(In Vitro Quality of Filial Ongole Bovine Oocytes Collected from Ovary after Transported in Different Transportation Period) ABSTRAK

dokumen-dokumen yang mirip
Pengaruh Waktu dan Suhu Media Penyimpanan Terhadap Kualitas Oosit Hasil Koleksi Ovarium Sapi Betina Yang Dipotong Di TPH

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis

FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN OOSIT SAPI HASIL IVF DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging

Jurnal Kajian Veteriner Volume 3 Nomor 1 : ISSN:

BAB I. PENDAHULUAN A.

PENGARUH WAKTU PRESERVASI OVARIUM TERHADAP DIAMETER FOLIKEL DAN OOSIT DOMBA LOKAL

PENGARUH KONSENTRASI SPERMATOZOA PASCA KAPASITASI TERHADAP TINGKAT FERTILISASI IN VITRO

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. Objek penelitian ini berupa ovarium domba lokal umur <1 tahun 3 tahun

Korelasi antara Oosit Domba yang Dikoleksi dari Rumah Pemotongan Hewan dengan Tingkat Fertilitasnya setelah Fertilisasi in vitro

SUPLEMENTASI FETAL BOVINE SERUM (FBS) TERHADAP PERTUMBUHAN IN VITRO SEL FOLIKEL KAMBING PE

TINGKAT PEMATANGAN OOSIT KAMBING YANG DIKULTUR SECARA IN VITRO SELAMA 26 JAM ABSTRAK

JURNAL ILMU TERNAK, JUNI 2016, VOL.16, NO.1

Perlakuan Superovulasi Sebelum Pemotongan Ternak (Treatment Superovulation Before Animal Sloughter)

Perbedaan Aktivitas Ovarium Sapi Bali Kanan dan Kiri serta Morfologi Oosit yang Dikoleksi Menggunakan Metode Slicing

Pengaruh Pemberian Susu Skim dengan Pengencer Tris Kuning Telur terhadap Daya Tahan Hidup Spermatozoa Sapi pada Suhu Penyimpanan 5ºC

Embrio ternak - Bagian 1: Sapi

KUALITAS OOSIT DARI OVARIUM SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) PADA FASE FOLIKULER DAN LUTEAL

PENGARUH UKURAN DAN JUMLAH FOLIKEL PER OVARI TERHADAP KUALITAS OOSIT KAMBING LOKAL

DAYA HIDUP SPERMATOZOA EPIDIDIMIS KAMBING DIPRESERVASI PADA SUHU 5 C

Z. Udin, Jaswandi, dan M. Hiliyati Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang ABSTRAK

Jurnal Sains & Matematika (JSM) ISSN Volume 14, Nomor 4, Oktober 2006 Artikel Penelitian:

PENGARUH UMUR TERHADAP BOBOT DAN DIAMETER OVARIUM SERTA KUALITAS OOSIT PADA DOMBA LOKAL

PEMANFAATAN SEL KUMULUS PADA MEDIUM KULTUR IN VITRO EMBRIO MENCIT TAHAP SATU SEL

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH

Jurnal Pertanian ISSN Volume 2 Nomor 1, April PENGARUH VITAMIN B 2 (Riboflavin) TERHADAP DAYA TAHAN SPERMATOZOA DOMBA PADA SUHU KAMAR

Kelahiran Anak Sapi Hasil Fertilisasi secara in Vitro dengan Sperma Hasil Pemisahan

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

Lampiran 1. Jumlah Zigot yang Membelah >2 Sel pada Hari Kedua

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

PENGARUH MEDIA IVM DAN IVC PADA PERKEMBANGAN EMBRIO SAPI SECARA IN VITRO

DIKTAT EMBRIOLOGI HEWAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL

Penggunaan Pregnant Mare's Serum Gonadotropin (PMSG) dalam Pematangan In Vitro Oosit Sapi

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan Penelitian. Metode Penelitian

Y ij = µ + B i + ε ij

Pengaruh Jenis Otot dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Daging Sapi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan bulan Februari Maret 2016 di Desa Bocor,

PENGARUH TINGKAT PENGENCERAN TERHADAP KUALITAS SPERMATOZOA KAMBING PE SETELAH PENYIMPANAN PADA SUHU KAMAR

TINGKAT FERTILISASI OOSIT DOMBA DARI OVARIUM YANG DISIMPAN PADA SUHU DAN WAKTU YANG BERBEDA SECARA IN VITRO

KOMPETENSI PERKEMBANGAN OOSIT DOMBA PADA SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN OVARIUM YANG BERBEDA ARIE FEBRETRISIANA

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak

Efektivitas Manipulasi Berbagai Ko-Kultur Sel pada Sistem Inkubasi CO 2 5% untuk Meningkatkan Produksi Embrio Sapi Secara In Vitro

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur

PENDAHULUAN Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan

Pemotongan Sapi Betina Produktif di Rumah Potong Hewan di Daerah Istimewa Yogyakarta

II. METODELOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Perubahan Diameter Folikel Hasil pengamatan Tabel 3 menunjukkan bahwa

BAB III BAHAN, ALAT DAN METODA

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari hingga Maret 2015.

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metode Penelitian Sampel

IDENTIFIKASI PROFIL PROTEIN OOSIT KAMBING PADA LAMA MATURASI IN VITRO YANG BERBEDA DENGAN SDS-PAGE. Nurul Isnaini. Abstrak

PEMANFAATAN TEKNOLOGI KULTUR OVARI SEBAGAI SUMBER OOSIT UNTUK PRODUKSI HEWAN DAN BANTUAN KLINIK BAGI WANITA YANG GAGAL FUNGSI OVARI

(Biopotency Test of Monoclonal Antibody Anti Pregnant Mare Serum Gonadotropin in Dairy Cattle)

Pengaruh Fluktuasi Suhu Air Terhadap Daya Tetas Telur dan Kelulushidupan Larva Gurami (Osphronemus goramy)

ANALISIS KUALITAS AIR MINUM SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN BANYUMAS JAWA TENGAH

HUBUNGAN JUMLAH FOLIKEL PER OVARI DENGAN KUALITAS OOSIT DAN LAMA HARI TERBENTUKNYA BLASTOSIT FERTILISASI IN VITRO PADA SAPI FRIES HOLLAND

PENGARUH PENAMBAHAN HORMON PADA MEDIUM PEMATANGAN TERHADAP PRODUKSI EMBRIO SECARA IN VITRO

TINGKAT PERKEMBANGAN PRODUKSI EMBRIO IN VITRO HASIL FERTILISASI SAPI SEBANGSA DAN BEDA BANGSA MUHAMMAD FARIS FIRDAUS

KAJIAN KEPUSTAKAAN. susu untuk peternak di Eropa bagian Tenggara dan Asia Barat (Ensminger, 2002). : Artiodactyla

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. aktif dari hormon tiroksin memegang peranan penting dalam fungsi fisiologis

MATERI DAN METODA Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Hewan Percobaan Vaksin AI-ND Pakan Kandang dan Perlengkapannya

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Sintesis Protein Mikroba dan Aktivitas Selulolitik Akibat

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT SAPI BETINA MUDA (JUVENILE)

PENGAMBILAN SAMPEL MAKANAN UNTUK PARAMETER MIKROBIOLOGI, PENGIRIMAN, PEMERIKSAAN DAN INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN SAKRIANI

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang efek pemanasan pada molases yang ditambahkan urea

PENGARUH LAMA THAWING DALAM AIR ES (3 C) TERHADAP PERSENTASE HIDUP DAN MOTILITAS SPERMATOZOA SAPI BALI (Bos sondaicus)

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas

KONSISTENSI KEEFEKTIFAN BIOPLUS SERAT SELAMA MASA SIMPAN PADA SUHU RUANG

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III. (HCl), 40 gram NaOH, asam fosfat, 1M NH 4 OH, 5% asam asetat (CH 3 COOH),

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan,

IDENTIFIKASI DAN UJI BIOAKTIVITAS GROWTH FACTOR DAN HORMON STEROID SEKS HASIL BIAKAN MONOLAYER SEL HEPAR DAN SEL KUMULUS SAPI

PENGARUH PREGNANT MARE SERUM GONADOTROPIN (PMSG) PADA MATURASI DAN FERTILISASI IN VITRO OOSIT KAMBING LOKAL

BAB III MATERI DAN METODE. Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Analisis sampel dilaksanakan

III. BAHAN DAN METODE. Jurusan Agroteknologi, Universitas Lampung. Penelitian ini dilaksanakan mulai

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. primer sel otak fetus hamster ini merupakan penelitian eksperimental yang

Contak person: ABSTRACT. Keywords: Service per Conception, Days Open, Calving Interval, Conception Rate and Index Fertility

DAFTAR ISI. BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Kerangka Berpikir Konsep Hipotesis...

Kualitas Daging Sapi Wagyu dan Daging Sapi Bali yang Disimpan pada Suhu 4 o C

GAMBARAN AKTIVITAS OVARIUM SAPI BALI BETINA YANG DIPOTONG PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) KENDARI BERDASARKAN FOLIKEL DOMINAN DAN CORPUS LUTEUM

3. METODE PENELITIAN

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik. Penanaman sel ke 96-wells plate. Uji Viabilitas Sel

MUHAMMAD RIZAL AMIN. Efektivitas Plasma Semen Sapi dan Berbagai Pengencer

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Umur terhadap Bobot Ovarium. Hasil penelitian mengenai pengaruh umur terhadap bobot ovarium domba

BAB III METODE PENELITIAN

SUPLEMENTASI HORMON GONADOTROPIN PADA MEDIUM MATURASI IN VITRO UNTUK MENINGKATKAN PERKEMBANGAN EMBRIO STADIUM 4 SEL KAMBING BLIGON

Bidang : Biologi Terapan

Evaluasi Kualitas Produk Dadih Dalam Bentuk Bubuk Yang Dikeringkan Dengan Sinar Matahari Dan Oven

AGROVETERINER Vol.5, No.2 Juni 2017

II. METODE PENELITIAN

Transkripsi:

ACTA VETERINARIA INDONESIANA ISSN 2337-3202, E-ISSN 2337-4373 Vol. 1, No. 1: 15-19, Januari 2013 Penelitian Kualitas Morfologi Oosit Sapi Peranakan Ongole yang Dikoleksi secara In Vitro Menggunakan Variasi Waktu Transportasi (In Vitro Quality of Filial Ongole Bovine Oocytes Collected from Ovary after Transported in Different Transportation Period) Agung Budiyanto*, Sri Gustari, Dito Anggoro, Dwi Jatmoko, Silvana Nugraheni, Eka Wahyu Nugraha, Donata Asta Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Karangmalang 55862 *Penulis untuk korespondensi: agung_bd2004@yahoo.com Diterima 5 November 2012, Disetujui 11 Januari 2013 ABSTRAK Salah satu alternatif usaha peningkatan populasi sapi di Indonesia adalah dengan transfer embrio. Kualitas oosit yang baik akan menghasilkan tingkat pembelahan dan blastosis yang baik. Lama waktu transportasi dari rumah potong hewan (RPH) ke laboratorium merupakan salah satu faktor yang dilaporkan berpengaruh terhadap kualitas oosit. Waktu transportasi yang tepat untuk menghasilkan oosit dengan kualitas morfologi terbaik belum pernah dilakukan untuk ovarium sapi di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh lama waktu transportasi ovarium terhadap kualitas morfologi oosit sapi yang dikoleksi secara in vitro. Koleksi ovarium dilakukan di RPH, selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dilakukan proses koleksi oosit dengan metode aspirasi. Ovarium dikelompokkan berdasarkan waktu transportasinya, yaitu 2, 3, 4, dan 5 jam. Oosit yang diperoleh kemudian dikelompokkan berdasarkan kualitasnya dengan mengklasifikasikan menjadi kualitas A, B, C, dan D. Pada penelitian ini ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara lama waktu transportasi ovarium sapi terhadap kualitas morfologi oosit (P< 0,05). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ovarium yang mengalami perlakuan transportasi selama 2 jam menghasilkan persentase jumlah oosit dengan kualitas morfologi A dan B yang lebih baik jika dibandingkan dengan selama lebih dari 2 jam. Kata kunci: sapi, ovarium, waktu transportasi, kualitas oosit ABSTRACT One alternative effort to increase the cattle population in Indonesia is by embryo transfer. The oocyte quality will affect cleavage and blastocyst rates. Transportation time from the abattoir (slaughterhouse) to the laboratory is one of the factors reported to influence the quality of the oocyte. This research was conducted to determine the effect of transportation period to the quality of oocytes collected in vitro in cattle. Ovaries were collected at slaughterhouse, transported to the laboratory for oocyte collection aspiration method. Ovaries are grouped based on the time of transportation 2, 3, 4, and 5 hours. Collected oocytes were evaluated to determine their quality by classifying into quality A, B, C, and D. In this study have found significant differences between the longer transport time to the quality of the morphology of the ovarian oocytes (P <0.05). This study suggests that transportation period affect the quality of oocyte. Ovaries were transported to laboratory for 2 hours had the percentage of oocytes with morphological quality A and B are better when compared with the ovary being subjected to transportation for more than 2 hours. Key words: cow, ovary, transport time, oocyte quality PENDAHULUAN Peningkatan kebutuhan protein hewani yang berasal dari ternak yang terus meningkat setiap tahun berdampak terhadap kebijakan pemerintah dalam menentukan suatu teknologi reproduksi yang dapat membantu menjamin peningkatan populasi ternak. Data dari Anonim (1999), menunjukkan bahwa 2013 Fakultas Kedokteran Hewan IPB http://www.journal.ipb.ac.id/indeks.php/actavetindones

16 Budiyanto et al. sumbangan terbesar terhadap konsumsi protein hewani berasal dari daging. Peningkatan konsumsi protein hewani tersebut mengakibatkan kenaikan permintaan bibit sapi unggul untuk menghasilkan pedet (bakalan), baik untuk sapi perah maupun sapi potong. Boediono (2005) menyatakan bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan daya guna teknologi transfer embrio (TE) adalah pemanfaatan teknologi produksi embrio secara in vitro dan perekayasaan embrio dengan tujuan untuk optimalisasi bibit unggul. Pemanfaatan limbah ovarium dari RPH merupakan salah satu cara untuk menyediakan oosit dalam jumlah banyak dan tidak membutuhkan biaya mahal untuk menghasilkan embrio secara in vitro. Ovarium yang akan dimanfaatkan tersebut harus dibawa ke laboratorium untuk dilakukan proses lebih lanjut, namun karena letak laboratorium fertilisasi in vitro (FIV) berada di tempat lain sehingga memerlukan waktu selama transportasi menuju ke laboratorium. Beberapa peneliti melaporkan bahwa waktu transportasi ovarium berpengaruh terhadap kualitas oosit yang dihasilkan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait hal tersebut dan dapat menentukan waktu optimal untuk ovarium sapi peranakan ongole (PO) sehingga dapat meningkatkan efisiensi produksi embrio in vitro di Indonesia. BAHAN DAN METODE Penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu koleksi ovarium, koleksi oosit, dan evaluasi kualitas oosit. Koleksi ovarium dilakukan di RPH Giwangan, Yogyakarta. Ovarium diambil dari hewan yang telah dipotong dan dicuci dua kali dalam tempat yang berbeda dengan larutan 0,9% NaCl fisiologis ditambah dengan antibiotik Penicilin-Streptomycin (Wonder ) pada suhu 35-37 C. Ovarium kemudian dimasukkan ke dalam termos berisi media yang sama dengan suhu 35-37 C, selanjutnya dibawa ke Laboratorium Riset Reproduksi dan Kebidanan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut setelah penyimpanan ovarium selama 2, 3, 4, dan 5 jam setelah pemotongan. Koleksi oosit dilakukan dengan metode aspirasi. Setelah sampai di laboratorium, ovarium dimasukkan ke dalam beaker glass berisi NaCl fisiologis untuk dicuci kembali. Beaker glass yang berisi ova rium tersebut dimasukkan ke dalam waterbath dengan suhu 37 C. Ovarium dalam beaker glass dibagi menjadi 4 bagian untuk membedakan waktu aspirasi, selanjutnya beberapa ovarium diambil dan di keringkan dengan kertas tisu lalu dilakukan aspirasi menggunakan spuit 10 ml dengan jarum berukuran 18 G. Cairan folikel dimasukkan ke dalam 4 tabung reaksi berbeda dan dibagi berdasarkan pembagian waktu transportasi, kemudian ditambahkan Phosphate Buffered Saline (PBS) sebanyak 5 ml pada masing-masing tabung reaksi dan didiamkan selama 15 menit. Setelah waktu mencukupi, supernatan diambil menggunakan pipet, kemudian ditambahkan 5 ml PBS lagi ke dalam tabung reaksi tersebut dan didiamkan lagi selama 15 menit. Setelah supernatan dibuang, sisa cairan dan endapannya (di bagian bawah tabung reaksi) dituangkan ke dalam cawan petri. Evaluasi oosit dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo dengan perbesaran 32-64 kali untuk menentukan kualitas oosit. Penilaian terhadap kualitas oosit yang dilakukan dalam penelitian ini mengacu pada Amer et al. (2008). Kualitas oosit diklasifikasikan menjadi 4 tipe, yaitu: (i) Kualitas A: Kumulus berlapis padat dengan lebih dari tiga lapisan dan ooplasma homogen; (ii) Kualitas B: Lapisan kumulus padat, satu sampai tiga lapis dengan ooplasma homogen, memiliki penampakan kasar dan zona pelusida yang berwarna lebih gelap; (iii) Kualitas C: Lapisan kumulus tidak terlalu padat dengan bentuk ooplasma yang tidak beraturan dan memiliki lapisan gelap; dan kualitas D (iv) Oosit gundul tanpa lapisan kumulus. Data berdasarkan pengaruh lama waktu transportasi ovarium yang terbagi menjadi 4 kelompok dianalisis menggunakan metode ANOVA. Data dengan perbedaan P < 0,05 dianggap signifikan. HASIL Pada penelitian ini didapatkan 457 oosit dari 51 ovarium yang dikoleksi menggunakan metode aspirasi dengan perlakuan penyimpanan ovarium selama 2, 3, 4, dan 5 jam pada suhu 35-37 C setelah pengambilan, seperti terlihat pada Tabel 1. Kemudian oosit dikelompokkan berdasarkan morfologinya seperti pada gambar 1 untuk menentukan kualitasnya. PEMBAHASAN Oosit dengan kualitas A yang diperoleh dari selama 2 jam pada suhu 35-37 C pada peneli- 2013 Fakultas Kedokteran Hewan IPB

Kualitas Oosit Sapi 17 Tabel 1 Pengaruh lama waktu transportasi ovarium sapi pada suhu 37 0 C terhadap kualitas morfologi oosit sapi secara in vitro. Perlakuan (jam) Jumlah Ovarium Kualitas Oosit (%) A B C D Jumlah Oosit 2 16 18 (13,95) a 33 (25,58) a 31 (24,03) 47 (36,43) 129 3 10 11 (9,57) b 14 (12,17) b 24 (20,87) 66 (57,39) 115 4 9 5 (7,94) b 6 (9,52) c 15 (23,81) 37 (58,73) 63 5 16 11 (7,33) b 32 (21,33) d 21 (14,00) 86 (57,33) 150 superscript yang berbeda di dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan P<0.05 Tabel 2 Pengaruh lama waktu transportasi ovarium sapi pada suhu 37 0 C terhadap kualitas morfologi oosit A dan B yang dikoleksi secara in vitro. Perlakuan (jam) A Kualitas Oosit B Jumlah Kualitas Oosit A dan B (%) Jumlah Oosit 2 18 a 33 a 51 (39,53) a 129 3 11 b 14 b 25 (21,73) b 115 4 5 c 6 c 11 (17,46) b 63 5 11 b 32 d 43 (28,67) c 150 superscript yang berbeda di dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan P<0.05 tian ini lebih tinggi, yaitu 13,95% jika dibandingkan dengan selama 3, 4, dan 5 jam pada suhu 37 C. Hal ini menunjukkan bahwa apabila waktu transportasi ovarium berlangsung selama lebih dari 2 jam setelah pemotongan sapi, maka akan menurunkan persentase morfologi oosit A yang dapat digunakan untuk proses fertilisasi in vitro. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Yang et al. (1990) bahwa oosit yang diperoleh dari ovarium sapi, yang disimpan pada suhu 4 C selama lebih dari 2-24 jam sebelum proses koleksi akan menunjukkan perkembangan oosit yang kurang baik setelah proses fertilisasi. Gordon (2003) juga melaporkan hal yang serupa, yaitu batas waktu yang baik antara pemotongan hewan dan proses koleksi oosit adalah antara 1-2 jam dan suhu yang optimal untuk menyimpan ovarium adalah 30 C. Lebih lanjut Duran (2008) melaporkan bahwa ovarium yang disimpan selama 3-4 jam setelah pemotongan akan memberikan tingkat pembelahan dan perkembangan blastosis yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan ovarium yang disimpan selama 5-6 jam setelah pemotongan sapi. Oosit yang dapat digunakan untuk produksi embrio in vitro adalah oosit dengan kualitas A dan B. Pada penelitian ini seperti yang terlihat pada Tabel 2, persentase jumlah oosit sapi kualitas A dan B dari selama 2 jam pada suhu 35-37 C adalah 39,53%, sedangkan persentase jumlah oosit sapi kualitas A dan B dari ovarium yang mengalami perlakuan transportasi selama 3, 4, dan 5 jam pada suhu 37 C adalah 21,73%, 17,46%, dan 28,67%. Hal ini menunjukkan bahwa ovarium yang mengalami perlakuan transportasi selama 2 jam mempunyai oosit dengan kualitas morfologi A dan B lebih tinggi dibandingkan dengan selama 3, 4, dan 5 jam setelah pemotongan sapi. Pernyataan ini diperkuat oleh Nakao dan Nakatsuji (1992), bahwa ovarium yang disimpan pada suhu 37-39 C selama 5-8 jam akan menurunkan angka maturasi nuklear oosit dan perkembangan blastosis setelah FIV. Lucci et al. (2004) lebih lanjut menginformasikan bahwa penyimpanan ovarium yang terlalu lama setelah proses pemotongan sapi akan menurunkan persentase kualitas morfologi oosit yang dihasilkannya. Johnston dan Wildt (1989) menyatakan terdapat dua faktor penting yang dapat mempengaruhi integritas dan viabilitas oosit pada proses maturasi http://www.journal.ipb.ac.id/indeks.php/actavetindones

18 Budiyanto et al. 1 2 a b c d Gambar 1 Morfologi oosit hasil koleksi ovarium sapi (a) Oosit sapi kualitas A ditandai dengan kumulus berlapis padat dengan lebih dari tiga lapisan dan ooplasma homogen, (b) Oosit sapi kualitas B ditandai dengan lapisan kumulus padat, satu sampai tiga lapisan dengan ooplasma homogen, memiliki penampakan kasar dan zona pelusida yang berwarna lebih gelap, (c) Oosit sapi kualitas C ditandai dengan lapisan kumulus tidak terlalu padat dengan bentuk ooplasma yang tidak beraturan dan memiliki lapisan gelap, (d) Oosit sapi kualitas D ditandai dengan penampakan gundul tanpa lapisan kumulus, (1) kumulus ooforus, (2) ooplasma oosit (Semua gambar dilihat dengan mikroskop stereoskopis, perbesaran 600x). in vitro, yaitu penyimpanan ovarium pada suhu 20-37 C dan waktu koleksi oosit sampai oosit tersebut ditempatkan pada medium kultur yang tepat. Lebih lanjut Klumpp (2001) melaporkan bahwa waktu dan suhu merupakan dua faktor penting yang dapat mempengaruhi kerusakan oosit, sehingga nantinya kualitas oosit akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan maturasi nukleus dan pembelahan dalam proses IVF. Gordon (2003) melaporkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi jumlah oosit yang diperoleh, yaitu suhu dan lama waktu penyimpanan ovarium serta kualitas dan ukuran folikel. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas oosit adalah umur, jenis hewan, siklus estrus, morfologi ovarium, kondisi tubuh dan nutrisi, status reproduksi hewan donor, faktor genetik, dan faktor lingkungan. Penurunan kualitas oosit kemungkinan juga dapat disebabkan oleh lamanya waktu transportasi ovarium dari RPH menuju ke laboratorium. Lamanya waktu penyimpanan ovarium selama transportasi akan menyebabkan terjadinya kekurangan suplai darah akibat ovarium telah terpisah dari tubuh hewan. Hal ini menyebabkan hilangnya suplai oksigen dan energi menuju ovarium, sehingga mengakibatkan ovarium dalam kondisi ischemia dan reoksigenasi. Kondisi kekurangan oksigen tersebut menyebabkan ovarium merubah metabolismenya dari aerobik menjadi anaerobik dan hasil akhirnya adalah produk berupa asam laktat yang terakumulasi pada sel-sel ovarium (Petrucci, 1985). Metabolisme anaerobik juga mengakibatkan penurunan Adenosin Tri Phosphate (ATP) dan hasil akhir penurunan ini berupa fosfat anorganik, yang selanjutnya akan berikatan dengan H 2 O menjadi asam fosfat. Akumulasi asam lakat dan asam fosfat pada tahap selanjutnya akan menyebabkan penurunan ph folikuler. Apabila penurunan ph folikuler berlangsung terus menerus maka akan meningkatkan jumlah oosit yang mengalami fragmentasi (Petrucci, 1985). Webster et al. (1999) lebih lanjut melaporkan bahwa asidosis, reoksigenasi dan kondisi ischemia berpengaruh kuat terhadap proses kematian sel. 2013 Fakultas Kedokteran Hewan IPB

Kualitas Oosit Sapi 19 Perhitungan secara statistik menggunakan metode Anova test diperoleh data yang signifikan (P< 0,05) antara ovarium yang disimpan selama 2, 3, 4, dan 5 jam terhadap morfologi oosit dengan kualitas A yang dihasilkannya. Hal ini menunjukkan bahwa ovarium yang dibawa dalam transportasi selama lebih dari 2 jam setelah pemotongan sapi dapat mengalami penurunan pada kualitas oosit yang dihasilkannya. Analisa secara deskriptif menunjukkan persentase oosit yang diperoleh terdapat kecenderungan bahwa ovarium yang mengalami perlakuan transportasi selama 2 jam akan menunjukkan angka persentase yang lebih tinggi pada jumlah oosit kualitas A dan B jika dibandingkan dengan selama 3, 4, dan 5 jam. Penelitian ini telah membuktikan bahwa sebaiknya ovarium segera digunakan sebelum 2 jam atau maksimum 2 jam setelah pemotongan sapi agar mendapatkan hasil yang maksimal pada kualitas oosit A dan B, yang nantinya dapat digunakan dalam proses IVF. Setelah mengetahui pengaruh lama waktu penyimpanan ovarium terhadap kualitas oosit, maka dengan penanganan ovarium dan oosit yang tepat diharapkan dapat meningkatkan efisiensi produksi embrio secara in vitro pada sapi. Dari data yang diperoleh pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ovarium yang mengalami perlakuan transportasi selama 2 jam menghasilkan persentase jumlah oosit dengan kualitas morfologi A dan B yang lebih baik jika dibandingkan dengan selama lebih dari 2 jam. Disarankan ovarium yang digunakan untuk produksi embrio secara in vitro sebaiknya menggunakan ovarium dengan perlakuan transportasi selama 2 jam setelah proses pemotongan sapi. Penulis menyatakan tidak ada konflik kepentingan dengan pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini. Anonim. 1999. Laporan peluang investasi bidang peternakan di kabupaten pandeglang. Dinas Peternakan Banten. Boediono A. 2005. Produksi embrio kembar identik me lalui bedah mikro pada embrio kambing hasil in vitro. Jurnal Veteriner 6(2): 39-46. Duran DH. 2008. Studies for the improvement of in vitro culture systems of oocytes and embryos in water buffalo. Dissertation. University of Tsukuba, Japan p135-136. Gordon I. 2003. Laboratory production of cattle embryos, University Press, Cambridge. Johnston LA, Wildt DE. 1989. In vitro maturation and fertilization of domestic cat folicullar oocytes. Ga mete Research 24: 343-356. Klumpp, AM. 2001. The effect of holding bovine oocytes in follicular fluid on subsequent fertilization and embryonic development. Thesis, Louisiana State University, California. p20. Lucci CM, Kacinskis MA, Rumpf R. 2004. Effects of lowered temperatures and media on short-term preservation of zebu (Bos indicus) preantral ovarian follicles. Theriogenology 61: 261-272. Nakao H, Nakatsuji N. 1992. Effect of storage conditions of bovine ovaries and oocytes on the success rate of in vitro fertilization and culture. Journal of Reproduction and Development 38: 11 13. Petruci R. 1985. General chemistry in: principles and modern applications. 4 th ed. Collier Macmillan Publisher. London. Webster KA, Discher DJ, Kaiser S, Hernandez O, Sato B, Bishopric NH. 1999. Hypoxia-activated apoptosis of cardiac myocytes requires reoxygenation or ph shift and is independent. Journal Clinicial Investigation 104: 239-252. Yang NS, Lu KH, Gordon I. 1990. In vitro fertilization (IVF) and culture (IVC) of bovine oocytes from stored ovaries. Theriogenology 33: 352. DAFTAR PUSTAKA Amer HA, Hegab AO, Zaabal SM. 2008. Effects of ovarian morphology on oocyte quantity and quality, granulosa cells, in vitro maturation, and steroid hormone production in buffaloes. Animal Reproduction 5: 55-62. http://www.journal.ipb.ac.id/indeks.php/actavetindones