BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Antibiotik merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di dunia terkait dengan banyaknya kejadian infeksi bakteri. Sekitar 10-40% anggaran kesehatan di dunia digunakan untuk pengadaan biaya obat-obatan. Berdasarkan data WHO tahun 2004, hampir setengah dari obat-obatan termasuk antibiotik digunakan secara tidak tepat sehingga memperparah keadaan ekonomi bagi negara miskin dan berkembang (WHO, 2007). Meluasnya penggunaan antibiotik yang tidak tepat menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan, terutama resistensi bakteri terhadap antibiotik. Dampak resistensi terhadap antibiotik adalah meningkatnya morbiditas, mortalitas, dan peningkatan biaya kesehatan. Biaya yang dikeluarkan karena masalah resistensi antibiotik mencapai sekitar 400-500 juta dolar di Amerika serikat dan 900 juta dolar di eropa (WHO, 2007; Kemenkes, 2011a). Peresepan antibiotik pada beberapa negara berkembang cukup tinggi yaitu sekitar 44-97%, walaupun terkadang tidak dibutuhkan atau peresepan tersebut tanpa indikasi (Hadi dkk., 2008). Beberapa laporan WHO mengenai penggunaan antibiotik yang tidak tepat di daerah ASEAN diantaranya adalah penggunaan antibiotik pada kasus yang disebabkan infeksi virus sebanyak 50%, kasus pneumonia tidak mendapatkan antibiotik yang sesuai sebanyak 53%, kasus diare akut yang tidak membutuhkan antibiotik sebesar 54%, dan 40% peresepan antibiotik yang underdose (WHO, 2011). Antibiotik juga dapat diperoleh secara 1
bebas tanpa resep dokter pada beberapa negara di ASEAN walaupun hal tersebut bertentangan dengan peraturan yang ada. Penggunaan antibiotik yang tidak terkendali di Indonesia juga terlihat dari hasil penelitian di Surabaya yang menyatakan bahwa hampir tiga perempat dari kios yang ada di sekitar RSUD Dr. Soetomo dan dua Pusat Kesehatan Masyarakat menjual antibiotik secara bebas (Hadi dkk., 2010). Penyakit infeksi di Indonesia masih termasuk dalam sepuluh penyakit terbanyak. Peresepan antibiotik di Indonesia yang cukup tinggi dan kurang bijak akan meningkatkan kejadian resistensi. Di rumah sakit, penggunaan antibiotik yang tidak perlu atau berlebihan mendorong berkembangnya resistensi dan multipel resisten terhadap bakteri tertentu yang akan menyebar melalui infeksi silang. Terdapat hubungan antara penggunaan atau kesalahan penggunaan antibiotik dengan timbulnya resistensi bakteri penyebab infeksi nosokomial. Resistensi tidak dapat dihilangkan, tetapi dapat diperlambat melalui penggunaan antibiotik yang bijak. Hal tersebut membutuhkan kebijakan dan program pengendalian antibiotik yang efektif (Kemenkes, 2011a). Studi yang telah dilakukan di Indonesia selama 1990-2010 mengenai resistensi antibiotik, resistensi terjadi hampir pada semua bakteri bakteri patogen penting. Hal tersebut merupakan dampak negatif dari pemakaian antibiotik yang irasional, penggunaan antibiotik dengan indikasi yang tidak jelas, dosis atau lama pemakaian yang tidak sesuai, cara pemakaian yang kurang tepat, status obat yang tidak jelas, serta pemakaian antibiotik secara berlebihan (Febiana, 2012). Penggunaan antibiotik yang terkendali dapat 2
mencegah munculnya resistensi antimikroba dan menghemat penggunaan antibiotik yang pada akhirnya akan mengurangi beban biaya perawatan pasien, mempersingkat lama perawatan, penghematan bagi rumah sakit serta meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit (Kemenkes, 2011a). Pengendalian pencegahan resistensi antibiotik menurut WHO tahun 2012 harus difokuskan pada beberapa hal, yaitu pencegahan terjadinya resistensi antibiotik, meningkatkan penggunaan antibiotik yang rasional termasuk pendidikan dan pengajaran terhadap tenaga kesehatan dan masyarakat umum mengenai penggunaan antibiotik yang tepat, penegakkan hukum terhadap penjualan antibiotika tanpa resep, dan pengendalian terhadap infeksi seperti cuci tangan terutama pada fasilitas kesehatan. Menurut Kemenkes tahun 2011, upaya untuk mendorong penggunaan antibiotik secara bijak tidak dapat lepas dari peran apoteker. Apoteker diharapkan dapat berperan aktif dalam memberikan informasi, konseling, dan edukasi kepada pasien. Selain itu, apoteker juga memiliki peran serta untuk mendorong penggunaan antibiotik yang bijak, diantaranya adalah penggunaan antibiotik yang disesuaikan dengan pola kuman atau kultur, antibiotik yang bermutu, dan antibiotik yang cost effective. Peningkatan kualitas penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan cara melakukan evaluasi terhadap penggunaan antibiotik di rumah sakit. Evaluasi penggunaan antibiotik di rumah sakit yang pernah digunakan diantaranya adalah kriteria Kunin, dengan menggunakan kategori yang tidak spesifik yaitu ketepatan antibiotik, kemungkinan tepat antibiotik, tidak tepat karena ada antibiotik yang lebih murah, antibiotik memerlukan penyesuaian dosis, dan antibiotik sangat tidak 3
tepat (Gyssens, 2005). Berdasarkan kategori tersebut, Gyssens mengembangkan beberapa kategori yang lebih lengkap untuk menunjukkan penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada kategori yang berbeda-beda sehingga lebih spesifik. Gyssens mengembangkan evaluasi penggunaan antibiotik untuk menilai ketepatan penggunaan antibiotik yang terdiri dari ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga dan spektrum, lama pemberian, dosis, interval, rute, dan waktu pemberian. Kriteria Gyssens dapat digunakan untuk menilai kualitas penggunaan antibiotik, sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk penelitian secara mendalam mengenai peresepan antibiotik di rumah sakit baik oleh residen maupun mahasiswa kedokteran, mikrobiologi, maupun farmasi klinis (Van Der Meer dan Gyssens, 2001; Kemenkes, 2011b). Penelitian sistematic review dan meta analysis menyatakan bahwa penggunaan antibiotik empirik yang tidak tepat dapat meningkatkan kematian saat di rumah sakit pada pasien dengan infeksi berat (Marquet dkk., 2015). Selain kematian, penggunaan antibiotik yang tidak tepat juga dapat meningkatkan secara signifikan waktu rawat inap pasien (Shorr dkk., 2011). Penelitian mengenai hubungan antara penggunaan antibiotika yang rasional dengan luaran klinik diperoleh hasil bahwa sebanyak 76,38% penggunaan antibiotik yang rasional menunjukkan gejala infeksi yang membaik (Pamela, 2011). Berdasarkan hal tersebut, maka penggunaan antibiotik yang tepat diharapkan dapat memberikan luaran klinik yang lebih baik bagi pasien, sehingga perlu diteliti hubungan antara penggunaan antibiotik yang tepat dengan luaran klinik pasien. 4
RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten didirikan pada tanggal 20 Desember 1927. Berdasarkan undang-undang tahun 2003 dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1594/Menkes/SK/XII/2002 RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten ditetapkan sebagai Rumah Sakit Umum Kelas B Pendidikan. Rumah sakit ini memiliki pelayanan spesialistik luas dengan 428 tempat tidur dan merupakan rumah sakit pendidikan dan penelitian bagi tenaga medis. RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro memiliki visi menjadi rumah sakit yang ramah geriatri yang berkualitas dan mandiri dalam pelayanan, pendidikan dan penelitian di bidang kesehatan tingkat nasional pada tahun 2019. Misi dari RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro adalah menyelenggarakan pelayanan kesehatan paripurna, berkualitas dan terjangkau dan menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penggembangan ilmu bidang kesehatan lainnya dengan standar mutu yang tinggi, serta mewujudkan kepuasan seluruh stakeholder untuk mencapai kemandirian Rumah Sakit (Anonim, 2014). Penelitian mengenai evaluasi rasionalitas penggunaan obat termasuk antibiotik di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro khususnya di bangsal penyakit dalam belum pernah dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, evaluasi penggunaan antibiotik yang tepat dengan menggunakan kriteria Gyssens perlu untuk dilakukan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien rawat inap di bangsal penyakit dengan menggunakan kriteria Gyssens dan melihat hubungan antara rasionalitas penggunaan antibiotik dengan luaran klinik pasien di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. 5
B. Perumusan Masalah Perumusan masalah terkait penelitian mengenai evaluasi penggunaan antibiotik pasien rawat inap di bangsal penyakit dalam RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro adalah: 1. Bagaimana rasionalitas penggunaan antibiotik di bangsal penyakit dalam RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten? 2. Bagaimana hubungan antara rasionalitas penggunaan antibiotik dengan luaran klinik pasien di bangsal penyakit dalam RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten? C. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan peran apoteker dalam penggunaan antibiotik secara rasional sehingga dapat mewujudkan terapi antibiotik yang bijak dan pencegahan resistensi. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik berdasarkan Kriteria Gyssens. 2. Mengetahui hubungan antara rasionalitas penggunaan antibiotik dengan luaran klinik pasien. 6
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai: 1. Dapat digunakan sebagai data data ilmiah untuk bahan pembelajaran dan acuan penelitian terkait dengan rasionalitas penggunaan antibiotik. 2. Penggunaan antibiotik yang dianalisis berdasarkan Kriteria Gyssens dapat dijadikan sebagai acuan untuk meningkatkan penggunaan antibiotik yang lebih tepat lagi di bangsal penyakit dalam RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang evaluasi penggunaan antibiotik yang akan dilakukan mencakup analisis secara kualitatif rasionalitas antibiotik dengan kriteria Gyssens serta menganalisis hubungan antara rasionalitas dengan kesembuhan pasien. Penelitian ini belum pernah dilakukan di RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro. Penelitian pendahuluan mengenai evaluasi antibiotik yang pernah dilakukan di rumah sakit lain adalah: 1. Penelitian AMRIN (Antimicrobial resistance, antibiotical usage, and infection control) tahun 2000 2004 pada 2 rumah sakit yaitu RSUD Dr. Soetomo dan RSUP Dr. Kariadi dengan desain retrospektif. Salah satu tujuan penelitian adalah menilai penggunaan antibiotik secara kualitatif dengan menggunakan alur Gyssens. Hasil evaluasi kualitatif dengan Gyssens pada berbagai unit ditemukan penggunaan antibiotik yang tidak benar sekitar 60%, termasuk didalamnya karena tidak ada indikasi sekitar 42% maupun penggunaan yang tidak sesuai sekitar 15%. Penggunaan antibiotik tanpa indikasi di Semarang 7
lebih tinggi dibandingkan Surabaya, dengan persentase berturut-turut sebesar 48% dan 34% (Hadi dkk., 2008 ; Kemenkes, 2005). 2. Antibiotic Resistance Control Program (ARCP) in Pediatric Hematology and Oncology Patients at Dr.Soetomo Hospital in 2006-2007. Penelitian dilakukan sebanyak 2 fase yaitu fase awal dengan retrospektif dan fase kedua secara prospektif. Penelitian retrospektif dilakukan pada Juni - Agustus 2006, sedangkan secara prospektif dilakukan pada November 2006 - Januari 2007. Penelitian ini meneliti tentang penggunaan antibiotik, hasil kultur mengenai sensitivitas, dan mengevaluasi kuantitas antibiotik dengan DDD/100 patientdays serta evaluasi kualitas antibiotik dengan klasifikasi Gyssens, serta menghitung biaya penggunaan antibiotik sebelum dan sesudah dilakukan Antibiotic Resistance Control Program (ARCP). Hasil penelitian ini diperoleh bahwa pada fase pertama antibiotik yang sensitif adalah sefoperazon-sulbaktam dan resisten pada penisilin G. Pada fase kedua, meropenem merupakan antibiotik yang paling sensitif dan kotrimoksasol adalah yang paling resisten. Penggunaan antibiotik sesudah ARCP menurun dari 12 menjadi 6 tipe antibiotik. DDD/100 patient-days juga menurun dari 45,04 (fase 1) menjadi 14,52 (fase 2). Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dari hasil evaluasi Gyssens juga mengalami penurunan pada kategori IIIA, IIIB, IVD dan V. Biaya penggunaan antibiotik juga mengalami penurunan sebesar 11% setelah diberikan perlakuan (Andarsini dkk., 2010). 3. Audit Peresepan Antibiotik di Bangsal Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Peiode Desember 2011 Februari 2012. Metode 8
penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan rancangan crosssectional dengan pengambilan data dilakukan secara prospektif. Jumlah populasi yang memenuhi kriteria inklusi sebesar 68 pasien. Hasil penelitian tersebut menunjukkan antibiotik empirik yang digunakan adalah seftriakson 45 kasus (66,18%). Hasil audit kualitatif diperoleh terapi empiris 30 kasus rasional dan sebanyak 27 kasus tidak rasional. Sebaliknya diperoleh sebanyak 46 kasus rasional dan 19 kasus tidak rasional pada terapi definitif antibiotik (Ningsih, 2013) 4. Studi Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Sistem ATC/DDD dan Kriteria Gyssens di Bangsal Penyakit Dalam RSUP DR.M.Djamil Padang. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan penggunaan antibiotik dengan sistem ATC/ DDD dan kriteria Gyssens yang dilakukan dengan rancangan studi observasional menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data pasien secara prospektif dilakukan pada populasi terbatas di bangsal Penyakit Dalam di RSUD DR. M. Djamil Padang yang menerima antibiotik. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa penggunaan antibiotik secara kualitatif dengan alur kriteria Gyssens yang tepat atau kategori I sebesar 43,18% dan yang tidak tepat atau kategori II-VI sebesar 56,19 % (Lestari dkk., 2011). 5. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik di Bangsal Anak RSUP Dr. Kariadi Semarang Periode Agustus-Desember 2011. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotik di bangsal anak RSUP Dr Kariadi dengan metode retrospektif. Sampel diambil dengan 9
menggunakan data stratified random sampling. Total penggunaan antibiotik sebesar 39,4 DDD/100 dan seftriakson merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan yaitu sebesar 10,6 DDD/100 pasien. Berdasarkan evaluasi dengan kategori Gyssens didapatkan hasil sebesar 55,1% memenuhi kategori 0 (rasional), sedangkan yang lain penggunaannya tidak tepat, sehingga dapat disimpulkan terdapat ketidaktepatan penggunaan antibiotik di Bangsal Anak RSUP Dr. Kariadi (Febiana, 2012). Penelitian ini serupa dengan penelitian sebelumnya, akan tetapi penelitian ini dilakukan ditempat yang berbeda dengan mengkaji kerasionalan penggunaan antibiotik berdasarkan kriteria Gyssens dengan menggunakan desain kohort prospektif serta mencari hubungan antara kerasionalan penggunaan antibiotik dengan kesembuhan pasien. Penelitian ini dilakukan di bangsal rawat inap penyakit dalam RSUP Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. 10