ARSITEKTUR, KENYAMANAN TERMAL DAN ENERGI Tri Harso Karyono Kuliah Terbuka Jurusan Arsitektur, Universitas Soegrijapranata, Semarang, 9 Nopember 1996 Ada tiga sasaran yang seharusnya dipenuhi oleh suatu karya arsitektur (baca: bangunan). Pertama, bahwa bangunan harus merupakan produk dari suatu kerja seni (work of art). Kedua, bahwa bangunan harus mampu memberikan kenyamanan (baik psikis maupun fisik) kepada penghuninya. Dan yang terakhir, bahwa bangunan perlu hemat terhadap pemakaian energi [1]. Bangunan yang gagal menjadi produk dari 'work of art' akan sulit mendapatkan tempat dalam catatan sejarah arsitektur. Bangunan yang gagal mewadahi aktifitas pemakainya dengan 'nyaman' akan dirombak - ditambah atau dikurangi agar bangunan tersebut menjadi nyaman. Sedangkan bangunan yang gagal menghemat dalam pemakaian energi akan menjadi mahal secara operasional, apalagi jika hal ini dikaitkan dengan masalah penipisan cadangan minyak bumi sebagai sumber utama energi untuk bangunan dewasa ini. Kenyamanan termal Pada dasarnya arsitektur merupakan wadah kegiatan manusia agar kegiatan itu dapat terselenggara secara nyaman. Ada dua aspek kenyamanan yang perlu dipenuhi oleh suatu karya arsitektur, yakni kenyamanan psikis dan fisik. Kenyamanan psikis banyak kaitannya dengan kepercayaan, agama, aturan adat, dan sebagainya. Aspek ini bersifat personal, kualitatif dan tidak terukur secara kuantitatif. Sementara di lain pihak, kenyamanan fisik lebih bersifat universal dan dapat dikuantifisir. Kenyamanan fisik terdiri - di antaranya adalah: kenyamanan ruang (spatial comfort), kenyamanan penglihatan (visual comfort), kenyamanan pendengaran (audial comfort) dan kenyamanan termal (thermal comfort)[2]. Dari keempat macam kenyamanan fisik tersebut, 'kenyamanan termal' -lah yang paling dominan berpengaruh pada penggunaan energi pada bangunan. Teori kenyamanan termal menyatakan bahwa rasa panas atau dingin yang dirasakan oleh tubuh manusia adalah merupakan wujud respon dari sensor perasa pada kulit terhadap stimuli suhu yang ada di sekitarnya. Sensor perasa berperan menyampaikan informasi rangsangan rasa kepada otak, di mana otak akan memberikan perintah kepada bagian-bagian tubuh tertentu agar melakukan antisipasi guna mempertahankan suhu tubuh agar tetap berada pada sekitar 37 o C. Hal ini diperlukan oleh organ tubuh untuk dapat menjalankan fungsinya secara baik. Apabila suhu udara di sekitar tubuh manusia lebih tinggi dari suhu nyaman yang diperlukan oleh tubuh, aliran darah pada permukaan tubuh atau anggota badan akan meningkat dan ini akan meningkatkan suhu kulit. Peningkatan suhu ini bertujuan untuk melepaskan lebih banyak panas dari dalam tubuh secara radiasi ke udara di sekitarnya. Proses pengeluaran keringat 1
akan terjadi pada suhu udara yang lebih tinggi lagi, sebagai tindak lanjut dari usaha pelepasan panas tubuh melalui proses penguapan, apabila suhu luar terlalu tinggi. Pada situasi di mana suhu udara lebih rendah dari yang diperlukan tubuh, peredaran darah ke permukaan tubuh atau anggota badan dikurangi. Hal ini merupakan usaha tubuh untuk mengurangi pelepasan panas ke udara disekitarnya. Pada situasi ini pada umumnya tangan atau kaki menjadi dingin dan pucat. Otot-otot akan berkontraksi dan tubuh akan meinggigil pada suhu udara yang lebih rendah lagi. Hal ini merupakan usaha terakhir tubuh untuk memperoleh tambahan panas melalui peningkatan proses metabolisme. Pada kondisi lebih ekstrim, baik terlalu panas ataupun terlalu dingin, manusia mungkin tidak lagi mampu bertahan untuk hidup. Ilmu kenyamanan termal hanya membatasi pada kondisi udara tidak ekstrim (moderate thermal environment), di mana manusia masih dapat mengantisipasi dirinya terhadap perubahan suhu udara di sekitarnya. Dalam kondisi yang tidak ekstrim ini terdapat daerah suhu di mana manusia tidak memerlukan usaha apapun, seperti halnya menggigil atau mengeluarkan keringat, dalam rangka mempertahankan suhu tubuhnya agar tetap berkisar pada 37 o C. Daerah suhu inilah yang kemudian disebut dengan 'suhu nyaman' [3]. Penelitian Farida Idealistina [4] menyatakan bahwa suhu nyaman diperlukan manusia untuk mengoptimalkan produktifitas kerja. Karena tubuh manusia memiliki variasi antara satu dengan lainnya seperti halnya gemuk, kurus, kekar, dan sebagainya, ada kecenderungan bahwa suhu nyaman yang dimiliki oleh tiaptiap individu berbeda. Untuk itu secara teori tidak akan pernah terjadi bahwa sekelompok manusia dapat merasakan nyaman seluruhnya apabila ditempatkan dalam satu ruang yang memiliki suhu yang sama. Prosentase maksimum yang dapat dicapai oleh suhu tertentu untuk memberikan kenyamanan terhadap suatu kelompok manusia adalah 95%. Artinya pada suhu tersebut 95% dari individu dalam kelompok itu merasa nyaman. Suhu inilah yang kemudian secara teori didefinisikan sebagai suhu nyaman [5]. Tingkat Keberlakuan Standar Kenyaman Termal Sensasi manusia terhadap suhu (termal) di sekitarnya menurut Standar Internasional ISO-7730 merupakan fungsi dari empat faktor iklim yaitu, suhu udara, suhu radiasi, kelembaban udara, dan kecepatan angin, serta dua faktor individu yakni, tingkat kegiatan yang berkaitan dengan tingkat metabolisme tubuh, serta jenis pakaian yang dikenakan [5]. Secara teori kenyamanan termal tidak dipengaruhi oleh hal-hal seperti jenis kelamin, usia, tingkat kegemukan, tempat tinggal geografis, suku bangsa, adaptasi, kepadatan, warna, dan lainnya. Secara teori sekelompok manusia Indonesia dan sekelompok manusia dari bangsa lain akan memperoleh tingkat kenyamanan termal yang sama ketika mereka ditempatkan di ruang sama, melakukan aktifitas sama dan mengenakan pakaian sama. 2
Humphreys [7,8] dan Nicol [9] mengeluarkan teori adaptasi (the adaptive model), yang menyangkal keberlakuan Standar Internasional, ISO. Menurut Humphreys dan Nicol kenyamanan termal dipengaruhi oleh adaptasi dari masing-masing individu terhadap suhu luar di sekitarnya. Analisis Humphreys [7] terhadap sejumlah penelitian kenyamanan termal di sejumlahi tempat di dunia ditemukan bahwa Standar Internasional ISO tidak sejalan dengan sejumlah kesimpulan dari penelitian-penelitian tersebut. ISO cenderung memprediksi suhu nyaman lebih tinggi bagi mereka yang bermukim di iklim sedang atau iklim dingin. Sementara untuk mereka yang bermukim di iklim panas atau tropis Iso memprediksi sebaliknya, justru terlalu rendah. Dinyatakan oleh Humphreys [7,8] bahwa suhu nyaman merupakan fungsi dari suhu udara luar rata-rata bulanan di suatu tempat. Suatu formula dirumuskan oleh Humphreys untuk memprediksi suhu nyaman bagi manusia di tempat tertentu dengan iklim tertentu. 4.8.4. Suhu Nyaman dan Penghematan Energi dalam Bangunan Hasil penelitian kenyamanan termal yang dilakukan Karyono [12] dinyatakan bahwa sekitar 95% dari 596 karyawan/wati yang bekerja di Jakarta merasa nyaman pada 26,4 o C suhu udara, T a atau pada 26,7 o C suhu operasi, T o (suhu gabungan rata-rata antara suhu udara dan suhu akibat radiasi). Sementara standar kenyamanan termal di Indonesia yang berpedoman pada standar Amerika (ANSI/ASHRAE 55-1992)[6] merekomendasikan suhu nyaman pada 22.5 o - 26 o C T o, atau disederhanakan menjadi 24 o C + 1 o atau + 2 o C T o. Jika dibandingkan hasil penelitian Karyono di atas, suhu nyaman pada perencanaan bangunan berpengkondisi udara di Jakarta (Indonesia) berada sekitar 2.5 o C T o lebih rendah, dan ini akan mempunyai implikasi tertentu terhadap penggunaan energi dalam bangunan. Sementara itu perhitungan (prediksi) ISO yang diukur dengan menggunakan thermal comfort meter type 1212 pada penelitian Karyono [12] menunjukkan suhu nyaman sekitar 25,5 o CT o, yang berarti sekitar 1,1 o C T o lebih rendah dari suhu nyaman hasil penelitian di Jakarta [13]. Dari uraian di atas terlihat bahwa baik rekomendasi ISO maupun ASHRAE memperlihatkan angka yang lebih rendah dari hasil penelitian Karyono di Jakarta. Suatu telaah yang dilakukan Karyono [14] terhadap beberapa penelitian kenyamanan termal di wilayah Asia Tengggara dan Papua New Guinea memperlihatakan bahwa suhu nyaman mereka yang tinggal dalam kawasan itu berkisar antara 24,5 hingga 30 o C T a (24,2-28,5 o C T o ) di mana angka ini lebih tinggi dibanding rekomendasi baik dari ISO maupun ASHRAE. Perbedaan suhu nyaman bagi mereka yang tinggal di daerah tropis lembab dengan ISO maupun ASHRAE memberikan indikasi bahwa faktor suhu luar rata-rata (iklim setempat) berpengaruh terhadap pemilihan suhu nyaman manusia. Seperti diketahui bahwa kedua standar tersebut (ISO dan ASHRAE) dirumuskan dari hasil penelitian di negara beriklim sedang 3
dengan sampel sebagian besar bangsa Eropa dan Amerika Utara, yang sebagaimana diperkirakan oleh Humpreys dan Nicol, akan menghasilkan suhu nyaman yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah panas atau tropis. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor adaptasi terhadap suhu udara luar yang lebih tinggi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa akibat penerapan suhu nyaman yang berasal dari standar asing - yang lebih rendah dari kebutuhan nyata suhu nyaman manusia Indonesia - di satu pihak karyawan/wati yang bekerja pada gedung-gedung berpengkondisi udara akan merasakan ruang yang lebih dingin dari yang diperlukan, atau dengan kata lain 'dingin-tidak nyaman', di lain pihak berdasarkan penelitian dan perhitungan teoritis bahwa kenaikkan/penurunan suhu bangunan sebesar 1 o C akan menurunkan/menaikkan 10% konsumsi energi pada bangunan tersebut. Dengan kata lain kenaikkan 2,5 o C pada suhu perencanaan dari 24 o C (standar ASHRAE) menjadi 26,5 o C (suhu nyaman hasil penelitian Jakarta), akan menghasilkan penghematan energi sebesara 25% pada bangunan-bangunan berpengkondisi udara di Jakarta. Kiranya penelitian serupa dapat diperluas untuk kota dan daerah lain di Indonesia. Penelitian ini akan bermanfaat bagi penentuan standar suhu nyaman di daerah setempat. Hasil penelitian tersebut akan membantu arsitek dalam merancang bangunan yang nyaman dan hemat energi, meskipun tidak pernah dicatat dalam sejarah arsitektur. Sumber Bacaan ANSI/ASHRAE: 55-1992 (1992), ASHRAE Standard Thermal Environmental Conditions for Human Occupancy, ASHRAE, USA. Fanger, P. O. (1970), Thermal Comfort, Analysis and Application in Environmental Engineering, Danish Technical Press, Copenhagen. Humphreys, M.A. (1976), Field Studies of Thermal Comfort Compared and Applied, Building Service Engineering, Vol. 44 April, pp. 6-23. Humphreys, M.A. (1992), Thermal Comfort Requirements, Climate and energy, The Second World Renewable Energy Congress, Reading, UK. Idealistina, F. (1991), Model Termoregulasi Tubuh untuk Penentuan Besaran Kesan Termal Terbaik dalam kaitannya dengan Kinerja Manusia, disertasi doktor, Fakultas Pasca Sarjana ITB, Indonesia. ISO 7730:1994 (1994), Moderate Thermal Environments - Determination of the PMV and PPD Indices and Specification of the Conditions for Thermal Comfort, 2nd edition, International Organisation for Standardisation, Geneva. Karyono, T.H. (1996), Thermal Comfort in the Tropical South East Asia Region, Architectural Science Review, vol. 39, no. 3, September, pp. 135-139, Australia. Karyono, T.H. (1989), Solar Energy and Architecture: A Study of Passive Solar Design for Hospital Wards in Indonesia, MA dissertation, School of Advanced Architectural Studies, Univ. of York, UK. Karyono, T.H. (1995), Higher PMV Causes Higher Energy Consumption in Air Conditioned Buildings: A Case Study in Jakarta, Indonesia, in: Standards for Thermal Comfort Indoor Air Temperature Standards for the 21st Century, eds: Nicol, Humphreys, Sykes, Roaf, E & FN Spoon and Chapman & Hall, London. Karyono, T.H. (1995), Thermal comfort for the Indonesian workers in Jakarta, Building Research and Information, vol. 23, no. 6, November/December, pp.317-323, UK. 4
Karyono, T.H. (1996), Arsitektur, Ilmu Pengetahuan dan Energi, Konstruksi, Mei, hal. 22. Karyono, T.H. (1996), Discrepancy between actual and predicted thermal votes of Indonesian workers in Jakarta, Indonesia, The International Journal of Ambient Energy, vol. 17, no 2, april, pp95-100, UK. Karyono, T.H. (1996), Thermal Comfort and Energy Studies in Multi-storey Office Buildings in Jakarta, Indonesia, Ph.D thesis, School of Architectural Studies, The Sheffield University, UK. Nicol, J.F. (1993), Thermal Comfort A Handbook for Field Studies toward an Adaptive Model, University of East London, UK. 5