BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebudayaan adalah salah satu yang dimiliki oleh setiap negara dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Simalungun terbagi atas beberapa bagian seperti upacara adat Marhajabuan

BAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain. 1. Pertalian darah menurut garis bapak (Patrilineal)

BAB I PENDAHULUAN. disebut gregariousness sehingga manusia juga disebut sosial animal atau hewan sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan

BAB 1 PENDAHULUAN. belakang sosiokultural seperti ras, suku bangsa, agama yang diwujudkan dalam

BAB I PENDAHULUAN. makhluk-nya. Ikatan suci ini adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.

BAB I PENDAHULUAN. Setiap suku bangsa memiliki kekhasan pada budayanya masing-masing.

I. PENDAHULUAN. mempunyai keinginan untuk hidup bersama dan membina rumah tangga yaitu. dengan melangsungkan pernikahan atau perkawinan.

BAB I PENDAHULUAN. kepercayaan yang berbeda-beda. Saat ini, pemerintah Indonesia mengakui adanya

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga merupakan satuan sosial yang paling sederhana di kalangan

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan yang baru akan membentuk satu Dalihan Natolu. Dalihan Natolu

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 Ayat 1 tentang Perkawinan menuliskan

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Multimodal merupakan salah satu cabang kajian Linguistik Sistemik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk adat istiadat, seni tradisional dan bahasa daerah. Sumatera

BAB I PENDAHULUAN. Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Setiap kelompok etnik tersebut memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi sebuah perubahan. Perlawanan budaya merupakan sebuah perjuangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

BAB 1 PENDAHULUAN. Agama Republik Indonesia (1975:2) menyatakan bahwa : maka dilakukan perkawinan melalui akad nikah, lambang kesucian dan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses dan pemaknaan tentang arti perkawinan itu sendiri selama pasangan

BAB I PENDAHULUAN. peraturan perundang-undangan, hukum adat dan hukum agama. Berdasarkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki

BAB VII RAGAM SIMPUL

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang

Kata kunci : Sikh, Susu Lembu dan Ritual Keagamaan,

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam kehidupannya memiliki tingkatan yakni, dari masa anak anak,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota

BAB IV KOMPARASI PANDANGAN MAJELIS ADAT ACEH (MAA) DAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA (MPU) KOTA LANGSA TERHADAP PENETAPAN EMAS SEBAGAI MAHAR

BAB 1. Pendahuluan. kepada manusia lainnya. Karena itu, manusia disebut sebagai makhluk sosial. Manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki keanekaragaman kebudayaan suku bangsa yang merupakan

ini. Setiap daerah memilki ciri khas kebudayaan yang berbeda, salah satunya di

BAB I PENDAHULUAN. mental dan fisik. Persiapan mental seseorang dilihat dari faktor usia dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai ragam suku bangsa yang memiliki jenis kebudayaan yang beragam pula.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk etnis Arab yang mempengaruhi Negara Indonesia sejak 100 tahun

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa

I. PENDAHULUAN. satu suku di Indonesia yang bertempat tinggal di ujung selatan Pulau Sumatera.

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB V PENUTUP. perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. watak pada individu. Karena salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya

2013 POLA PEWARISAN NILAI-NILAI SOSIAL D AN BUD AYA D ALAM UPACARA AD AT SEREN TAUN

BAB I (Times New Roman 16, Bold) PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan makhluk sosial yang artinya manusia saling membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. Proyek-proyek perumahan, gedung-gedung bertingkat dan pembenahan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut membuat orang lebih berpikir maju dan berwawasan tinggi. Pendidikan. majunya teknologi informasi dalam dunia pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. Tujuh unsur kebudayaan universal juga dilestarikan di dalam kegiatan suatu suku

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masyarakat batak toba menganut sistem kekeluargaan patrilineal yaitu

I. PENDAHULUAN. Asal usul bangsa Lampung berasal dari Sekala Brak yaitu sebuah Kerajaan yang

BAB I PENDAHULUAN. beberapa aspek yang perlu untuk diperhatikan baik itu oleh masyarakat sendiri

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

ÉÄx{M. Joeni Arianto Kurniawan, S. H.

BAB I PENDAHULUAN. Pada makanan tertentu bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan biologis,

KEBERTAHANAN PERKAWINAN IDEAL MENURUT SUKU BATAK KARO DI KELURAHAN KWALA BEKALA PADANG BULAN MEDAN (SUATU TINJAUAN ANTROPOLOGI) oleh :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pulau dan bersifat majemuk. Kemajemukan itu berupa keanekaragaman ras,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah

BAB V PENUTUP. masih dipertahankan sampai saat ini. Bersama dangan adat yang lain, harta buang

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan patrilinial yang menyebabkan sistem pertalian kewangsaan

BAB I PENDAHULUAN. Denpasar. Pada zaman dahulu, perempuan wangsa kesatria yang menikah dengan

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan dan tradisinya masing-masing. Syari at Islam tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir.

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki beragam suku bangsa,

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

BAB I PENDAHULUAN. Sudah jadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun. Kebiasaan tersebut terkait dengan kebudayaan yang terdapat dalam

KESIMPULAN DAN SARAN

BAB LIMA PENUTUP. sebelumnya. Dalam bab ini juga, pengkaji akan mengutarakan beberapa langkah

BAB I PENDAHULUAN. pengarang untuk memperkenalkan kebudayaan suatu daerah tertentu.

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk berbudaya mengenal adat istiadat yang

BAB V KESIMPULAN & SARAN

BAB I PENDAHULUAN. setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.

BAB I PENDAHULUAN. [Type text]

BAB I PENDAHULUAN. akan berubah entah itu memerlukan proses yang lambat ataupun cepat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perkawinan akan mengungkapkan bahwa banyak keputusan menyeluruh, pilihan-pilihan, atau alternatif sedang dipertimbangkan, dan bahwa semua itu membentuk atau menentukan penentuan terakhir mengenai pasangan pernikahan.: (Goode, 2004 : 64) Perkawinan merupakan sebuah fase yang terpenting dalam masa peralihan pada diri manusia dari tingkat remaja sampai pada tingkat berkeluarga. Sehingga ketika masa peralihan ini dilangsungkan, maka sangat banyak terlihat dilaksanakannya kegiatan-kegiatan di setiap keluarga. Dimulai dari kegiatan pada masa menjelang perkawinan, pada saat perkawinan dan bahkan juga pada saat setelah selesainya perkawinan. Sehingga tidak jarang upacara perkawinan ini dilakukan sampai berhari-hari. Perkawinan merupakan sebuah masa peralihan yang paling dinanti didalam sebuah keluarga inti. Sehingga seorang ayah dan ibu kemudian turut mengundang seluruh saudara, teman, kerabat dan juga masyarakat disekitar lingkungan tempat tinggalnya untuk juga merasakan apa yang sedang mereka rasakan. Kemudian beberapa kerabat dan juga teman saling tolong menolong dalam mensukseskan perayaan tersebut. Perkawinan juga sebenarnya menjadi sebuah upacara peralihan yang sarat dengan makna, bahkan tidak jarang perkawinan juga bisa menjadi sebuah ajang prestisius oleh sebuah keluarga. Sehingga tampilan-tampilan mewah sering menghiasi perjalanan upacara perkawinan.

Penelitian ini berangkat dari apa yang disampaikan di atas oleh Goode (2004) mengenai perkawinan yang sebenarnya bukan hanya sebatas pelaksanaan tradisi ritual untuk menyambut sebuah peralihan baru, bukan hanya sebatas tatanan untuk perkembangan garis keturunan, dan bukan juga sebatas pengikat hubungan baru antara dua keluarga besar. Di dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Keluarga, Goode ingin menunjukkan banyak cerita lain yang sarat dengan makna pada saat sebelum berlangsungnya perayaan perkawinan. Terutama dalam pemilihan pasangan hidup dan alasan lain terlaksananya sebuah perkawinan. Dalam bukunya yang berjudul Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, Eoh (1996) menjelaskan bahwa ada tiga tujuan dalam sebuah perkawinan, yaitu; (1) untuk membentuk sebuah keluarga menurut ketentuan hukum agama,(2) untuk memperoleh keturunan, serta (3) pada prinsipnya menghendaki perkawinan agar bersifat kekal dan tidak berakhir dengan perceraian. Akan tetapi sepertinya tujuan dari perkawinan tersebut tidak selamanya dapat tercapai dan barangkali terdapat tujuan lainnya selain yang disampaikan diatas. Ketika saya berbincang dan berdiskusi mengenai fenomena perkawinan pada salah satu teman yang merupakan keturunan etnik Punjabi di Kota Medan, terdapat sebuah fenomena pada bentuk perkawinan etnik tersebut. Dalam penentuan pasangan hidupnya, kelompok etnik ini dianjurkan untuk memilih pasangan hidup yang berhidung Mancung sama seperti mereka. Kemudian saya memahami bahwa sebenarnya, berhidung mancung merupakan pemaknaan yang menunjukkan identitas fisik etnik Punjabi yang memiliki ciri fisik berhidung mancung.

Secara tidak langsung, dalam pengertian kata-kata tersebut pihak orang tua dan keluarga menganjurkan kepada anak-anak mereka hendaknya memilih pasangan hidup haruslah dari kalangan etnik mereka juga. Sehingga dalam perkawinan nantinya, mereka akan menikah dengan sesama etnik Punjabi. Perkawinan seperti ini di dalam kajian antropologis biasa dikenal dengan sebutan perkawinan endogami. Meskipun tidak ada dokumentasi tertulis yang menceritakan migrasi etnik Punjabi sampai ke Sumatera Utara secara mendetail, namun dari beberapa penelitian mengenai etnik ini sedikit banyaknya telah memaparkan perjalanan migrasi etnik Punjabi hingga sampai ke Sumatera Utara dan khususnya Kota Medan. Penelitian Semanpreet Kaur (2012) menjelaskan bahwa dari hasil wawancaranya dengan salah satu tokoh besar Etnik Punjabi penganut agama Sikh ini, yaitu Bapak Pritam Singh menjelaskan bahwa etnik Punjabi berasal dari daerah Amritsar dan Jullundur di kawasan Punjab-India Utara. Etnik Punjabi sudah menyebar dibeberapa daerah di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara pada abad ke-18 yang didatangkan oleh Pemerintahan Belanda di Indonesia melalui wilayah Sabang (Aceh) dengan tujuan berternak lembu (majiwali). Hal ini dikarenakan Pemerintahan Belanda di Indonesia telah mengetahui baiknya penggunaan susu lembu. Pada umumnya masyarakat kota Medan ataupun masyarakat Indonesia sering menyamakan orang-orang Punjabi dengan etnik Tamil, padahal mereka sangat berbeda. Perbedaan tersebut dapat dikenali dari tampilan fisik etnik Punjabi yang masih tetap mengikuti aturan budaya mereka.

Terdapat 5 (lima) aturan pada etnik ini, yaitu berambut ataupun berjenggot panjang (Kesh), menggunakan sisir (Kangha), menggunakan gelang putih (Kara), menggunakan celana pendek (Khacera) dan pedang (Kirpan). Selain itu juga karena terdapat aturan untuk tidak diperbolehkan memotong rambut mereka, maka rata-rata rambut para lelaki Punjabi sangatlah panjang, maka dari itu mereka harus menggunakan sorban untuk merapikan rambut mereka,(kaur. 2012 : 40) Hal ini menjadi sebuah cara untuk menandai budaya mereka agar dapat diperhatikan (eksis). Fredrik Barth (1988) menyebut hal seperti ini sebagai batas budaya yang terbagi menjadi dua macam, yaitu (1) tanda atau gejala yang tampak (bentuk budaya yang bersifat membedakan yang biasanya digunakan untuk menenttukan identitas, dan (2) nilai-nilai dasar (Barth. 1988 : 15). Dalam berbagai hasil penelitian kebudayaan, perkawinan endogami adalah salah satu bentuk perkawinan yang sudah dilakukan oleh berbagai etnik di Indonesia sejak dahulunya. Perkawinan endogami adalah perkawinan yang pemilihan pasangannya berasal dari klan, etnik, warga kampunga ataupun warga desa yang sama (berasal dari satu kampung atau satu desa). Sistem perkawinan endogami tentu saja memiliki maksud dan tujuan pada masing-masing etnik tersebut. Contohnya Pada etnik Karo. bentuk perkawinan endogami pada etnik Karo dari dahulunya telah dikenal dengan sebutan perkawinan antar impal. Hal ini tidak terlepas dari tujuan yang ingin dicapai oleh etnik tersebut. Perkawinan antar impal ini ternyata bertujuan untuk melindungi harta warisan, agar harta warisan tersebut tidak terlepas dari kalangan mereka sendiri atau tidak jatuh pada kalangan etnik lain (Darwan. 2004 : 35)

Hasil Penelitian lain yang dilakukan oleh Koentjaraningrat (2007) juga menunjukkan pola perkawinan endogami masih bertahan pada tahun 1966 di Mentawai. Pihak laki-laki yang masih muda yaitu antara usia 16 sampai 20 tahun dibiarkan bergaul intim dengan para gadis di dalam desa tersebut, bahkan adakalanya pergaulan intim tersebut sampai membuat si gadis melahirkan anak yang kemudian anak tersebut dipelihara oleh orang tuanya. Hal ini lambat laun membuat seorang pemuda mengembangkan hubungan yang tetap pada gadis tersebut dan si pemuda kemudian dengan sopan akan memberitahukan kepada orang tua si gadis bahwa mereka akan hidup bersama (Koentjaraningrat. 2007: 59-61). Penelitian terbaru mengenai perkawinan endogami pada etnik lain juga dilakukan oleh Rizkiati (2012). Penelitian mengenai perkawinan endogami pada masyarakat keturunan Arab di kampung Arab Al Munawar Kecamatan Seberang Ulu II Kota Palembang juga menjelaskan sistem kepercayaan yang kuat dan juga alasan untuk menjaga harta agar tidak jatuh ke tangan orang lain, menjadi alasan dilaksanakannya perkawinan endogami tersebut. Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Pelras (2006) pada masyarakat Bugis. Pelras memang tidak membahas secara mendalam mengenai perkawinan endogami pada masyarakat Bugis, hal ini dikarenakan Pelras ingin menceritakan secara kompleks seluruh kebudayan yang ada pada etnik Bugis. Walaupun demikian, Pelras menjelaskan bahwa perkawinan endogami pada etnik Bugis bukanlah sekedar penyatuan dua mempelai semata, akan tetapi juga suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga yang biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya (ma pasideppe mabela-e atau mendekatkan yang sudah jauh), hal

ini juga sering ditempuh dua sahabat atau mitra usaha yang bersepakat menikahkan turunan mereka, atau menjodohkan anak mereka sejak kecil (Pelras. 2006 : 178) Pada masyarakat Bali ternyata perkawinan endogami juga masih dipertahankan di Desa Adat Tenganan Pegringsingan Kabupaten Karangasem. Bagi masyarakat adat desa ini, perkawinan haruslah memenuhi sistem yang sudah ditentukan. Yang harus dipenuhi adalah perkawinan harus dilaksanakan antara teruna (lelaki dewasa) dan seorang deha (perempuan dewasa) yang berasal dari desa Pegringsingan ini. Sehingga setelah memasuki bahtera perkawinan akan bisa menjadi anggota krama desa, dan apabila dilanggar maka akan dikenakan sanksi yaitu diasingkan dari desa tersebut (Karnitawati Made. 2013 : 15) Seiring berkembangnya kehidupan bermasyarakat dan semakin saling mudahnya bersosialisasi dengan etnik lainnya, meskipun banyak etnik yang masih tetap mempertahankan sistem perkawinan endogami tersebut, namun tentu saja secara perlahan akan terdapat perubahan yang terjadi pada sistem perkawinan mereka jikalau etnik-etnik tersebut tidak memiliki strategi tertentu dalam mempertahankannya. Mudahnya persinggungan yang terjadi antar etnik yang berbeda dalam kehidupan bermasyarakat mungkin saja akan membuat perkawinan endogami ditinggalkan. Hal ini barangkali bentuk perkawinan endogami dianggap membatasi ruang gerak seseorang dalam memilih pasangan hidupnya. Karena sistem perkawinan endogami juga sering menyertakan sistem perjodohan didalamnya. Menurut hipotesa peneliti, Barangkali hal seperti itu juga akan terjadi pada etnik Punjabi Penganut Agama Sikh di Kota Medan.

Berdasarkan keseluruhan penjelasan diatas, beberapa hal menarik mengenai perkawinan endogami yang telah dipaparkan menjadi alasan peneliti untuk ingin melakukan penelitian mengenai perkawinan endogami pada kelompok etnik Punjabi Penganut Agama Sikh di Kota Medan. 1.2 Fokus Penelitian Adapun beberapa hal yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah : 1. Apa latar belakang dilaksanakannya sistem perkawinan endogami oleh kelompok etnik Punjabi penganut Agama Sikh di Kota Medan? 2. Bagaimana strategi yang dilakukan oleh kelompok etnik Punjabi dalam menjaga keberlangsungan sistem perkawinan endogami pada kelompok etnik Punjabi penganut Agama Sikh di Kota Medan? 3. Bagaimana bentuk perubahan yang terjadi saat ini pada perkawinan endogami kelompok etnik Punjabi penganut Agama Sikh di Kota Medan? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun beberapa hal yang menjadi tujuan pada penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui latar belakang dilaksanakannya sistem perkawinan endogami oleh kelompok etnik Punjabi penganut Agama Sikh di Kota Medan. 2. Untuk bentuk usaha yang dilakukan oleh kelompok etnik Punjabi dalam menjaga keberlangsungan perkawinan endogami kelompok etnik Punjabi penganut Agama Sikh di Kota Medan?

3. Untuk menganalisis bentuk perubahan yang telah terjadi pada perkawinan endogami kelompok etnik Punjabi penganut Agama Sikh di Kota Medan 1.4 Manfaat dan Kontribusi Penelitian ini saya harapkan dapat berguna bagi saya untuk memulai sebuah studi etnografi khususnya mengenai sistem kekerabatan melalui perkawinan. Kemudian saya harapkan secara teoritis dapat memberikan penjelasan teoritis mengenai perkawinan endogami pada kelompok etnik Punjabi Penganut Agama Sikh di Kota Medan. Selain itu juga hasil penelitian ini saya harapkan dapat berkontribusi dalam kepustakaan Antropologi Sosial di lingkup Universitas Negeri Medan, sebagai sebuah tema studi lain yang menambah wawasan pengetahuan mengenai sebuah sistem perkawinan kelompok Etnik Punjabi di Kota Medan.