason why increasing food production is given the highest priority in the overall development. However, food production in Indonesia is almost always below its consumption, and therefore, Indonesia still dependent upon import. The problems are not only the availability of foreign exchange and the decreasing in world supply, but also the imported foods which come from the countries where genetically modified organism (GMO) technology is intensively applied. Some people are worry about the negative effects of GMO for human health. Thus there is a need of strategic policy to control the entrance, production, and distribution of food produced using GMO technology. The government of Indonesia has highly considered the entrance, production, and distribution of GMO foods. This was shown by some regulations included in the Government Decrees and Laws. Unfortunately, the implementation of these rules and regulations were quite poorly applied in the field, particularly due to lack of control and law enforcement. To anticipate the long term negative effects of GMO food and feed, a proper safety test of GMO together with law enforcement is highly recommended. Key words : food, import, genetically modified organism, strategic policy, law enforcement ABSTRAK Penyediaan pangan dalam jumlah yang cukup, pada waktu yang tepat dan terjangkau masih merupakan masalah sebagian besar negara berkembang, termasuk Indonesia. Kekurangan pangan bisa berakibat goyahnya stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, yang berujung pada jatuhnya rezim pemerintahan. Oleh karena itu, upaya peningkatan produksi pangan terus dilakukan. Di Indonesia, produksi pangan selalu di bawah kebutuhan, sehingga masih tergantung pada impor, terutama beras, jagung, dan kedelai. Masalahnya ialah bahwa selain keterbatasan devisa dan makin tipisnya pasokan dunia, juga ada masalah lain bahwa jagung dan kedelai impor berasal dari negara yang sangat intensif menerapkan teknologi rekayasa genetik. Oleh karena itu, hampir dapat dipastikan bahwa jagung dan kedelai impor adalah produk hasil rekayasa genetik (PRG). Impor, produksi dan peredaran PRG memerlukan kebijakan pengawasan, karena dikhawatirkan mempunyai dampak negatif terhadap kesehatan manusia. Pemerintah 103

Indonesia telah menunjukkan perhatian yang besar terhadap peredaran PRG di Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh berbagai kebijakan yang tertuang dalam berbagai Undang- Undang, SK Bersama Lintas Departemen, dan Peraturan Pemerintah. Namun demikian, kinerja implementasi dari Undang-Undang, SKB, dan Peraturan Pemerintah tersebut di lapangan sangat buruk. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum yang tercermin dari tidak adanya sanksi yang tegas bagi pelaku bisnis dan pemangku kebijakan menyebabkan lemahnya implementasi Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Untuk mengantisipasi dampak buruk dari PRG dalam jangka panjang, maka uji keamanan PRG sudah saatnya dilakukan secara konsekuen, baik untuk pangan maupun untuk pakan, disertai dengan sanksi hukum yang jelas dan tegas. Kata kunci : pangan, impor, produk rekayasa genetik,pengawasan, penegakan hukum PENDAHULUAN Penyediaan pangan pada waktu yang tepat dalam jumlah yang cukup, sehat, bergizi, aman, dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat, masih merupakan masalah utama bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kekurangan pangan yang terjadi secara meluas di suatu negara dapat menyebabkan kerawanan ekonomi, sosial, dan politik yang dapat menggoyahkan stabilitas negara tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa kelangkaan pangan, terutama beras, yang menyebabkan melonjaknya harga-harga pada tahun 1966 dan 1998 sangat berpengaruh terhadap terjadinya krisis ekonomi, sosial, dan politik, dan berujung pada jatuhnya rezim pemerintahan saat itu (Suryana, 2002). Wajarlah jika sejak awal kemerdekaan Indonesia selalu berupaya keras untuk meningkatkan produksi pangan, terutama beras. Sampai saat ini, baik secara psikologis maupun politik, kebijakan peningkatan produksi pangan di Indonesia masih merupakan isu yang sangat penting dan berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan (Amang and Sapuan, 2000). Meskipun berbagai upaya keras telah dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan, namun pencapaian peningkatan produksi belum mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan pangan, baik karena laju pertumbuhan penduduk, peningkatan konsumsi per kapita, maupun pesatnya perkembangan industri pakan dan pangan olahan (Swastika et al., 2007). Akibatnya, sampai saat ini Indonesia masih sangat tergantung pada impor pangan (beras, jagung, dan kedelai). Jika tidak dilakukan terobosan yang berarti, maka di masa mendatang ketergantungan pada impor akan makin berat, baik dari sisi pengeluaran devisa maupun dari sisi makin tipisnya pasokan komoditas pangan di pasar dunia. Masalah lain yang timbul adalah bahwa hampir dapat dipastikan bahwa semua jagung dan kedelai yang diimpor adalah Produk Rekayasa Genetik (PRG). Oleh karena itu, terobosan untuk meningkatkan produksi dalam negeri secara signifikan harus terus diupayakan. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 6 No. 2, Juni 2008 : 103-113 104

Bioteknologi dipandang sebagai salah satu terobosan teknologi dalam pemuliaan tanaman atau hewan, dengan memanfaatkan sumberdaya genetik untuk menciptakan spesies/varietas berbagai komoditas pertanian dengan produktivitas tinggi dan toleran terhadap cekaman lingkungan. Di Indonesia, bioteknologi sudah dikembangkan sejak tahun 1983 dengan ditetapkannya program nasional bioteknologi, meskipun perkembangannya cukup lamban. Kegiatan di bidang bioteknologi modern yang terfokus pada bidang pertanian masih pada tarap penelitian laboratorium di lembaga-lembaga penelitian dan universitas. Salah satu bentuk bioteknologi yang belakangan ini berkembang dengan pesat dan menjadi perhatian dunia adalah teknologi pemindahan sifat genetik antar mahluk hidup yang hasilnya dikenal dengan istilah Produk Rekayasa Genetika (PRG) atau transgenik. Idea dari rekayasa genetika ini adalah untuk mendapatkan perpaduan sifat-sifat positif dari mahluk hidup yang ada (Kusyono, 2005). Tujuan pengembangan bioteknologi PRG adalah untuk menjawab tantangan kesulitan meningkatkan produktivitas dan kualitas pangan bagi penduduk. Dalam teknologi ini diharapkan dapat dihasilkan spesies baru yang merupakan perpaduan dari sifat-sifat positif (unggul) dari mahluk hidup yang sudah ada. Dengan demikian, produktivitas spesies dan kualitas hasil yang diperoleh dari teknologi transgenik ini akan lebih tinggi. Namun karena sejarah pemanfatan PRG dalam bidang pertanian masih baru, maka muncul berbagai kekhawatiran antara lain: (1) keamanan pangan dan pengaruhnya terhadap kesehatan manusia, (2) pengaruhnya terhadap lingkungan, (3) isu-isu sosial ekonomi, dan (4) kekhawatiran secara etis (Abdullah et al. dalam Mulya et al., 2003). Oleh karena itu, kebijakan pengembangan PRG harus dilakukan secara hati-hati, diantaranya melalui uji keamanan hayati. Pengkajian keamanan hayati merupakan isu global dan diamanatkan dalam Protokol Cartagena yang diberlakukan bagi negara-negara pengguna PRG (Mulya et al., 2003). Indonesia masih mengimpor tidak kurang dari 300 ribu ton beras, dan masing-masing sekitar 1 juta ton jagung dan kedelai tiap tahun. Sebagian besar (71%) jagung diimpor dari Argentina dan (83%) kedelai dari Amerika Serikat (Swastika et al., 2007), dimana PRG untuk kedua komoditas ini berkembang dengan pesat. Tidak tertutup kemungkinan bahwa semua jagung dan kedelai yang diimpor adalah produk transgenik. Indonesia berada pada posisi yang sulit untuk menghindari masuknya PRG. Di satu sisi jumlah penduduk yang padat menghendaki penyediaan pangan yang selalu melampaui kemampuan produksi dalam negeri, di sisi lain sulit memperoleh pasokan jagung dan kedelai dari negara yang tidak mengembangkan teknologi transgenik dalam proses produksinya. Masalah yang mungkin timbul dalam jangka panjang akibat mengkonsumsi PRG masih sedikit diketahui (Anonimous), bahkan di Indonesia belum ditemui. Namun demikian, untuk mengantisipasi kekhawatiran pengaruh negatif dari PRG, perlu dilakukan upaya pengkajian keamanan hayati seperti yang diagendakan pada Protokol Cartagena. Hartiko (2005) mengungkapkan adanya potensi dampak negatif dari penggunaan PRG bagi kelestarian alam dan kesehatan 105

manusia. Gen cry yang menentukan pembentukan protein toksik dapat mengurangi keanekaragaman hayati insekta berguna. Oleh karena itu, masih diperlukan kewaspadaan untuk menekan dampak negatif yang mungkin timbul. Secara lebih tegas, permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia antara lain adalah: (i) ketidak cukupan produksi pangan, sehingga masih tergantung pada impor untuk beras, jagung, dan kedelai; (ii) sebagian besar jagung dan kedelai impor berasal dari negara-negara yang sangat intensif menerapkan rekayasa genetika dalam proses produksinya; (iii) penggunaan produk rekayasa genetika dalam jangka panjang dikhawatirkan berdampak negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Oleh karena itu, proses masuk, produksi, dan peredarannya harus diawasi melalui berbagai peraturan dan perundang-undangan yang diterapkan secara konsekuen. Tulisan ini bertujuan untuk melakukan tinjauan kebijakan pemerintah dalam produksi dan peredaran Produk Rekayasa Genetika di Indonesia. Pendekatan yang digunakan adalah menelaah (me-review) pustaka, Undang- Undang, serta peraturan-peraturan pemerintah tentang peredaran PRG di Indonesia. KINERJA KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PRG Secara legal formal, Indonesia telah melakukan upaya perlindungan konsumen dengan mengeluarkan berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah tentang pangan, keamanan hayati, dan keamanan pangan produk pertanian rekayasa genetik. Pada tahun 1996, Presiden Republik Indonesia, dengan persetujuan DPR RI, mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pasal 1, ayat 4 undang-undang ini menyebutkan bahwa: Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 6 No. 2, Juni 2008 : 103-113 106 keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia,dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Pasal dan ayat tersebut mengamanatkan bahwa pangan yang dihasilkan melalui proses rekayasa genetik harus tetap memenuhi syarat keamanan pangan seperti didefinisikan dalam undang-undang, sehingga aman untuk dikonsumsi. Hal ini mencerminkan kepedulian pemerintah secara formal untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan pengaruh negatif pangan PRG. Selanjutnya, dalam pasal 1 ayat 12, disebutkan bahwa: Rekayasa genetika pangan adalah suatu proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama untuk mendapatkan jenis baru yang mampu menghasilkan produk pangan yang lebih unggul.

Hasil kegiatan rekayasa genetika yang diharapkan, sesuai dengan undang-undang, adalah jenis, spesies, atau varietas baru yang mempunyai keunggulan dalam hal produktivitas dan kualitas hasil. Ini berarti bahwa PRG diharapkan dapat menyumbang produksi pangan bermutu melalui peningkatan produktivitas dan mutu hasil. Dengan demikian, diharapkan akan tercapai ketahanan pangan yang dalam pasal 1 ayat 17 undang-undang ini disebutkan bahwa: ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan dengan cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Selanjutnya, pasal 13 dari undang-undang ini mengamanatkan bahwa setiap orang yang memproduksi pangan dari hasil kegiatan rekayasa genetik wajib melakukan pemeriksaan keamanan pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan. Selain keamanan pangan yang berkaitan dengan proses produksi dan peredaran, undang-undang ini juga mengatur tentang mutu dan gizi pangan, label dan iklan pangan, pengawasan, dan ketentuan pidana jika ada pelanggaran. Namun demikian, implementasi dari undang-undang tersebut belum mendapat perhatian yang memadai. Belum pernah terdengar bahwa jagung dan kedelai impor diuji keamanannya sebelum dipasarkan. Bahkan label tentang asalusul kedua komoditas tersebut di Indonesia belum ada. Sebaliknya, juga belum pernah ada laporan tentang adanya gangguan kesehatan masyarakat akibat mengkonsumsi kedelai dan jagung asal impor. Fenomena ini menyebabkan pelabelan dan uji keamanan pangan untuk jagung dan kedelai impor belum dipandang penting. Pada tanggal 29 September 1999, pemerintah kembali mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura, Nomor 998.1/Kpts/OT.210/9/99; 790.a/Kpts-IX/1999; 1145A/MENKES/SKB/IX/ 1999; 015A/NmenegPHOR/09/1999, tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik (PPHRG atau PRG). Dalam SKB ini disebutkan bahwa pengkajian keamanan hayati dan keamanan pangan tanaman transgenik, bagian-bagiannya, dan hasil olahannya harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Mencantumkan nama genus, spesies, dan kultivar tetuanya, b. Mencantumkan metode modifikasi genetik yang digunakan dalam merekayasa tanaman transgenik, c. Vektor yang digunakan bukan merupakan organisme patogen, baik terhadap manusia maupun organisme lain, jika modifikasi genetik menggunakan vektor, d. Mencantumkan keterangan lengkap sumber gen yang digunakan dan metode pemusnahan sisa vektor, 107

Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 6 No. 2, Juni 2008 : 103-113 108 e. Mencantumkan sistem reproduksi tetuanya, f. Mencantumkan sifat baru yang dipindahkan ke tanaman transgenik, g. Mencantumkan keterangan keberadaan kerabat liar tetua tanaman transgenik, h. Mencantumkan cara pemusnahannya apabila terjadi penyimpangan Disamping memenuhi syarat di atas, tanaman transgenik yang digunakan untuk bahan pangan dan pakan juga harus disertai keterangan tentang hal-hal berikut: a. Stabilitas gen sisipan dan efikasi gen, b. Kualitas gizi, c. Kandungan senyawa beracun, antigizi, dan penyebab alergi yg bersifat alami atau hasil modifikasi d. Dipenuhi persyaratan kesepadanan substansial, e. Secara umum aman untuk dikonsumsi, f. Kemungkinan menyerbuki kerabat liar, g. Kemungkinan terjadinya ketahanan pada tanaman yang diserbuki terhadap organisme pengganggu tumbuhan, maupun herbisida, h. Penampilan fungsi dan pengaruh dari modifikasi genetik. Selain semua persyaratan di atas, SKB ini juga mengatur tentang Tata Cara Pengkajian Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan PRG. Setiap orang atau Badan Hukum yang akan memanfaatkan PRG harus mengajukan permohonan pengkajian keamanan hayati dan keamanan pangan secara tertulis, dengan formulir yang telah disiapkan, kepada keempat Menteri, melalui Direktorat- Direktorat Jenderal yang ditunjuk di keempat departemen, serta Pusat Karantina, dan Komisi Pestisida. Pada tahun 2004, pemerintah kembali mengeluarkan peraturan (PP) tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004. Pada Bagian Ketiga dari PP tersebut diatur tentang pemeriksaan keamanan pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetik, sebelum diedarkan ke masyarakat. Pemeriksaan keamanan pangan dalam PP ini pada prinsipnya sama dengan SKB di atas. Perbedaannya adalah pada lembaga yang menangani pemeriksaan. Pada PP RI No. 28 Tahun 2004 ini pemeriksaan keamanan PRG dilakukan oleh Komisi Keamanan Pangan Hasil Rekayasa Genetik. Sikap kehati-hatian pemerintah terhadap kemungkinan dampak negatif dari PRG nampak jelas dan tetap dipertahankan. Hal ini terlihat dari keluarnya lagi PP RI No.21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik.

Peraturan Pemerintah ini lebih fokus pada PRG, mulai dari jenis, persyaratan, penelitian dan pengembangan (Litbang), pemasukan dari luar negeri, pengkajian, pelepasan dan peredaran, pemanfaatan, sampai kelembagaan yang menangani PRG. Keluarnya PP ini mencerminkan makin besarnya perhatian pemerintah terhadap masalah PRG. Tantangan yang dihadapi adalah implementasi dari peraturan pemerintah ini di tingkat pelaksana lapangan. Selama lebih dari 10 tahun terakhir, sejak keluarnya Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1996, tentang Pangan, belum ada perkembangan berarti tentang pelaksanaan undang-undang maupun peraturan pemerintah yang ditetapkan (Andang, 2007). Nampaknya belum ada penegakan hukum yang berarti. Selama tidak ada sanksi yang jelas dan tegas bagi pelaksana yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik serta bagi importir dan distributor PRG, maka selama itu peraturan pemerintah tidak akan efektif. Produk pertanian hasil rekayasa genetika akan tetap dengan bebas masuk ke dalam negeri tanpa melalui uji keamanan pangan. Padahal hasil penelitian Hardinsyah et al.(2007) menunjukkan bahwa hampir 100 persen responden yang berasal dari berbagai kalangan sependapat bahwa produk pertanian hasil rekayasa genetika harus melalui uji keamanan, baik untuk pangan maupun pakan, sebelum dipasarkan ke masyarakat. Gambar 1 dan 2 berikut ini menyajikan persepsi masyarakat tentang keharusan uji keamanan pangan dan pakan untuk PRG sebelum dipasarkan. Sangat setuju Setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju 90 80 70 81,1 75,8 66,4 Persentase (%) 60 50 40 30 20 18,9 24, 2 32, 7 45 54,7 10 0 0 0 0 0 0,4 0,4 0,3 0 Pemerintah LSM Konsumen Produsen Sumber: Hardinsyah et al., 2007. Responden Gambar 1. Persepsi Responden Tentang Syarat Keharusan Uji Keamanan PRG untuk Pangan Sebelum Dipasarkan 109

Dari Gambar 1 terlihat bahwa 100 persen responden dari aparat pemerintah dan LSM setuju bahwa PRG harus melalui uji keamanan untuk pangan. Sementara itu, dari 450 responden konsumen, 99,1 persen setuju bahwa PRG harus melalui uji keamanan pangan sebelum dipasarkan di masyarakat. Untuk responden produsen, 99,7 persen dari 300 responden setuju PRG harus diuji keamanan pangannya sebelum dipasarkan. Selain PRG untuk pangan, untuk pakanpun hampir seluruh responden setuju bahwa PRG harus diuji keamanannya sebelum dipasarkan, seperti disajikan pada Gambar 2. Sangat setuju Setuju Tidak setuju Sangat tidak setuju Persentase (%) 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 75,7 78,8 18,9 21,2 63,3 35,8 42,3 5,4 0 0 0 0, 0.2 0,7 0 7 Pemerintah LSM Konsumen Produsen Responden 5 7 Sumber: Hardinsyah et al., 2007. Gambar 2. Persepsi Responden Tentang Syarat Keharusan Uji Keamanan PRG untuk Pakan Sebelum Dipasarkan Memang sampai saat ini belum ada laporan tentang dampak negatif pangan asal impor terhadap kesehatan manusia maupun ternak. Namun demikian, kekhawatiran sebagian masyarakat akan dampak negatif tersebut harus diantisipasi dengan melaksanakan peraturan dan undang-undang tentang PRG. Manfaat yang didapat dari pelaksanaan peraturan tersebut antara lain adalah: (i) dapat mencegah peredaran PRG yang berdasarkan hasil uji mengandung bahan yang dapat mengganggu lingkungan atau kesehatan manusia; (ii) masyarakat lebih tahu tentang produk yang dikonsumsi (melalui label), sehinga bisa memilih untuk Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 6 No. 2, Juni 2008 : 103-113 110

mengkonsumsi PRG atau tidak; (iii) tidak ada penyesalan di kemudian hari, jika kekhawatiran sebagian masyarakat akan akumulasi dampak negatif PRG terbukti. Dengan demikian, masyarakat terlindungi, dan pemerintah tidak dipersalahkan. PENUTUP Produksi pangan di Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu, Indonesia masih tergantung pada pangan impor. Ketergantungan pada pangan impor mempunyai masalah dari berbagai aspek, antara lain keterbatasan devisa negara, makin menurunnya volume pasokan pangan di pasar dunia, serta masuknya produk hasil rekayasa genetik (PRG) yang ditengarai berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dalam jangka panjang. Dalam upaya mengantisipasi dampak negatif dari PRG, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah kebijakan dengan mengeluarkan berbagai Undang-Undang, SK Bersama, dan Peraturan Pemerintah. Hal ini mencerminkan makin besarnya perhatian pemerintah terhadap masalah PRG. Namun demikian, implementasi dari semua peraturan yang telah dikeluarkan belum menunjukkan hasil yang nyata, bahkan boleh disebut belum ada. Salah satu penyebab belum adanya pelaksanaan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah secara konsekuen dalam bidang PRG adalah lemahnya penegakan hukum. Belum ada sanksi yang tegas bagi pelaku bisnis yang memasarkan komoditas pangan atau bahan pakan yang diproduksi dengan menggunakan teknologi Rekayasa Genetika. Juga belum ada sanksi bagi pelaksana/pemangku kebijakan yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Oleh karena itu, jagung dan kedelai impor yang diyakini merupakan PRG bebas beredar, tanpa melalui uji keamanan hayati, bahkan tanpa label, seperti disyaratkan dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Ke depan, kebijakan strategis yang harus dilakukan pemerintah adalah mengharuskan uji keamanan hayati bagi setiap PRG, sebelum dipasarkan ke masyarakat. Selain uji keamanan, juga diperlukan pelabelan seperti tertuang dalam SK Bersama Empat Menteri dan PP RI No. 21 Tahun 2005. Implementasi dari kebijakan tersebut harus dilakukan secara konsekuen, dengan cara memberi sanksi yang tegas bagi setiap pengusaha yang mengimpor, memproduksi, dan memasarkan produk rekayasa genetika. Demikian juga sanksi tegas bagi aparat atau pemangku kebijakan yang lalai melaksanakan tugas pengawasan terhadap peredaran PRG. Hal ini diperlukan untuk melindungi konsumen dari kemungkinan dampak negatif dari PRG terhadap kesehatan. Hak konsumen yang paling mendasar adalah kebebasan memilih produk mana yang ingin dikonsumsi dan mana yang tidak ingin dikonsumsi. Oleh karena itu, transparansi produk yang dipasarkan melalui pencantuman label sangat diperlukan. Jika produk yang dipasarkan telah disertai label, maka keputusan mengkonsumsi suatu produk atau 111

tidak, ada pada konsumen. Dengan demikian, pemerintah tidak dipersalahkan, jika kemudian hari kekhawatiran masyarakat tentang dampak negatif PRG terbukti. Sebab dengan transparansi melalui label, keputusan mengkonsumsi suatu produk adalah keputusan masyarakat sendiri. DAFTAR PUSTAKA Amang, B. and N. Sapuan. 2000. Can Indonesia feed itself? in Arifin and Dillon (Eds). Asian Agriculture Facing The 21 st Century. Proceeding The Second Conference of Asian Society of Agricultural Economists (ASAE). Jakarta. Andang, I.S. 2007. Keamanan Pangan rekayasa Genetik. Kompas, 10 Sept 2007. Anonimous. Pangan Hasil Rekayasa Genetika. http://www.panganplus.com. artikel.php?aid=2, downloaded 19 Sept 2007. Hardinsyah, H.P. Saliem, D.K.S. Swastika, Marhamah, G.D. Artianti dan N.R. Tadjoedin. 2007. Pengetahuan dan Persepsi Masyarakat Tentang Produk Rekayasa Genetika dan Implikasinya terhadap Kebijakan Ketahanan Pangan dan Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Kerjasama Fak. Ekologi Manusia- IPB dengan Badan Litbang Pertanian. Hartiko, H. 2005. Dampak Teknologi Rekayasa Genetik pada Sumber Daya Alam. Berita Bumi. http://www.beritabumi.or.id/artikel3.php?idartikel=158 Kusyono, K. 2005. Perkembangan Rekayasa Genetika Sebagai Bagian dari Perkembangan Bioteknologi. LKHT Net. http://www.ikht.net/artikel _lengkap.php?id=61, downloaded 19 Sept 2007. Mulya, K. et al. 2003. Status Pengaturan dan Keamanan Pemanfatan Produk Rekayasa Genetik di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor. Peraturan Pemerintah RI. Nomor 21 Tahun 2005, tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Peraturan Pemerintah RI. Nomor 28 ahun 2004, tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura, Nomor 998.1/Kpts/OT.210/9/99; 790.a/Kpts-IX/1999; 145A/MENKES/SKB/IX/1999; 015A/NmenegPHOR/09/1999, tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik (PPHRG) Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura, Nomor 998.1/Kpts/OT.210/9/99; 790.a/Kpts-IX/1999; 145A/MENKES/SKB/IX/1999; 015A/NmenegPHOR/09/1999, tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik (PPHRG) Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 6 No. 2, Juni 2008 : 103-113 112

Suryana, A. 2002. Keragaan Perberasan Nasional: dalam Pambudy et al. (Eds). Kebijakan Perberasan di Asia. Regional Meeting in Bangkok, October 2002. Swastika, D.K.S., J. Wargiono, B. Sayaka, A. Agustian, dan V. Darwis. 2006. Kinerja dan Masa Depan Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan dalam Suradisastra (Eds). Prosiding: Kinerja dan Prospek Pembangunan Pertanian Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1996, tentang Pangan 113