If your actions inspire others to dream more, learn more, do more and become more, you are a leader John Quincy Adams Beberapa bulan silam, media di Amerika Serikat mengecam orang tua yang menghukum anaknya karena mencuri. Hukumannya, si anak tidak boleh masuk ke rumah kecuali untuk ke kamar mandi. Ia harus tinggal di tenda belakang rumah. Tenda. Ya, tenda yang biasa untuk kemping itu. Hukumannya sebulan. Ia bisa mengurangi masa hukuman dengan mengerjakan tugas ilmiah tentang kenakalan sebagai wujud pertobatan. Persoalan ini menjadi polemik, apakah hukuman seperti itu pantas bagi anak seusianya. Usai berita itu hangat dibicarakan, muncul kasus menarik di Indonesia. Seorang guru diajukan ke pengadilan karena mencubit hingga memar. Publik lebih banyak memihak kepada sang guru. Si anak dihukum secara sosial dengan cemoohan. Orang tuanya dipersalahkan karena dianggap tidak tanggap bahwa si anak memang harus dihukum.
THE LEADER IN ME PARADIGMS Gambar diambil dari: www.spm.sch.id Mana yang lebih benar? Kejadian ini akan terus berulang dengan variasi beragam dan latar budaya yang berbeda. Bagi generasi X dan Baby Boomers, hukuman seperti itu wajar-wajar saja. Itu biasa di zaman dahulu. Sekarang? Jangan harap. Mencubit dengan meninggalkan memar seperti itu jelas bisa dimasukkan dalam kategori penganiayaan. Di lingkungan tempat sekolah di North Carolina, Amerika Serikat, omongan kasar sering terdengar. Sebagai salah satu kantong komunitas multi-ras, Muriel Summers menyadari itu. Bahkan murid yang tidak bisa bahasa Inggris pun ada. Sebagai kepala sekolah, ia tidak berusaha untuk mengimbangi kasar dengan kasar. Ia biarkan dan sesekali diingatkan. Itu perkara yang tidak bisa diselesaikan dengan instan. Itu adalah persoalan kebiasaan. Mengubah kebiasaan adalah pekerjaan yang persisten dan seperti kisah tiada henti. Muriel Summers pernah berkisah, seorang anak datang dari lingkungan keluarga penuh umpatan. Teman-teman bermainnya juga komunitas preman yang tidak bersahabat. Si anak itu membawa kebiasaan ke sekolah. Dihukum? Tidak. Bahkan tidak juga ada program pendampingan khusus. Setiap anak adalah unik. Perhatikanlah satu anak sepenuh hati dalam satu waktu. Satu anak! ia berkali-kali mengingatkan ini. Hal ini menjadi landasan The Leader in Me yang menerapkan The 7 Habits of Highly Effective People untuk institusi pendidikan.
Dalam The Leader in Me (TLIM), semua elemen sekolah mendapatkan pelatihan mengenai 7 Habits. Itu wajib, karena kebiasaan bisa ditularkan melalui perilaku yang konkret. Kalau sekadar memberi tahu etika moral semata, membaca buku saja sudah cukup. Di sini anak menyaksikan langsung bagaimana penerapannya dalam keseharian. Misalnya, kebiasakan dahulukan yang utama maka contoh penerapannya adalah mengerjakan PR terlebih dahulu sebelum bermain. Contoh lain, memahami (orang lain) terlebih dahulu, baru dipahami adalah mendengarkan pendapat orang lain ketika sedang berbeda pendapat, baru mengungkapkan apa yang telah dia pikirkan. Nilai-nilai yang ditularkan melalui The Leader in Me sebenarnya sederhana. Itu nilainilai universal yang tidak menimbulkan polemik. Walaupun sederhana, bukan berarti mudah. Program ini membantu agar sebuah institusi pendidikan bisa menerapkan The 7 Habits, setahap demi setahap, dengan metode yang telah teruji waktu dan sukses di berbagai belahan dunia. Sayangnya, karena dianggap sederhana, orang suka mengabaikan hal-hal itu. Namun dengan kemunculan kasus-kasus seperti di Amerika Serikat dan Indonesia tadi, kesadaran itu terus berkembang. Mendidik anak itu bukan persoalan yang instan. Dan kalo bukan sekarang, kapan lagi kita memulainya? (D)