BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN ASURANSI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang

BAB II TINJAUAN MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DAN SYARAT-SYARAT PERJANJIAN ASURANSI BERDASARKAN KUHD

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI. hukum Pertanggungan, hukum Asuransi. Dalam bahasa Belanda disebut Verzekering Recht,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI MENURUT HUKUM

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HAK-HAK TERTANGGUNG DALAM ASURANSI JIWA. bahasa Belanda disebut verzekering yang berarti pertanggungan atau asuransi dan

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Asuransi Pengertian Asuransi

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin pesat, dan untuk itu masyarakat dituntut untuk bisa mengimbangi

BAB III TINJAUAN TEORI. 1. Pengertian Asuransi dan Pengaturannya. a. Pengertian Asuransi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan

BAB II PERJANJIAN ASURANSI DAN BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERJANJIAN ASURANSI

PERANAN POLIS ASURANSI JIWA DALAM PENUNTUTAN KLAIM (STUDI PADA PT. PRUDENTIAL LIFE ASSURANCE DENPASAR)

BAB I PENDAHULUAN. asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Dimana sebagian besar masyarakat

Istilah dan Pengertian Asuransi ASURANSI. 02-Dec-17

PELAKSANAAN ASURANSI TERHADAP DEBITUR SECARA TANGGUNG RENTENG DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 1278 KUH PERDATA

BAB II PENGATURAN ASURANSI DI INDONESIA. A. Pengertian dan Dasar Hukum Asuransi. diharapkan. Disamping itu dapat pula berupa peristiwa negatif yang

TINJAUAN PUSTAKA. Istilah asuransi berasal dari bahasa Belanda Verzekering atau Assurantie. Oleh

MAKALAH HUKUM KOMERSIAL HUKUM ASURANSI. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Komersial Dosen Pembimbing : Disusun oleh : Kelompok 8

II. TINJAUAN PUSTAKA. dua belah pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI. Asuransi atau dalam bahasa Belanda Verzekering yang berarti

WANPRESTASI DALAM PEMBAYARAN PREMI ASURANSI DIHUBUNGKAN DENGAN TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG ASURANSI JIWA

Istilah dan Pengertian Asuransi ASURANSI. Hubungan antara Risiko dengan Asuransi 11/8/2014

BAB I PENDAHULUAN. menempatkan dirinya dalam perkembangan yang sangat pesat, seiring dengan

BAB I PENDAHULUAN. penting bagi masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan telah berkembang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya selalu dipenuhi dengan risiko. Risiko adalah kemungkinan

BAB II RUANG LINGKUP HUKUM ASURANSI Oleh : SURAJIMAN

BAB II LANDASAN TEORI. kondisi teori-teori yang mendukung di dalam mengkaji masalah wanprestasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Asuransi dan Pengaturan Asuransi. sehingga kerugian itu tidak akan pernah terjadi.

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang serius ialah lembaga jaminan. Karena perkembangan ekonomi akan

I. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam KUHD asuransi jiwa diatur dalam Buku 1 Bab X pasal pasal 308

Dokumen Perjanjian Asuransi

BAB II. Tinjauan Pustaka. Tinjauan umum tentang asuransi

ASURANSI. Prepared by Ari Raharjo

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI JIWA DAN KLAIM ASURANSI JIWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II PEMBAHASAN ASURANSI JIWA SECARA UMUM. sangat singkat sekali dan hanya terdiri dari tujuh (7) pasal yaitu Pasal 302 sampai

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di

Manfaat Dan Mekanisme Penyelesaian Klaim Asuransi Prudential. Ratna Syamsiar. Abstrak

BAB VI POLIS ASURANSI

TINJAUAN PUSTAKA. Istilah asuransi adalah serapan dari istilah bahasa Belanda assurantie, dalam

Dalam hukum asuransi kita mengenal berbagai macam istilah, ada yang mempergunakan

BAB I PENDAHULUAN. material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan pembangunan

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN ASURANSI DAN ASURANSI KREDIT

BAB I PENDAHULUAN. dibidang asuransi. Mulai sejak zaman sebelum masehi yaitu pada masa kekaisaran

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

BAB II ASURANSI PADA UMUMNYA. Asuransi dalam bahasa Belanda di sebut verzekering yang berarti

BAB II BAHAN RUJUKAN. Pengertian Prosedur menurut Mulyadi (2008:5) Pengertian Prosedur menurut M. Nafarin (2009:9)

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI ASURANSI DAN PERATURANNYA. A. Pengertian, Jenis, dan Aspek Hukum Perjanjian Asuransi

νµθωερτψυιοπασδφγηϕκλζξχϖβνµθωερτ ψυιοπασδφγηϕκλζξχϖβνµθωερτψυιοπα σδφγηϕκλζξχϖβνµθωερτψυιοπασδφγηϕκ χϖβνµθωερτψυιοπασδφγηϕκλζξχϖβνµθ

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya manusia juga tidak bisa terlepas dari kejadian-kejadian yang tidak

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN ASURANSI ATAS PEMBATALAN PERJANJIAN BAKU PADA POLIS ASURANSI JIWA di KOTA DENPASAR

Jurnal Panorama Hukum

PRINSIP UTMOST GOOD FAITH DALAM PERJANJIAN ASURANSI KERUGIAN

PERUSAHAAN ASURANSI ATA 2014/2015 M6/IT /NICKY/

JURNAL HUKUM PENERAPAN PRINSIP UTMOST GOOD FAITH PADA PIHAK TERTANGGUNG DALAM POLIS ASURANSI JIWA TERKAIT PENGAJUAN KLAIM ASURANSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Perjanjian berdasarkan Pasal 1313 BW adalah suatu perbuatan dengan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan bangsa dan mewujudkan pembangunan nasional.dalam poladasar

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM ASURANSI DI INDONESIA. selalu dihadapkan kepada sesuatu yang tidak pasti, yang mungkin

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan nasional adalah upaya untuk meningkatkan seluruh aspek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Verzekering (bahasa Belanda) berarti pertanggungan dalam suatu asuransi

TIU: Mahasiswa memlki pengetahuan dan keterampilan tentang peusahaan asuransi dan apa macamnya yang ditanggung oleh perusahaan asuransi

BAB I PENDAHULUAN. risiko yang mungkin dapat menggangu kesinambungan usahanya. 1. kelancaran aktifitas dalam dunia perdagangan pada umumnya.

Minggu Ke III ASURANSI JIWA

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN ASURANSI JIWA DAN PENOLAKAN KLAIM ASURANSI AKIBAT TERTUKARNYA REKAM MEDIS

BAB I PENDAHULUAN. pertanggungan timbul karena kebutuhan manusia. Dalam menjalani hidup. keinginan untuk mengatasi ketidakpastian (uncertainty).

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemakaian kedua istilah ini mengikuti istilah dalam bahasa Belanda, yaitu assurantie

SISTEM INFORMASI ASURANSI. Materi 1 PENGENALAN ASURANSI

PRINSIP ITIKAD BAIK BERDASARKAN PASAL 251 KUHD DALAM ASURANSI KERUGIAN

PEMBAYARAN KLAIM ASURANSI JIWA AKIBAT TERTANGGUNG BUNUH DIRI (PT ASURANSI JIWA MANULIFE INDONESIA)

BAB I PENDAHULUAN. hal yang dilakukan baik menggunakan sarana pengangkutan laut maupun melalui

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

PRINSIP ITIKAD BAIK BERDASARKAN PASAL 251 KUHD DALAM ASURANSI KERUGIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak pernah terlepas dari bahaya, Beberapa

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

A. INSURED B. INSURER C. ACCIDENT D. INTEREST

BAB II ASURANSI DAN USAHA PERASURANSIAN. A. Pengertian dan Pengaturan Asuransi dan Usaha Perasuransian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SKRIPSI. Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum UPN Veteran Jawa Timur.

I. PENDAHULUAN. Bahaya kebakaran pada kehidupan manusia banyak yang mengancam. keselamatan harta kekayaan, jiwa, dan raga manusia.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASURANSI, POLIS ASURANSI DAN INVESTASI. asuransi tradisional misalnya term life (asuransi jiwa berjangka); whole life

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seperti telah dimaklumi, bahwa dalam mengarungi hidup dan

Asuransi Jiwa

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

ASURANSI. Created by Lizza Suzanti 1

ANALISIS HUKUM PEMBERATAN RISIKO DALAM ASURANSI JIWA PADA PERUSAHAAN AJB BUMIPUTERA 1912 BANDAR LAMPUNG

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Dalam Kajian Pustaka ini akan dijelaskan mengenai pengertian-pengertian

Premi Asuransi BAB V PREMI ASURANSI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Asuransi dalam bahasa Belanda di sebut verzekering yang berarti pertanggungan

PEMBEBASAN KEWAJIBAN PENANGGUNG ASURANSI MEMBAYAR GANTI RUGI, DISEBABKAN OLEH KELALAIAN TERTANGGUNG*

PERAN ASURANSI KEPADA PERUSAHAAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI DARAT YANG MENGALAMI KERUSAKAN ATAU KEHILANGAN BARANG

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK TERTANGGUNG DALAM ASURANSI DEMAM BERDARAH PADA PT. ASURANSI CENTRAL ASIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, undang-undang yang mengatur asuransi sebagai sebuah

BAB III KETENTUAN ASURANSI JIWA TAKAFUL DALAM. KUH Dagang Pasal ( ) A. Dasar Hukum Asuransi Jiwa dalam KUH Dagang Pasal ( )

Sosialisasi Rancangan Undang-undang Tentang Persekutuan Perdata, Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN ASURANSI A. Defenisi Perjanjian Asuransi dan Tujuan Asuransi 1. Defenisi Perjanjian Asuransi Terdapat beberapa batasan dan perbedaan dari pengertian asuransi hal ini disebabkan dari sudut pandang mana orang orang yang mendefenisikan asuransi itu melihatnya. Dari sudut pandang yuridisnya, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro mendefenisikan asuransi atau verzekering sebagai suatu pertanggungan yang melibatkan dua pihak, satu pihak sanggup menanggung atau menjamin, dan pihak lain akan mendapat penggantian dari suatu kerugian, yang mungkin akan dideritanya sebagai akibat dari suatu peristiwa, yang semula belum tentu akan terjadi atau semula belum dapat ditentukan saat akan terjadinya. 12 Purwosutjipto juga mendefenisikan asuransi sebagai suatu perjanjian (timbal balik) dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkannya, yang mungkin akan dideritanya, karena suatu peristiwa tak tentu (onzeker voorval). 13 hlm.12 12 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi Indonesia. Penerbit Intermasa, Jakarta, 1996, 13 H.M.N. Purwosutjipto, Loc.Cit.

Selain pendapat diatas, pengertian asuransi sebenarnya juga sudah diatur secara limitatif dalam peraturan perundang - undangan. Dalam Kitab Undang Undang Hukum Dagang disebutkan dalam Pasal 246 KUHD bahwa asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu. Selain defenisi dari asuransi yang diberikan oleh Kitab Undang Undang Hukum Dagang, Undang - Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian juga memberikan defenisi dari asuransi. Dalam Ketentuan Pasal 1 angka (1) disebutkan bahwa: Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertangung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Dari defenisi asuransi yang diberikan oleh Kitab Undang Undang Hukum Dagang dan Undang Undang No. 2 Tahun 1992, terdapat perbedaan diantara keduanya dimana dalam Kitab Undang Undang Hukum Dagang menyebutkan bahwa suatu perjanjian asuransi hanyalah perjanjian yang melibatkan 2 pihak saja yaitu penanggung (perusahaan asuransi) dan juga pihak tertanggung (yang membayar premi asuransi). Selain itu, unsur penting dari

perjanjian asuransi ini ialah hanya menunjuk kepada asuransi kerugian saja (loss insurance) yang objeknya hanya harta kekayaan saja. 14 Berbeda dengan Undang Undang No. 2 Tahun 1992, Undang Undang ini menyebutkan bahwa perjanjian asuransi tidak hanya melibatkan 2 pihak saja (penanggung dan tertangung) tetapi juga pihak ketiga yang dipertanggungkan serta unsur peristiwa dalam Undang Undang ini tidak hanya merujuk kepada Asuransi Kerugian (loss Insurance) yang objeknya hanya harta kekayaan saja tetapi juga merujuk kepada Asuransi Jiwa (life insurance). Hal ini bisa dibuktikan dari kalimat memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seorang yang dipertanggungkan. Jadi, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Undang Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian memberikan defenisi asuransi yang lebih luas bila dibandingkan dengan defenisi asuransi yang diberikan oleh Pasal 246 KUHD. 15 Definisi yang lebih luas lagi dari asuaransi juga diberikan dalam Pasal 41 New York Insurance Law. Menurut ketentuan Pasal 41 New York insurance Law ini 16 : The Insurance contract is any agreement or other transaction where by one party herein called the insurer, is obligated to confer benefit of precuniary value upon another party, herein called the isured of beneficiary, dependent up on the happening of a fortuitous event in which the insured or beneficiary has, or expected to have the time of such happening a material interest which will be adversely affected by the happening of such event. A lortuitous event is any occurance or failure to occur which is, or is assumed by the parties to be a 14 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 9. 15 Ibid, hlm.11. 16 Pasal 41 New York Insurance Law.

substantial extended beyond the control of either party. (Perjanjian asuransi adalah suatu persetujuan atau transaksi dengan orang lain dimana satu orang didalam hal ini disebut penanggung, diwajibkan untuk memberikan perlindungan yang ada menfaatnya bagi pihak yang lainnya, inilah yang disebut dengan tertanggung atau penerima manfaat. Peristiwa apa yang secara kebetulan terjadi yang menimpa tertanggung atau penerima manfaat, atau merugikan harta benda yang diasuransikan yang menyebabkan kerugian dari peristiwa tersebut. Peristiwa atau kejadian tersebut terjadi di luar dari kehendak para pihak). Dalam definisi tersebut digunakan kata kata to confer benefit of precuniary value, tidak digunakan kata kata confer indemnity of precuniary value. Pengertian benefit tidak hanya meliputi ganti kerugian terhadap harta kekayaan, tetapi juga meliputi pengertian yang ada manfaatnya bagi tertanggung. Jadi, termasuk juga pembayaran sejumlah uang pada asuransi jiwa. Defenisi dalam Pasal 41 New York Insurance Law meliputi asuransi kerugian (Schade Verzekering) dan asuransi sejumlah uang (Sommen Verzekering). Rumusan tersebut juga lebih luas daripada rumusan Pasal 246 KUHD. 17 Selain istilah asuransi, juga dikenal istilah Perasuransian. Walaupun kedua kata tersebut hampir sama, namun keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Untuk dapat membedakan pengertian dari kedua istilah tersebut, maka perlu juga diuraikan pengertian dari perasuransian. Perasuransian adalah istilah hukum (legal term) yang dipakai dalam perundang undangan dan Perusahaan Perasuransian. Istilah perasuransian berasal dari kata asuransi yang berarti pertanggungan atau perlindungan atas suatu objek dari ancaman bahaya yang menimbulkan kerugian. Apabila kata asuransi diberi imbuhan per an, maka muncullah istilah perasuransian yang 17 Abdulkadir Muhammad, Loc. Cit.

berkenaan dengan usaha asuransi. 18 Usaha yang berkenaan dengan asuransi ada 2 jenis yaitu: 19 a. Usaha di bidang kegiatan asuransi disebut usaha asuransi (insurance business). Perusahaan yang menjalankan kegiatan asuransi disebut Perusahaan Asuransi (insurance company) b. Usaha di bidang kegiatan penunjang usaha asuransi disebut usaha penunjang asuransi (complementary insurance business). Perusahaan yang menjalankan usaha penunjang usaha asuransi disebut perusahaan penunjang asuransi (complementary insurance company). Menurut Pasal 2 huruf (a) Undang Undang No. 2 tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian dinyatakan bahwa usaha asuransi adalah usaha jasa keuangan yang menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang. Sementara itu, Perusahaan Penunjang Asuarnsi adalah jenis perusahaan yang menjalankan usaha penunjang usaha asuransi. Dalam Pasal 2 huruf (b) Undang- Undang No. 2 Tahun 1992 dikatakan bahwa usaha penunjang usaha asuransi adalah usaha yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, jasa penilaian kerugian asuransi dan jasa aktuaria. 2. Tujuan Asuransi Hidup tak ubahnya seperti permainan dari ketidakpastian. Secara awam, ketidakpastian itu diterjemahkan sebagai resiko. Sesuatu yang belum pasti terjadi, 18 Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Alumni, Bandung,1997, hlm. 13. 19 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm. 5.

akibatnya tentu tidak dikehendaki juga. Misalnya resiko kecelakaan, kematian, kerugian dan lain sebagainya. Tak seorangpun mengetahui secara pasti kapan resiko itu akan terjadi. Berdasarkan uraian diatas, sejatinya yang menjadi fokus utama adalah resiko dibalik ketidakpastian yang umumnya tidak dikehendaki. 20 Namun, resiko itu dapat dialihkan kepada pihak lain (perusahaan asuransi) bila mereka menjadi anggota asuransi. Berdasarkan uraian diatas, asuransi sebenarnya memiliki tujuan tujuan utama yang hendak dicapai. Tujuan tujuan tersebut antara lain: 21 a. Teori Pengalihan Resiko Menurut teori pengalihan resiko, (risk transfer theory), tertanggung menyadari bahwa ancaman bahaya terhadap harta kekayaan miliknya atau terhadap jiwanya. Jika harta kekayaan atau jiwanya terancam, dia akan menderita kerugian atau korban jiwa atau cacat raga. Untuk mengurangi atau menghilangkan beban resiko tersebut, pihak tertanggung berusaha mencari jalan bila ada pihak lain yang bersedia mengambil alih beban resiko ancaman bahaya dan dia sanggup membayar kontra prestasi yang disebut dengan premi. Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan resiko yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung) sejak saat itu resiko beralih kepada pihak penanggung. b. Pembayaran Ganti Kerugian Dalam hal tidak terjadinya perstiwa yang menimbulkan kerugian, maka tidak ada masalahnya terhadap resiko yang ditanggung oleh penanggung. Dalam praktiknya tidak selamanya bahaya yang mengancam itu sungguh sungguh akan terjadi. Ini merupakan kesempatan kepada penanggumg mengumpulkan premi dari tertanggung yang mengikatkan diri kepadanya. 20 Menurut Agus Purwanto 1995 bahwa didalam industri asuransi, resiko diartikan sangat khusus dan sederhana. Secara operasional, resiko diartikan sebagai Uncertainty of financial loss atau kerugian yang tidak pasti. Jadi, resiko memiliki 2 (dua) unsur yaitu ketidakpastian dan kerugian (uncertainty and loss). Oleh karena itu, apapun yang dapat menimbulkan kerugian disebut dengan resiko. Dalam Kun Wahyu Wardana, Hukum Asuransi, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm. 15. 21 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit. hlm. 12.

Jika suatu ketika peristiwa itu sungguh sungguh terjadi, yang menimbulkan kerugian, maka kepada tertanggung akan dibayarkan ganti kerugian seimbang dengan jumlah asuransi. Dengan demikian, tertangung mengadakan asuransi bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang dideritanya. c. Pembayaran Santunan Asuransi kerugian dan asuransi jiwa diadakan berdasarkan perjanjian bebas (sukarela) antara penanggung dengan tertanggung (voluntary insurance). Akan tetapi, undang undang mengatur asuransi yang bersifat wajib (compulsory insurance), artinya, tertanggung terikat dengan penanggung karena undang undang, bukan karena perjanjian. Asuransi jenis ini disebut dengan jenis asuransi sosial (social security insurance). Asuransi sosial bertujuan melindungi masyarakat dari ancaman bahaya kecelakaan yang mengakibatkan kematian atau cacat tubuh. Tertanggung yang telah membayar kontribusi tersebut adalah mereka yang terikat pada suatu hubungan hukum tertentu yang ditetapkan undang undang, misalnya hubungan kerja, penumpang angkutan umum. Apabila mereka mendapat musibah kecelakaan dalam pekerjaannya atau selama angkutan berlangsung, mereka atau ahli warisnya akan memperoleh pembayaran santunan dari penanggung (BUMN), yang jumlahnya telah ditetapkan oleh undang undang. Jadi, tujuan mengadakan asuransi sosial menurut pembentuk undang undang adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat, dan mereka yang terkena musibah diberi santunan sejumlah uang. d. Kesejahteraan Anggota Apabila beberapa orang berhimpun dalam suatu perkumpulan dan membayar kontribusi (iuran) kepada perkumpulan, maka perkumpulan itu berkedudukan sebagai penanggung. Sedangkan anggota pekumpulan bertindak sebagai tertanggung. Jika terjadi peristiwa yang mengakibatkan kerugian atau kematian bagi anggota (tertanggung), perkumpulan akan membayarkan sejumlah unag kepada anggota (tertanggung) yang bersangkutan. Wirjono Prodjodikoro menyebut asuransi seperti ini mirip dengan perkumpulan koperasi. Asuransi ini merupakan asuransi yang saling menanggung (onderlinge verzekering) atau asuransi usaha bersama (mutual insurance) yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan angota. 22 Setelah ditelaah dengan seksama, asuransi saling menanggung tidak dapat digolongkan ke dalam asuransi murni, tetapi hanya mempunyai unsur unsur yang mirip dengan asuransi kerugian atau sejumlah uang. 22 Wirjono Prodjodikoro, Loc. Cit.

Penyetoran uang iuran oleh anggota perkumpulan (seperti premi oleh tertanggung) merupakan pengumpulan dana untuk kesejahteraan anggotanya atau untuk mengurus kepentingan anggotanya. B. Pihak pihak yang Terlibat dalam Perjanjian Asuransi Serta Unsur unsur Penting Asuransi 1. Pihak pihak yang terlibat dalam perjanjian asuransi Untuk mengetahui siapa siapa saja pihak yang terlibat dalam perjajian asuransi, maka perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari subjek hukum itu sendiri sebab perjanjian asuransi juga sama halnya dengan perjanjian lainnya dimana salah satu sahnya perjanjian tersebut harus dibuat oleh pihak pihak yang memenuhi kriteria sebagai subjek hukum. Subjek hukum itu sendiri adalah segala sesuatu pendukung hak dan kewajiban yang terdiri dari manusia dan badan hukum. Jadi, sebagai subjek hukum, baik manusia maupun badan hukum mempunyai hak hak dan kewajiban kewajiban untuk melakukan tindakan hukum dimana mereka dapat mengadakan persetujuan persetujuan. Pada dasarnya, manusia dikatakan sebagai subjek hukum pada saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia meninggal dunia. Bahkan seorang anak yang masih berada dalam kandungan ibunya dapat dikatakan sebagai subjek hukum bilamana kepentingannya mengkehendaki. 23 Walaupun hukum menentukan bahwa setiap orang tanpa terkecuali memiliki hak -hak, akan tetapi pada dasarnya tidaklah semua orang diperbolehkan bertindak sendiri dalam melaksanakan hak hak tersebut. 23 Lihat Pasal 2 kitab Undang Undang Hukum Perdata.

Dalam hal ini ada beberapa golongan orang yang oleh hukum dinyatakan tidak cakap atau kurang cakap untuk bertindak sendiri melakukan perbuatan hukum tetapi mereka harus dibantu atau diwakilkan oleh orang lain. Mereka yang oleh hukum telah dinyatakan untuk melakukan sendiri perbuatan hukum adalah: 24 a. Orang yang masih dibawah umur, yaitu belum mencapai usia 21 tahun atau belum dewasa. b. Orang orang yang tidak sehat pikirannya (gila), pemabuk dan pemboros, yaitu mereka yang ditaruh dibawah pengampuan (curatele). Demikian juga halnya dalam perjanjian selalu ada 2 (dua) macam subjek hukum yaitu disatu pihak seseorang atau suatu badan hukum yang mendapat beban kewajiban untuk sesuatu, dan dilain pihak ada sesorang atau suatu badan hukum yang mendapat hak atau pelaksanaan kewajiban itu. Oleh karena itu dalam suatu perjanjian ada pihak yang berkewajiban dan ada pihak yang berhak. 25 Berbeda halnya dalam perjanjian asuransi, yang merupakan perjanjian timbal balik, dimana satu pihak tidak selalu menjadi pihak yang berhak, melainkan dari sudut lain mempunyai beban kewajiban juga terhadap pihak lain, yang dengan demikian tidak selalu menjadi pihak yang berkewajiban melainkan 24 Lihat Pasal 1330 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. 25 Djanius Djamin dan Syamsul Arifin, Op. Cit., hlm. 30.

menjadi pihak yang berhak terhadap kewajiban dari pihak pertama yang harus dilaksanakan. 26 Jadi, dalam setiap mengadakan perjanjian asuransi, haruslah sekurang kurangnya ada 2 (dua) pihak dimana pihak yang satu disebut penanggung dan pihak lain disebut tertanggung. Dalam hal ini, pihak penanggung adalah pihak terhadapnya resiko tersebut dialihkan, yang seharusnya dipikul sendiri oleh tertanggung karena menderita suatu kerugian atas suatu peristiwa yang tidak tentu. Resiko ini hanya dialihkan kepada penanggung bila adanya premi yang diberikan oleh tertanggung. Jadi, dengan adanya premi ini, pihak penanggung mengikatkan dirinya untu menanggung resiko yang seharusnya ditanggung oleh pihak tertanggung. 27 Sedangkan pihak tertanggung sebagai orang orang yang berkepentingan mengadakan perjanjian asuransi adalah sebagai pihak yang berkewajiban untuk membayar premi kepada penanggung, sekaligus atau berangsur angsur, dengan tujuan akan mendapat penggantian atas kerugian yang mungkin akan dideritanya akibat dari suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi. 28 2. Unsur Unsur Penting Asuransi Bila dilihat dari defenisi asuransi yang terdapat dalam Kitab Undang Undang Hukum Dagang, Pasal 246 disebutkan bahwa asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung 26 Ibid., hlm. 31 27 Ibid. 28 Ibid.

mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang munkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka (1) Undang Undang No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian disebutkan bahwa: Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertangung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang dihapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Berdasarkan 2 (dua) defenisi asuransi yang disebutkan diatas, maka asuransi itu sendiri memiliki unsur unsur yang terkandung didalamnya. Unsur unsur itu yaitu: 29 a. Pihak Pihak Subjek asuransi adalah pihak pihak dalam asuransi, yaitu penanggung dan tertanggung yang mengadakan perjanjian asuransi. Penanggung dan tertanggung adalah pendukung hak dan kewajiban. Penanggung wajib menerima resiko yang dialihkan kepadanya dan berhak memperoleh premi. Sedangkan tertanggung wajib membayar premi dan berhak memperoleh penggantian kepadanya bila peristiwa yang tidak pasti tersebut terjadi kepadanya. b. Status Para Pihak Penanggung harus berstatus sebagai perusahaan badan hukum dapat berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan Perseroan (Persero) atau Koperasi. Tertanggung berstatus sebagai orang pribadi atau badan hukum atau pihak berkepentingan atas harta yang diasuransikan. c. Objek Asuransi Objek asuransi dapat berupa benda, hak atau kepentingan yang melekat pada benda, dan sejumlah uang yang disebut premi atau ganti kerugian. Melalui objek asuransi tersebut, ada tujuan tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak. Penanggung bertujuan memperoleh sejumlah premi dan 29 Wirjono Prodjodikoro, Loc. Cit.

tertanggung bertujuan bebas dari resiko dan memperoleh penggantian jika timbul kerugian pada dirinya. d. Peristiwa Asuransi Peristiwa asuransi adalah perbuatan hukum (legal act) dapat berupa persetujuan atau kesepakatan bebas antara penanggung dan tertanggung mengenai objek asuransi, peristiwa tidak pasti (evenemen) mengancam benda asuransi dan syarat syarat yang berlaku dalam asuransi. e. Hubungan Asuransi Hubungan asuransi yang terjadi antara penanggung dan tertanggung adalah keterikatan (legally bound) yang timbul karena persetujuan atau kesepakatan bebas. Artinya sejak tercapainya kesepakatan asuransi, tertanggung terikat dan wajib membayar premi asuransi kepada penanggung dan saat itu pula penanggung menerima pengalihan resiko. C. Prinsip prinsip Umum dalam Perjanjian Asuransi Dalam asuransi dikenal beberapa prinsip yang menjadi pedoman dalam mengadakan perjanjian asuransi. Prinsip Prinsip tersebut yaitu: 30 1. Prinsip Kepentingan yang Dapat Diasuransikan (Insurable Interest) Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (Inrusable Interest) merupakan syarat mutlak untuk mengadakan perjanjian asuransi. Apabila pihak tertanggung atau pihak yang dipertanggungkan tidak memiliki kepentingan pada saat mengadakan perjanjian auransi, dapat menyebabkan perjanjian tersebut menjadi tidak sah atau batal demi hukum 31 Prinsip kepentingan yang diasuransikan ini diatur dalam pasal 250 KUHD yang berbunyi: Apabila seseorang yang telah mengadakan asuransi untuk diri sendiri, atau apabila seseorang yang untuknya telah diadakan asuransi, pada saat diadakannya asuransi itu tidak mempunyai kepentingan terhadap barang yang diasuransikan itu, maka penanggung tidak diwajibkan memberi ganti rugi. Diharuskannya ada prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest) dalam perjanjian asuransi dengan maksud untuk mencegah agar asuransi tidak menjadi permainan dan perjudian. Hal itu disebabkan, apabila sesorang yang tidak mempunyai kepentingan atas suatu objek tersebut, maka akibatnya tanpa menderita kerugian orang 30 Kun Wahyu Wardana, Hukum Asuransi, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009. hlm. 84 31 Ibid, hlm 31

tersebut akan mendapat ganti kerugian apabila terjadi peristiwa yang tidak dikehendaki menimpa objek dimaksud. 32 Sri Rejeki Hartono, memberikan metode bagaimana mendeteksi apakah seseorang memiliki kepentingan atau tidak dalam asuransi dengan menggunakan indikator sebagai berikut: 33 a. Seberapa jauh keterkaitan tertanggung terhadap benda/objek perjanjian asuransi terhadap terjadinya peristiwa yang diperjanjikan; b. Apakah peristiwa yang terjadi menyebabkan kerugian atau tidak terhadap tertanggung; 2. Prinsip Itikad Baik yang Sempurna (Utmost Goodfaith) Dalam Kontrak asuransi, itikad baik saja belum cukup tetapi dituntut yang terbaik dari itikad baik dari calon tertanggung. Hal ini dikarenakan tertanggung yang dinilai lebih memahami tentang objek yang akan dipertanggungkan, maka tertanggung harus mengungkapkan seluruh fakta material yang berkaitan objek pertanggungan tersebut secara akurat dan lengkap kepada Underwriter. 34 Prinsip itikad baik yang sempurna (Utmost Good Faith) menyangkut kewajiban yang harus dipenuhi para pihak sebelum kontrak ditutup dan bukan dipenuhi dalam rangka pelaksanaan kontrak yang sudah ditutup seperti itikad baik yang dimaksud Pasal 1338 KUH Perdata. 35 Prinsip itikad baik yang sempurna ini juga diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Dagang. Dalam Pasal 251 KUHD disebutkan: 32 Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, PT Alumni Bandung,1997, hlm. 16 33 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta 2001, hlm. 12 34 Underwriter adalah sebutan yang diberikan kepada orang yang bertanggung jawab dalam perusahaan asuransi untuk menilai resiko yang akan dipertanggungkan, menentukan apakah menerima atau menolak resiko, atau menerima sebagian. Dan mengkalkulasi besaran premium yang wajar untuk suatu resiko yang dipertanggungkan. Dalam Kun Wahyu Wardana, Op. Cit., hlm. 34 35 H. Gunanto, Asuransi Kebakaran di Indonesia, Logos Wacana Ilmu, Tanggerang, 2003, hlm. 12

Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak memberitahukan hal hal yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya sehingga seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup atau tidak ditutup dengan syarat syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan. Mengenai kapan saja masa berlakunya prinsip itikad baik yang sempurna ini yang harus dimiliki oleh para pihak dalam perjanjian asuransi terutama tertanggung, AM. Hasan Ali, memiliki pendapatnya sendiri bahwa kewajiban untuk memberikan fakta fakta penting tersebut berlaku: 36 a. Sejak perjanjian mengenai perjanjian asuransi dibicarakan sampai kontrak asuransi selesai dibuat, yaitu pada saat para pihak menyetujui kontrak tersebut. b. Pada saat perpanjangan kontrak tersebut c. Pada saat terjadi perubahan kontrak asuransi dan mengenai hal hal yang ada kaitannya dengan perubahan perubahan itu. Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan prinsip itikad baik yang sempurna (Utmost Good Faith) atau kejujuran yang sempurna harus selalu ada dari tertanggung untuk mengungkapkan seluruh fakta material yang dinilai akan berpengaruh terhadap keputusan seorang Underwriter. Jadi, itikad baik yang sempurna dalam suatu perjanjian merupakan suatu sikap yang dilandasi oleh kejujuran, tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dapat merugikan pihak lain yang harus dilakukan oleh para pihak yang membuat perjanjian. 36 AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam; Suatu Tinjauan Analiis Historis, Teoritis dan Praktis, Prenada Media, Jakarat, 2004, hlm. 20.

3. Prinsip Keseimbangan (Indemnity Principle) Merupakan salah satu prinsip dalam perjanjian asuransi yang menyatakan bahwa besarnya penggantian kerugian dari penanggung harus seimbang dengan kerugian yang sungguh sungguh diderita oleh tertanggung. Penerapan prinsip keseimbangan (Indemnity Principle) dalam asuransi ini, sekaligus menjadi pembeda bahwa asuransi tidak sama dengan perjudian. Dalam perjudian tidak dikenal ganti rugi bagi yang kalah. Kerugian akibat kekalahan yang diderita dalam perjudian merupakan konsekuensi yang harus diterima. 37 Sedangkan dalam asuransi, ganti rugi merupakan suatu tujuan bahwa asuransi merupakan risk transfer mechanism. Mengalihkan atau membagi resiko yang kemungkinan akan diderita atau dihadapi tertanggung atas suatu peristiwa yang tidak dikehendaki dan belum pasti terjadi. Namun, satu hal yang perlu diketahui dalam prinsip keseimbangan (Indemnity Principle) ini, bahwa tertanggung tidak diperkenankan untuk memperoleh keuntungan dari ganti rugi yang diberikan oleh penanggung. Besarnya ganti rugi yang diterima oleh tertanggung harus seimbang atau sama dengan kerugian yang dideritanya. Untuk menciptakan keseimbangan antara kerugian dengan ganti rugi harus terlebih dahulu diketahui berapa nilai atau harga dari objek yang diasuransikan. Sedangkan dalam asuransi jiwa yang tidak dapat diukur secara finansial kerugian yang diderita, maka prinsip kepentingan ini tidak berlaku. Jadi, besarnya ganti rugi yang dibayarkan kepada tertanggung ditentukan oleh berapa nilai pertanggungan (manfaat) yang dikehendaki dan kesanggupan dari tertanggung dalam membayar preminya. Semakin besar nilai pertanggungan yang dikehendaki, maka semakin besar pula nilai premi yang harus dibayarkan. 38 4. Prinsip Subrogasi. Subrogasi merupakan peralihan hak dari tertanggung kepada penanggung untuk menuntut ganti rugi kepada pihak lain yang mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap objek pertanggungan dari tertanggung sesaat setelah penanggung membayar ganti rugi tersebut kepada tertanggung sesuai jaminan polis. Tapi, suatu hal yang pelu diketahui, bahwa subrogasi hanya berlaku untuk contract of indemnity karena subrogasi mencegah tertanggung untuk mendapatkan penggantian lebih dari kerugian yang dideritanya. 39 Pemahaman prinsip subrogasi ini juga diatur dalam ketentuan pasal 284 KUHD yang mengatur subrogasi sebagai berikut: 37 Kun Wahyu Wardana, Op. Cit. hlm. 38 38 Ibid., hlm. 39 39 Ibid, hlm. 42.

Seorang penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu barang yang diasuransikan, menggantikan tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap orang orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut dan tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap orang orang ketiga itu. Prinsip subrogasi ini timbul karena dalam hukum berlaku Pasal 1365 KUH Perdata yang mengharuskan pihak yang menyebabkan kerugian tersebut bertanggung jawab dengan mengganti kerugian tersebut kepada pihak yang dirugikan. Dalam bahasa lain, pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi kepda pihak yang menyebabkan kerugian. Oleh karena itu, untuk menghindari tertanggung mendapatkan keuntungan atas pemberlakuan pasal tersebut, yang memungkinkan tertanggung mendapatkan pemenuhan kembali kerugian dari perusahaan asuransi sebagai penanggung dan pihak ketiga yang manjadi penyebab kerugian, maka subrogasi menjadi prinsip yang menyertai prinsip keseimbangan. 40 D. Polis Asuransi dan Premi Asuransi. 1. Polis Asuransi Dalam suatu perjanjian asuransi, biasanya dibuat dalam bentuk akte yang berisi perjanjian antara penanggung dengan tertanggung. Akte tesebutlah yang bernama polis asuransi. Menurut ketentuan Pasal 255 KUHD, perjanjian asuransi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut polis. Selanjutnya Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian menentukan: 40 Ibid, hlm. 43

Polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang merupakan satu kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata, kata kata atau kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai resiko yang ditutup asuransinya, kewajiban penanggung dan kewajiban tertanggung, atau mempersulit tertanggung mengurus haknya. Berdasarkan ketentuan 2 (dua) pasal tersebut diatas, maka dapat dipahami bahwa polis berfungsi sebagai alat bukti tertulis yang menyatakan bahwa telah terjadi perjanjian asuransi anatara tertanggung dan penanggung. Sebagai alat bukti tertulis, isi yang tercantum dalam polis harus jelas, tidak boleh mengandung kata kata atau kalimat yang memungkinkan perbedaan penafsiran sehingga mempersulit tertanggung dan penanggung merealisasikan hak dan kewajiban mereka dalam pelaksanaan asuransi. Di samping itu, polis juga memuat kesepakatan mengenai syarat - syarat khusus dan janji janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban untuk mencapai tujuan asuransi. Tetapi, yang perlu diketahui bahwa polis sebenarnya bukan merupakan hal mutlak yang harus ada dalam perjanjian asuransi akan tetapi sebagai alat pembuktian adanya perjanjian asuransi yang diadakan oleh pihak penanggung dengan tertanggung. Hal tersebut diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Dagang, dimana dalam Pasal 257 KUHD disebutkan bahwa Perjanjian pertanggungan diterbitkan seketika setelah ia ditutup, hak hak dan kewajiban bertimbal balik dari si penanggung dan si tertanggung mulai berlaku semenjak saat itu, bahkan sebelum polisnya ditandatangani. Ketentuan yang hampir senada juga dalam Pasal 258 KUHD yang berbunyi sebagai berikut: Untuk membuktikan hal ditutupnya perjanjian tersebut, diperlukan pembuktian dengan tulisan namun demikian bolehlah lain lain alat

pembuktian dipergunakan juga, manakala sudah ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan. Namun demikian bolehlah ketetapan ketetapan dan syarat syarat khusus apabila tentang itu timbul suatu perselisihan, dalam jangka waktu antara penutupan perjanjian dan penyerahan polisnya, dibuktikan dengan segala alat bukti tetapi dengan pengertian bahwa segala hal yang dalam beberapa macam pertanggungan oleh ketentuan - ketentuan undang undang, atas ancaman ancaman batal, diharuskan penyebutannya dengan tegas dalam polis, harus dibuktikan dengan tulisan. Dalam perjanjian asuransi sering dimuat janji janji khusus yang dirumuskan dengan tegas dalam polis, yang lazim disebut klausula asuransi. Maksud klausula tersebut adalah untuk mengetahui batas tanggung jawab penanggung dalam pembayaran ganti kerugian apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian. 41 Sejatinya, setiap polis kecuali mengenai asuransi jiwa harus memuat syarat syarat khusus sebagai berikut: 42 a. Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi; b. Nama tertanggung untuk diri sendiri atau untuk pihak ketiga; c. Uraian jelas mengenai benda yang diasuransikan; d. Jumlah yang diasuransikan; e. Bahaya bahaya (evenemen) yang ditanggung oleh penanggung; f. Saat bahaya (evenemen) mulai berjalan dan berakhir yang menjadi tanggungan penanggung; g. Premi asuransi; h. Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh penanggung dan segala janji - janji khusus yang diadakan para pihak. Apabila asuransi diadakan langsung antara tertanggung dan penanggung, maka polis harus ditandatangani dan diserahkan oleh penanggung dalam tempo 24 (dua puluh empat) jam setelah permintaan, kecuali apabila karena ketentuan 41 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit. hlm 59 42 Lihat Pasal 256 KUHD

undang undang ditentukan tenggang waktu yang lebih lama. 43 Berdasarkan ketentuan ini, maka pembuat polis adalah penanggung atas permintaan tertanggung. Penanggung menandatangani polis tersebut, setelah itu segera diserahkan kepada tertanggung. Pembuatan polis oleh penanggung sesuai dengan fungsi polis sebagai bukti tertulis bagi kepentingan tertanggung. Namun, asuransi tidak hanya dapat diadakan untuk kepentingan sendiri, tetapi juga untuk kepentingan pihak ketiga, baik berdasarkan kuasa umum atau kuasa khusus, bahkan tanpa pengetahuan pihak ketiga yang berkepentingan. 44 Apabila asuransi tersebut diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, maka menurut ketentuan Pasal 265 KUHD, hal itu ditegaskan dalam polis apakah terjadi berdasarkan pemberian kuasa atau tanpa pengetahuan pihak ketiga yang berkepentingan. Asuransi yang diadakan tanpa pemberian kuasa dan tanpa pengetahuan pihak ketiga yang berkepentingan, menurut ketentuan Pasal 266 KUHD adalah batal, apabila benda yang sama diasuransikan oleh yang berkepentingan atau oleh pihak ketiga atas perintahnya, sebelum diketahuinya asuransi yang diadakan tanpa pengetahuannya itu. 2. Premi Asuransi Dalam perjanjian asuransi, terdapat salah satu unsur penting dalam asuransi karena merupakan kewajiban utama yang wajib dipenuhi oleh tertanggung kepada penanggung. Unsur penting yang harus dipenuhi oleh tertanggung tersebut dinamakan premi asuransi. Premi asuransi merupakan suatu 43 Pasal 259 KUHD. 44 Pasal 264 KUHD.

pembayaran dari tertanggung kepada penanggung sebagai imbalan uang ganti rugi apabila terjadi peristiwa yang tidak diiginkan terjadi. Premi ini merupakan hal mutlak dalam asuransi, sebab semakin besar suatu resiko yang ditanggung, semakin besar pula pembayaran asuransinya. Premi asuransi diatur dalam Pasal 246 KUHD yang menyatakan dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi. Dalam hubungan hukum, penanggung menerima pengalihan resiko dari tertanggung dan tertanggung membayar sejumlah premi sebagai imbalannya. Apabila premi tidak dibayar, asuransi dapat dibatalkan atau setidaknya asuransi tidak berjalan. Premi harus dibayar lebih dahulu oleh tertanggung karena tertanggunglah pihak yang berkepentingan. 45 Sebagai perjanjian timbal balik, asuransi bersifat konsensual, artinya sejak terjadi kesepakatan timbullah kewajiban dan hak kedua belah pihak. Akan tetapi, asuransi baru berjalan jika kewajiban tertanggung membayar premi telah dipenuhi, dan sejak saat itulah resiko beralih kepada pihak penanggung. 46 Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dipahami bahwa premi dalam perjanjian asuransi merupakan unsur yang sangat penting dan syarat mutlak yang harus ada dalam perjanjian asuransi. Kriteria premi asuransi adalah sebagai berikut: 47 a. Dalam bentuk sejumlah uang; 45 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hlm. 103 46 Ibid, hlm. 104. 47 Ibid.

b. Dibayar terlebih dahulu oleh tertanggung; c. Sebagai imbalan pengalihan resiko; d. Dihitung berdasarkan persentase terhadap nilai resiko yang dialihkan. Penetapan jumlah premi asuransi yang harus dibayarkan didasarkan atas penghitungan analisis resiko yang sehat dan juga atas dasar penilaian resiko yang akan dipikul oleh penanggung. Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, premi harus ditetapkan pada tingkat yang mencukupi, tidak berlebihan dan tidak diterapkan secara diskriminatif. Pada ayat (2) dikatakan tingkat premi dinilai tidak mencukupi apabila: a. Sedemikian rendah sehingga tidak sebanding dengan manfaat yang diperjanjikan dalam polis asuransi yang bersangkutan; b. Penerapan tingkat premi secara berkelanjutan akan membahayakan tingkat solvabilitas perusahaan; c. Penerapan tingkat premi secara berkelanjutan akan dapat merusak iklim kompetisi yang sehat. Tingkat premi dinilai berlebihan apabila sedemikian tinggi, sehingga sangat tidak sebanding dengan manfaat yang diperjanjikan dalam polis asuransi yang bersangkutan. Penerapan tingkat premi dinilai bersifat diskriminatif apabila

tertanggung dengan luas pengadaan yang sama serta dengan jenis tingkat resiko yang sama dikenakan tingkat premi yang berbeda. 48 48 Ibid, hlm. 106.