PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGEMBANGKAN KLASTER INDUSTRI KULIT DI KABUPATEN GARUT TUGAS AKHIR. Oleh : INDRA CAHYANA L2D

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. temurun. Sedangkan industri kecil kerajinan barang-barang dari kulit seperti jaket,

BAB I PENDAHULUAN. Sektor industri merupakan salah satu sektor yang menjadi perhatian

PENGELOMPOKAN INDUSTRI PAKAIAN JADI DI KECAMATAN CIPONDOH KOTA TANGERANG TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Padang Panjang. Kegiatan di bidang industri kulit, mulai dari sektor bahan baku,

Kegiatan Prioritas Tahun 2010

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor industri merupakan pergerakan utama ekonomi suatu negara. Selain menjadi

BAB I PENDAHULUAN. diri sebagai katup pengaman, dinamisator, stabilisator perekonomian Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. agar mampu berkompetisi dalam lingkaran pasar persaingan global. Tidak hanya dengan

BAB I PENDAHULUAN. Kelompok industri kecil memiliki peran strategis dalam peningkatan

RANTAI NILAI DALAM AKTIVITAS PRODUKSI KLASTER INDUSTRI GENTENG KABUPATEN GROBOGAN JAWA TENGAH

PROFIL BALAI PELAYANAN TEKNIS INDUSTRI KULIT DAN LINGKUNGAN INDUSTRI KECIL (BTIK-LIK) MAGETAN

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi dan moneter yang dialami oleh beberapa negara di Asia

VII. Pola Hubungan dalam Lembaga APKI di Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah

PERAN ASPARTAN (ASOSIASI PASAR TANI) DALAM MENDORONG BERKEMBANGNYA UMKM DI KABUPATEN SLEMAN

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pasar belum tentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang kemampuan

Bab V Kesimpulan dan Saran

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

BAB. I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

6. URUSAN PERINDUSTRIAN

DINAMIKA PERKEMBANGAN KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU DESA BULAKAN, SUKOHARJO TUGAS AKHIR. Oleh : SURYO PRATOMO L2D

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka pengembangan ekonomi daerah yang bertujuan. meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka pengembangan ekonomi lokal

BAB IV ANALISA SISTEM

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Untuk mewujudkan cita cita tersebut diatas satu sasaran

ANALISIS GEOGRAFIS KONSENTRASI INDUSTRI KULIT DI KABUPATEN GARUT. Bagja Waluya 1) ; Citra Adhitya 2) 1)

Model Inovasi Motif dan Produk Dalam Membangun Sentra Industri Batik Berbasis Kreativitas Pada Pengrajin Batik Gedhog di Kabupaten Tuban

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

GAMBARAN PELAYANAN DINAS KOPERASI UKM DAN PERINDUSTRIAN PERDAGANGAN KOTA BANDUNG

KAJIAN KEBUTUHAN PELAYANAN KAWASAN PERINDUSTRIAN KALIJAMBE BERDASARKAN PREFERENSI PENGUSAHA MEBEL KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN SRAGEN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Data Bank Indonesia menunjukkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia

BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI

PROSPEK PENGEMBANGAN INDUSTRI CINDERAMATA DAN MAKANAN OLEH-OLEH DI KABUPATEN MAGELANG TUGAS AKHIR TKP Oleh: RINAWATI NUZULA L2D

PENGARUH PERUBAHAN TEKNOLOGI TERHADAP PERKEMBANGAN KLASTER PADI ORGANIK KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: A. ARU HADI EKA SAYOGA L2D

Rencana Strategis (RENSTRA)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perekonomian di negara yang sedang berkembang seperti

SEMINAR TESIS MANAJEMEN INDUSTRI MAGISTER MANAJEMEN TEKNOLOGI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2010

BAB I PENDAHULUAN. rentan terhadap pasar bebas yang mulai dibuka, serta kurang mendapat dukungan

PRAKTEK PENCAPAIAN EKO-EFISIENSI DI KLASTER INDUSTRI TAPIOKA DESA SIDOMUKTI KABUPATEN PATI TUGAS AKHIR. Oleh: SAIFILLAILI NUR ROCHMAH L2D

KONSEP EKO EFISIENSI DALAM PEMANFAATAN KELUARAN BUKAN PRODUK DI KLASTER INDUSTRI MEBEL KAYU BULAKAN SUKOHARJO TUGAS AKHIR

Pengembangan Usaha kecil dan

Menjadikan Bogor sebagai Kota yang nyaman beriman dan transparan

BAB I PENDAHULUAN. barang dari kulit dan alas kaki (KBLI 15) yang naik sebesar 1,67 %. Selanjutnya,

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM MENGHADAPI PASAR. Sekilas Mengenai Kondisi Perekonomian dan Pentingnya Usaha kecil dan Menengah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Industri kecil dan menengah merupakan kelompok industri yang

Ringkasan. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai negara yang berpaham walfare state, Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam arti tingkat hidup yang

TUGAS POKOK DAN FUNGSI BIDANG DAN SEKSI

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 23 TAHUN 2008 T E N T A N G

BAB I PENDAHULUAN. banyak pengetahuan yang dimiliki oleh stakeholder dari sebuah perusahaan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGELOLAAN KAWASAN ANDALAN YANG MENDUKUNG PENGEMBANGAN INVESTASI DUNIA USAHA DI KTI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang UMKM merupakan unit usaha yang sedang berkembang di Indonesia dan

KEMITRAAN USAHA DALAM KLASTER INDUSTRI KERAJINAN ANYAMAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA TUGAS AKHIR

PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PETA PANDUAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN INDUSTRI UNGGULAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

Pengembangan Kawasan Industri Alas Kaki di Kabupaten Mojokerto

PENCAPAIAN EKO-EFISIENSI MELALUI KERJASAMA ANTAR PELAKU USAHA PADA KLASTER INDUSTRI BATIK SIMBANGKULON, KABUPATEN PEKALONGAN TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

1.1. VISI DAN MISI DINAS PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN KOTA PRABUMULIH. pedoman dan tolak ukur kinerja dalam pelaksanaan setiap program dan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Elis Hanifah, 2014

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF DAERAH PROVINSI RIAU

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

karena harus mengorbankan aspek lingkungan hidup.

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ekonomi masyarakat senantiasa berawal dari adanya target pemenuhan kebutuhan

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pendamping dan pembimbing pelaku utama dan pelaku usaha. Penyuluh

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN Pada Acara SEMINAR DAMPAK PENURUNAN HARGA MINYAK BUMI TERHADAP INDUSTRI PETROKIMIA 2015 Jakarta, 5 Maret 2014

LAPORAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH. ( LKjIP ) DINAS KOPERASI PERINDUSTRIAN PERDAGANGAN DAN PARIWISATA KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2014

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG. Nomor : 08 Tahun 2015

BAB V KEMITRAAN ANTAR STAKEHOLDERS DAN ARAHAN PENINGKATANNYA DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL KERAJINAN

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Pengaruh Modal Sosial Terhadap Pertalian Usaha Klaster Pariwisata Borobudur

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DANA ALOKASI KHUSUS BIDANG SARANA DAN PRASARANA PERDAGANGAN, INDUSTRI KECIL & MENENGAH DAN PARIWISATA SUB BIDANG INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH

2015 PENGARUH KREATIVITAS, INOVASI DAN DIFERENSIASI PRODUK TERHADAP LABA PENGUSAHA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. analisis data tentang pemberdayaan industri kecil gitar di desa Mancasan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sakur, Kajian Faktor-Faktor yang Mendukung Pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah, Spirit Publik, Solo, 2011, hal. 85.

PERANAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN DALAM PEMBINAAN USAHA KERAJINAN KERIPIK TEMPE DI KABUPATEN NGAWI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. yang ditawarkannya pun semakin beraneka ragam. Setiap Pelaku usaha saling

BAB KONDISI UMUM INDUSTRI KECIL DI KOTA TEGAL

I. PENDAHULUAN. usaha besar yang mengalami gulung tikar didera krisis. Pada saat yang bersamaan pula,

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RINGKASAN EKSEKUTIF SRI WIDAYATI, SYAMSUL MA ARIF BUNASOR SANIM.

Transkripsi:

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGEMBANGKAN KLASTER INDUSTRI KULIT DI KABUPATEN GARUT TUGAS AKHIR Oleh : INDRA CAHYANA L2D 002 415 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007

ABSTRAK Otonomi Daerah merupakan upaya untuk mewujudkan kemandirian daerah atas dasar kemauan, pemikiran dan keterlibatan aktif masyarakat untuk memajukan daerahnya. Salah satu upaya menuju kemandirian daerah adalah memberdayakan seluruh potensi sumber daya yang dimiliki. Upaya yang dilaksanakan melalui pembangunan ekonomi kerakyatan sehingga daerah mampu mandiri dan tidak tergantung kepada pusat. Dalam konteks otonomi Daerah, Pemerintah Daerah akan memiliki peran yang cukup strategis terkait dengan tumbuh dan berkembangnya industri-industri di daerah. Kabupaten Garut sebagai salah satu kabupaten di Jawa Barat memiliki potensi pengembangan klaster industri dengan berbagai macam produknya. Salah satu industri unggulannya adalah industri kulit. Industri kulit di Kabupaten Garut terbagi menjadi 2 kegiatan, yaitu industri kecil penyamakan kulit dan industri kecil kerajinan barang-barang dari kulit. Kegiatan usaha industri kecil penyamakan kulit berada di Sukaregang yang mulai tumbuh dan berkembang sejak tahun 1920 sampai sekarang, industri kecil ini dikelola oleh beberapa keluarga secara turun temurun. Industri kulit di Kabupaten Garut mengelompok atau teraglomerasi membentuk sentra dikawasan Sukaregang. Perkembangan klaster industri kulit di Kabupaten Garut dipengaruhi oleh kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi dalam mengembangkan klaster industri kulit di Kabupaten Garut adalah terbatasnya teknologi pengolahan untuk percepatan proses produksi dan lemahnya pengendalian kualitas terhadap komoditas barang yang dihasilkan sehingga dapat mempengaruhi citra komoditas yang sudah terbentuk. Jika permasalahan ini tidak diatasi, maka produk industri kulit Garut akan kalah bersaing dengan produk industri kulit dari daerah lain. Permasalahan ini tentu tidak bisa diatasi oleh pelaku usaha kerajinan industri kulit saja, harus ada intervensi dari Pemerintah Daerah. Berdasarkan hal tersebut maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah Bagaimana peran Pemerintah Daerah dalam mengembangkan klaster industri kulit di Kabupaten Garut? Oleh karena itu tujuan penelitian adalah mengevaluasi peran Pemerintah Daerah dalam mengembangkan industri kulit di Kabupaten Garut. Lokasi Penelitian meliputi Kabupaten Garut, sedangkan unit analisis dimaksudkan untuk lebih fokus meneliti kawasan sentra industri kulit di Kabupaten Garut yaitu kawasan industri kulit Sukaregang yang terdiri dari beberapa desa di Kecamatan Garut Kota dan Kecamatan Karangpawitan. Penelitian ini membandingkan antara kebijakan dengan kenyataan dilapangan, dengan demikian metode yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Alasan pemilihan metode ini karena karena metode kualitatif dapat digunakan untuk keperluan evaluasi, dapat dimanfaatkan untuk menelaah sebuah peranan (Moeloeng 2004 : 7). Analisis dalam penelitian ini ada lima yang disesuaikan dengan peran Pemerintah Daerah dalam mengembangkan klaster industri. Pertama analisis peran Pemerintah Daerah dalam permodalan dan investasi klaster, kedua analisis peran Pemerintah Daerah dalam peningkatan kemampuan SDM klaster, ketiga analisis peran Pemerintah Daerah dalam penerapan teknologi klaster, keempat analisis peran Pemerintah Daerah dalam membangun akses pasar dan informasi pasar dan yang kelima analisis peran Pemerintah Daerah dalam penciptaan iklim yang kondusif bagi usaha klaster melalui regulasi yang mendukung. Kebijakan pada permodalan dan investasi bersifat pemampu (enabler) dan penyedia (provider) karena mengeluarkan kebijakan yang membantu pengusaha mendapatkan modal dari perbankan dan BUMN, selain itu menyediakan dana untuk pengusaha kecil. Kebijakan pada peningkatan kemampuan SDM bersifat penyedia, karena hanya menyediakan pelatihan-pelatihan, seminar dan diskusi. Kebijakan pada penerapan teknologi bersifat penyedia, karena hanya menyediakan mesin-mesin di UPTD dan pembangunan IPAL. Kebijakan membangun akses pasar dan informasi pasar bersifat pemampu, karena hanya mengeluarkan kebijakan yang membuka akses pengusaha untuk promosi keluar, dalam pelaksanaan pembangunan akses pasar pengusaha sendiri yang melakukan. Kebijakan pada penciptaan iklim yang kondusif juga bersifat pemampu, karena hanya mengeluarkan kebijakan yang melindungi keberadaan klaster industri kulit di kawasan Sukaregang. Secara umum kebijakan-kebijakan Pemerintah Daerah dalam mengembangkan klaster industri kulit Garut lebih bersifat penyedia, artinya kebijakan yang muncul sebagai reaksi atas peristiwa yang terjadi saat itu, dimaksudkan untuk mengatasi masalah, kebijakan ini bersifat reaktif. Kebijakan pemampu tidak dapat dijalankan dengan baik, yang berarti ada kesalahan dalam penentuan kebijakan tersebut. Kata Kunci:K laster industri kulit, Peran Pemerintah Daerah, Evaluasi Kebijakan

1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Otonomi Daerah merupakan upaya untuk mewujudkan kemandirian daerah atas dasar kemauan, pemikiran dan keterlibatan aktif masyarakat untuk memajukan daerahnya. Salah satu upaya menuju kemandirian daerah adalah memberdayakan seluruh potensi sumber daya yang dimiliki. Upaya yang dilaksanakan melalui pembangunan ekonomi kerakyatan sehingga daerah mampu mandiri dan tidak tergantung kepada pusat. Dalam konteks otonomi Daerah, Pemerintah Daerah akan memiliki peran yang cukup strategis terkait dengan tumbuh dan berkembangnya industri-industri di daerah. Dalam rangka mengkonsolidasikan pembangunan sektor primer, sekunder, dan tersier termasuk keseimbangan persebaran pembangunannya ditempuh pendekatan klaster industri. Melalui pendekatan ini diharapkan pola keterkaitan antar kegiatan, baik disektor industri sendiri (keterkaitan horizontal) maupun antar sektor industri dengan seluruh jaringan produksi dan distribusi terkait (keterkaitan vertikal ) akan dapat secara responsif menjawab tantangan persaingan global yang semakin ketat. Peran Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator harus dijalankan dengan baik dan seimbang. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah seharusnya merupakan representasi dari aspirasi masyarakat. Sehingga proses pelaksanaan bisa berjalan dengan baik dan menguntungkan semua pihak. Kabupaten Garut sebagai salah satu kabupaten di Jawa Barat yang memiliki potensi pengembangan klaster industri dengan berbagai macam produknya. Salah satu industri unggulannya adalah industri kulit. Industri kulit di Kabupaten Garut terbagi menjadi 2 kegiatan, yaitu industri kecil penyamakan kulit dan industri kecil kerajinan barang-barang dari kulit. Kegiatan usaha industri kecil penyamakan kulit berada di Sukaregang yang mulai tumbuh dan berkembang sejak tahun 1920 sampai sekarang. Industri kecil ini dikelola oleh beberapa keluarga secara turun temurun. Sedangkan industri kecil kerajinan barang-barang dari kulit seperti jaket, tas, sepatu/ sandal, ikat pinggang dan sarung tangan mulai tumbuh sekitar tahun 1987 yang kegiatannya disekitar sentra, saat ini sudah berkembang jauh diluar sentra dan sudah banyak pengusaha yang memiliki toko/ show room barang-barang kulit dijalan Ahmad Yani dan jalan Gagak Lumayung yang berada disekitar sentra Sukaregang. Industri kulit di Kabupaten Garut mengelompok atau teraglomerasi membentuk sentra dikawasan Sukaregang, sehingga berpeluang untuk di kembangkan sebagai klaster yang diartikan sebagai pengelompokan industri pada suatu lokasi tertentu dengan tujuan untuk menciptakan 1

2 keuntungan sebagai dampak penurunan biaya eksternal industri akibat pemakaian bahan baku, tenaga kerja ahli, jaringan kerjasama/bisnis, biaya transportasi (pemasaran) secara bersama-sama. Berbeda dengan klaster, sentra itu sendiri dapat diartikan sebagai pusat aktivitas kegiatan usaha pada lokasi atau kawasan tertentu, dimana terdapat pelaku usaha yang menggunakan bahan baku atau sarana yang sama atau sejenis. Klaster industri kulit sudah berkembang hingga generasi kelima, kulit telah mengubah daerah Sukaregang menjadi sebuah cermin industri rakyat mandiri, mampu bertahan dan menghidupi banyak orang. Data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Garut menunjukkan, pada tahun 2001 di Sukaregang terdapat 330 unit usaha penyamakan kulit yang memperkerjakan 1.495 tenaga kerja. Sementara jumlah produksi kulit tersamak mencapai 7.659,25 ton. Kondisi ini amat jauh berbeda dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1982 dengan jumlah pengrajin tidak lebih dari 10 orang. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Garut juga mencatat, di wilayah itu pada tahun 2001 setidaknya ada 342 usaha kerajinan kulit dengan jumlah tenaga kerja 2.656 orang. Perkembangan industri kulit dikabupaten Garut dipengaruhi oleh intervensi Pemerintah Daerah. Pada tahun 1981 Departemen Perindustrian bekerjasama dengan Pemda Propinsi Jawa Barat mendirikan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Penyamakan Kulit Sukaregang dengan menempatkan mesin-mesin untuk mengantisipasi permasalahan dan perkembangan sentra penyamakan kulit Sukaregang. Pada saat krisis eknonomi melanda negeri ini, industri kulit di Kabupaten Garut terpengaruhi akibat negatifnya. Terjadi penurunan produksi karena kurangya permintaan dan melonjaknya harga untuk produksi. Selain itu bantuan dan pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah pun berkurang karena kekurangan anggaran. Tahun 1997 kegiatan pembinaan dan jasa layanan mesin-mesin UPT Sukaregang sudah agak menurun karena keterbatasan dana operasional, sehingga tahun 2000 UPT Sukaregang berhenti total dengan melelang mesin-mesin untuk pesangon karyawannya. Sejak tahun 2000 sampai tahun 2003 UPT Sukaregang tidak ada kegiatan pembinaan kepada para penyamak, sementara itu industri penyamakan kulit disentra terus berkembang dan muncul pengusaha yang dapat menyewakan mesin-mesin. Pada tahun 2001 atas persetujuan Disperindag Jawa Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten Garut melalui bantuan Bank Dunia memanfaatkan lahan dan bangunan UPT untuk mesin-mesin Leather Board dari limbah serutan kulit, sedangkan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan bekerjasama dengan Kementrian Lingkungan Hidup memanfaatkan sebagian bangunan UPT untuk kegiatan SIK dan Instalasi Recovery Chroom. Balai pengembangan Perindustrian Jawa Barat mengaktifkan kembali UPT Sukaregang pada tahun 2004 dengan kegiatan renovasi gedung, pemagaran, pengadaan mesin untuk layanan kepada penyamak dan pengrajin barang dari kulit.

3 Hal yang menarik dalam klaster industri kulit di Kabupaten Garut adalah adanya sebuah penanganan yang cukup berhasil dalam mengatasi krisis ekonomi, sehingga klaster industri kulit dapat bertahan dan mengalami peningkatan produksi pada tahun berikutnya. Keberhasilan ini tentu didukung oleh berbagai pihak yang mempunyai kepentingan terhadap klaster industri kulit di Kabupaten Garut. Salah satu pihak yang berpengaruh adalah Pemerintah Daerah. Dalam sebuah industri yang berbentuk klaster, Pemerintah Daerah mempunyai 5 peran yang harus dilakukan yaitu dalam permodalan dan investasi, peningkatan kemampuan SDM klaster, penerapan teknologi, pembangunan akses pasar dan informasi pasar, serta dalam penciptaan iklim yang kondusif bagi usaha klaster. Peran-peran tersebut dapat dilihat dari kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah selama ini, sehingga dalam penelitian tugas akhir ini akan mengkaji produk-produk kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah terhadap perkembangan industri kulit di Kabupaten Garut Setiap kebijakan perlu diketahui apakah intervensi yang dilakukan dalam mengembangkan klaster industri kulit di Kabupaten Garut telah mencapai tujuan yang diharapkan sesuai dengan peran Pemerintah Daerah atau tidak. Dengan begitu, intervensi kebijakan yang akan disusun dapat lebih sesuai dan berjalan secara efektif. Dalam mengetahui peran pemerintah daerah terhadap klaster industri kulit di Kabupaten Garut, diperlukan analisis secara kualitatif.. Batasan kebijakan dalam penelitian ini meliputi kebijakan yang telah dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Garut maupun kebijakan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat yang dalam hal ini Disperindagkop Propinsi Jawa Barat. antara tahun tahun 2000 sampai dengan tahun 2005. I.2 Perumusan Masalah Konsep pengembangan kekuatan dari dalam yang mengarah kepada pemberdayaan potensi daerah memacu pengkajian mengenai klaster industri. Intervensi kebijakan pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Daerah menjadi unsur utama dalam pengembangan klaster industri kulit. Keberpihakan Pemerintah Daerah terhadap perkembangan klaster industri kulit dapat dilihat dari instrumen kebijakan yang dikeluarkan. Ketetapan dan konsistensi kebijakan Pemerintah Daerah menjadi penyebab maju atau mundurnya pengembangan klaster industri di Kabupaten Garut. Perkembangan industri kulit di Kabupaten Garut tidak terlepas dari permasalahanpermasalahan. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi adalah terbatasnya teknologi pengolahan untuk percepatan proses produksi dan lemahnya pengendalian kualitas terhadap komoditas barang yang dihasilkan sehingga dapat mempengaruhi kinerja citra komoditas yang sudah terbentuk. Jika permasalahan ini tidak diatasi, maka pengrajin kulit Garut akan kalah bersaing dengan pengrajin kulit dari daerah lain yang ironisnya justru mengolah kulit tersamak dari Garut. Permasalahan tersebut harus mendapat perhatian dan solusi dari Pemerintah Daerah karena terkait dengan peran yang harus dijalankan oleh Pemerintah Daerah sebuah klaster industri.