Pengaruh Ketebalan Lapisan Aktif terhadap Karakteristik Sel Surya Berbasis a-si:h yang Ditumbuhkan dengan Teknik HWC-VHF-PECVD Ida Usman 1) dan Toto Winata 2) 1) Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan IlmuPengetahuan Alam, Universitas Haluoleo, Kendari 2) Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung, Bandung e-mail: idausman@sains.fisika.net Diterima 23 September 2008, disetujui untuk dipublikasikan 31 Desember 2008 Abstrak Telah dikembangkan teknik HWC-VHF-PECVD (Hot Wire Cell Very High Frequency Plasma Enhanced Chemical Vapor Deposition) untuk penumbuhan lapisan tipis silikon. Teknik ini telah digunakan pula pada fabrikasi divais sel surya p-i-n berbasis silikon amorf terhidrogenasi (a-si:h) dengan ketebalan lapisan aktif (lapisan-i) yang bervariasi. Berdasarkan hasil pengukuran karakteristik arus-tegangan (I-V) sel surya yang dihasilkan, diketahui bahwa efisiensi konversi sangat dipengaruhi oleh ketebalan lapisan-i masing-masing sel surya tersebut. Dalam penelitian ini, efisiensi konversi tertinggi mencapai 9,39 % yang diperoleh dari sel surya dengan ketebalan lapisan-i 5500 Å. Semua parameter sel surya mengalami penurunan saat ketebalan lapisan-i ditingkatkan hingga ketebalan 6000 Å, yang diduga akibat peningkatan hambatan seri sel surya yang ditandai dengan nilai fill factor yang terus mengalami penurunan. Kata kunci: HWC-VHF-PECVD, Lapisan aktif, Efisiensi konversi Abstract The HWC-VHF-PECVD (Hot Wire Cell Very High Frequency Plasma Enhanced Chemical Vapor Deposition) technique has been developed for silicon thin film deposition. The developed technique was also used to fabricate the hydrogenated amorphous silicon (a-si:h) based p-i-n solar cells with varied active layer (i-layer) thickness. Based on the measurement result of current-voltage (I-V) characteristic of resulted solar cells, it is known that the conversion efficiencies are influenced by the i-layer thickness of each solar cell. In this research, the highest conversion efficiency of 9,39 % was achieved from solar cell with i-layer of 5500 Å thickness. All of solar cell parameters decrease as the i- layer thickness increases to 6000 Å, which were probably affected by the serial resistance increases that marked by the degradation of fill factor value. Keyword: HWC-VHF-PECVD, Active layer, Conversion efficiency 1. Pendahuluan oleh Prasad pada tahun 1991 yang melaporkan bahwa laju deposisi lapisan tipis a-si:h meningkat dengan Salah satu permasalahan utama yang peningkatan frekuensi eksitasi plasma, hingga ditemukan dalam sel surya berbasis silikon amorf diperoleh laju deposisi optimum pada frekuensi 70 terhidrogenasi (a-si:h) adalah ketidakstabilan MHz (Prasad, 1991). Hasil tersebut mengawali lahirnya efisiensinya setelah disinari dengan intensitas tinggi teknik VHF-PECVD (Very High Frequency PECVD) dalam waktu yang cukup lama. Fenomena ini dikenal yang menggunakan rf 70 MHz sebagai pembangkit sebagai efek Staebler-Wronski (Staebler-Wronski daya. Beberapa peneliti melaporkan bahwa lapisan tipis Effect, SWE). Kandungan hidrogen yang tinggi a-si:h yang diperoleh melalui teknik VHF-PECVD kemudian diketahui sebagai salah satu penyebab SWE, memiliki laju deposisi yang lebih tinggi dan kandungan dimana ikatan antara silikon-hidrogen mudah terlepas hidrogen yang lebih rendah dibandingkan dengan oleh pengaruh penyinaran dengan intensitas tinggi teknik PECVD konvensional (Kröll dkk., 1998; Van sehingga meninggalkan cacat-cacat dalam material sel Sark dkk., 1998). Bahkan teknik VHF-PECVD telah surya tersebut (Takahashi dan Konagai, 1986). Oleh lazim digunakan untuk menumbuhkan lapisan tipis karena itu, beberapa peneliti kemudian melakukan silikon mikrokristal terhidrogenasi (µc-si:h) (Fukawa pengembangan teknik PECVD untuk mengatasi dkk., 2001; Graf dkk., 2003). Hingga saat ini, teknik permasalahan tersebut. VHF-PECVD masih menarik perhatian banyak peneliti. Pengembangan teknik PECVD diawali oleh Salah satu fenomena menarik yang dijumpai adalah Curtins dan kawam-kawan pada tahun 1987 dengan bahwa panjang gelombang yang lebih pendek pada meningkatkan frekuensi eksitasi plasma dalam rentang frekuensi yang lebih tinggi dapat menyebabkan frekuensi yang sangat tinggi (Curtins dkk., 1987). ketidakhomogenan tegangan antar elektroda untuk Pengembangan seperti ini kemudian dilakukan pula kasus penumbuhan lapisan pada area yang luas 109
110 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, DESEMBER 2008, VOL. 13 NO. 4 (Takatsuka dkk., 2004). Pada skala produksi massal sel surya dalam bentuk modul, fenomena tersebut sangat tidak diharapkan. Teknik lain yang biasa digunakan untuk penumbuhan lapisan tipis a-si:h adalah teknik Hot Wire PECVD (HW-PECVD). Dalam teknik ini, gas didekomposisi oleh filamen panas dan daya rf yang secara efektif akan meningkatkan laju dekomposisi gas reaktan (Kumbhar dan Kshirsagar, 1996). Kelemahan dari teknik HW-PECVD yang telah dikembangkan oleh peneliti sebelumnya adalah konduktivitas lapisan a- Si:H yang dihasilkan masih relatif rendah. Selain itu, kehadiran filamen panas secara langsung mempengaruhi temperatur substrat sehingga kestabilan temperatur substrat sulit dipertahankan (Syamsu dkk., 2001). Hal ini akan mempengaruhi sifat-sifat dari lapisan yang dihasilkan. Oleh karena itu, dikembangkan teknik Hot Wire Cell VHF-PECVD (HWC-VHF-PECVD), dimana filamen ditempatkan pada bagian sistem gas masukan dan jauh dari substrat sehingga kestabilan temperatur substrat tetap dapat dipertahankan. Dalam penelitian sebelumnya, teknik HWC-VHF-PECVD telah berhasil digunakan untuk penumbuhan lapisan tipis a-si:h pada temperatur filamen rendah maupun lapisan tipis µc-si:h pada temperatur filamen tinggi (Winata dkk., 2006). Dalam makalah ini akan dilaporkan karakteristik sel surya berbasis a-si:h pada variasi ketebalan lapisan aktif (lapisan-i). Sebagaimana diketahui bahwa lapisan-i divais sel surya p-i-n berbasis a-si:h memegang peranan yang paling penting dalam pemanfaatan energi foton untuk mengeksitasi pembawa muatannya dari pita valensi ke-pita konduksi. Pada satu sisi, foton akan diserap lebih banyak jika lapisan aktifnya semakin tebal sehingga laju generasi pembawa muatan meningkat. Di sisi lain, lapisan-i yang lebih tebal ikut memberi kontribusi peningkatan keadaankeadaan terlokalisasi serta peningkatan hambatan serinya sehingga menurunkan efisiensi konversi sel surya tersebut. Oleh karena itu, ketebalan lapisan-i optimum yang memberikan karakteristik terbaik secara langsung ditentukan oleh kualitas materialnya, yang secara tidak langsung berkaitan dengan teknik yang digunakan saat penumbuhan material tersebut. 2. Eksperimen Dalam penelitian yang dilakukan, sel surya a- Si:H ditumbuhkan di atas substrat gelas Corning 7059 yang telah dilapisi dengan TCO (Tin Conducting Oxide) dari bahan ITO (Indium Tin Oxide). Sistem reaktor HWC-VHF-PECVD yang digunakan terdiri atas dua ruang deposisi, masing-masing digunakan khusus untuk mendeposisi lapisan intrinsik dan lapisan ekstrinsik. Meskipun reaktor yang digunakan telah didisain sebagai teknik HWC-VHF-PECVD, namun tegangan filamen yang digunakan masih dalam kondisi OFF (0 volt) untuk memastikan bahwa lapisan yang dihasilkan masih berstruktur amorf. Dalam kondisi ini, temperatur filamen hanya ditentukan oleh radiasi temperatur heater (temperatur substrat). Gas silan (SiH 4 ) konsentrasi 10% dalam hidrogen (H 2 ) digunakan sebagai gas sumber. Sebagai gas dopan digunakan gas B 2 H 6 konsentrasi 10% dalam H 2 untuk dopan lapisan tipe-p dan gas PH 3 konsentrasi 10% dalam H 2 untuk dopan lapisan tipe-n. Parameter penumbuhan yang digunakan seperti diperlihatkan pada Tabel-1. Tabel 1. Parameter fabrikasi divais sel surya a-si:h pada variasi ketebalan lapisan-i Tipe lapisan Laju aliran SiH 4 (sccm) Laju Laju aliran aliran B 2 H 4 PH 4 (sccm) (sccm) Temperatur substrat ( o C) Daya rf (watt) Tekanan chamber (mtorr) p 70 0,7-275 12 300 i 70 - - 275 8 300 n 70-1,4 275 8 300 Optimasi ketebalan lapisan-i dilakukan berdasarkan rekomendasi hasil simulasi tentang rentang (range) ketebalan yang dapat menghasilkan sel surya dengan karakteristik yang baik (Usman dkk., 2006). Oleh karena itu, ketebalan lapisan-i divariasi antara 4400-6000 Å, sedang ketebalan lapisan-p dan lapisan-n dipertahankan tetap masing-masing dengan ketebalan 150 Å dan 300 Å. Dalam penelitian ini, sel surya a- Si:H difabrikasi dengan persambungan p-i-n (struktur p-i-n) yang secara skematik seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Gambar 1. Struktur dasar divais sel surya p-i-n. Untuk mengetahui unjuk kerja sel surya yang dihasilkan, karakteristik arus-tegangan (I-V) sel surya tersebut diukur di bawah penyinaran dengan intensitas yang tetap. Dalam penelitian ini, karakteristik I-V diukur dengan menggunakan Keithley 617. Sebagai sumber cahaya digunakan lampu halogen pada intensitas 34 mw/cm 2. Dari pengukuran karakteristik
Usman dan Winata, Pengaruh Ketebalan Lapisan Aktif terhadap Karakteristik Sel Surya 111 I-V tersebut selanjutnya diketahui parameter-parameter sel surya antara lain tegangan rangkaian-terbuka (opencircuit voltage, V OC ), arus hubung-singkat (shortcircuit current, I SC ), titik operasi maksimum untuk menentukan faktor pengisi (fill factor, F F ), serta efisiensi konversi (η). Pada titik operasi maksimum selanjutnya diketahui tegangan maksimum (V m ) dan arus maksimum (I m ). Efisiensi konversi merupakan perbandingan antara daya keluaran sel surya (P out ) terhadap daya yang diberikan (P in ), ditentukan melalui hubungan: Pout VOC ISC FF η = = x 100% (1) Pin Φ A dimana Φ adalah intensitas penyinaran dan A adalah luas sel surya. Sedangkan F F ditentukan melalui hubungan: Vm Im F = F V I (2) OC SC 3. Hasil dan Diskusi Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa lapisani divais sel surya p-i-n berbasis a-si:h memegang peranan yang paling penting dalam pemanfaatan energi foton untuk mengeksitasi pembawa muatannya dari pita valensi ke-pita konduksi serta kekuatan medan listrik yang terbentuk antara lapisan-p dan lapisan-n. Foton akan diserap lebih banyak jika lapisan aktifnya semakin tebal sehingga laju generasi pembawa muatan meningkat. Namun demikian, lapisan-i yang lebih tebal ikut memberi kontribusi atas peningkatan hambatan seri (series resistance, R s ) akibat keadaan-keadaan terlokalisasi yang juga akan mengalami peningkatan. Di sisi yang lain, lapisan-i yang terlalu tipis akan menyebakan melemahnya medan listrik yang terbentuk antara lapisan-p dan lapisan-n. Gambar 2 memperlihatkan ilustrasi distribusi potensial pada sel surya a-si:h dengan lapisan-i yang lebih tipis dan yang lebih tebal (Takahashi and Konagai, 1986). Hal inilah yang menjadi pertimbangan utama sehingga ketebalan lapisan-i perlu dioptimasi sebelum fabrikasi sel surya dilakukan. Gambar 2. Ilustrasi perbedaan distribusi potensial pada sel surya a-si:h dengan lapisan-i yang tipis (a) dan yang tebal (b). Selain hambatan seri, faktor lain yang mempengaruhi karakteristik sel surya adalah nilai hambatan langsir (shunt resistance, R sh ). Hambatan ini berkaitan dengan proses rekombinasi pembawa muatan dari pita konduksi ke pita valensi. Dalam sel surya, rekombinasi antar pita tidak diharapkan karena akan menurunkan aliran elektron (aliran arus) dari lapisan-n ke lapisan-p. Namun demikian, gejala ini tidak dapat dihindari pada sel surya berbasis a-si:h karena material a-si:h memiliki keadaan-keadaan terlokalisasi pada daerah celah pita energi (band gap) dimana keadaan ini akan memperbesar kemungkinan terjadinya rekombinasi antar pita. Oleh karena itu, sel surya ideal memiliki nilai R sh yang sangat besar dan nilai R s yang sangat kecil. Efek perubahan nilai R s dan R sh terhadap karakteristik sel surya a-si:h diilustrasikan pada Gambar 3 (Takahashi dan Konagai, 1986). Gambar 3. Ilustrasi pengaruh R s (a) dan R sh (b) terhadap karakteristik sel surya berbasis a-si:h. Gambar 4 memperlihatkan hasil pengukuran karakteristik I-V sel surya a-si:h yang dihasilkan pada variasi ketebalan lapisan-i antara 4400-6000 Å. Secara keseluruhan, sel surya a-si:h yang dihasilkan secara umum masih memiliki nilai fill factor yang rendah, ditunjukkan dengan daya keluaran maksimum yang masih rendah. Salah satu faktor yang menjadi penyebab rendahnya nilai fill factor sel surya a-si:h yang dihasilkan adalah mekanisme pembentukan persambungan yang belum sempurna sehingga menciptakan keadaan-keadaan cacat pada daerah antar lapisan (interface). Diketahui bahwa sel surya yang dihasilkan memiliki empat daerah persambungan, masing-masing adalah persambungan antara substrat (TCO) dengan lapisan-p, antara lapisan-p dengan lapisan-i, antara lapisan-i dengan lapisan-n, dan antara lapisan-n dengan kontak logam. Jika mekanisme persambungan antar lapisan-lapisan tersebut tidak terbentuk dengan baik maka akan menciptakan keadaan-keadaan cacat pada daerah persambungan.
112 JURNAL MATEMATIKA DAN SAINS, DESEMBER 2008, VOL. 13 NO. 4 Gambar 4. Karakteristik I-V divais sel surya a-si:h pada variasi ketebalan lapisan-i, sedangkan ketebalan lapisan-p dan -n dipertahankan tetap masing-masing 150 Å dan 300 Å. Cacat yang terbentuk dalam setiap persambungan juga akan memberi kontribusi yang besar terhadap peningkatan nilai hambatan seri sel surya tersebut. Jika hal ini terjadi, arus yang dihasilkan oleh efek penyinaran (arus foto) akan mengalami penurunan yang cepat terhadap peningkatan tegangan bias. Meskipun demikian, semua sel surya yang dihasilkan telah memperlihatkan mekanisme pembentukan medan listrik internal yang cukup baik, ditunjukkan oleh nilai V OC yang cukup tinggi. Gambar 5. Karakteristik sel surya a-si:h sebagai fungsi ketebalan lapisan-i. Gambar 5 memperlihatkan karakteristik sel surya a-si:h sebagai fungsi ketebalan yang ditentukan dari kurva I-V pada Gambar 4. Terlihat bahwa kurva karakteristik I-V yang dihasilkan pada ketebalan lapisan-i 4400 Å lebih baik karena memiliki nilai R sh yang lebih tinggi dan nilai R s yang lebih rendah dibanding kurva I-V sel surya dengan ketebalan lapisan-i yang lain. Sesuai dengan uraian di atas bahwa penambahan ketebalan lapisan-i memberi kontribusi atas jumlah energi foton yang mampu diserap oleh sel surya. Hal ini terlihat dari kecenderungan peningkatan nilai J SC saat ketebalan lapisan-i ditingkatkan dari 4400 Å hingga 5500 Å. Nilai J SC kemudian mengalami penurunan yang cukup drastis ketika ketebalan lapisani mencapai 6000 Å, diduga akibat melemahnya medan listrik yang terbentuk antara lapisan-p dan lapisan-n untuk lapisan-i yang terlalu tebal. Dugaan ini ditunjang oleh penurunan potensial listrik (diketahui dari nilai V OC ) sejak ketebalan lapisan-i mencapai 5500 Å dimana nilai V OC sebelumnya mengalami peningkatan saat ketebalan lapisan-i ditingkatkan dari 4400 Å hingga 5500 Å. Terlihat bahwa efisiensi konversi menurun dari 7,58 % menjadi 3,79 % terhadap peningkatan ketebalan lapisan-i dari 4400 Å menjadi 5000 Å. Kontribusi peningkatan jumlah keadaan terlokalisasi pada celah pita (cacat celah pita) mulai terlihat jelas sejak ketebalan lapisan-i ditingkatkan, sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya arus rekombinasi antar pita dan memperkecil nilai R sh. Dari Gambar 4 terlihat bahwa pada ketebalan sel surya > 4400 Å, arus keluaran sel surya dengan cepat mengalami penurunan terhadap peningkatan tegangan bias. Meskipun medan listrik internal terbentuk paling baik pada ketebalan lapisan-i 5000 Å, yang ditandai dengan nilai V OC tertinggi, penurunan efisiensi tersebut lebih diakibatkan oleh cacat persambungan antar lapisan dan cacat celah pita yang ditandai dengan nilai F F yang menurun. Namun demikian, penurunan tersebut diimbangi oleh peningkatan nilai J SC akibat serapan energi foton yang lebih besar diikuti dengan perbaikan nilai F F sehingga diperoleh efisiensi tertinggi 9,39 % pada ketebalan lapisan-i 5500 Å. Semua parameter sel surya kemudian mengalami penurunan saat ketebalan lapisan-i terus ditingkatkan hingga 6000 Å, yang diakibatkan oleh penurunan medan listrik internal, peningkatan nilai R s, dan penurunan nilai R sh. 4. Kesimpulan Berdasarkan karakteristik sel surya yang diperoleh dalam penelitian ini, beberapa hal yang dapat disimpulkan antara lain bahwa teknik HWC-VHF- PECVD dapat digunakan untuk fabrikasi divais sel surya p-i-n berbasis a-si:h dengan efisiensi konversi yang cukup baik (9,39 %). Meskipun demikian, karakteristik I-V sel surya a-si:h yang dihasilkan
Usman dan Winata, Pengaruh Ketebalan Lapisan Aktif terhadap Karakteristik Sel Surya 113 dalam penelitian ini masih memperlihatkan nilai fill factor yang masih rendah. Kemungkinan paling besar yang menyebabkan rendahnya nilai fill factor tersebut adalah mekanisme persambungan pada daerah-daerah antar lapisan (interface) yang belum sempurna sehingga menciptakan keadaan-keadaan cacat pada daerah-daerah tersebut. Oleh karena itu, diperlukan studi yang lebih lanjut untuk mengkaji mekanisme pembentukan persambungan antar lapisan sel surya tersebut dalam kaitannya dengan karakteristik I-V yang dihasilkan. Efisiensi konversi sel surya yang dihasilkan dengan teknik HWC-VHF-PECVD masih sangat memungkinkan untuk ditingkatkan antara lain seperti penyisipan lapisan penyangga pada daerah-daerah antar lapisan, penggunaan lapisan-p dengan doping-delta (δdoped) yang terbukti mampu memperbaiki unjuk kerja sel surya a-si:h dengan lapisan-p doping seragam, penggunaan material a-sic:h pada lapisan-p yang diketahui lebih transparan dibanding a-si:h, ataupun penggunaan struktur tandem (sel surya p-i-n berbasis a- Si:H untuk sel atas disambungkan dengan sel surya p-in berbasis µc-si:h untuk sel bawah). Daftar Pustaka Curtins, H., N. Wyrsch, and A. V. Shah, 1987, Highrate Deposition of Amorphous Hydrogenated Silicon: Effect of Plasma Excitation Frequency, Electronics Lett., 23, 228-230. Fukawa, M., S. Suzuki, L. Guo, M. Kondo, and A. Matsuda, 2001, High Rate Growth of Microcrystalline Silicon Using a High Pressure Depletion Method with VHF Plasma, Sol. Energy Mater. & Solar Cells, 66, 217-223. Graf, U., J. Meier, U. Kröll, J. Bailat, C. Droz, E. V. Sauvain, and A. Shah, 2003, High Rate Growth of Microcrystalline Silicon by VHF- GD at High Pressure, Thin Solid Films, 427, 37-40. Kröll, U., J. Meier, P. Torres, J. Pohl, and A. Shah, 1998, From Amorphous to Microcrystalline Silicon Films Prepared by Hydrogen Dilution Using the VHF-GD Technique, J. Non-Crys. Solids, 227-230, 68-71. Kumbhar, A. A. and S. T. Kshirsagar, 1996, Comparative Study of Properties of a-si:h Films Produced by Hot-filament CVD, Glow Discharge CVD and Their Hybrid Version, Thin Solid Films, 283, 49-56. Prasad, K., 1991, Microcrystalline Silicon Prepared with VHF-GD Process, Thesis-Ph.D., Institute of Microtechnology University of Neuchatel. Syamsu, J. D. Malago, A. Supu, F. S. Arsyad, T. Winata, dan M. Barmawi, 2001, Aplikasi Sistem Hot Wire PECVD Untuk Penumbuhan Lapisan Tipis Silikon Amorf Terhidrogenasi, Kontribusi Fisika Indonesia, 12:3. Takahashi, K. and M. Konagai, 1986, Amorphous Silicon Solar Cells, North Oxford Academic Publ. Ltd., London. Takatsuka, H., M. Noda, Y. Yonekura, Y. Takeuchi, and Y. Yamauchi, 2004, Development of high efficiency large area silicon thin film Modules using VHF-PECVD, Solar Energy, 77, 951-954. Usman, I., A. Suhandi, D. Rusdiana, J. D. Malago, Sukirno, T. Winata, dan M. Barmawi, 2006, Simulasi Divais Sel Surya Berbasis a-si:h dengan FEMLAB, Simposium Fisika Nasional XXI, Makassar-Indonesia. Van Sark, W. G. J. H. M., J. Bezemer, and W. F. van der Weg, 1998, VHF a-si:h Solar Cell: A Systematic Material and Cell Study, J. Mater. Res., 13:1, 45-52. Winata, T., I. Usman, J. D. Malago, A. Supu, Mursal, Sukirno, dan M. Barmawi, 2006, Studi Pengembangan Teknik HWC-VHF-PECVD untuk Penumbuhan Lapisan Tips µc-si:h, Simposium Fisika Nasional XXI, Makassar- Indonesia.