V. GAMBARAN UMUM. dari luas wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis, Kabupaten Garut

dokumen-dokumen yang mirip
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak, Luas dan Batas Wilayah Penelitian. Kabupaten Kuningan terletak di bagian timur Jawa Barat dengan luas

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Geografi. Kab. SUMEDANG. Kab. CIANJUR. Kab. TASIKMALAYA

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2. Tingkat Produktivitas Tanaman Unggulan Kab. Garut Tahun

IV. GAMBARAN UMUM. Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Lampung.

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

3. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Letak Geografis

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

4 KONDISI UMUM WILAYAH

GAMBARAN WILAYAH PEGUNUNGAN KENDENG

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Secara geografis, Kabupaten OKU Selatan terletak antara sampai

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Fisiografi

Batuan beku Batuan sediment Batuan metamorf

I PENDAHULUAN * Keterangan : *Angka ramalan PDB berdasarkan harga berlaku Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) 1

GAMBARAN UMUM. Wilayah Sulawesi Tenggara

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Ekonomi Makro

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. terletak di bagian selatan Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III TINJAUAN WILAYAH

I. PENDAHULUAN. dikenal oleh masyarakat Indonesia. Komoditi kentang yang diusahakan

IV. KEADAAN UMUM DESA KALIURANG. memiliki luas lahan pertanian sebesar 3.958,10 hektar dan luas lahan non

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Sejarah terbentuknya Kabupaten Lampung Selatan erat kaitannya dengan dasar

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

V. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 5.1 Provinsi Jawa Timur Jawa Timur merupakan penghasil gula terbesar di Indonesia berdasarkan

KEADAAN UMUM LOKASI. Tabel 7. Banyaknya Desa/Kelurahan, RW, RT, dan KK di Kabupaten Jepara Tahun Desa/ Kelurahan

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB.

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM KABUPATEN SLEMAN. Berdasarkan kondisi geografisnya wilayah Kabupaten Sleman terbentang

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kecamatan Sragi merupakan salah satu kecamatan dari 17 Kecamatan yang

BAB I PENDAHULUAN. Potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia sangatlah berlimpah, mulai

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

2 KONDISI UMUM 2.1 Letak dan Luas 2.2 Kondisi Fisik Geologi dan Tanah

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN SAMPANG

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super "Solusi Quipper" F. JENIS TANAH DI INDONESIA

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 4. Dinamika Lithosferlatihan soal 4.6

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

d. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali (Jateng)

V. GAMBARAN UMUM KECAMATAN TOSARI

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Lampung Selatan

IV. KONDISI UMUM LOKASI STUDI

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian mengenai Faktor-faktor Penyebab Penurunan

4.1. Letak dan Luas Wilayah

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

KEADAAN UMUM 3.1 Lokasi, Administrasi, dan Transportasi 3.2 Geologi dan Bahan Induk

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

PEMBENTUKAN TANAH DAN PERSEBARAN JENIS TANAH. A.Pembentukan Tanah

V. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT. Provinsi Jawa Barat, secara geografis, terletak pada posisi 5 o 50-7 o 50

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI. Gambaran Umum Kabupaten Cirebon

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB III DATA LOKASI. Perancangan Arsitektur Akhir Prambanan Hotel Heritage & Convention. 3.1 Data Makro

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB V GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

Transkripsi:

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Karakteristik Wilayah 5.1.1. Letak Geografis Luas Kabupaten Garut meliputi areal 306.519 Ha atau sekitar 6,94 persen dari luas wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis, Kabupaten Garut terletak di antara 6 0 57'34" - 7 0 44'57" Lintang Selatan dan 107 0 24'3" - 108 0 24'34" Bujur Timur. Secara administratif, Kabupaten Garut terbagi kedalam 40 kecamatan yang masing-masing mempunyai karakteristik khusus sebagai potensi wilayahnya. Batas-batas administratif wilayah Kabupaten Garut meliputi: Sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudera Indonesia. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur. Berdasarkan fisiografinya, Kabupaten Garut dapat distratifikasikan kedalam 4 (empat) strata, yaitu wilayah Garut Utara, Garut Tengah, Garut Barat Daya, dan Garut Selatan. Daerah Garut sebelah utara, timur, dan barat, pada umumnya berupa dataran tinggi dengan kondisi alam berbukit-bukit dan pegunungan. Sedangkan kondisi alam daerah Garut sebelah selatan sebagian besar berupa lereng dengan tingkat kemiringan tanah yang relatif curam. Corak alam di daerah Selatan Garut pada umumnya diwarnai oleh segenap potensi alam dan keindahan pantai Samudera Indonesia.

57 5.1.2. Topografi Wilayah Kabupaten Garut memiliki ketinggian yang bervariasi, mulai dari 0,5 meter di atas permukaan laut - seperti di daerah sepanjang pantai selatan yang meliputi sebagian Kecamatan Bungbulang, Cibalong, Cikelet, Cisewu, Pakenjeng dan Pameungpeuk - hingga ketinggian 2.830 meter di atas permukaan laut, seperti puncak Gunung Cikurai di Kecamatan Bayongbong. Ketinggian tersebut dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Luas Lahan Berdasarkan Ketinggian No Ketinggian Luas (Ha) Persentase (%) 1. 0-25 8.078 2,64 2. 25-100 14,007 4,57 3. 100-500 63.260 20,64 4. 500-1000 122.465 39,95 5. 1000-1500 77.409 25,25 6. 1500-3000 21.300 6,95 Jumlah 406.519 100 Sumber: Diperta Kabupaten Garut, (2003) Dilihat dari topografinya, sebagian besar Kabupaten Garut bagian utara terdiri atas dataran tinggi dan pegunungan dengan areal persawahan terluas. Pada umumnya pegunungan dan bukit-bukit ini keadaannya sangat kritis, terutama di sepanjang daerah aliran sungai Cimanuk. Sedangkan Garut Selatan sebagian besar permukaan wilayahnya memiliki tingkat kecuraman yang terjal dan bahkan di beberapa tempat tergolong labil. Wilayah selatan ini dialiri 12 buah sungai ke arah selatan yang bermuara ke Samudera Indonesia. Rangkaian pegunungan vulkanik yang mengelilingi dataran antar gunung Garut Utara umumnya memiliki lereng dengan kemiringan 30-45 persen di sekitar puncak, 15-30 persen di bagian tengah dan 10-15 persen di bagian kaki lereng pegunungan.

58 Berbagai potensi komoditas pertanian yang memiliki nilai ekonomi dan agribisnis dapat tumbuh baik asal disertai penerapan teknologi, diantaranya padipadian, palawija sayuran dataran rendah, sayuran dataran tinggi, tanaman perkebunan dan tanaman industri. 5.1.3. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di wilayah Kabupaten Garut didominasi oleh kegiatan pertanian baik pertanian lahan basah maupun kering, kegiatan perkebunan dan kehutanan. Di wilayah Kabupaten Garut, 31,58 pesen merupakan kawasan hutan, perkebunan 18,38 persen dan persawahan sekitar 16,14 persen. Secara keseluruhan penggunaan lahan di Kabupaten Garut dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Luas Tanah Menurut Penggunaannya di Kabupaten Garut Tahun 2004 No. 1. 2. 3. Uraian Luas (ha) Persentase(%) Sawah 49.477 16,14 - Irigasi 38.026 12,41 - Tadah Hujan 11.451 3,74 Darat 252.097 82,25 - Hutan 96.814 31,58 - Kebun dan Kebun Campuran 56.350 18,38 - Tanah Kering Semusim/Tegalan 52.348 17,08 - Perkebunan 26.968 8,80 - Permukiman/Perkampungan 12.312 4,02 - Padang Semak 7.005 2,29 - Pertambangan 200 0,07 - Tanah Rusak Tanus 66 0,02 - Inustri 34 0,01 Perairan darat 2.038 0,66 - Kolam 1.826 0,60 - Situ/Danau 157 0,05 - Lainnya 55 0,02 4. Penggunaan Tanah lainnya 2.907 0,95 Jumlah 306.519 100,00 Sumber: BAPPEDA Kabupaten Garut, (2005)

59 5.1.4. Geologi dan Jenis Tanah Dataran tinggi Garut termasuk dalam zona Pegunungan Selatan, dilihat dari sejarah geologinya dimulai pada jaman pretersier dengan jenis batuan aluvium, hasil gunung api tak terurai, pliosen fasies sedimen, miosen fasies sedimen, miosen batu gamping dan andesit basal diabes. Jenis batuan terluas yang ada adalah batuan hasil gunung berapi tak teruraikan yaitu 124.556 Ha atau 40,64 persen dari luas wilayah. Batuan hasil gunung berapi (tak teruraikan) merupakan batuan dari hasil letusan gunung berapi dan pada umumnya terletak di dataran tinggi bagian tengah dan utara. Filosen Fasies Sedimen merupakan batuan dari hasil letusan gunung berapi dan terdapat di sekitar wilayah pegunungan sebelah selatan. Miosen Fasies Sedimen merupakan batuan yang terdapat di seluruh wilayah selatan dan di sepanjang pantai. Alluvium merupakan batuan dari hasil endapan yang pada umumnya terdapat di sebagian pesisir dan dataran rendah bagian utara. Andesit, Basalt dan Diabes merupakan batuan yang relatif sedikit berada di wilayah Kabupaten Garut. Kondisi geologis Kabupaten Garut terdiri atas tanah sedimen hasil letusan Gunung berapi Papandayan dan Gunung Guntur dengan bahan induk batuan tuf dan batuan yang mengandung kwarsa. Di sepanjang aliran sungai pada umumnya terbentuk jenis tanah Aluvial yang merupakan hasil sedimentasi tanah akibat erosi tanah di bagian hulu atau sekitarnya oleh proses pengikisan dan pencucian permukaan tanah. Oleh karenanya di bagian hulu sungai dan daerah aliran sungai terbentuk jenis tanah Laterit dan Podsolik Merah Kuning. Dilihat dari sifat morfologisnya yang didasarkan kepada azas-azas terjadinya tanah dan relasi antara tanah, tanaman dan aktivitas manusia, maka

60 tanah di Kabupaten Garut bisa dibagi menjadi 6 (enam) jenis tanah (soil group) (Tabel 16. Tabel 16. Jenis Tanah di Kabupaten Garut, Tahun 2002 No Jenis Tanah Luas (Ha) Persentase (%) 1 Aluvial 18.216 5,94 2 Assosiasi Podsolik 130.128 42,45 3 Assosiasi Andosol 97.707 31,88 4 Assosiasi Latosol 33.781 11,02 5 Assosiasi Mediteran 5.031 1,64 6. Assosiasi Ragosol 21.656 7,07 Jumlah 306.519 100,00 Sumber: Diperta Kabupaten Garut,2003 Kabupaten Garut didominasi oleh dua jenis tanah yaitu asosiasi Podsolik dan asosiasi Andosol (74,33 persen). Jenis tanah asosiasi Podsolik yang terluas terdapat di Kecamatan Pakenjeng yaitu 22.041 Ha, sedangkan jenis tanah asosiasi Andosol yang terluas di Kecamatan cikajang yaitu 12.280 Ha. Sementara itu jenis tanah asosiasi Mediteran hanya terdapat pada areal tanah sangat sempit yaitu mencakup areal seluas 5.031 Ha dan mencover 1,64 persen dari seluruh luas areal wilayah Kabupaten Garut. Jenis tanah Alluvial banyak terdapat di wilayah bagian utara dan sebagian selatan dengan tekstur halus sebagai hasil endapan. Tanah ini cocok untuk kegiatan budidaya pertanian sawah (lahan basah). Jenis tanah regosol banyak terdapat pada bagian selatan. Tanah regosol umumnya berwarna kelabu kekuningkuningan, sifatnya asam, gembur serta peka terhadap erosi. Tanah ini cocok digunakan untuk tanaman padi, tembakau dan sayur-sayuran. Jenis tanah Latosol banyak terdapat di sisi barat sebagai hasil endapan dari wilayah yang lebih tinggi. Tanah ini cocok untuk tanaman kopi, coklat, padi, sayuran dan buah-buahan. Jenis tahan Andosol berwarna hitam karena berasal dari abu vulkanik, banyak terdapat

61 di daerah utara. Jenis tanah Mediteran berasal dari bahan induk batuan vulkanik muda, berada di sebagian kecil wilayah selatan. Kemampuan tanah mencerminkan tingkat kesuburan tanah yang dipengaruhi oleh tingkat efektif kedalaman tanah, tekstur tanah, kelerengan tanah dan drainase tanah. Kelerengan tanah sangat berpengaruh terhadap kemampuan tanah dan khususnya terhadap kemungkinan terjadinya erosi. Berdasarkan derajat kelerengan tanahnya, wilayah Kabupaten Garut dapat dibagi sebagai berikut : - Wilayah pesisir dan dataran rendah pada umumnya memiliki kemiringan 0-3 persen yaitu meliputi kecamatan-kecamatan yang terletak di sepanjang pantai. Wilayah Kabupaten Garut memiliki wilayah berbukit dan bergunung, sehingga tingkat kelerengan tanah relative bervariasi, tetapi didominasi oleh tingkat kemiringan 8-40 persen. Daerah dengan tingkat kemiringan diatas 40% terdapat pada wilayah pegunungan seperti Gunung Cikuray. Tanah dengan kelerengan kurang dari 40 persen tingkat kemungkinan terjadi erosi tanahnya rendah sehingga segala jenis kegiatan budidaya pada dasarnya dapat dilakukan. - Kelerengan di atas 40 persen merupakan wilayah yang rentan terhadap terjadinya erosi tanah. Kelerengan ini banyak terdapat di wilayah sekitar pegunungan. Kawasan ini merupakan kawasan yang harus dipertahankan fungsinya sebagai kawasan lindung karena terkait dengan pengamanan siklus hidrologi dan menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan hidup. Garut memiliki tingkat kesuburan yang cukup tinggi, karena sebagian besar wilayahnya memiliki tingkat kedalaman efektif yang cukup besar. Dilihat dari tekstur tanahnya. Tekstur tanah dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian

62 yaitu tekstur sedang, halus dan kasar. Tanah dengan tekstur haus mempunyai porositas yang rendah sehingga sulit untuk meresapkan air, sedangkan tanah dengan tekstur kasar cenderung memiliki porositas yang tinggi sehingga dapat dengan mudah meresapkan air. Wilayah Garut sangat bervariasi yaitu dari tekstur halus sampai dengan kasar. Tanah bertekstur sedang tersebar pada hampir seluruh wilayah Kabupaten Garut yang mencakup areal seluas 278.644 Ha (90,91 persen) dari seluruh wilayah. Tanah bertekstur sedang merupakan kondisi yang menunjang kesuburan tanah yang relatif tinggi. Tanah bertekstur halus mencakup areal seluas 5.886 Ha (1,92 persen) sedangkan tanah bertekstur kasar mencakup areal seluas 21.989 Ha atau 7,17 persen dari keseluruhan wilayah. Selain itu, kemampuan tanah juga tergantung pada drainase tanah yaitu kemampuan permukaan tanah unuk meresapkan air secara alami. Drainase tanah dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu drainase baik atau tidak tergenang, drainase tergenang secara periodik dan drainase tergenang terus menerus. Kondisi drainase tanah wilayah Kabupaten Garut relatif baik karena sebagian besar tidak tergenang. 5.1.5. Iklim dan Curah Hujan Geografis Kabupaten Garut terletak di bagian selatan khatulistiwa, dan termasuk kedalam ikim tropis. Dalam setahun mengalami dua kali pergantian musim, yakni musim hujan dan musim kemarau. Walaupun demikian, karena topografinya mempunyai variasi cukup besar dengan keadaan orografis yang agak lebat dengan persentase keadaan hutan masih di atas 30 persen, maka beberapa wilayah tertentu banyak dipengaruhi iklim lokal (regional climate), misalnya daerah Cikajang, Cisurupan, Bayongbong sering terjadi hujan konventif dan hujan

63 orografis yang memungkinkan dapat bercocok tanam komoditi sayuran dan palawija sepanjang tahun. Tipe iklim Kabupaten Garut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Menurut Mohr (1933) termasuk golongan Iklim II yaitu rata-rata 1 bulan kering dan 11 bulan basah. Menurut Schmidt dan Ferguson (1951); termasuk dalam tipe iklim C yaitu 3 bulan kering dan 9 bulan basah. Menurut Oldeman (1974): termasuk tipe iklim C, yaitu terdapat 6 bulan basah berturut-turut dan 3 bulan kering berturut-turut. Dengan demikian iklim dan cuaca di Kabupaten Garut dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu: pola sirkulasi angin musiman (monsoonal circulation pattern), topografi regional yang bergunung-gunung di bagian tengah Jawa Barat, dan elevasi topografi di Bandung. Curah hujan rata-rata tahunan 2002 sampai dengan 2004 berkisar antara 2.589 mm, sedangkan di sekeliling daerah pegunungan mencapai 3.500 4.000 mm. Variasi temperatur berkisar antara 24 0 C - 29 0 C. Daerah daerah yang terletak di sebelah utara mendapat jumlah intensitas hujan yang makin meningkat menjadi lebih dari 4.000 mm/tahun, sampai di daerah sekitar pegunungan yang menghubungkan puncak/gunung Papandayan dengan Gunung Mandalawangi. Daerah dengan jumlah rata-rata intensitas hujan tertinggi adalah Pamegatan di Kecamatan Cikajang yaitu 4.228 mm/tahun. Selama musim hujan, secara tetap bertiup angin dari Barat Laut membawa udara basah dari Laut Cina Selatan dan bagian barat Laut Jawa. Pada musim

64 kemarau, bertiup angin kering bertemperatur relatif tinggi dari arah Australia yang terletak di tenggara. Keadaan hidrologi umumnya cukup baik. Hal ini didukung dengan banyaknya aliran sungai yang mengalir ke utara sebanyak 34 buah dan ke selatan 19 buah. Secara keseluruhan wilayah Kabupaten Garut memiliki kondisi hidrologi yang baik sehingga dapat mendukung kegiatan-kegiatan produksi pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya. 5.1.6. Komoditas Unggulan Kabupaten Garut Garut memiliki berbagai komoditas unggulan yang berpotensial untuk dikembangkan. Komoditas-komoditas tersebut tersebar di beberapa wilayah di Kabupaten Garut. Komoditas-komoditas tersebut memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah Kabupaten Garut. Tabel 17 merupakan berbagai komoditas unggulan yang terdapat di Kabupaten Garut. Tabel 17. Komoditas Unggulan Kabupaten Garut No. Komoditas Unggulan (Prioritas 1) Potensial Untuk diunggulkan 1 Pangan Kedele, Jagung Ubi kayu, kacang tanah, Kacang merah, ubi jalar. 2 Sayuran Kentang, cabe merah, tomat Kubis, buncis,bwg.daun, bw.merah, labu siam, ketimun, terung, bayam 3 Buah-buahan Jeruk keprok/siam Markisa, Alpukat,duku, durian, manggis 4 Perkebunan Teh, Akar wangi, Tembakau, Aren Cengkeh, Nilam,Kelapa, 5 Perikanan perikanan Laut Ikan darat (nilem) 6 Peternakan Domba, sapi potong,sapi perah Ayam buras, kerbau Sumber: BAPPEDA Kabupaten Garut, 2005.

65 5.1.7.Struktur Perekonomian Kabupaten Garut Masalah kemiskinan dan ketertinggalan Kabupaten Garut diantara kabupaten-kabupaten lainnya di Jawa Barat menjadi isu utama dalam pengembangan wilayah Kabupaten Garut. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional dan data Badan Pusat Statistik tahun 2003, Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal menetapkan Kabupaten Sukabumi dan Garut menjadi daerah tertinggal bersama 188 daerah lain di Tanah Air. Penetapan tersebut adalah berdasarkan enam kriteria, di antaranya persentase kemiskinan di daerah, kualitas pendidikan masyarakat, kesehatan, lapangan kerja, infrastruktur, aksesibilitas terhadap dunia luar, dan rawan bencana alam. Jika dilihat secara internal, Kabupaten Garut juga mengalami ketimpangan yaitu antara Kabupaten Garut bagian selatan dengan Kabupaten Garut bagian utara. Kabupaten Garut bagian utara yang relatif bersifat kekotaan dapat terlihat kontras jika dibandingkan dengan keadaan eksisting di Kabupaten Garut bagian selatan. Karakteristik daerah Kabupaten Garut yang sebagian besar merupakan perbukitan merupakan salah satu faktor limitasi perkembangan Kabupaten Garut. Aksesibilitas yang memegang peranan penting dalam hal hubungan baik internal maupun eksternal wilayah dirasakan sangat kurang, terutama dalam hal kualitas jalan di Kabupaten Garut bagian selatan. Selain itu, masih rendahnya sumber daya manusia, kurangnya kemampuan keuangan lokal, dan minimnya sarana dan prasarana berdampak pada lambatnya perkembangan Kabupaten Garut bagian selatan.

66 5.2. Karakteristik Responden Petani dan Penyuling Karakteristik responden yang dibahas dalam penelitian ini meliputi umur, pendidikan terakhir, jumlah tanggungan keluarga, pekerjaan petani dan penyuling, pengalaman bertani, luas lahan, status kepemilikan lahan, dan pola tanam akarwangi. 5.2.1. Umur Petani dan Penyuling Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan 41 responden petani dan penyuling akarwangi, diketahui bahwa sebagian besar responden berumur 41 sampai dengan 50 tahun dengan persentase 39,1 persen. Sedangkan elompok petani dan penyulling terendah yaitu kelompok umur 20-30 tahun dengan persentase seesar 2,5 persen. Tabel 18 menunjukkan bahwa terdapat 5 kelompok umur petani dan penyuling akarwangi. Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Umur di Kabupaten Garut Kelompok Umur Petani dan Penyuling (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) 20-30 1 2,5 31-40 4 9,6 41-50 16 39,1 51-60 15 36,6 > 61 5 12,2 Total 41 100 5.2.2. Pendidikan Terakhir Sebagian besar petani dan penyuling akarwangi menyelesaikan pendidikannya hingga sekolah dasar (SD) yaitu sebanyak 28 orang atau 68,3 persen dari total responden. Tingkat pendidikan tertinggi petani dan penyuling adalah hingga perguruan tinggi, sedangkan tingkat terendah adalah tamat dari

67 sekolah dasar. Tingkat pendidikan petani dan penyuling tidak mempengaruhi kegiatan pengusahaan akarwangi. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kabupaten Garut Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%) Tamat SD 28 68,3 Tamat SLTP - 0 Tamat SMU 12 29,3 Tamat Diploma - 0 Tamat Sarjana 1 2,4 Lainnya - 0 Total 41 100 5.2.3. Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga sangat mempengaruhi petani untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan semakin besar jumlah keluarga yang ditanggung maka semakin besar pula beban/biaya yang dikeluarkan petani. Dari Tabel 20, dapat dilihat bahwa 41,4 persen responden petani memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 5 sampai 6 orang. Semua responden memiliki jumlah tangggungan keluarga minimal satu hingga dua orang dengan persentase 4,9 persen. Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga di Kabupaten Garut Jumlah Tanggungan Responden (Orang) Jumlah (Orang) Persentase (%) 0 0 0 1-2 2 4,9 3-4 16 39,0 5-6 17 41,4 7-8 4 9,8 >8 2 4,9 Total 41 100

68 5.2.4. Pekerjaan Petani dan Penyuling Pekerjaan yang dilakukan oleh ke-41 responden sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani akarwangi yaitu sebesar 68,3 persen atau sebanyak 28 orang dari total responden 41 orang. Sedangkan mata pencaharian sebagai petani dan penyuling sebanyak 24,4 persen. Penyuling akarwangi yang menjadi responden sebanyak 7,3 persen. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Pekerjaan di Kabupaten Garut Pekerjaan Jumlah Persentase (Orang) (%) Petani Akarwangi 28 68,3 Penyuling Akarwangi 3 7,3 Petani dan Penyuling Akarwangi 10 24,4 Total 41 100 5.2.5. Pengalaman Bertani Pengalaman bertani akan sangat mempengaruhi dalam pembudidayaan dan penyulingan akarwangi. Semakin lama petani memiliki pengalaman bertani, maka akan lebih mahir dalam membudidayakan akarwangi Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap 41 orang responden petani dan penyuling akarwangi diperoleh kesimpulan bahwa pengalaman bertani akarwangi terbanyak berkisar antara 11 sampai 20 tahun. Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalaman bertani dan menyuling dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden Petani dan Penyuling Berdasarkan Pengalaman Bertani di Kabupaten Garut Pengalaman (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) 1-10 14 34,1 11-20 19 46,3 21-30 6 14,7 31-40 2 4,9 Total 41 100

69 5.2.6. Luas Lahan Berdasarkan Tabel 23, luas lahan yang digunakan oleh sebagian besar petani akarwangi atau 26 orang petani dari 38 petani responden yaitu seluas 0,1-5 Ha. Petani akarwangi sebagian besar masih berada pada skala usaha kecil yaitu sebesar 68.4 persen dari 38 responden petani akarwangi. Sedangkan 2,6 persen petani akarwangi yang luas lahan pengusahaannya mencapai >30 Ha. Tabel 23. Jumlah dan Persentase Petani Berdasarkan Luas Lahan yang Digunakan untuk Penanaman Akarwangi di Kabupaten Garut Luas Lahan (Ha) Jumlah (Orang) Persentase (%) 0.1-5 26 68,4 5.1-10 5 13,2 10.1-20 4 10,5 20.1-30 2 5,3 >30 1 2,6 Total 38 100 Berdasarkan Tabel 24, sebagian besar penyuling yaitu 38,5 persen menggunakan lahan seluas 0,051-0.,0 Ha dan 38,5 persen menggunakan lahan seluas 0,11-0.20 Ha untuk melakukan penyulingan akarwangi. Hal ini dikarenakan, sebagian besar penyuling hanya menggunakan satu buah ketel sebagai alat untuk melakukan penyulingan akarwangi. Tabel 24. Jumlah dan Persentase Penyuling Berdasarkan Luas Lahan yang Digunakan untuk Penyulingan Akarwangi di Kabupaten Garut Luas Lahan (Ha) Jumlah (Orang) Persentase (%) 0.01-0.05 2 15,4 0.051-0.10 5 38,5 0.11-0.20 5 38,5 >0.20 1 7,6 Total 13 100

70 5.2.7. Status Kepemilikan Lahan Ditinjau dari status kepemilikan lahan, sebagian besar petani akarwangi memiliki lahan sendiri yang digunakan untuk menanam akarwangi yaitu sebesar 68,4 persen. Hal ini dapat ditunjukan pada Tabel 25. Sebagian besar petani akarwangi melakukan tumpangsari pada lahan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memanfaatkan lahan di sela-sela tanaman akarwangi. Tabel 25. Jumlah dan Persentase Petani Akarwangi Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Kabupaten Garut Status Kepemilikan Lahan Jumlah (Orang) Persentase (%) Milik Sendiri 26 68,4 Sewa 2 5,3 Milik Sendiri dan Sewa 10 26,3 Total 38 100 Status kepemilikan lahan yang digunakan untuk melakukan penyulingan akarwangi sebagian besar milik sendiri. Hanya delapan persen yang menyewa lahan untuk melakukan penyulingan akarwangi. Hal ini menunjukkkan bahwa penyuling akarwangi di Kabupaten Garut memiliki modal yang besar untuk melakukan usaha tersebut. Hal ini dikarenakan biaya investasi penyulingan akarwangi memerlukan biaya yang besar. Hal ini dapat dilihat pada tabel 26 Tabel 26. Jumlah dan Persentase Penyuling Akarwangi Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan di Kabupaten Garut Status Kepemilikan Lahan Jumlah (Orang) Persentase (%) Milik Sendiri 12 92 Sewa 1 8 Milik Sendiri dan Sewa 0 0 Total 13 100

71 5.2.8. Pola Tanam Akarwangi Jarak tanam akarwangi pada tanah subur seluas satu hektar adalah 1x 1 meter. Sedangkan pada tanah kurang subur seluas satu hektar memiliki jarak tanam 0.75 x 0.75 meter. Pada tanah yang subur, lahan digunakan untuk menanam akarwangi yang ditumpangsarikan dengan tanaman kentang, kol, caisin, kacang, tomat, dan cabe. Namun untuk tanah yang kurang subur, hanya tanaman akarwangi yang ditanam pada lahan tersebut. Pada lahan subur, satu petak lahan dapat ditanami akarwangi dan satu jenis tanaman tumpangsari. Tanaman tumpangsari yang dapat ditanam adalah tanaman yang usianya maksimal empat bulan dan ketinggian pohonnya tidak melebihi tanaman akarwangi. Pertumbuhan tanaman akarwangi pada bulan 1-4 lambat. Oleh karena itu, pada bulan ini di sela-sela tanaman akarwangi dapat ditanaman tanaman tumpangsari. Namun, pada bulan ke 5-12 pertumbuhan tanaman akarwangi sangat cepat sehingga pada bulan ini lahan tidak dapat ditumpangsarikan karena akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman akarwangi. Pada lahan yang tidak ditanami tanaman tumpangsari, tanaman akarwangi memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan tanaman akarwangi yang ditumpangsarikan. Hal ini dikarenakan pertumbuhan akarwangi pada bulan 1-12 tidak terganggu. 5.3. Risiko Budidaya 5.3.1. Risiko Produksi Kegiatan budidaya akarwangi dihadapkan pada risiko baik risiko produksi maupun risiko harga output. Indikasi adanya risiko produksi dalam pembudidayaan akarwangi yaitu ditunjukkan oleh adanya variasi atau fluktuasi

72 produksi yang diperoleh petani sampel pada setiap kondisi. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Produksi dan Peluang Produksi Budidaya Akarwangi Pada Setiap Kondisi Kondisi Peluang Produksi (kg) Tertinggi 0,20 13.014 Normal 0,62 11.352 Terendah 0,18 8.882 Dalam melakukan pengembangan usaha akarwangi melalui kegiatan budidaya terdapat faktor-faktor yang menjadi penyebab munculnya risiko produksi (kondisi tertinggi, normal, terendah) budidaya akarwangi. Penyebab munculnya produksi pada kondisi tertinggi yaitu curah hujan rendah, tingkat kesuburan lahan tinggi, tingkat ketinggian lahan yang optimal, serta serangan hama dan penyakit yang rendah. Faktor-faktor tersebut antara lain: a. Curah hujan rendah Curah hujan yang rendah akan menyebabkan akarwangi yang ditanam memiliki kadar minyak yang tinggi. Hal ini mengakibatkan pada peningkatan produksi baik pada akarwangi maupun peningkatan produksi minyak akarwangi. Curah hujan rendah akan mengakibatkan akarwangi menjadi kering dan kadar air yang terkandung didalam akar menjadi sedikit. b.tingkat kesuburan lahan tinggi Lahan yang belum digunakan untuk penanaman akarwangi akan memiliki kesuburan lahan yang tinggi. Jika lahan tersebut diolah dengan menggunakan cangkul dan membalikkan tanah yang berada di bawah maka unsur-unsur hara di dalam tanah akan semaki baik untuk penanaman akarwangi sehingga akan meningkatkan produksi akarwangi.

73 c. Tingkat ketinggian lahan yang optimal Ketinggian lahan yang paling baik untuk menanam akarwangi yaitu pada ketinggian 600-1.500 meter di atas permukaan laut. Hal ini mengakibatkan pada peningkatan produktivitas.akarwangi yang ditanam pada ketinggian ini akan memperoleh akar yang lebat dan rindang. d. Serangan hama dan penyakit yang rendah Rendahnya hama dan penyakit yang menyerang tanaman akarwangi akan menyebabkan peningkatan produktivitas. Hal ini dikarenakan, akarwangi yang dipanen akan yang lebat dan rindang sehingga petani tidak memerlukan furadan yang berlebihan pada tanaman akarwangi. Selain itu, hal yang menjadi penyebab munculnya produksi terendah yaitu curah hujan yang tinggi, tingkat kesuburan lahan yang rendah, ketinggian lahan yang tidak optimal, serta serangan hama dan penyakit yang tinggi. Faktor-faktor tersebut antara lain: a. Curah hujan yang tinggi Curah hujan yang tinggi akan menyebabkan akarwangi yang ditanam memiliki kadar minyak yang rendah. Hal ini mengakibatkan pada penurunan produksi baik pada akarwangi maupun penurunan produksi minyak akarwangi. Curah hujan tinggi akan mengakibatkan akarwangi menjadi basah dan kadar air yang terkandung didalam akar menjadi tinggi b Tingkat kesuburan lahan yang rendah Lahan yang sering digunakan untuk penanaman akarwangi akan memiliki kesuburan lahan yang rendah. Jika lahan tersebut diolah dengan menggunakan cangkul dan membalikkan tanah yang berada di bawah maka unsur-unsur hara di

74 dalam tanah akan semakin habis untuk penanaman akarwangi sehingga akan menurunkan produksi akarwangi. c. Ketinggian lahan yang tidak optimal Akarwangi dapat tumbuh pada ketinggian sekitar 300-2.000 meter di atas permukaan laut. Bila akarwangi tidak ditanam pada ketinggian tersebut maka akar yang dihasilkan tidak memiliki akar yang lebat dan rindang. Hal ini mengakibatkan pada penurunan produktivitas akarwangi. d. Serangan hama dan penyakit yang tinggi. Tingginya hama dan penyakit yang menyerang tanaman akarwangi akan menyebabkan penurunan produktivitas akarwangi. Hal ini dikarenakan, akarwangi yang dipanen tidak lebat sehingga petani perlu untuk melakukan pemeliharaan pada tanaman akarwangi. 5.3.2. Risiko Harga Output Risiko harga output diindikasikan dengan adanya fluktuasi harga output yang diterima petani sampel. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 28. Fluktuasi harga akarwangi mengindikasikan adanya harga tertinggi, harga terendah, dan harga normal yang pernah diterima petani akarwangi sampel selama mengusahakan dan menjual akarwangi. Tabel 28. Produksi dan Peluang Harga Output Budidaya Akarwangi Pada Setiap Kondisi Kondisi Peluang Harga (Rp) Tertinggi 0,20 2.821 Normal 0,62 1.808 Terendah 0,18 511 Faktor penyebab munculnya risiko harga output budidaya pada kondisi harga output tertinggi disebabkan oleh tingginya tingkat permintaan namun

75 ketersediaan akarwangi rendah. Tingginya tingkat permintaan akarwangi oleh para penyulng sedangkan ketersediaan akarwangi di petani rendah menyebabkan harga output akarwangi menjadi lebih tinggi. Hal ini menyebabkan para penyuling untuk berkompetisi untuk menjamin ketersdiaan akarwangi agar kegiatan penyulingan terus berjalan Selain itu, faktor faktor penyebab munculnya risiko harga output budidaya pada kondisi harga output terendah disebabkan oleh ketersediaaan akarwangi yang melimpah. Hal ini dikarenakan terjadinya over supply sebagai akibat musim panen yang serempak. 5.4. Risiko Penyulingan 5.4.1. Risiko Produksi Kegiatan penyulingan akarwangi dihadapkan pada risiko baik risiko produksi maupun risiko harga output. Indikasi adanaya risiko produksi dalam penyulingan akarwangi yaitu ditunjukkan oleh adanya variasi atau fluktuasi produksi yang diperoleh penyuling sampel pada setiap kondisi. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Produksi dan Peluang Harga Output penyulingan Akarwangi Pada Setiap Kondisi Kondisi Peluang Produksi (kg) Tertinggi 0,11 5.739 Normal 0,72 4.993 Terendah 0,17 2.587 Faktor penyebab munculnya risiko produksi penyulingan pada kondisi produksi tertnggi disebabkan oleh tingginya ketersediaan akarwangi, kadar minyak yang tinggi. Risiko produksi mucul akibat adanya fluktuasi produksi pada kegiatan penyulingan. Faktor penyebab tersebut antara lain:

76 a. Ketersediaan akarwangi tinggi Ketersediaan akarwangi yang tinggi dari petani akan menyebabkan jumlah produksi minyak akarwangi meningkat. Hal ini dikarenakan penyuling akan memaksimalkan ketel untuk menyuling akarwangi. Hal ini akan meningkatkan pendapatan mereka. b. Kadar minyak yang tinggi Akarwangi yang akan disuling dalam keadaan kering akan menghasilkan akar yang memiliki kadar minyak tinggi. Hal ini dikarenakan kadar minyak akarwangi lebih tinggi bila dibandingkan kadar air yang terkandung didalamnya. Faktor penyebab munculnya risiko produksi penyulingan pada kondisi produksi terendah disebabkan oleh rendahnya ketersediaan akarwangi dan kadar minyak yang rendah. Risiko produksi mucul akibat adanya fluktuasi produksi pada kegiatan penyulingan. Faktor-faktor penyebab tersebut antara lain: a. Ketersediaan akarwangi rendah Ketersediaan akarwangi yang rendah dari petani akan menyebabkan jumlah produksi minyak akarwangi menurun. Hal ini dikarenakan penyuling tidak bisa memaksimalkan ketel untuk menyuling akarwangi. Hal ini akan menurunkan pendapatan mereka. b. Kadar minyak yang rendah Akarwangi yang akan disuling dalam keadaan basah akan menghasilkan akar yang memiliki kadar minyak rendah Hal ini dikarenakan kadar minyak akarwangi lebih kecil bila dibandingkan kadar air yang terkandung didalamnya.

77 5.4.2. Risiko Harga Output Risiko harga output diindikasikan dengan adanya fluktuasi harga output yang diterima penyuling sampel. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 30. Fluktuasi harga minyak akarwangi mengindikasikan adanya harga tertinggi, harga terendah, dan harga normal yang pernah diterima penyuling akarwangi sampel selama mengusahakan dan menjual minyak akarwangi. Tabel 30. Produksi dan Peluang Harga Output Penyulingan Minyak Akarwangi Pada Setiap Kondisi Kondisi Peluang Harga (Rp) Tertinggi 0,11 582.000 Normal 0,72 511.692 Terendah 0,17 466.923 Faktor penyebab munculnya risiko harga output pada kondisi harga output tertnggi yaitu mekanisme pasar yang lebih panjang serta tingginya tingkat permintaan namun rendahnya ketersediaan minyak akarwangi. Risiko harga outpuit terjadi akibat adanya fluktuasi harga output yang diterima penyuling. Faktor-faktor tersebut antara lain: a. Mekanisme Pasar yang lebih panjang Harga minyak akarwangi ditentukan oleh mekanisme pasar yang terjadi dalam kegiatan penyulingan akarwangi. Berdasarkan analisis yang dilakukan, bahwa harga minyak akarwangi yang dijual oleh petani langsung ke pedagang pengumpul relatif lebih murah yakni dengan harga Rp. 511.692/kg, sedangkan jika penyuling langsung menjual ke pedagang besar (eksportir) harga yang diterima relatif lebih mahal yakni pada kisaran Rp. 541.692/kg, tapi ketika penyuling menjual akarwanginya langsung ke eksportir, penyuling tersebut akan

78 mengeluarkan biaya transportasi tambahan, karena sebagian besar eksportir ada di luar Kota Garut, yakni Jakarta dan Medan. b. Tingginya tingkat permintaan namun ketersediaan minyak akarwangi rendah Produk akarwangi yakni minyak akarwangi merupakan produk ekspor yang sebagian besar hasil produksinya ditujukan untuk kegiatan ekspor. Sebagian besar minyak akarwangi yang dihasilkan penyuling dijual ke pengumpul tingkat kabupaten. Permintaan minyak akarwangi dari pengumpul tingkat kabupaten biasanya disesuaikan dengan permintaan eksportir. Sehingga bila permintaan minyak akarwangi meningkat namun ketersediaan minyak akarwangi di tingkat penyuling sedikit maka akan meningkatkan harga jual minyak akarwangi. Bila permintaan minyak akarwangi meningkat namun ketersediaan minyak akarwangi di tingkat penyuling rendah maka akan meningkatkan harga jual minyak akarwangi. Faktor penyebab munculnya risiko harga output pada kondisi harga output terendah yaitu mekanisme pasar yang lebih pendek serta rendahnya tingkat permintaan namun tingginya ketersediaan minyak akarwangi. Risiko harga output terjadi akibat adanya fluktuasi harga output yang ditrima penyuling. Faktor-faktor tersebut antara lain: a. Mekanisme Pasar yang lebih pendek Perbedaan nilai jual antara para pedagang pengumpul dan eksportir yang juga ditentukan oleh panjang tidaknya rantai pemasaran, ternyata juga memberikan pengaruh pada pembentukan risiko yang diterima atau ditanggung oleh penyuling. Namun sebagian besar penyuling, juga tidak mau mengambil risiko yang lebih besar untuk menanggung biaya transportasi, mereka lebih

79 banyak menjual hasil minyak akarwanginya kepada pedagang pengumpul, hal ini dapat dimaklumi karena sistem ini telah berjalan bertahun-tahun atas dasar saling percaya dalam penentuan harga oleh pedagang pengumpul. b. Rendahnya tingkat permintaan namun ketersediaan minyak akarwangi tinggi Bila permintaan minyak akarwangi rendah namun ketersediaan minyak akarwangi di tingkat penyuling tinggi maka akan menurunkan harga jual minyak akarwangi. Hal ini menyebabkan rendahnya pendapatan yang diterima penyuling.