BAB I PENDAHULUAN. Sebagai perusahaan penyedia listrik milik pemerintah di tanah air, PT.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 terjadi perubahan di

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

MODAL DASAR PD.BPR/PD.PK HASIL KONSOLIDISASI ATAU MERGER

BAB I PENDAHULUAN. PT. PLN (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara adalah perusahaan

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Kabupaten yang berada di wilayah Jawa dan Bali. Proses pembentukan klaster dari

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 (revisi menjadi UU No.

INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. Timur dan Tenggara. Negara-negara dengan sebutan Newly Industrializing Countries

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017

Bab IV Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Pangan

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia dilandasi oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Obyek Penelitian. Jawa Barat adalah salah satu provinsi terbesar di Indonesia dengan ibu

TIPOLOGI DAERAH KABUPATEN DAN KOTA DI WILAYAH JAWA BAGIAN BARAT Oleh: Endang Setiasih 1)

PENGUKURAN PRODUKTIVITAS RELATIF DAN ANALISIS TINGKAT UPAH TERHADAP PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri atas Laporan Perhitungan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah melakukan reformasi pengelolaan keuangan dengan. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

BAB I PENDAHULUAN. sektor perindustrian ini adalah dengan cara mengembangkan industri kecil.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi standar. Sistem distribusi yang dikelola oleh PT. PLN (Persero)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

Jumlah penduduk Jawa Barat berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 43 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 1,91 persen per tahun

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2014 (dalam rupiah)

CAPAIAN INDIKATOR MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN AREA MANAJEMEN TRIWULAN I TAHUN 2016

PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

BAB I PENDAHULUAN. Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama

BERITA RESMI STATISTIK

I. PENDAHULUAN. negara, tetapi pembangunan memiliki perspektif yang luas lebih dari itu. Dimensi

LEAP MANUAL PENYUSUNAN DATA BACKGROUND STUDY RPJMN TAHUN LONG-RANGE ENERGY ALTERNATIVES PLANNING SYSTEM

BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta

Pemanfaatan Dukungan Pemerintah terhadap PLN dalam Penyediaan Pasokan Listrik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan perubahan peraturan perundangan yang mendasari pengelolaan

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (2012)

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 12 Tahun 2010 TENTANG PENGELOLAAN PENGGUNAAN DAN PENGALOKASIAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN 2010

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2013 (dalam rupiah)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

LAPORAN SINGKAT KOMISI VI DPR RI B I D A N G PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN, KOPERASI DAN UKM, BUMN, INVESTASI, BSN DAN KPPU

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK

BAB I PENDAHULUAN. akuntabilitas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. meningkat, peran akuntansi semakin dibutuhkan, tidak saja untuk kebutuhan

BAB 2 TINJAUAN LITERATUR

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) Divisi ton beras dari petani nasional khususnya petani di wilayah Jawa

BAB I PENDAHULUAN. yang mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggung jawaban pelaksanaan

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan

PENGHAPUSAN SUBSIDI LISTRIK MELALUI PENYESUAIAN TARIF TENAGA LISTRIK SECARA BERTAHAP UNTUK GOLONGAN TERTENTU

BAB I PENDAHULUAN. sehingga penyaluran energi listrik ke konsumen berjalan lancar dengan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang

EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT

BAB VII PEMBAHASAN. guna membiayai pembangunan pada suatu negara. Pajak merupakan salah satu

PAGU ANGGARAN (Rp) 1 Pengadaan Pakaian Korpri 134,950, Juli. 1 Jasa Kebersihan 164,700,000 Pebruari. 2 Jasa Keamanan 135,000,000 Pebruari

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sebagai perusahaan penyedia listrik milik pemerintah di tanah air, PT. (Persero) Perusahaan Listrik Negara (PLN) berusaha untuk terus meningkatkan kualitas layanan bagi seluruh komponen masyarakat Indonesia disamping tetap melaksanakan tujuannya untuk mengejar keuntungan yang dilandaskan pada UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN pasal 66. PLN sendiri saat ini masih menyelenggarakan misi PSO (Public Service Obligation), yaitu salah satu tugas mulia nan berat yang berhubungan dengan pelayanan publik. Tujuan pendirian BUMN sendiri yaitu meningkatkan penyelenggaraan kemanfaatan umum, berupa penyediaan barang dan jasa dalam jumlah serta kualitas yang memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak serta memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional. Namun, apabila penugasan tersebut secara finansial tidak mungkin dilakukan atau merugi maka pemerintah perlu memberikan kompensasi/subsidi atas semua biaya yang dikeluarkan oleh BUMN tersebut termasuk margin yang dibutuhkan. Subsidi yang dijalankan PLN sendiri mempunyai kecenderungan terus meningkat yang disebabkan oleh beberapa hal mendasar seperti pertambahan penggunaan listrik oleh pelanggan, peningkatan jumlah pelanggan seiring rasio

elektrifikasi yang diharapkan meningkat dan pertambahan penduduk serta biaya produksi serta margin yang perlu meningkat. Subsidi yang terus meningkat menyebabkan beban APBN yang semakin berat pula. Pada 2008 pengeluaran pemerintah untuk subsidi listrik mencapai Rp 88,2 triliun. Jumlah itu lebih tinggi dari alokasi subsidi yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2008 yang hanya sebesar Rp 60,3 triliun (sumber : tempointeraktif.com, tanggal 14 Desember 2008). Jika dibanding tahun-tahun sebelumnya, yakni pada 2005 sebesar Rp 8,85 triliun, 2004 sebesar Rp 3,3 triliun, dan 2003 sebesar Rp 3,36 triliun angka subsidi tersebut sangatlah fantastis kenaikannya. Grafik berikut ini memberikan gambaran subsidi listrik dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 dan proyeksi sampai dengan 2015. Grafik 1.1. Jumlah Subsidi Listrik Tahun 2008 2011 dan Proyeksi Sampai Dengan Tahun 2015 Sumber : tempointeraktif.com dan http://economy.okezone.com

Dari grafik diatas terlihat bahwa subsidi listrik akan tetap naik bila tidak ada langkah langkah strategis yang dilakukan secara konsisten. Untuk menghindari terjadinya krisis energi listrik, maka diperlukan suatu usaha pengembangan sistem ketenagalistrikan itu sendiri. Selain itu, masalah defisit biaya operasi pada PT.PLN dapat dilakukan melalui penyusunan tarif dasar listrik yang sesuai dengan keekonomiaanya sehingga PT. PLN dapat menjadi perusahaan yang sehat tanpa terus disubsidi oleh pemerintah, kelangsungan suplai energi listrik dapat terjaga tanpa menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, serta pemerataan penggunaan energi listrik kepada seluruh lapisan masyarakat. Tarif dasar listrik yang berlaku saat ini adalah tarif yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral No. 07 Tahun 2010 tanggal 30 Juni 2010, dimana dalam Permen ini tarif penggunaan listrik diberlakukan sama/seragam di setiap daerah untuk setiap kelompok pelanggan. Sebagai contoh, pelanggan listrik kelompok Industri I-1/TR dengan batas daya 3500 VA 14 kva misalnya, tarif yang berlaku di kota Bekasi dengan Kota Banjar adalah sama yaitu Rp. 795,-/kWh. Kondisi ini akan menarik investor untuk menanamkan investasinya di kota Bekasi yang memiliki infrastruktur yang lebih memadai dibandingkan Kota Banjar. Padahal jika kondisi ini dibiarkan akan membuat tidak tumbuhnya kegiatan perekonomian di Kota Banjar. Hal ini juga akan dialami oleh berbagai daerah di Indonesia dan pada akhirnya mengakibatkan tidak meratanya pertumbuhan ekonomi di wilayah Indonesia.

Pada tanggal 23 September 2009, saat sidang Paripurna di akhir masa bakti DPR RI 2004 2009 disahkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Diharapkan UU ini merupakan kompromi terbaik antara pemerintah dan DPR, dan antara kepentingan politik dan sektor kelistrikan itu sendiri. Adapun poin-poin penting yang digaris bawahi dalam UU ini antara lain adalah adanya pembagian kewenangan yang tegas antara pemerintah (pusat) dan daerah serta dimungkinkannya adanya perbedaan tarif di setiap daerah (regional). Karena karakteristik setiap wilayah/daerah itu berbeda baik dari segi kekayaan alam, kemampuan masyarakat, kualitas/keandalan listrik yang diterima serta infrastruktur yang dimiliki, sehingga tarif listrik selayaknya tidak diberlakukan sama di setiap daerah. Di wilayah Jawa Barat dan Banten sendiri jelas terlihat adanya kesenjangan (gap) antar kabupaten/kota yang dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, kemampuan masyarakat, kemampuan pemerintah daerah, keandalan/kualitas listrik yang diterima, potensi energi yang dimiliki serta infrastruktur kelistrikan yang ada. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDRB) daerah tersebut, sedangkan kemampuan masyarakat dapat dilihat dari tingkat kemiskinan serta pengeluaran rumah tangga dari masyarakat daerah tersebut. Untuk daerah Jabar dan Banten, adanya gap antara kota/kabupaten dalam hal PDRB dan tingkat kemiskinan jelas terlihat dari grafik sebagai berikut :

Grafik 1. 2. Kesenjangan (gap) Antara Kota/Kabupaten Di Daerah Jawa Barat dan Banten dilihat dari PDRB dan Tingkat Kemiskinan Kesenjangan (Gap) antar Kota/Kabupaten di Daerah Jawa Barat dan Banten Dilihat dari PDRB dan Tingkat Kemiskinan Tingkat Kemiskinan (%) 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 1 2 3 4 10 5.010 10.010 15.010 20.010 Kab. Bekasi Kota Cirebon Kota Bandung Kota Cimahi Kab. Karawang Kab. Purwakarta Kab. Indramayu Kab. Bandung Kab. Bogor Kota Sukabumi Kota Bekasi Kota Bogor Kab. Subang Kab. Sumedang Kab. Bandung Barat Kab. Ciamis Kab. Garut Kota Banjar Kota Tasikmalaya Kota Depok Kab. Kuningan Kab. Majalengka Kab. Cianjur Kab. Tasikmalaya Kab. Cirebon Kab. Sukabumi Kab. Pandeglang Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon RATA-RATA PDRB Perkapita (dalam ribu rupiah) Sumber Data : Jawa Barat dalam Angka 2009 dan Banten dalam Angka 2009 Dari grafik diatas terlihat bahwa ada kesenjangan (gap) dalam hal pertumbuhan ekonomi dan kemampuan masyarakat dilihat dari PDRB perkapita serta tingkat kemiskinan dari beberapa kota/kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten. Terdapat kota/kabupaten dimana pertumbuhan ekonomi dan kemampuan masyarakatnya tinggi, seperti terlihat dalam kuadran 4 grafik 1.2 diatas. Pada

kuadran ini terdapat kota/kabupaten yang mempunyai PDRB tinggi dan tingkat kemiskinan rendah, seperti Kabupaten Bekasi dan Kota Bandung. Sangat berbeda kondisinya dengan kota/kabupaten yang mempunyai PDRB rendah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, seperti terlihat dalam kuadran 1 grafik 1.2 diatas, yaitu Kota Tasikmalaya, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung Barat. Pertumbuhan ekonomi serta kemampuan masyarakat di kota dan kabupaten-kabupaten tersebut masih sangat rendah. Saat ini tarif listrik berlaku sama untuk kota-kota dan kabupaten-kabupaten dengan pertumbuhan ekonomi dan kemampuan masyarakat tinggi maupun rendah. Sewajarnya, daerah dengan pertumbuhan ekonomi dan kemampuan masyarakat tinggi dapat memberlakukan tarif yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang pertumbuhan ekonomi dan kemampuan masyarakatnya masih rendah. Kemampuan masyarakat sebagai gambaran dari kesejahteraan masyarakat di suatu daerah selain dapat dilihat dari tingkat kemiskinan dapat pula diketahui dari besarnya pendapatan yang diperoleh/diterima dari suatu rumah tangga. Namun demikian, karena data tentang besarnya pendapatan yang akurat sulit diperoleh, maka besarnya pendapatan akan didekati oleh pengeluaran/konsumsi rumah tangga baik itu untuk konsumsi makanan maupun non makanan. Untuk lebih menggambarkan tingkat konsumsi rumah tangga di setiap daerah, penulis akan membandingkannya dengan jumlah penduduk di setiap daerah tersebut. Adanya kesenjangan (gap) antara kota/kabupaten dalam hal jumlah penduduk dan konsumsi rumah tangga jelas terlihat dari grafik sebagai berikut :

Grafik 1. 3. Kesenjangan (gap) Antar Kota/Kabupaten Di Daerah Jawa Barat dan Banten dilihat dari Jumlah Penduduk dan Rata-rata Konsumsi Rumah Tangga Perkapita 1.000.000 Perbandingan Jumlah Penduduk dengan Rata-rata Konsumsi Rumah Tangga Perkapita di Wilayah Jabar & Banten Kab. Sukabumi 900.000 Kab. Cianjur Kab. Bandung Kab. Garut 800.000 700.000 1 2 Kab. Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab. Kuningan Kab. Cirebon Kab. Majalengka Rata-rata Komsumsi RT/kapita (Rp.) 600.000 500.000 400.000 300.000 3 4 Kab. Sumedang Kab. Indramayu Kab. Subang Kab. Purwakarta Kab. Karawang Kab. Bekasi Kab.Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi 200.000 Kota Tasikmalaya Kota Banjar Kab.Pandeglang 100.000 Kab.Lebak Kab.Tangerang Kab. Serang - - 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 3.500.000 4.000.000 4.500.000 5.000.000 Kota Tangerang Kota Cilegon Jumlah Penduduk Sumber data : Jawa Barat dalam Angka Tahun 2010 dan Banten dalam Angka Tahun 2009 Dari grafik 1.3 di atas terlihat bahwa terdapat daerah-daerah dengan jumlah penduduk dan tingkat konsumsi rata-rata perkapita yang tinggi seperti terlihat dalam kuadran 2 grafik di atas yaitu untuk kota Bandung, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Tangerang. Daerah-daerah ini mempunyai kebutuhan akan

listrik yang tinggi dibandingkan dengan daerah yang jumlah penduduknya rendah dan tingkat konsumsi rumah tangganya juga rendah seperti Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Kuningan, Kota Banjar dan Kabupaten Majalengka. Adanya kesenjangan (gap) antara daerah yang satu dengan daerah lainnya juga dapat dilihat dari pendapatan asli daerah (PAD) yang mencerminkan kemampuan pemerintah daerah tersebut untuk membiayai pelaksanaan pembiayaan rutin dan pembangunan di daerahnya. PAD merupakan sumber pembiayaan yang paling penting, dimana komponen utamanya adalah penerimaan yang berasal dari komponen pajak daerah dan retribusi daerah. Daerah yang memiliki PAD tinggi dapat dipastikan akan mampu mandiri untuk melakukan pembangunan di berbagai bidang, termasuk di dalamnya pembangunan infrastruktur kelistrikan. Apalagi jika daerah tersebut juga memiliki PDRB yang tinggi yang mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula. Adanya kesenjangan (gap) antar kota/kabupaten dalam hal PDRB dan PAD terlihat dari grafik sebagai berikut :

Grafik 1.4. Kesenjangan (gap) Antar Kota/Kabupaten Di Daerah Jawa Barat dan Banten dilihat dari PDRB dan PAD 450.000 Kesenjangan (Gap) antar Kota/Kabupaten di Daerah Jawa Barat dan Banten Dilihat dari PDRB dan PAD PAD (Dalam Ribuan Rp.) 400.000 350.000 300.000 250.000 200.000 150.000 100.000 50.000-1 2 3 4 Kab. Lebak Kab. Tangerang Kab. Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Kab. Bekasi RATA-RATA - 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 PDRB Perkapita (dalam Ribuan Rp.) Sumber Data : Jawa Barat dalam Angka Tahun 2010 dan Banten dalam Angka Tahun 2010 Kota Cirebon Kota Bandung Kota Cimahi Kab. Karawang Kab. Purwakarta Kab. Indramayu Kab. Bandung Kab. Bogor Kota Sukabumi Kota Bekasi Kota Bogor Kab. Subang Kab. Sumedang Kab. Bandung Barat Kab. Ciamis Kab. Garut Kota Banjar Kota Tasikmalaya Kota Depok Kab. Kuningan Kab. Majalengka Kab. Cianjur Kab. Tasikmalaya Kab. Cirebon Kab. Sukabumi Kab. Pandeglang Dari grafik 1.4 diatas terlihat bahwa ada kesenjangan (gap) yang cukup tinggi antar kota/kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten dilihat dari PDRB dan PAD yang mencerminkan kemampuan daerah tersebut. Kota Bekasi, Kota Bandung, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Karawang dan Kota

Cirebon yang terdapat pada kuadran 2 merupakan kota/kabupaten yang mempunyai PDRB dan PAD tinggi. Berbeda dengan Kabupaten Subang, Kabupaten Banjar, Kabupaten Garut, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang yang berada di kuadran 3 dimana PDRB serta PAD kabupaten-kabupaten tersebut masih rendah, dibawah rata-rata wilayah. Daerah yang memiliki PAD dan PDRB rendah tersebut harus dibantu oleh pemerintah pusat untuk melakukan pembangunan di daerahnya, termasuk pembangunan infrastruktur kelistrikan. Sebaliknya, daerah yang memiliki PAD dan PDRB tinggi idealnya sudah mampu mandiri untuk melakukan pembangunan di berbagai bidang, termasuk di dalamnya pembangunan infrastruktur kelistrikan serta didorong untuk menjadi daerah yang menerapkan tarif listrik pada tingkat keekonomiannya atau yang dikenal sebagai tarif listrik regional. Adanya gap antar daerah tidak saja dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, kemampuan masyarakat dan kemampuan pemerintah seperti yang telah dipaparkan di atas. Ketersediaan sumber energi primer yang dimiliki, keandalan/kualitas listrik yang diterima dan ketersediaan infrastruktur kelistrikan yang ada juga menjadi faktor yang membedakan karakteristik di setiap daerah. Data potensi energi di wilayah Jawa Barat dan Banten sebagai berikut :

Tabel 1.1. Potensi Energi Primer Di Wilayah Jawa Barat Dan Banten No. Jenis Potensi Energi Daerah Penghasil 1 Panas bumi Awibengkok (Bogor) Kamojang (Garut) Darajat (Garut) Wayang Windu (Bandung) Lebak Serang Pandeglang 2 3 Mikrohidro Biomassa & Biogas Garut Bandung Barat Cianjur Subang Bogor Lebak Pandeglang Serang Garut Bandung Pandeglang Serang 4 Sumber energi angin Sukabumi Lebak Serang 5 Batubara Lebak Sumber : http://www.planethijau.com dan http://ratuatut.com Dari tabel diatas dapat terlihat bahwa beberapa wilayah Jawa Barat dan Banten mempunyai potensi energi yang dapat dimanfaatkan secara optimal menjadi sumber energi listrik yang tersebar di beberapa kota/kabupaten. Potensi energi tersebut mayoritas termasuk jenis energi terbarukan. Mulai dari panas bumi, air, biomassa dan angin dapat didapatkan di wilayah tersebut.

Dari tabel diatas terlihat pula bahwa ada karakteristik yang berbeda antar daerah di wilayah Jawa Barat dan Banten dalam hal potensi energi yang dimiliki. Daerah-daerah yang memiliki banyak potensi energi diharapkan dapat memanfaatkan potensi energi yang dimilikinya tersebut secara optimal, yaitu dengan melakukan pengolahan terhadap sumber potensi energi tersebut menjadi energi listrik sehingga dapat menjamin ketersediaan listrik di wilayahnya sekaligus menjamin peningkatan kualitas pelayanan ketenagalistrikan di wilayah Jawa Barat dan Banten sendiri. Hal-hal demikian otomatis akan memerlukan investasi baru dengan konsiderasi pada kewajaran tarif listrik di daerah Jawa Barat dan Banten sendiri. Adanya kesenjangan (gap) antar wilayah juga dapat dilihat dari ketersediaan infrastuktur kelistrikan serta keandalan/kualitas listrik yang ada. Ketersediaan inftrastruktur kelistrikan dapat terlihat dari rasio elektrifikasi, adapun keandalan listrik dapat dilihat dari SAIDI : System Average Interruption Duration Index (menit/pelanggan/tahun) serta SAIFI : System Average Interruption Frequency Index (kali/pelanggan/tahun) di setiap wilayah. Rasio elektrifikasi di Jawa Barat sendiri tahun 2006 baru mencapai 60,41%, pada tahun 2007 menjadi 61,51% dan Tahun 2008 sebesar 64,24% (Data PLN s/d bulan September 2008). Rasio Elektrifikasi adalah tingkat perbandingan jumlah penduduk yang menikmati listrik dengan jumlah total penduduk di suatu wilayah atau negara.

Kesenjangan (gap) dalam hal rasio elektrifikasi di setiap kota/kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten dapat terlihat dalam grafik berikut ini : Grafik 1.5. Rasio Elektrifikasi di Wilayah Jawa Barat dan Banten Banten Cilegon Banjar Tasikmalaya Cimahi Depok Bekasi Cirebon Bandung Sukabumi Bogor Serang Pandeglang Lebak Bandung Barat Kab.Bekasi Karawang Purwakarta Subang Indramayu Sumedang Majalengka Kab.Cirebon Kuningan Ciamis Kab.Tasikmalaya Garut Kab.Bandung Cianjur Kab.Sukabumi Kab.Bogor 69% 78% 75% 77% 68% 81% 82% 62% 78% 73% 85% 70% 66% 66% 67% 67% 74% 81% 66% 64% 64% 54% 66% 63% 60% 60% 53% 58% 52% 58% 80% 0% 20% 40% 60% 80% 100% Rasio Elektrifikasi (%) Sumber : Data Statistik PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten Tahun 2010

Grafik diatas menunjukkan masih belum meratanya rasio elektrifikasi di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat dan Banten. Hal ini menunjukkan pula belum meratanya infrastruktur kelistrikan di wilayah Jawa Barat dan Banten. Beberapa wilayah seperti di kabupaten Sukabumi, Cianjur, Kabupaten Bandung, Garut dan Majalengka rasio elektrifikasinya masih rendah, yaitu masih dibawah 60%. Sedangkan Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Bekasi dan Kota Depok rasio elektrifikasinya sudah lebih dari 80%. Selain ketersediaan infrastuktur kelistrikan yang masih tidak merata, keandalan listrik adalah masalah yang banyak dikeluhkan oleh pelanggan di daerah-daerah di Jawa Barat dan Banten. Keandalan sistem tenaga listrik merupakan suatu ukuran tingkat pelayanan sistem terhadap pemenuhan kebutuhan energi listrik konsumen atau kemungkinan bekerjanya suatu peralatan atau sistem sesuai dengan fungsinya dalam suatu periode waktu tertentu dan dalam kondisi operasi tertentu. Sistem tenaga listrik yang tidak andal atau tidak reliable berarti sistem tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan listrik dari pelanggannya. Sering padamnya listrik adalah kondisi yang sering dialami oleh pelanggan sebagai akibat tidak andalnya suatu distribusi sistem tenaga listrik. Indeks yang sering digunakan sebagai indikator suatu keandalan sistem distribusi tenaga listrik diantaranya adalah SAIDI dan SAIFI. SAIDI merupakan singkatan dari System Average Interruption Duration Index atau indeks lama gangguan rata-rata sistem. Indeks ini digunakan untuk mengetahui rata-rata lama pemadaman pada setiap pelanggan yang dilayani. Adapun SAIFI adalah singkatan

dari System Average Interruption Frequency Index atau indeks banyaknya gangguan rata-rata sistem. Indeks ini digunakan untuk mengetahui frekuensi gangguan rata-rata yang dirasakan oleh pelanggan. Kesenjangan (gap) antar daerah dalam hal keandalan listrik terlihat dalam grafik SAIDI dan SAIFI di setiap area pelayanan jaringan (APJ) wilayah Jawa Barat sebagai berikut : Grafik 1. 6. Kesenjangan (gap) Antar Area Pelayanan Jaringan (APJ) Wilayah Jawa Barat dan Banten dilihat dari SAIDI dan SAIFI Data SAIDI & SAIFI di Wilayah Jabar & Banten 250 SAIFI : System Average Interruption Frequency Index (kali/pelanggan/tahun) 200 150 100 50 0 1 2 4 3 0 2 4 6 8 10 12 Bandung Banten Selatan Banten Utara Bekasi Bogor Cianjur Cimahi Cirebon Depok Garut Gunung Putri Karawang Majalaya Purwakarta Sukabumi Sumedang Tasikmalaya Rata-rata SAIDI : System Average Interruption Duration Index (menit/pelanggan/tahun) Sumber data : Statistik Tahun 2010 PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Barat dan Banten Dari grafik diatas terlihat bahwa indeks SAIDI dan SAIFI berbeda-beda di beberapa wilayah. Yang perlu mendapat perhatian khusus dari PLN adalah wilayah yang berada pada kuadran 2, yaitu wilayah yang mempunyai SAIDI

tinggi, dan SAIFI yang juga tinggi. Yang termasuk dalam kuadran ini adalah APJ Cianjur, APJ Tasikmalaya, APJ dan APJ Purwakarta. Wilayah yang termasuk ke dalam kuadran ini harus terus diperbaiki infrastruktur kelistrikannya karena sering mati listrik dalam durasi yang lama. Adapun kuadran 3 merupakan wilayah yang mempunyai SAIDI rendah dan SAIFI yang juga rendah. Yang termasuk dalam kuadran ini diantaranya adalah APJ Karawang, APJ Bandung, APJ Cirebon, dan APJ Cimahi. Wilayah yang termasuk ke dalam kuadran ini telah memperoleh keandalan listrik yang cukup baik. Grafik serta uraian setiap wilayah dalam kuadran di atas menunjukkan adanya kesenjangan (gap) dalam hal keandalan sistem distribusi tenaga listrik di Jawa Barat dan Banten, atau dengan kata lain keandalan sistem distribusi tenaga listrik belum merata. Dengan mempertimbangkan adanya kesenjangan (gap) antar daerah dalam berbagai sektor seperti yang telah dipaparkan diatas, sewajarnya tarif listrik tidak diberlakukan sama untuk setiap daerah. Pemberlakuan tarif listrik yang berbeda untuk setiap wilayah/daerah yang berbeda adalah merupakan prinsip dari penerapan tarif listrik regional, dimana tarif dapat diterapkan sesuai dengan kesiapan dan kemampuan daerah, baik dari sisi masyarakatnya, pemerintah daerah, sumber potensi energi yang dimiliki, maupun PLN sebagai penyedia energi listrik. Penerapan tarif listrik regional diharapkan dapat menjamin

penyediaan tenaga listrik yang lebih sustainable sekaligus menjamin peningkatan kualitas dan keandalan listrik di daerah. Di sisi lain, penerapan tarif dasar listrik regional juga diharapkan akan membawa dampak positif terhadap perekonomian daerah. Setidaknya bagi daerah yang memiliki sumber daya alam, seperti batu bara, gas, panas bumi, dan sumber daya untuk pembangkitan listrik lainnya. Daerah-daerah yang kaya sumber daya alam ini tentunya akan mampu menawarkan tarif listrik regional yang lebih murah. Dengan pertimbangan seperti ini, ada kemungkinan akan banyak industri yang akan merelokasi usahanya ke daerah-daerah yang mampu menyediakan infrastruktur listrik dengan harga lebih murah. Adanya kesenjangan karakteristik antar wilayah (gap) menjadi faktor yang mendorong untuk disegerakannya pelaksanaan tarif listrik regional di wilayahwilayah yang dipandang telah siap, selain yang telah dilaksanakan di 2 wilayah yaitu Kota Tarakan dan Kota Batam beberapa tahun yang lalu. Wilayah Jawa dan Bali sendiri dipandang oleh Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) Departemen Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) telah siap untuk melaksanakan kebijakan ini dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia (Jurnalnet.com 5 Desember 2006 dan Republika 3 Januari 2007). Namun dikarenakan beberapa kendala terkait kesiapan PLN serta belum adanya kajian yang lebih mendalam akan model strategi penerapannya di setiap wilayah, maka sampai dengan saat ini belum ada wilayah di daerah Jawa dan Bali yang telah melaksanakan tarif listrik regional.

Pada bulan Maret tahun 2010 dilakukan Studi Tarif Dasar Listrik Untuk Menuju Tata Kelola Ketenagalistrikan Nasional Yang Sehat yang dilaksanakan oleh Konsorsium 6 Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia. Salahsatu hasil dari studi tersebut adalah direkomendasikannya propinsi Jawa Barat dan Banten untuk menerapkan tarif regional. Jawa Barat dan Banten secara umum dipandang salahsatu wilayah yang telah layak menerapkan tarif listrik regional dipandang dari beberapa indikator seperti rata-rata pendapatan perkapita penduduk, kapasitas fiskal, potensi energi serta infrastruktur kelistrikan yang tersedia. Mencermati hasil penelitian dari Konsorsium 6 Perguruan Tinggi Negeri tersebut serta dari uraian yang telah dikemukakan diatas, penulis tertarik untuk melakukan analisis lebih jauh mengenai kesenjangan karakteristik (gap) di setiap wilayah/daerah Jawa Barat dan Banten yang akan berguna untuk strategi penerapan tarif listrik regional di Jawa Barat dan Banten, sehingga akan diketahui daerah-daerah mana saja yang telah siap dan belum siap untuk menerapkan tarif regional, dilihat dari teori diskriminasi harga serta teori-teori pendukung lainnya terkait dengan Ilmu Administrasi Bisnis. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, penulis mencoba mengemukakan suatu pernyataan masalah (problem statement) yaitu ada kesenjangan (gap) antar kabupaten/kota di wilayah Jawa Barat dan Banten yang

dapat dilihat dari kondisi ekonomi, ketersediaan sumber energi primer serta infrastruktur kelistrikan yang ada. Adapun pertanyaan penelitian (research question) yang muncul adalah : Dengan melihat adanya kesenjangan (gap) kondisi ekonomi, ketersediaan sumber energi primer serta infrastruktur kelistrikan antar kabupaten/kota di wilayah Jawa Barat dan Banten, bagaimanakah strategi penerapan tarif listrik regional di wilayah Jawa Barat dan Banten? 1.3. Tujuan Penelitian Melakukan analisis kesenjangan (gap) antar daerah di wilayah Jawa Barat dan Banten dalam hal kondisi ekonomi, ketersediaan sumber energi primer serta infrastruktur kelistrikan, sehingga dapat disusun suatu strategi penerapan tarif listrik regional di wilayah Jawa Barat dan Banten. 1.4. Kegunaan Penelitian 1. Manfaat teoritis : Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu Administrasi Bisnis dalam kajiannya tentang strategi penerapan tarif listrik regional di wilayah regional Jawa Barat dan Banten 2. Manfaat praktis : diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan yang berguna bagi PLN dan pemerintah daerah Jawa Barat dan Banten

sehingga dapat melakukan langkah-langkah lanjutan sebagai upaya untuk menerapkan kebijakan tarif listrik dengan memperhatikan kondisi ekonomi, ketersediaan sumber energi primer serta infrastruktur kelistrikan yang dimiliki sehingga suplai energi listrik dapat terus terjaga dan sekaligus dapat meningkatkan keandalan listrik yang diterima oleh pelanggan di wilayah Jawa Barat dan Banten.